hello.

been a while, yea?

hehe.

.

.

guys, sorry banget. ini udah berapa tahun ya. dua tahun lebih ga sih gue ngilang?

i'm sorry karena Charade belum bisa gue publish karena laptop gue rusak dan ga ada backup file nya sehingga semua draft ff gue ilang. gue jadi males nulis lagi deh. terus ditambah EXO juga seems fine dengan OT9 dan sepertinya banyak pembaca baru (ehm.. fans baru) yang ga ngerti siapa sih Kris Luhan Zitao? gue juga rada ilang feel gitu ama Hunhan dua tahun ini gegara Luhan dah punya pacar hm kzl kan gue.

.

terusss kenapa gue balik dan bikin ff baru? hehehe.

ceritanya, sekitar bulan oktober 2017 sampai dengan april 2018, gue lagi berada di titik terberat dalam hidup eaaa. di bulan oktober itu gue ada masalah banyak banget dah pokoknya pengen marah aja bawaannya. di bulan februari, gue break up. that's probably the greatest broken heart seumur hidup gue Ya Tuhan. pas lagi mau SBMPTN, UASBN, UN dll, ditinggalin oleh seseorang that means the world to you gimane coba ati lu?

jadi ketika hatiku dirundung pilu itu, aku mulai dengerin lagi lagu klasik, yang membuatku terinspirasi buat nulis lagi. numpahin semua kesedihan gue dalam fiksi dan angan yang membuatku nyaman. setidaknya, cuma nulis yang bikin gue tenang. cuma dengan cara nulis, gue bisa bikin ending semau gue. gak ada patah hati mendadak kek kemaren!

dan kabar bahagianya.. puji syukur, gue lolos SBMPTN dan dapet jurusan yang gue cita-citakan sejak SMA, yaitu Hubungan Internasional (walau gue ditolak UGM hehe gpp aqu rela). karena gue sekarang masih maba yang sok sibuk tp sebenernya ga sibuk-sibuk amat, gue jadi banyak waktu luang buat nerusin nih ff wkwk. moga aja rampung sampek tamat, amin.

ff ini gabakal panjang-panjang, paling cuma 3-5 chapter dan per chapter cuma lima ribuan kata aja. karena gue cuma pengin nekenin di bagian-bagian tertentu aja, gak berniat memperpanjang bagian romantis-romantisan biar kek drama wkwkwk. yah... semoga gak ngecewain kalian deh.

udeh ya, jan banyak bacot.

.

.

note: first chapter bakal menggambarkan kehidupan Luhan dan Sehun di masa lalu dengan alur maju mundur. jadi tolong perhatikan baik-baik tahun dan bulan yang tercantum.

.

.

.

.

here we go.

enjoy.

.

.

love, Estelle.

.

.

.

.

.

.

.

.

23 Januari 2018, Gangnam, Seoul, South Korea.

.

Lampu sorot itu memancarkan cahaya berkilauan. Lensa-lensa panjang seolah berlomba mengambil gambar terbaik, suara bising jepret demi jepret kamera serta suara nyaring sirine ambulans membuat suasana subuh yang sunyi mati menjadi hidup seketika.

Garis kuning polisi mengitari satu area tempat laki-laki itu terbujur kaku dengan setengah wajah hancur dan darah menggenang dimana-mana. Jenazah itu baru saja akan dibungkus dengan kantung mayat, ketika wartawan semakin histeris mengambil gambar dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan brutal yang bahkan tak bisa didengar dengan jelas.

"Apakah ini kasus pembunuhan berencana?"

"Apa dia berniat bunuh diri?"

"Kapan kejadian ini terjadi, Pak?"

"Apakah ada saksi mata?"

"Kronologi akuratnya bagaimana, Pak?"

"Apa kami bisa meliat cctv-nya?"

Salah satu polisi yang paling muda di sana beranjak dari posisi sebelumnya yang sedang memeriksa wajah jenazah, kemudian menatap para wartawan diiringi desahan berat.

"Kami mohon maaf, sementara ini belum ada berita akurat yang dapat kami sampaikan. Sebelum pihak berwenang berhasil mengidentifikasi profil korban dan kronologinya, kami mohon jangan terlebih dahulu menyebarkan ke massa. Terimakasih atas kerjasamanya," ujarnya panjang tepat ketika jenazah digotong menuju tenda darurat yang baru dibangun subuh-subuh tadi. Para wartawan seolah tak menggubris polisi tersebut alih-alih belalai-belalai kamera itu mengikuti arah jenazah tersebut dibawa; kembali histeris.

Polisi tersebut mengusap dahinya lelah, saat salah satu rekannya memanggilnya dari dalam tenda.

"Chanyeol, kemarilah," panggil laki-laki bertubuh gempal dengan seragam kekecilan. Satu pocky terselip di bibirnya–sama sekali tak terlihat seperti polisi yang sedang menangani kasus. Chanyeol beranjak dari tempatnya dan menghampiri pintu tenda, menyibaknya, lalu mendapati mayat yang telah dibaringkan di ranjang darurat. Tiga rekannya yang lain–termasuk Joon si gendut–dan dua relawan rumah sakit kini tengah mengitari mayat laki-laki tersebut. Chanyeol membiarkan dirinya bergabung di sana dan memeriksa wajah jenazah itu sekali lagi.

