BTS – Big Hit Entertainment

Penulis tidak mengklaim apapun selain plot cerita

AU. Hanya sepenggal adegan Seokjin yang ketinggalan bus di malam hari, beserta ingatan mundur pada hari dimana dirinya pertama kali bertemu calon suami.

.

.


.

.

Jungkook menggerak-gerakkan lengan ke samping, sikunya ditekuk dan diluruskan beberapa kali, ditekuknya sekali lagi, kemudian mengusap pelan plester kuning terang motif loreng macan yang baru saja dilekatkan sepupunya. Mimik remaja tanggung itu menyiratkan kelegaan.

"Bagaimana?" tanya Seokjin selesai meletakkan kotak obat kembali ke lemari atas, "Lain kali jangan cuma bawa helmet, sebaiknya pasang pelindung lengan dan korset lutut juga. Kau suka sekali meleng kanan-kiri tapi tak pernah mau memperhatikan jalan, akhirnya terperosok kan?"

"Senjanya bagus sih, hyung. Jadi aku buru-buru berhenti untuk mengambil foto. Tapi jangan kuatir! Ponselnya baik-baik saja kok!" cengir Jungkook, memanjat naik ke tempat tidur serta membal di atasnya seraya memandang Seokjin yang berdiri membelakangi kaca. Celana denim ketat semata kaki dengan kaus dobel putih hitam lengan panjang berkerah membungkus badan hingga batas paha, ditambah tas selempang besar warna putih bermotif kepala babi. Sempurna.

Jungkook mengangkat alis, sangsi, "Yakin perginya begitu?"

"Memangnya kenapa?"

"...makan malam lho? Bareng tunangan pula. Masa pakai denim butut?"

"Lalu?" Seokjin mematut dirinya sendiri dengan bingung. Jungkook menghela napas sembari menaikkan selimut. Satu lengan menyembul tinggi untuk dikibas menggesuh pergi. Seokjin melengos sebelum menggamit sepatu, berkata bila dirinya akan pulang sekitar larut malam dan Jungkook boleh mengunci pintu jika mau. Adik sepupunya melambaikan tangan dan menyuruh berhati-hati.

"Nanti kubangunkan pakai telepon," seloroh Seokjin, menuruni tangga dan memasang sepatu sambil setengah tergesa. Sedikit terlambat tapi masa bodoh. Siapa suruh mengajaknya pergi makan jam delapan malam? Seokjin sudah melahap habis seloyang kue castella pemberian Taehyung, anak pemilik toko kue di seberang jalan yang datang menjenguk Jungkook, hanya karena diberitahu kalau anak laki-laki itu terjatuh waktu bersepeda selesai latihan taekwondo.

Ditelusurinya ponsel selagi menyusuri turunan setapak ke jalan besar menuju halte. Banyak orang yang mengantri dan Seokjin mendadak khawatir kalau-kalau tak kebagian tempat. Tapi dengan deretan sepenuh itu, sepertinya berdiri pun tak jadi masalah. Lupakan taksi. Majalah bersampul grup Shinwa beserta katalog resep Christine Teigen terbit minggu depan dan Seokjin tak mau keluar uang lebih hanya untuk transportasi pribadi. Lagipula dia suka melihat lembar promosi gratis di rak jendela bus yang boleh diambil gratis. Isinya mencakup berbagai merek atau sekedar brosur tampil penyanyi-penyanyi dari label kecil yang mengadakan pertunjukan solo di tengah jalan. Seokjin suka mencatat tanggalnya lalu pergi berdua dengan Jungkook. Hitung-hitung sebagai hiburan akhir pekan jika tidak ada jadwal mengajar, dan tentu saja jika sepupunya tidak sibuk membaca komik bersama Taehyung di ruang tamu.

Dan sial, ternyata busnya memang tidak muat. Selain karena Seokjin mendahulukan seorang wanita tua yang berjalan tertatih-tatih menggapai pegangan pintu, dia juga menyilakan dua anak kecil yang berlari heboh menyeret tas ransel dan tumpukan buku di pelukan mereka untuk naik lebih awal. Seokjin lemah pada anak kecil, alasan utama mengapa dia bersedia mengisi kekosongan guru TK di dekat rumah, termasuk selalu sukses dikibuli Jungkook soal pembagian porsi sarapan berbekal mata berkaca-kaca. Pun dia hanya berdadah-dadah saat bus itu berjalan meninggalkan halte, menyisakan dirinya serta seorang pria jangkung bercerutu elektrik yang sedang mengisi teka-teki silang di bangku tunggu. Seokjin baru akan menemaninya duduk ketika sebuah tepukan di bahu membuat pemuda itu menoleh.

