Disclaimer: I own nothing but the story.


Kala itu hujan mengguyur wilayah pepohonan. Membuat suasana semakin pengap dan lembap. Tanah berlumut mencair menjadi lumpur, menodai sepatu milik semua orang yang tengah berlari melewati dahan-dahan lebat berbekal cahaya bulan. Mereka harus melakukannya tanpa bantuan senter untuk menghindari kejaran penjaga camp no.

"Apa maksud kalian menerobos penjara untuk membawaku? Aku ini tamu atau tahanan baru?"

Hujan terlalu bersemangat berjatuhan dari langit malam. Volume air yang besar terasa menotok tubuh dengan kasar. Chanyeol menggelengkan kepala seperti anjing mengeringkan air dari rambutnya lalu mengusap wajah agar pengelihatannya lebih jelas.

"Ugh, aku basah. Ini tidak menyenangkan."

Lumpur menciprat dari tapak sepatu mengenai celana. Hidungnya mengerut jijik.

"Aku lebih suka di dalam camp. Semua fasilitasku terpenuhi. Papan permainanku juga ada di sana."

Ia berlari diapit dua orang penyusup. Ini asumsinya saja karena mereka membobol penjara untuk mengeluarkannya. Ia mencoba menganggap mereka sebagai kawan karena seragam familiar yang melekat.

"Kau anggota NIS. Terlihat dari seragammu." ucapnya dengan picingan mata, membaca tanda pengenal kecil di atas baju. Mereka tak menanggapi.

"Bisakah kau berbicara?"

Ia merasa sedang sendirian. Dua orang ini terus menjaga mata tetap ke depan selagi agak jauh di belakang mereka terdengar tembakan beruntun. Chanyeol tidak begitu suka bagaimana mereka bersikap bagai patung sementara dirinya memiliki banyak pertanyaan di dalam kepala. Ia memang tak peduli lagi kemana anggota NIS membawanya, dibunuh atau dipekerjakan sebagai budak mereka pun sudah tidak dipusingkan. Toh ia tidak pernah memiliki tujuan hidup.

Ia sudah kosong sejak lama. Mengikuti alur dunia tanpa keinginan jelas. Tanpa mimpi. Seorang diri. Ia hanya suka bermain dan camp no adalah tempatnya bermain. Mengutak-atik jaringan seperti semudah dan sesering menghirup napas. Tidak ada hal lain lagi.

"Aku tahu kalian tidak dibayar untuk menjaga obrolan denganku. Tapi apa tidak ada keringanan? Hanya menjawab pertanyaanku misalnya? Ayolah, aku seperti korban di sini."

"Diam. Musuh masih mengejar kita."

Chanyeol mengangkat sebelah alis, "Bukankah memang tugasmu untuk melindungiku? Aku warga negara Korea Selatan."

Selongsong ditarik cepat, senapan siap tembak. Bunyinya cukup nyaring di antara hujan dan gesekan dahan. Mata dingin orang di depannya melirik. "Tidak ada perintah untuk membawamu lengkap dan utuh."

Chanyeol tersenyum selagi mengangkat tangan, "Whoa tenang. Aku akan menjadi anak baik."

Pria di depannya melempar tatapan sinis yang diakhiri decihan. Kemudian ia memperlambat lari untuk meraih bahu si hacker, mendorongnya dengan kasar ke depan. Ada kresek-kresek mengganggu bersumber dari sumpalan headset si penjaga.

"Light, kemari dan bawa tahanan ini. Biar kami yang mengurus musuh."

Chanyeol mengusap wajahnya lagi. Air hujan memperparah pengelihatan dan pendengarannya. Ia membenci situasi ini. Dimana dirinya merasa lumpuh total karena banyak inderanya terhalang. Satu penjaga yang berlari paling belakang memberikan isyarat mata lalu balik kanan untuk kembali pada pos awal.

Chanyeol mengernyit, "Dia mau kemana?" bahunya menerima dorongan lebih keras sampai ia hampir tersungkur ke genangan lumpur di bawah kakinya.

"Fokus saja pada nyawamu."

Ia mendengus pelan, memaki penjaga berhati dingin. Beberapa pohon terlewati, bahunya dilepas dari cengkraman dan disaat yang bersamaan—

SRAAAKK!

—siluet hitam meluncur turun dan sosok itu berdiri tegap di hadapannya. Chanyeol menatap tamu tak diundang itu dengan ekspresi terkejut seolah telah melihat ninja. Bagaimana tidak? Seorang penjaga lain dengan senapan panjang melompat turun dari dahan pohon yang tinggi dan berdiri di atas kedua kakinya seolah memiliki kekuatan kaki kucing. Terlebih lagi ternyata dia lebih pendek darinya!