"Kami tidak menemukan identitas apapun darinya. Dompet dan handphone tidak ada, dugaan pertama mungkin saja dia dirampok dan terjatuh dari balkon," kata Byun Baekhyun–polisi pria yang berdiri di hadapan Chanyeol.

"Aku berpikir mungkin ini rencana pembunuhan. Dilihat dari luka di bagian abdomennya yang mengering, mungkin dia ditusuk terlebih dahulu sebelum terhuyung jatuh ke bawah," sahut Jongdae diiringi oleh anggukan setuju oleh Joon. Chanyeol masih tak berkomentar, sampai desahan dari pojokan tenda membuat semua orang menoleh. Itu Yixing, polisi yang bertugas mengecek cctv. Dari desahannya, sudah pasti ia tak berhasil menemukan apa yang ingin ia lihat.

"Tidak ada kejadian dirampok, dibunuh, dan lain-lain. Ia terjatuh begitu saja. Mungkin ia menusuk dirinya sendiri lalu jatuh, alias bunuh diri," jelasnya kesal. Chanyeol mengernyit mendengar penjelasannya. Ia mengalihkan pandangannya pada tubuh si mayat.

Dilihat dari cara berpakaiannya dan mantel musim gugurnya yang mahal, sudah pasti orang ini orang yang tidak putus asa dalam hal ekonomi. Chanyeol mulai meraba-raba pakaiannya, mencoba menemukan sesuatu yang cukup kuat untuk mengetahui alasannya bunuh diri.

Seketika tangannya berhenti ketika ia meraba kaus polo yang dikenakan mayat tersebut. Ia segera membuka kausnya dan menemukan satu kalung dengan liontin cincin platina di dekat luka tusuknya. Seluruh orang di sana beranjak demi mengamati liontin yang nyaris terlewat diperiksa. Chanyeol mengacungkannya dan mengernyit lebih dalam.

"Cincin tunangan, mungkin?"

Semua orang terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Joon yang selesai mengunyah pocky mengambil alih mayat dan meraba celananya. Dan benar, ditemukan lagi dua lembar kertas yang diremas-remas dalam saku skinny pants si mayat. Satu berupa struk belanja obat demam dengan tanggal yang tertera 22 Januari─yang berarti baru semalam, dan satu lagi foto 4x6 yang sudah lecek bergambar seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh belas tahun yang serasa tidak asing.

"Wajah gadis di foto itu mirip artis, bukan? Artis itu loh, yang penyanyi dan dancer?" tanya Jongdae memecah keheningan. Tak ada yang menyahut, karena memang benar dugaan Jongdae. Lalu apa hubungan obat demam, foto artis tersebut, dan cincin?

Lama tak ada suara sampai kemudian satu dari dua relawan rumah sakit yang bernama Lisa menjentikkan jarinya. "Mungkin akan terdengar aneh, tapi secara ilmiahnya, aku punya teori. Obat demam jika dikonsumsi berlebihan akan menghilangkan rasa sakit. Kegunaannya sama seperti obat bius, bahkan lebih efektif karena orang yang mengonsumsi masih bisa beraktifitas seperti biasanya. Mungkin saja kejadian ini benar murni bunuh diri. Orang ini mengonsumsi obat dengan jumlah banyak sebelum menusuk perutnya dan menerjunkan dirinya dari atap."

Perkataan Lisa seolah seperti petir di siang bolong. Chanyeol merasakan sebongkah stalaktit es melesak paksa di kerongkongannya. Baru kali ini ia melihat orang yang sebegitu putus asanya untuk hidup. Bahkan telah merencanakan kematiannya sendiri–

"…C-Chanyeol?" suara gemetar Baekhyun membangunkan Chanyeol dari lamunannya. Laki-laki jangkung itu mengerjap sejenak sebelum menatap lelaki itu yang sudah bercucuran keringat.

"Ya, Baek? Kenapa?"

Baekhyun tak berkata alih-alih menyodorkan liontin cincin platina tersebut pada Chanyeol. Laki-laki itu masih tak mengerti ketika cincin itu telah di tangannya, bahkan ketika Joon dan Jongdae sudah berjalan kesana kemari mengitari tenda dengan raut panik, ia masih tak paham.

Chanyeol berusaha tenang sejenak, sebelum memeriksa cincin itu baik-baik. Namun tak lama, benaknya membaca sesuatu yang ia yakini adalah penyebab Baekhyun pucat pasi dan rekan-rekannya kebingungan.

Tangannya bergetar hebat, dan cincin itu jatuh ke lantai. Matanya menatap Baekhyun lamat-lamat sebelum Ia berhasil berkata serak, "Hubungi Huang Zitao sekarang juga, Baek."

.

.

.

Agustus 2017, Manhattan, New York, USA.

.

Oh Sehun mendesah keras. Segelas espresso pekat di hadapannya sekarang tak berhasil membuat suasana hatinya baik. Justru menyebalkannya, espresso itu mengingatkan ia pada gadis itu. Seseorang yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan akan terlintas begitu saja di benaknya.