"Hai," sapa seseorang dengan senyum lebar berlesung pipi yang familiar, "Ternyata memang belum jauh."

.


.

Seokjin tak ingat apakah dia pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya. Atau begitulah bisik otak pikunnya saat pertama melihat pemuda itu sepulang kuliah. Dengan masih berbalut peluh, kaus belel, juga sepatu belepotan debu. Seokjin menyambut uluran tangan tersebut tanpa basa-basi. Pemuda di hadapannya hanya menganggukkan kepala dan Seokjin tak ambil pusing untuk membalas, malah bergegas pergi ke kamar serta sengaja mandi berlama-lama sampai orangtuanya memanggil-manggil. Bukan cuma menyuruh memberi salam, Seokjin juga diminta menyisir rambut dan memakai setelah yang lebih layak. Mata besarnya menangkap keberadaan sosok jangkung itu di ruang depan, duduk tenang menikmati kopi yang disajikan meski sepasang suami istri yang datang menemani sang pemuda sudah tak terlihat di sana. Seokjin sempat mendesah malas saat harus mengiyakan perintah ayahnya untuk menemani pemuda itu berkeliling rumah. Dan dengan wajah bodoh, mengajak ngobrol seadanya.

Dia bukan tak mampu menebak maksud. Usianya boleh dua puluh dua tahun, namun Seokjin paham betul apa arti semua gelagat tersebut. Seokjin cukup dewasa untuk memaklumi, meski tetap bertanya-tanya mengapa dia harus mengalami perjodohan secepat ini, terutama dengan kenyataan bahwa dia sama sekali belum pernah punya pacar.

Seokjin tak tahu apakah ada alasan khusus di balik rencana ayahnya. Entah bisnis, perjanjian keluarga, kesepakatan masa lalu, atau berbagai kemungkinan yang membuatnya harus bekerja keras mencari topik yang bagus karena pemuda itu benar-benar tak berniat memulai pembicaraan.

"Maaf kalau ingatanku agak payah belakangan ini, tapi..." Seokjin menggaruk-garuk dahinya bingung karena risih dipandangi terus-menerus, "Apa kita pernah bertemu? Berpapasan? Atau saling mengenal?"

Mata cokelat itu berpendar ramah, lalu menjawab singkat, "Belum."

"Oh, oke..." angguk Seokjin tanpa ingin bertanya lagi. Sadar bahwa kakinya berputar-putar di tempat semula. Pemuda di dekatnya menarik perlahan lengan Seokjin untuk dibimbing menuju teras sambil menahan senyum. Bebatuan di samping kolam ikan milik ayahnya memang tak cukup nyaman, namun yang bersangkutan terlihat berlutut dengan senang sambil menjentikkan jari agar ikan-ikan koi di dalam sana mau mendekat. Santai sekali.

"Aku tidak tahu foto mana yang dikirimkan ibuku sampai kau mau repot-repot datang kemari," sela Seokjin, ikut jongkok di sebelah seraya memeluk kaki, "Tapi aku belum pernah menerima fotomu dari siapapun. Jadi maaf kalau aku mengabaikan kedatanganmu tadi. Ibuku suka menyimpan rahasia sih."

"Tak apa-apa," sergah pemuda itu, suara berat bercampur nasal, "Dan jangan kuatir, fotonya manis kok."

"Bu, bukan itu masalahnya!" Seokjin mengibas tangan salah tingkah, "Maksudku, aku belum diberitahu kalau, uhm...akan dilibatkan dalam acara seperti ini. Menurut proses yang wajar, biasanya ada kiriman foto ke rumah masing-masing bersama penjelasan data pribadi, termasuk latar belakang keluarga. Kemudian kita akan diberi jeda waktu beberapa hari sampai akhirnya ada keputusan untuk bertemu. Tapi nyatanya? Aku sama sekali tak dikabari. Rasanya jadi kurang adil kan? Itu juga kalau aku bersedia."

"Oh? Maaf. Sebenarnya..."

"Aku tidak menyalahkanmu," Seokjin mendorong pelan bahu pemuda tersebut, "Lagipula kau sudah di sini, kan tidak mungkin aku mengusir tamu pergi. Duh."