Bagaimana mungkin dengan tubuh kecil begitu dia termasuk dalam anggota NIS?

Chanyeol mengerjap, mulutnya membuka namun si penjaga baru menatapnya tajam mengisyaratkan untuk lebih baik tidak menyuarakan apapun. Masker hitam menutup rapat dari bawah matanya sampai dagu, membuat picingan mata itu terlihat mutlak.

"Light, tetap fokus pada perintah. Bawa dia ke titik X." ucap si pria dingin.

Penjaga baru berkode Light mengangguk paham lalu menarik kerah jaket Chanyeol untuk ditariknya penuh 'perhatian'. Akibat perbedaan tinggi yang signifikan, punggung si hacker dipaksa membungkuk selama berlari. Plus terseok-seok karena ketidaksabaran penjaga baru.

"Setelah pria dingin tadi sekarang aku dioper pada lelaki kasar begini? Ya Tuhan, sebenarnya kalian lawan atau kawan."

Ucapannya pun tidak ditanggapi lagi.

Ada petak kecil lahan terbuka di balik pepohonan tinggi. Melewati dataran naik turun dan lembab seperti tadi rasanya terbayar begitu melihat helikopter siap terbang menunggu mereka. Setidaknya Chanyeol tahu ia tidak perlu kelelahan berlari lagi.

Ada seorang penjaga bertubuh besar di samping helikopter dan pria berjas di dalamnya melambaikan tangan. Chanyeol didorong naik dengan tak berperikemanusiaan—yang merupakan kejutan besar karena si pendek itu faktanya punya tenaga badak. Wajahnya bisa saja menabrak sepatu pantofel mahal pria berjas itu jika tangannya tak tanggap untuk menahan bobot tubuh.

Air hujan menciprat kemana-mana akibat putaran baling-baling yang semakin cepat. Suaranya mengalahkan guntur. Memekakan telinga. Angin kencangnya membuat tudung para penjaga lepas dari tempatnya. Surai hitam—anehnya—tebal dan fluffy nampak dalam pengelihatan.

Chanyeol membesarkan mata lalu mengerutkan dahi. Ekspresi terkejut dan kebingungan sangat kontras di wajahnya.

Bukankah anggota militer diharuskan memiliki potongan rambut yang pendek? Apa-apaan pelanggar peraturan begini?

"Light, kembali ke pos penjagaanmu. Terus dukung sniper 2 sampai semua musuh berhasil dikalahkan."

Penjaga bertubuh besar di samping helikopter itu mengibaskan lengan, memberi isyarat jika helikopter bisa lepas landas. Kaki-kaki mesin terbang itu mulai terangkat, menjauh dari tanah. Pria berjas mengetuk jam tangan dengan telunjuknya lalu berseru,

"Tunggu helikopter berikutnya yang akan membawa semua tim!"

Chanyeol terduduk, matanya fokus pada dua penjaga yang ditinggal. Jemari berbalut sarung tangan tebal khusus kerja terangkat, telunjuknya menyelip pada masker hitam. Dalam satu tarikan, masker itu melorot sampai dagu. Menampakkan wajah dengan rona merah di bagian mata, hidung dan pipi akibat suhu dingin. Rambut hitam tebalnya tertiup angin hingga menunjukkan dahi.

Chanyeol merasakan hawa dingin mulai menusuk kulitnya. Membekukan nadinya. Menghambat darah yang mengalir. Meremukkan dirinya dalam sekejap.

"Dimengerti, leader."

Uap putih meninggalkan bibir pucat kedinginan, hanya sekilas karena sepersekian detik sudah tersapu hujan.

Baling-baling berputar lebih kuat, membawa seluruh badannya melayang di udara. Chanyeol merunduk dengan tangan terkepal. Mata bulatnya terhubung dengan sepasang sipit di bawah sana. Begitu familiar. Begitu dirindukan. Ia menghirup oksigen dan menahan karbondioksida disaat yang bersamaan. Ia bisa merasakan jantungnya memukul keras tapi juga merasakan detakannya berhenti untuk sesaat.

Park Chanyeol dengan mudah dibuat kacau.

Richard si hacker ternama, tahanan CIA, magister lulusan Cambridge, aktivis Timur Tengah, segala gelar yang dimilikinya tidak akan berarti. Terlupakan. Karena pada akhirnya, ia hanya seorang pria dua puluh delapan tahun yang memiliki pujaan hati.

The love of his life—sudah dipertemukan kembali dengannya.

Byun Baekhyun berdiri di atas permukaan bumi, mendongak ke atas, memberikan keleluasaan bagi Chanyeol untuk memandangi wajahnya. Sementara dirinya dibawa pergi menjauh ke langit.

Apa takdir mempermainkannya lagi? Atau ia diberi kesempatan untuk merajut jalan cerita yang diakhiri sepihak olehnya dulu? Apa Dewi di atas sana kasihan dengan kekosongan hidupnya?