Harinya sungguh buruk. Lagu yang sudah ia garap berbulan-bulan tiba-tiba saja bocor di media dan Koreo untuk comeback-nya tiga bulan lagi tidak sesuai dengan yang ia konsepkan–ugh, ia benci koreografernya yang baru. Dan seperti kurang menyebalkan saja, tunangannya yang cantik kini terlambat datang.

Sehun memang sudah menelepon Zitao jika ia ingin melarikan diri dari dunianya sejenak saja, dan Sehun ingin model itu turut meluangkan waktunya dan menemaninya kabur dari harinya yang kacau ini. Namun bodohnya Sehun, ia lupa jika model tidak bisa melarikan diri. Jadi terpaksa ia harus menunggu sembari menikmati segelas espresso kesukaannya. Namun bukannya ketenangan seperti biasanya yang ia dapatkan, malah bayangan gadis itu yang menghantui pikirannnya.

Bagaimana bisa? Mereka sudah berakhir berbulan-bulan lamanya, dan selama itu pula Sehun tidak pernah memikirkannya. Sekarang ia tengah duduk sendirian di toko kopi dengan secangkir espresso, dan dengan kurang ajarnya gadis itu menelusup masuk dalam benaknya.

Rindu? Semoga tidak.

Sehun berharap ini bukan perasaan rindu atau semacamnya. Ini mungkin hanya reaksi normal manusia yang begitu hebat dalam hal kilas balik setiap kali sesuatu mengingatkan mereka pada masa lalu. Seperti toko kopi ini. Dan tempat duduk ini. Dan juga, espresso ini.

Sehun mendengus kecut sebelum mengalihkan pandangannya keluar dinding kaca besar di sampingnya, pada hiruk pikuk New York di siang hari. Matanya langsung tertumbuk pada papan reklame raksasa di jalan raya, menampilkan foto eksklusif gadis cantik yang namanya kini melejit di peringkat pertama laman pencarian dunia.

Sehun mendengus lagi. Tentu saja, Nation's First Crush, siapa yang tidak kenal? Bahkan fotonya dipajang di papan reklame paling mahal seantero New York. Namun bukan itu yang membuat Sehun mendengus. Melainkan fakta bahwa gadis di papan reklame adalah gadis yang sama di masa lalunya. Gadis yang baru saja terbenak dalam pikirannya. Mantan kekasihnya, Luhan.

"Bodoh."

"Siapa yang bodoh?"

Sehun berjengit dan seketika mendongak. Kedua netranya disuguhi pemandangan Huang Zitao dengan make up dempul khas pemotretan, menatap Sehun penuh minat. Ia membanting pantatnya kembali ke kursi–yang entah sejak kapan terangkat beberapa senti–dan mendesah keras. Huang Zitao segera menempati kursi di hadapannya, membuat Sehun bersusah payah meneguk ludah.

Itu kursi Luhan, pikirnya.

"Bukan siapa-siapa," sahut Sehun kemudian. Zitao menampilkan satu senyuman ringkas sebelum memanggil pelayan. Sementara itu, Sehun kembali melemparkan pandangan keluar jendela–bukan papan terkutuk itu lagi, Demi Tuhan–dan menatap keramaian kota. Bertanya-tanya apakah salah satu atau dua dari orang-orang itu ada yang merasakan hal yang serupa seperti apa yang ia rasakan sekarang. Kacau balau. Rasanya ingin pergi ke Pegunungan Tibet saja supaya diasuh oleh Yeti dan hidup bahagia selama-lamanya.

"Jadi, bisakah kau jelaskan mengapa kau bisa ada di sini? Bukannya hari ini kau ada jadwal latihan koreo?" tanya Zitao lancar, seolah sudah mengetahui apa yang sedang terjadi sekarang. Satu decakan lolos dari bibir Sehun.

"Ck, si Frank bodoh itu mengacaukan konsepku."

Satu alis Zitao dikernyitkan. "Konsepmu yang mana? Seingatku kau bahkan tak pernah membuat konsep dan selalu bergantung pada koreografer semenjak tour-mu yang terakhir."

"Koreograferku baru. Bukan Frank yang dulu, sekarang dipegang adiknya yang juga bernama Frank."

Senyuman lemah tersungging di bibir Zitao ketika Sehun menggerutu. "Lalu kenapa kau sekarang malah kabur dan menyusahkanku?"

Sehun berdecak dan menatap Zitao kesal. "Apa maksudnya menyusahkanmu?"

"Begini, Sehun," Zitao merapikan setelan Louis Vuitton-nya sebelum kemudian melanjutkan. "Aku akan pergi ke Orlando sementara waktu. Mungkin berminggu-minggu. Besok siang aku sudah harus berkemas dan siap pergi lusa. Oleh karena itu, kau juga harus segera selesaikan urusanmu sebelum aku pergi. Jadi kita bisa bersenang-senang menikmati waktu yang tersisa–"

"Tidak," potong Sehun cepat. Ia beranjak dari duduknya dan menarik tangan Zitao untuk berdiri juga. "Aku tidak akan menyelesaikan apapun. Hari ini adalah hari kita."