"Duh?" sergah pemuda itu menanggapi keluhannya, "Apa kau benar-benar terpaksa? Aku tak keberatan diusir pulang sekarang, sungguh. Wajahmu juga kelihatan lelah dan pucat, mungkin perlu istirahat."

"Bukaaaaan! Serius! Bukan!" Seokjin menahan lengannya karena yang bersangkutan bersiap bangkit. Alis pemuda itu terangkat bertanya dan Seokjin menghela napas, "Begini, Kapjoon..."

"Namjoon," ralat pemuda itu, setengah terbahak.

"Ah, iya, Namjoon," Seokjin menggaruk rambut lagi, makin salah tingkah akibat ditatap terlalu dekat, "Jujur, aku bukan merasa terpaksa. Aku tak pernah peduli dengan urusan teman laki-laki atau hal sejenisnya. Pacaran saja tidak pernah, meski orangtuaku tidak melarang. Aku juga sedang fokus menyelesaikan kuliah dan tak berniat menjalin hubungan dengan siapapun. Sumpah demi rol gulung kayu manis buatan kedai kampus. Satu lagi, aku ini bandel, banyak bicara, dan seenaknya. Dulunya sering bolos sekolah dan doyan mencuri stroberi di kebun tetangga sampai dikurung di gudang terigu. Tak ada waktu untuk berpikir tentang kencan dan sebagainya, apalagi calon suami. Aku sama sekali tak memiliki pandangan kesana. Tapi yah, ini perintah hidup mati dan aku harus menyanggupi kalau tidak ingin ditendang keluar rumah," terangnya, mendengus kala mendengar kekehan Namjoon, "Ada yang lucu?"

"Iya, kamu," pemuda itu menuding hidungnya, "Sudah kuliah tapi bicaranya malah seperti itu."

"Bicaraku kenapa?"

"Terdengar seperti anak kecil."

Dahi Seokjin berkedut-kedut, "Memang umurmu berapa?"

"Dua puluh."

"DUA PULUH? ASTAGA! PANGGIL AKU HYUNG!" Seokjin mendorong bahunya lagi, lebih keras kali ini, "Kukira kau jauh lebih tua dariku! Argh! Rugi sudah mengatur bahasa kemana-mana! Tahu begini aku tak akan segan-segan berteriak di depan wajahmu! Calonku baru dua puluh tahun! Apa sih yang dipikirkan ibu?!" protesnya meraung, bibir tertarik turun membentuk rengut kesal selagi Namjoon terbahak gemas. Raut cerah yang tak berubah sejak datang, kini menopang kepala dengan sebelah tangan. Seokjin mengalihkan muka, mencibir sengit, lalu pura-pura mengamati ikan sembari memunguti sejumlah kerikil, berjaga kalau-kalau pemuda itu perlu ditimpuk sampai rahangnya remuk.

"Boleh mengaku?" Namjoon menyela dibarengi senyum terkulum, "Sebetulnya hari ini tak ada rencana berkunjung karena orangtuaku tak punya waktu."

"Apa?" Seokjin menyahut, kening berkerut, "Lalu pria dan wanita di ruang tamu tadi siapa?"

"Paman dan bibiku," jawab Namjoon, mengikuti pandangannya ke arah kolam, "Ibu berpesan kalau aku harus menjaga sikap sebab calonnya berusia lebih tua, tapi kurasa dia akan berpikir ulang jika mendengar rentetan kalimatmu saat bercerita."

"Kau menyindirku?"

"Kelihatannya bagaimana?"

Seokjin balas mendelik dan sudut matanya meruncing, kerikilnya dikembalikan ke gundukan tanah lalu beringsut duduk menyamping. Kini mereka berhadapan dan Seokjin bisa melihat lebih jelas seperti apa rupa orang yang berani membalikkan kata-katanya dengan nada ceria. Wajah pemuda itu biasa saja, sangat biasa malah. Tipikal orang Korea bermata minimalis dengan bibir tebal, tulang pipi tinggi dan alis menukik. Kalaupun ada ciri istimewa, mungkin hanya lesung pipi yang melekuk terlalu dalam. Rambutnya apalagi, dicat abu-abu. Pasti mahasiswa seni yang nyentrik.

"Aku sudah lulus kuliah kok, hyung," Namjoon meringis seolah membaca pikirannya, "Bulan depan mulai mengajar di kampusmu. Mungkin kita akan sering bertemu walau bukan satu fakultas."