Perasaan menggebu mendesak dari dadanya. Ia mengangkat satu tangan, menunduk dalam lalu mencengkram sejumput rambutnya. Kemudian tertawa lepas. Terdengar agak aneh karena ia bisa melepas tawa di tengah situasi genting.

Pria berjas menepuk bahunya, "Kau sehat?"

Chanyeol menarik napas, memasok paru-parunya sampai terasa akan tersedak udara. Ia mendongak, menatap lurus pria berjas sambil tersenyum lebar. "Tentu. Tentu aku baik-baik saja."

"Ada yang lucu?"

Chanyeol menggeleng pelan, "Hanya perasaan terhibur. Kurasa kalian akan memindahkanku ke tempat bermain yang baru."

Pria itu berdiri dengan gelisah. Terbaca dari kakinya yang bergerak tak menentu. "Satu set komputer canggih sudah menunggumu berikut pekerjaan yang lebih mulia."

Chanyeol mengabaikannya. Seharusnya ia sudah mengibaskan ekor seperti anjing peliharaan yang dimanja tuan majikan ketika mendengar kata komputer. Satu-satunya barang yang menjaga ia tetap waras mengikuti alur dunia. Tapi kali ini atensinya berpusat pada satu titik. Pada satu orang.

Bayangkan.

Hanya perlu uluran tangan. Baekhyun dekat sekali dengannya. Begitu dekat hingga ia bisa menyentuhnya. Tidak ada lagi benua dan samudera yang membentangi jarak mereka.

Baekhyun membenarkan letak masker setelah menarik napas panjang. Ia memutus kontak mata lebih dulu, berbalik pada pepohonan lebat.

Saat itu Chanyeol tahu. Apa yang dicarinya selama ini begitu mudah untuk direngkuh.

Namun ia tidak pernah memiliki keberanian.

Dia memang pengecut.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Heh, kalau lapar itu bilang."

Kepalanya menjadi landasan dari gulungan buku yang digenggam Baekhyun.

"Punya mulut, kan? Masa aku harus mendengar langsung dari perutmu dulu?"

Chanyeol menjatuhkan bungkusan keripik kentang dari pangkuan dan mouse di bawah tangannya hampir tersenggol jatuh dari meja. Ia menoleh ke belakang sambil mengusap bekas selepet tanpa ampun barusan.

"Aw, Baekkie. Itu menyakitkan. Omong-omong kapan kau masuk ke sini?"

Baekhyun menunjuk kamera pengintai, "Kau pikir aku tidak mendengar konser perutmu dari alat penyadap suara di sini? Bekerja juga butuh waktu istirahat untuk mengisi ulang energi."

Chanyeol melirik deretan layar di depannya, menampilkan warna hijau berisi bahasa pemrograman yang rumit. Sedang mengira-ngira sudah berapa jam terlewat tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaan meretasnya.

"Oh kau yang bertugas memerhatikanku selama dua puluh empat jam pertujuh? Wow, aku tersanjung." Ekspresi menyebalkan dengan cengiran itu tak pernah bosan menggoda.

Baekhyun menunjuk nampan dengan datar, "Makan dulu atau kubuat kau menelan mangkuk nasi itu beserta sumpitnya?"

"Siap, kapten!"

Chanyeol melompat dari kursi empuknya. Merentangkan lengan dan merapatkannya lagi pada tubuh Baekhyun. Menguncinya dalam pelukan. Belum sempat Baekhyun memprotes, si hacker sudah melesat menuju sofa untuk menikmati jatahnya.

Baekhyun memutar mata lalu berjalan mendekati pintu keluar. Ia membukanya setengah dan berkata, "Aku akan kembali ke ruanganku. Biarkan saja bekas makanmu di atas meja." lalu menghilang dibaliknya.

Chanyeol tersenyum disela kunyahan. Baekhyun memang sudah sangat mudah untuk direngkuh. Ia melihatnya setiap hari. Ia bersamanya setiap detik meski melalui kamera pengawas.

Hanya saja, rengkuhan itu masih tidak ada artinya.

.

.

.

.

.


TBC


a/n: yuppp, diawal tadi adalah pertemuan pertama mereka setelah terpisah—tepat saat penyelamatan Chanyeol dari camp no. Jadi rada drama ya? Hehe.

Saya sedang stress UKK, jadi melampiaskan ke sini saja untuk ngetik. Tadinya mau kasih satu fanfic spesial valentine days tapi ternyata ga sempet, keburu lewat jauh. Maaf ya huhuhu

MAKASIH UNTUK YANG REVIEW, sumber semangat dan pendorong bahwa masih ada yang menunggu ini update [insert emoji nangis terharu]