Zitao mengernyitkan alis bingung, membuat Sehun maju beberapa inchi untuk mengecup puncak kepalanya. "Aku merindukanmu, Zi. Setidak peka itukah kau?" lenguh Sehun lemah. Zitao tak bisa menahan senyumnya sebelum kemudian mengangguk dan melingkarkan lengannya pada lengan Sehun.

Mereka beranjak dari kursi tepat setelah Sehun menyelipkan beberapa lembar dolar di atas buku menu. Masa bodoh dengan kopi Zitao yang belum datang. Jika Sehun berkata merindukannnya, itu berarti hanya ada satu jawaban. Dan Zitao hapal betul apa itu.

.

.

.

Gadis itu mendecak keras ketika lagu di kafe berganti tepat setelah berita di TV menayangkan kabar terkini tentang pertunangan musisi dan dancer Oh Sehun dengan model Asia Huang Zitao. Kafe yang semula memutarkan lagu ngebeat kekinian, tiba-tiba saja merubahnya menjadi lagu lawas dari Austin Mahone, All I Ever Need. Lagu yang anti-banget-deh baginya.

Luhan, gadis itu, mengaduk saladnya kelewat semangat dengan bibir mengerucut. Satu tangannya meraih wireless earphone-nya dan menyumpal telinganya cepat-cepat. Mencegah lirik lagu nista tersebut semakin merusak gendang telinganya.

Kurt dan Harris di hadapannya terkekeh samar. Sudah berbulan-bulan lamanya hubungan temannya itu dengan Oh Sehun berakhir. Namun tiap kali berita itu muncul di TV, atau tiap kali seseorang memutar lagu-lagu sentimentil seperti lagu ini, Luhan masih kesal setengah mati.

"Wow. Just wow."

"Shut up, Douchebags."

Kurt tertawa renyah melihat Luhan yang seperti baru saja disuntik botox. Harris yang jahil dengan sigap meraih ponsel dan menjepret Luhan yang masih bertahan dengan ekspresinya, membuat si gadis menyambar iPhone X miliknya dari tangan Harris dengan marah.

"Kalian lebih baik diam atau nasib hidung kalian akan sama seperti saladku," tukas Luhan yang tak digubris kedua temannya.

"Sudah berbulan-bulan kalian berpisah, kenapa kau masih kesal ketika mendengar lagu ini?" tanya Harris sambil melempar satu kukis masuk ke dalam mulutnya.

Luhan berdecak. "Karena lagu ini jelek, dan kenangan tentang lagu ini juga jelek."

"Sejelek apa?"

"Jelek banget."

"Melakukan koreo duet dengan Oh Sehun untuk lagu ini itu termasuk kenangan jelek?"

Satu tissue basah berhasil mendarat di wajah Kurt, namun tawa keduanya semakin puas. Berlawanan dengan muka Luhan yang masam. Sudah harinya ini buruk, ditambah lagu dan berita yang tidak mengenakkan, belum lagi kedapetan tugas mengurus dua bocah tidak tahu diri ini.

Seharian ia kena omel pelatihnya, terlebih lagi perihal isu lagu barunya yang dianggap plagiat lagu Hivibes, grup duo jebolan agensi yang baru naik daun (Luhan tak habis pikir bagaimana ia bisa dituduh punya keinginan untuk menjiplak karya juniornya yang lagunya juga begitu-gitu saja). Dan kini ia harus mau tidak mau mendengar apa yang dikatakan presenter pembawa acara gosip tidak penting di layar TV milik kafe.

"…pertunangan mewah ini hanya dihadiri oleh segelintir selebriti dan beberapa kerabat dekat. Berikut cuplikan foto-foto pertunangan mereka…"

Terkutuklah mata Luhan yang tak tahan untuk tidak melirik pada layar TV. Sial, kini ia melihat mantan kekasihnya bersama Huang Zitao berbalut setelan rose gold sedang berpose di spot garden engagement party ala-ala mereka.

"Sudah-sudah, tidak usah dilihat lagi. Jadwal padat di depan mata, Bos, dan kau belum membayar semua makanan ini," ucap Kurt yang membuat Luhan semakin keki.

Selepas membayar semua tagihan, mereka berpisah di persimpangan. Baik Kurt dan Harris harus segera kembali ke studio mereka di Brooklyn karena produser tidak bisa menanti, sedangkan Luhan harus pergi mencari hadiah kecil untuk Jongin, kekasihnya yang sekarang. Kini, ia harus berjalan seorang diri dengan masker dan jaket menulusuri jalanan Broadway yang panjang.

Luhan menghela napasnya, berusaha mengusir angin dingin musim gugur yang akan segera tiba. Entah sejak kapan hidup seorang diri di sini terasa sangat berat. Sejauh yang ia ingat, New York selalu menjadi destinasi yang paling ia suka dari seluruh tempat di penjuru dunia. Tapi entah sejak kapan, hiruk pikuk ini tak lagi membuatnya rindu.

Di sepanjang jalan yang ia telusuri, tak pernah sekalipun ia menemukan sepi. Semua orang tahu, New York, tidak pernah padam. Namun kini ia menyadari langkahnya terkatung-katung seolah tubuhnya membawa kekosongan yang cukup lama menetap dalam relung hati.