Mata besar Seokjin menyipit. Apa yang didengarnya barusan? Lulus? Mengajar? Fakultas?

"Maaf, apa?"

"Mengajar. Aku dosen Bahasa Inggris."

Seokjin mengernyit, mendadak pening di bagian pelipis, "Kau sedang bergurau, kan?"

"Tidak, hyung. Dan jangan melotot begitu, nanti makin lucu," Namjoon mengibaskan telapak tangan di depan muka diiringi seringai puas, "Lupakan dulu soal pekerjaan. Kulihat hyung mengamati sampai dahinya berkerut-kerut. Apa aku sejelek itu?"

Ganti telapak tangan Seokjin yang terkibas, "Bu, bukan! Aku tidak pernah menomorsatukan penampilan. Asal rapi dan enak dilihat, kurasa tak ada masalah. Ini hanya karena aku tak menerima fotomu sebagai pertimbangan. Orangtuaku memang suka mengambil kesimpulan sendiri."

"Mm-mm, sama," Namjoon mengangguk-angguk sekenanya, "Aku juga tak mengerti apapun sampai fotonya dikirimkan padaku empat hari lalu. Bahkan kupikir mereka bercanda karena tahu-tahu menyuruhku potong rambut dan memaparkan rencana. Selama ini ayah dan ibuku sangat disiplin jika sudah menyangkut peraturan membawa pacar ke rumah, sekarang malah langsung mau dinikahkan. Aneh ya?"

"Sudah tahu begitu kenapa masih mau?" tanya Seokjin sewot. Namjoon terbahak lagi. Bocah ini suka sekali tertawa.

"Perjodohan tidak berarti akan langsung jadi. Aku masih harus menyiapkan banyak hal, dan hyung masih harus menyelesaikan kuliah, bukan tidak mungkin ingin mengambil strata lain. Orangtua kita pasti mempertimbangkan hal-hal kecil dan segala detil sebelum mengambil keputusan seperti ini. Aku akan mengikuti alurnya sesuai keadaan. Mengecualikan kenyataan bahwa hyung tidak diberitahu sebelumnya, entah sengaja atau tidak," Namjoon tersenyum maklum dan Seokjin tak tahu apakah dia harus melompat gembira karena pikirannya berhasil ditebak, atau malah tersinggung sebab itu berarti dia memang buta suasana.

"Lalu?" gerungnya, nyaring, "Apa yang membuatmu berubah pikiran dan memutuskan datang hari ini?"

Pertanyaannya ditanggapi dengan Namjoon yang terbatuk pelan sambil memalingkan muka, rambut pelipisnya disibak sekilas dan sudut bibirnya terangkat membentuk ringisan canggung,"Boleh terus terang?"

Seokjin mengiyakan.

"Matamu bagus, hyung," tukas pemuda itu seraya membenamkan ujung hidungnya di telapak tangan yang tertangkup di depan wajah, "Aku tak paham apa yang sedang kulakukan. Tapi satu hal yang terlintas di pikiranku begitu melihat fotomu adalah, aku ingin bertemu dengan orang ini. Apapun caranya, bagaimanapun hasilnya. Aku tak peduli apakah akan dibilang aneh karena calonku nanti tak suka diajak ngobrol, misalnya? Atau mungkin sudah memiliki kekasih? Mungkin juga ditolak mentah-mentah karena datang mendadak. Tapi selama bisa menatap orangnya secara langsung, aku sama sekali tak keberatan akan berakhir seperti apa nantinya," Namjoon bergumam dari balik bahu, kekeh rendahnya meluncur tanpa beban, dan mendadak Seokjin jadi tak ingin balik memandang. Itu adalah jawaban yang terlalu jujur untuk dibalas dengan sekedar anggukan. Meski bisa saja pemuda cerdas tersebut telah berlatih menyusun kalimat agar Seokjin tak bisa membantah, namun cara bicaranya sangat lugas dan tak terdengar dibuat-buat.

Tidak, Seokjin tetap tak mau menerima. Tapi menolak pun rasanya bukan hal yang bijaksana.

"Dan soal perintah," celetuk Namjoon melanjutkan, "Aku harap hyung tidak menganggapnya seperti titah yang harus dipatuhi. Bagiku, ini hanya sebuah permintaan yang bisa diabaikan maupun disanggupi. Apalagi kita tak mengenal satu sama lain. Sangat tidak sopan untuk memaksakan hal-hal seperti ini di masa sekarang. Hyung pasti masih ingin bersenang-senang, seperti yang kulihat di halte dan stasiun, mahasiswa-mahasiswa yang bepergian di musim panas dan tampak sangat menikmati."

Pemuda itu tersenyum begitu lebar dan secara insting, Seokjin merasa miris. Kontras dengan Namjoon, sejak awal dia hanya memikirkan diri sendiri. Sebagai pihak yang lebih tua, harusnya dia bisa bersikap lebih tenang dan bijaksana. Atau mungkin ini bawaan dari seseorang yang mempunyai kemampuan berpikir di atas rata-rata?

"Aku banyak bicara ya?" Namjoon menggosok tengkuk dengan tawa lirih, pipi merona, "Maaf, pasti sangat membosankan."

"Tidak kok," Seokjin menggeleng dan menarik sudut bibirnya agak ke atas, "Aku mahasiswa dan lawan diskusiku seorang dosen, jelas akan timpang di satu sisi. Dalam artian bagus, maksudku."

Namjoon tak menjawab dan keduanya terdiam sejenak. Seokjin masih memeluk lutut sambil menghela napas, kemudian menaruh dagu diantara lekukan tangan. Jari-jarinya kembali memunguti kerikil di sekitar tanah dan di bawah sendal. Bukan untuk ditimpuk, hanya mengalihkan perhatian.

"Kupikir hasilnya akan di luar perkiraan, Namjoon-ah," bisiknya, mencoba mengakrabkan diri dengan nama tersebut, "Kalaupun aku menolak, ayah dan ibu pasti punya cara agar aku bersedia."

Namjoon membetulkan posisi duduknya dan terkekeh lagi, "Itu kalau hyung menolak, kan?"

Sebuah kerikil terlempar ke ujung sepatunya dan Seokjin mendengus kasar, "Jangan terlalu percaya diri."

"Aku bukan orang yang menarik, juga tidak mengerti cara berpakaian yang bagus," Namjoon menjumput batu kecil tersebut lalu menaruhnya ke gundukan kerikil di hadapan Seokjin, "Tapi karena hyung tidak terlalu peduli, kurasa tak ada masalah. Dalam dua atau tiga tahun mungkin aku akan jadi lebih tampan, dan pada saat itu kuharap hyung bisa terpikat padaku."

"Hah? Apa?" Seokjin berseru dengan suaranya yang berat, "Maksudmu aku harus menunggu selama itu?"

Namjoon melirik dengan bahu terangkat, gigi-gigi putihnya berbaris rapi dan Seokjin tak bisa berbuat banyak selain ikut tersenyum. Agak menyesal mengapa ibunya tak membagi rata perlakuan mereka sehingga dia bisa melihat potret pemuda itu lebih dulu sebelum mereka bertemu. Atau ibunya memang sudah memperkirakan bila Seokjin akan bertingkah acuh—lalu sengaja tidak mengingatkan hingga harinya tiba dan memberi informasi yang mustahil dihindari. Seokjin enggan menebak mana yang benar.

"Kalaupun aku setuju..." celetuknya, gamang, "Apa itu berarti akan ada peraturan tak tertulis tentang larangan menonton bioskop, memelihara posum layang, dan harus diantar pulang pergi?"

"Apa pertanyaanmu selalu aneh seperti itu?"

"Ini penting!" tegas Seokjin gusar. "Kalau aku tak diperbolehkan pergi menyaksikan film baru Brad Pitt dan terkurung di rumah, kau akan mendapatiku mati bosan karena stres! Aku juga tak suka ditegur saat memilih hewan piaraan, kalau perlu aku beli dua posum layang kembar dan menaruhnya di kamar. Sekedar peringatan, jika sampai dilarang mengerjakan hal yang kusukai, artinya kau sudah melanggar hak asasi dan aku sangat benci diatur-atur. Lebih-lebih kalau orangnya terlalu ikut campur dan posesif. Paham?"

"HAHAHAHAHA!" Namjoon reflek terpingkal-pingkal sampai posisinya ambruk ke tanah dan mendarat di permukaan pasir. Pun tidak malu-malu untuk duduk bersila sambil memukul-mukul lutut geli, "Belum juga menikah tapi permintaannya sudah banyak."

Seokjin melotot tak terima, "PAHAM TIDAK?!"