Ia dan New York adalah dua entitas yang berbeda. Setidaknya sampai ia tahu kalau tujuannya bertahan di sini tidak lagi ada di sisinya. Berat rasanya jika dipikir-pikir. Seorang yang paling ia andalkan, ternyata tidak merasakan hal yang sama dengannya. Orang yang bermakna segalanya, ternyata tidak menganggapnya sesuatu yang sama pula.

Tak terasa satu air mata lolos dari pipi Luhan. Mengapa masih sakit mengetahui kenyataan, padahal sudah berbulan-bulan lamanya? Bukannya ia sendiri yang memutuskan tidak mendengarkan penjelasan Sehun dan lebih memihak pada karir masing-masing yang cermelang? Bukankah ia berbuat seperti itu? Lalu mengapa sekarang ia merasa bahwa ia telah melakukan sesuatu yang salah?

Cepat-cepat Luhan mengusap air matanya seraya menaikkan maskernya untuk berkamuflase dengan segelintir orang di jalanan yang sibuk. Ia menggeleng cepat. Tak seharusnya ia memikirkan hal itu di saat seperti ini. Karena sekarang hal yang perlu ia lakukan hanyalah membeli kado untuk Jongin, meminta pegawai untuk membungkusnya dengan rapih, lalu kembali ke studio. Tidak ada ruang untuk Oh Sehun dalam pikirannya hari ini. Sedikitpun tak ada. Seharusnya memang begitu sedari dulu.

Seharusnya.

.

.

.

Maret 2015, Brooklyn, New York, USA.

.

Sehun menelengkan kepalanya ke kiri dan kanan sekedar melemaskan otot yang kaku dan membuat gerakan-gerakan menggeliat singkat pada sofa panjang studio labelnya, sebelum kemudian beranjak dari sana. Ia menyambar botol minum terdekat sebelum membuka tutupnya dan menenggak air, sedangkan tangannya yang bebas melambai pada beberapa kru dancernya yang masih berkumpul di tengah ruangan. Mereka semua balas melambai pada Sehun, menandakan salam perpisahan, sebelum Sehun melangkahkan kakinya keluar ruangan koreo dan menyusuri lorong panjang studio. Sesekali ia melirik arloji. Ia harus segera menghadap bos besar dan produser untuk membahas projek film Step Up 7 yang akan dibintangi oleh seluruh kru labelnya, termasuk ia sendiri, dan kini ia sudah terlambat kurang lebih 5 menit.

Selama kakinya berarak ke arah persimpangan lorong, jemarinya tak luput untuk men-scroll layar ponsel yang menampilkan jadwalnya seharian, sekedar memastikan apa yang harus ia lakukan di hari yang sibuk ini. Namun ketika ia merasa sepatunya tak lagi menapak tanah alih-alih menginjak sesuatu yang lembut dan diiringi dengan jeritan keras, Sehun mendongak dari ponselnya.

Kedua obsidiannya menemukan sesosok gadis berusia sekitar tujuh belas tahun berperawakan Asia yang merintih dan melompat-lompat kecil sambil menyentuh ujung sepatunya. Ia masih tidak sadar apa yang terjadi sampai gadis itu mendongak dan kedua mata mereka bertemu dalam satu pagutan panjang. Sejenak hanya keheningan, sampai kemudian gadis itu tergagap-gagap menunduk hormat.

"Maafkan aku karena telah menghalangi jalanmu," katanya dengan bahasa inggris berdialek mandarin kental. Sehun menatap gadis itu intens sebelum mengangguk kecil.

"Tidak masalah. Aku yang menginjak kakimu, jadi aku yang jahat disini. Tapi aku yakin sedikit injakan kecil tidak akan membuatmu pincang," ucap Sehun cepat. Gadis itu membaca ekspresi Sehun dengan cepat lalu kembali menunduk.

Sehun yakin benar jika ia belum pernah bertemu dengan gadis ini. Rambut sebahu dengan poni yang kelewat panjang berwarna cokelat hazel yang senada dengan warna irisnya, dan juga pakaian seadanya semakin membuat Sehun yakin kalau gadis ini anak baru. Ia mencatat dalam hati bahwa ia harus menyuruh Trischa untuk mengenalkan gadis di hadapannya ini pada fashion, nanti.

"Ya, aku percaya sedikit salep akan membuatku lebih baik," ucap gadis itu lugas. Sehun tersenyum tipis sebelum diam-diam memberi nilai delapan dari sepuluh untuk si gadis. Dari cara berbicaranya yang percaya diri, Sehun masih dapat mempertimbangkan gadis ini untuk berada di kelas menarinya, terlepas dari cara berpakaiannya yang ketinggalan jaman.

"Katakan, apa kau baru?" tanya Sehun sembari memasukkan ponsel ke dalam saku celana.

"Ya, lolos audisi Januari yang lalu."

Ah, Sehun tahu siapa gadis ini.

"Kau Luhan? Dari Beijing, ya?"