"Paham, paham," Namjoon mengangkat kedua tangannya ke udara, "Aku tidak ambil pusing dengan hiburan di luar rumah atau jadwal rutin yang tidak kumengerti. Tapi soal antar jemput, aku tak yakin bisa membiarkanmu pulang sendirian, hyung."

"Kenapa?"

"Karena."

"Karena apa?"

"Ya karena," senyum Namjoon terulas lembut, "Tidak perlu banyak alasan."

Seokjin mendelik heran, tapi ditahannya untuk mengajukan keberatan. Sebagai gantinya, dia beringsut meluruskan kaki dan menggeliat sekilas sebelum beranjak menegakkan tubuh, membiarkan pemuda di sampingnya menengadah dengan binar yang sukar dimengerti. Ekspresi yang bersahaja, juga wajah yang tetap terlihat tenang meski dihujani tanda seru bertubi-tubi.

"Aku perlu waktu untuk berpikir," Seokjin menyela hening, "Dan bukan satu atau dua hari."

"Berarti tiga."

Seokjin spontan menyepak tempurung lututnya dan Namjoon limbung sembari tergelak, "Ayo kencan denganku, hyung."

"Apa?"

"Kencan denganku, kalau boleh," Namjoon mengusap bekas tendangan yang bernoda tapak sendal, "Hyung bilang perjodohan ini berat sebelah karena cuma aku yang mendapatkan fotomu. Jadi sebaiknya kita pergi ke suatu tempat yang bagus supaya kau bisa memotretku sebanyak-banyaknya. Taman atau wahana. Bagaimana?"

"Idih!" Seokjin bergidik seolah jijik, "Siapa yang mau!"

"Aku cuma menawarkan."

Seokjin mendengus lalu melipat tangan dengan dagu terangkat tinggi, ditiliknya Namjoon dari balik helaian rambut sambil setengah meneliti. Pemilik rambut keabuan itu masih bersila di tempatnya dengan kepala menengadah dan Seokjin mengerang panjang. Benar-benar manusia yang gigih dan sulit dijauhi.

"Namjoon-sshi."

"Ya?"

"Dari tadi kau tidak memanggil namaku sama sekali," pancing Seokjin heran, "Apa kau tidak membaca info yang tercatat di sana dan cuma terpaku dengan fotonya?"

Bukannya menjawab, pemuda itu malah menopang dagu dan melirik balik dengan jahil.

"Lihat kok," tukasnya, tersenyum sempurna, "Aku kan menunggu sampai ditanya."

Dan Seokjin langsung menendangnya saat itu juga.

.


.

"Kenapa menyusul kesini?" Seokjin memasang sabuk pengaman sambil setengah mendelik, pemuda di sebelahnya berkedik acuh dan menghidupkan mesin tanpa bereaksi, "Aku tak suka kalau kau jadi repot begini."

"Jangan khawatir," Namjoon menjawab usai mengatur letak spion, "Ini sudah malam dan aku tak tahu apakah hyung sempat makan atau belum. Banyak mahasiswa yang mengajukan pertanyaan selesai kelas dan aku tidak bisa kabur lebih cepat."

Seokjin meraih majalah dari sisi rak interior dan melipirkan matanya keluar jendela, "Ya siapa suruh mengajak pergi malam-malam."

"Siangnya kan aku kerja, hyung."

Seokjin membalik halaman pertama sambil bersiul.

"Aku tidak bohong."

Siulannya makin keras.

"Hyung?"

Tak ada respon.

"Seokjinnie?"

"Dengar, dengar," sahut pemuda itu seraya berpaling meski tetap memasang muka masam. Dasar suara seksi kurang ajar, "Aku sudah makan beberapa potong kue dan tidak terlalu lapar. Tadi Jungkook jatuh dari sepeda, jadi aku harus mengobati lukanya dulu sampai telat berangkat. Dan harusnya aku tidak memberitahumu karena ternyata kau langsung menyusul kemari. Lagipula kenapa sih harus ke Myeongdong? Memangnya di sekitar sini tidak ada restoran yang bagus?"

Namjoon memutar setir dan melirik kaca tengah dengan alis terangkat, "Karena."

"Karena apa?"

"Ya karena."

Seokjin mendesah untuk kesekian kalinya seraya membenamkan kepala di lipatan majalah.

"Oh! Aku lupa!"

"Apalagi?"

"Cuma ingin bilang," Namjoon menoleh sejenak lalu tersenyum kecil, "Malam ini hyung manis sekali."

"..."

.

.


.

.