Pertanyaan Sehun disambut dengan senyuman cerah dari orang yang ditanya. "Benar. Senang sekali Anda tahu namaku," tukasnya ceria. Sehun tak bisa untuk tidak ikut tersenyum.

"Well, aku Oh Sehun. Senang bertemu denganmu, Luhan."

Sehun menyodorkan tangannya; menunggu untuk dijabat. Luhan melirik tangan itu sekilas sebelum mengelap telapak tangannya ke belakang pakaiannya; entah karena apa. Namun belum sempat Sehun memikirkannya, tangannya sudah terlebih dahulu dijabat dengan dekapan tegas oleh Luhan.

"Suatu kehormatan untuk bertemu dengan Anda juga, Oh Sehun."

Hari itu, di bulan pertama musim semi, mereka bertemu satu sama lain untuk pertama kalinya.

.

.

.

Desember 2015, Brooklyn, New York, USA.

.

"Kau yakin tidak mau ikut dengan kita?"

Luhan mendongak dari cermin besar di hadapannya ke arah sumber suara. Di ambang pintu terlihat Kurt dan Harris─si kembar yang dua tahun lebih muda dari Luhan─berserta Trischa, Ella, dan Jongin sedang berdiri menatap ke arahnya; menunggu jawaban.

Dengan lembut ia menggelengkan kepalanya.

"Kalian tahu aku ingin ikut, tapi aku tak bisa. Debutku tinggal berapa minggu lagi dan aku bahkan belum hapal verse pertama. Sampaikan saja salamku pada Marshall."

Trischa berdecak kecil mendengar jawaban Luhan. "Aku tahu kau sibuk, tapi kau juga sekali-kali butuh hiburan, Luhan. Ingat, tubuh kecilmu itu bukan mesin yang mampu bekerja sepanjang waktu."

"Benar itu! Sekali-kali ikutlah bersama kami sebelum kau menjadi artis dan semakin sibuk," timpal Jongin diikuti anggukan dari empat yang lainnya.

Luhan menghela napas sebelum memulai wejangan panjang ini itu terhadap kelima temannya. Setelah beberapa perdebatan kecil yang memakan waktu, akhirnya Luhan berhasil membuat mereka semua rela pergi ke pesta ulang tahun Marshall tanpa dirinya.

"Kau tak apa sendiri disini?" tanya Jongin lagi memastikan, dan dijawab anggukan pelan dari Luhan.

"Tentu. Bersenang-senanglah. Aku akan menelepon setiba di flat nanti."

Setelah kelima temannya hilang di persimpangan koridor bersamaan dengan lambaian singkat dari si kembar, Luhan telah resmi sendirian di ruang latihan. Ia mendesah panjang sebelum berguling ke tengah ruangan. Ia meregangkan kedua tangan dan kakinya yang lelah sehabis menari seharian, sementara kedua obsidiannya menerawang lurus ke langit-langit.

Ketika matanya nyaris terpejam, samar-samar ia mendengar dentum-dentum lagu yang diputar keras melalui speaker dari ruangan sebelah. Sejenak ia terdiam disana sekedar memastikan pendengarannya pada beats lagu yang serasa familiar ini, namun karena tidak betah hanya diam ia memutuskan untuk beranjak dan mengintip ruang sebelah.

Melalu celah pintu yang terbuka, Luhan dapat melihat Oh Sehun, seniornya yang sudah lama menjadi anak emas di agensi ini berkat namanya yang selalu berada di puncak teratas laman pencarian dunia. Rambutnya yang cepak keabuan terlihat basah oleh peluh yang mengucur sampai ke pelipis dan tengkuknya yang terbuka. Kaus V-neck putih yang longgar terlihat begitu lekat di tubuhnya karena keringat, gerakannya yang lincah dan tegas mengikuti irama lagu, serta mata tajamnya yang selalu menunjukkan bentuk independen sesosok remaja yang hidup sendiri di belantara New York yang tak pernah mati, membuat siapapun pasti akan tersihir sejenak untuk sekedar mengaguminya.

Termasuk Luhan.

Berkat mata itu, tak sulit bagi Luhan untuk jatuh hati pada sosok Oh Sehun ketika pertama kali mereka bertemu beberapa bulan yang lalu.

Lagu tiba-tiba berhenti.

Luhan yang baru saja sadar jika ia berdiri terlalu dekat dengan celah pintu segera bersembunyi di balik tembok sesaat setelah ia tahu kalau Sehun menyadari kehadirannya disana. Ia merutuki dirinya yang bodoh, sembari berusaha menahan degup jantungnya agar tak terdengar sosok yang kini tengah melangkahkan kakinya ke arah pintu.

"Luhan?"

Sudah terlambat. Sosok itu telah menangkapnya. Oh Sehun pasti kini menganggap Luhan semacam stalker atau apa. Gadis itu menatap takut-takut ke arah Sehun.

"M-Maafkan aku, aku hanya menonton sebentar. Aku berada di ruangan sebelah ketika mendengar lagu yang diputar dari sini. Maafkan kelancanganku karena telah mengintip."

Bibir Luhan bergetar ketika mengatakannya. Namun Oh Sehun di hadapannya terlihat tenang dengan satu senyum khas tersungging.

"Yah, sayang sekali aku tidak tahu kau di ruangan sebelah. Kukira kalian semua sekarang pergi ke ulang tahun Marshall. Maafkan aku jika suara musikku terlalu keras sehingga mengganggu latihanmu."

Luhan melotot mendengar penjelasan Sehun. "Tidak, tidak! Kau tidak mengganggu sama sekali. Justru mimpi apa aku semalam dapat melihatmu menari sedekat ini," ucap Luhan melirih di kalimat terakhir, dan disambut dengan kekehan ringan dari si lelaki.

"Senang mendengarnya kalau begitu. Aku hanya ingin menikmati waktu senggang untuk sekedar melakukan freestyle sebelum pulang untuk liburan Natal."

Ah, ya. Liburan Natal. Menyedihkannya, Luhan tidak punya kampung untuk didatangi selama liburan nanti. Sepertinya ia akan menghabiskan waktunya di New York alih-alih kembali ke panti asuhannya di Beijing.

"Kau kenapa cemberut begitu? Ada masalah?" tanya Sehun sembari menenggak minuman isotonik yang digenggamnya entah sejak kapan. Luhan menggeleng sebagai balasan. "Aku lupa kalau sebentar lagi Natal. Mungkin itu sebabnya teman-teman kesal padaku karena tetap latihan di saat-saat menyenangkan seperti ini."

Sehun terkekeh sebelum meremas botol minumanya dan membuangnya di tempat sampah.

"Tak ada yang berhak kesal padamu akan itu. Lagipula, aku juga tidak suka Natal. Natal terlalu banyak dipenuhi bajingan hipokrit yang menjilat demi jatah warisan."

Keduanya tergelak seketika.

"Sepertinya kau memiliki kenangan buruk tentang itu, Sehun."

Sehun mengernyit seolah Luhan adalah satu-satunya manusia yang menyukai Natal dari seluruh penghuni bumi. "Memangnya kau suka Natal?"

Luhan mengerjap. "Justru sepertinya kau adalah manusia pertama yang tidak suka Natal yang pernah kutemui," ucapnya yang disambut dengan cibiran Sehun.

"Kau belum hidup selama aku. Tunggu beberapa tahun lagi, dan kau akan mendapati dirimu ingin muntah mendengar lagu-lagu gereja sepanjang jalan dan berharap semoga liburan lekas berakhir."

Luhan mengangguk-angguk diplomatis. "Aku akan menunggu untuk itu."

Sejenak mereka hanya saling menatap. Sehun menyandar pada pintu dengan dua tangan di saku celana sedangkan Luhan berdiri di hadapannya, dengan cepolan rambut berantakan dan poninya yang sudah dipotong rapih. Legging-nya yang ketat tiba-tiba terasa tidak nyaman ketika Sehun menatapnya intens.

"Berapa usiamu, Luhan?"

Gadis itu mendongak ketika Sehun tiba-tiba menanyakan sesuatu yang tidak terduga. "Ehm, delapan belas. Ada apa?"

Sehun mendengus seolah Luhan baru saja membacakan Al-Kitab padanya.

"Cukup mengejutkan mengetahui gadis Asia sepertimu memanggil sosok yang lebih tua tanpa embel-embel 'Kakak'. Panggil Oppa," tukasnya final. Tentu Luhan tahu kalau Sehun berasal dari Seoul dan ia juga tahu betul apa arti Oppa karena kata itu sering diucapkan di drama-drama, oleh karena itu Luhan tertawa dibuatnya.

"Akan kupikirkan nanti."

Sehun tersenyum miring sebelum berbalik menuju ruangan.

"Kau ingin masuk sebentar? Koridor terlalu dingin bagi diriku yang tidak bermantel, dan kelihatannya sedikit duet lumayan oke untuk menghangatkan diri," tawar Sehun seiring melangkahkan kakinya ke tengah ruangan. Luhan tidak bisa untuk tidak mengikuti langkah lelaki itu.

"Duet katamu?" tanya Luhan di balik tawa ringannya yang disambut dengan anggukan mantap Sehun.

"Bergerak membuatku berhenti berpikir. Dan berpikir membuatku gila," tukasnya sembari menggerakkan tangan dan kakinya membentu sedikit pola freestyle yang menakjubkan.

"Aku khawatir ide duetmu itu akan menjadi masalah bagimu. Kau tahu Oh Sehun, aku bukan penari yang hebat."

Ucapan Luhan disambut dengan gelak tawa Sehun yang menggema ke seluruh penjuru ruangan.

"Well, barusan itu adalah satu kalimat yang berhasil membuatku tertawa lepas untuk pertama kalinya dalam seminggu ini," sambut Sehun, masih dengan tarian-tarian menariknya.

"Kau tidak mungkin debut tiga minggu lagi jika kau payah dalam menari. Kau tahu selera Frank cukup tinggi untuk meloloskan satu solois ke dunia hiburan yang bebas," sambungnya lugas.

Luhan masih menimang-nimang apa yang harus ia lakukan sebelum ia memutuskan untuk berjalan ke arah speaker di ujung ruangan, lalu menyentak tombol 'ON' sehingga satu lagu terputar dengan keras.

"All I Ever Need. Pilihan yang bagus, Nona."

Sehun mulai bergerak sesuai irama. Semua gerakannya begitu menakjubkan sehingga Luhan tersihir. Matanya tak luput dari tubuh lelaki itu sampai kemudian lagu telah tiba di verse kedua. Luhan tak ingat detil apa yang terjadi, namun sepanjang otaknya merekam kejadian itu, ia hanya tahu Sehun menarik tangan Luhan dan mereka beradu dalam satu tarian panjang.

Malam itu, di malam pertama musim dingin, keduanya mendapati diri masing-masing telah jatuh cinta.

.

.

.

November 2016, 10 Avenue d'léna, Paris, France.

.

Ruangan berukuran 6x8 meter persegi itu terlihat begitu berantakan. Kantung-kantung belanja dari rumah mode paling mahal seantero Paris berserakan dimana-mana; lantai, sofa, dan dimanapun sejauh mata memandang. Satu gaun penuh dengan balutan bubuk amethyst tergeletak mengenaskan di bawah kaki ranjang dengan bagian lengan sobek, membuat serpihan berliannya jatuh ke karpet yang tak kalah mahalnya. Seluruh ruangan terasa lembab khas aroma seks walau jendela balkon di depan ranjang terbuka lebar, menampilkan view sang Eiffel berdiri gagah di tengah peradaban Paris yang tak lelap.

Di tengah ranjang, sepasang pria dan wanita tengah beradu dalam pagutan panjang; tanpa sehelai benangpun membalut tubuh keduanya. Tak peduli udara dingin bulan Desember menusuk sampai tulang.

"Kau tahu Oh Sehun, seluruh dunia bisa saja tengah menatap kita melalui jendela balkon yang terbuka," ucap si wanita tersengal-sengal. Rambut hitam sepinggulnya basah karena keringat, pipinya kemerah-merahan karena nafsu yang melambung sampai di puncak kepala.

Lelaki itu tampak tak peduli dan semakin membenamkan kepalanya pada ceruk leher wanita di bawahnya yang diikuti dengan erangan menggoda.

"Justru itu yang aku inginkan. Itu yang aku butuhkan saat ini. Aku ingin namaku dan namamu terpajang di headline New York Times tepat setelah aku bangun esok hari," ucapnya tepat sebelum keduanya melenguh panjang menandakan klimaks yang memabukkan.

Setelah beberapa menit dihabiskan mengatur napas masing-masing, Huang Zitao, wanita itu, sudah bersiap untuk beranjak dari tempat tidur dan mandi namun Oh Sehun menahan lengannya.

"Tiga puluh menit jelas tidak cukup untuk malam ini, Huang. Kau pikir wartawan-wartawan gila itu dapat mengeruk informasi tentang kita hanya dalam waktu tiga puluh menit? Kau pasti membual jika berkata 'Ya'."

Zitao mendengus di bawahnya. "Tidak perlu takut. Jika yang kau inginkan sekarang adalah berita perselingkuhan antara aku dan kau, aku bisa membayar beberapa jurnalis kenalan Papa untuk mengarang cerita untuk itu, dan dapat dipastikan kau akan menemukan judul itu tepat sebelum kau mendapatkan sarapanmu besok. Jadi sekarang minggir. Aku ingin mandi," ujar gadis itu seraya mendorong Sehun ke samping. Namun lagi-lagi usahanya gagal. Laki-laki itu terlalu kuat.

"Apa lagi?" tanya Zitao dengan nada jengah khasnya. Sehun menatapnya tajam tepat di mata sebelum berbicara, "Aku benar-benar serius denganmu, Zi. Aku ingin kita segera bertunangan tepat setelah berita itu tersebar."

Zitao meneguk ludah susah payah. Matanya, walau bergetar takut, bersua dengan kedua netra Sehun. Sejauh yang ia lihat, hanya ada kabut nafsu dan amarah yang meluap-luap dari sana. Zitao sama sekali tak menemukan ketulusan yang ia cari ketika Sehun mengucapkan kalimat sakral barusan. Oleh karena itu, ia menghela napas panjang.

"Kau tidak terlihat seperti Sehunnie lima tahun yang lalu."

Sehun mendesis.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Zitao!"

Namun gadis itu hanya menatapnya teduh.

"Apa kau yakin dengan pilihanmu?"

"Seratus persen yakin."

Zitao menyunggingkan satu senyum lemah sebelum menyisir rambut hitam pendek cepak lelaki di hadapannya dengan tangan kanannya yang bebas. Ketika Sehun lengah, gadis itu dengan cepat mencengkeram tengkuk dan lengannya lalu membalik tubuh mereka. Kini gadis itu berada di atas. Namun tak lama Sehun berhasil mendorongnya sehingga keduanya berada dalam posisi duduk; berhadapan.

"Apa maksudmu, hah?!" Sehun bersiap untuk mencaci sosok di depannya jika saja gadis itu tak berhasil membuatnya bungkam.

"Apa kau bersungguh-sungguh ingin menikah denganku ketika hatimu meneriakkan sebaliknya, Oh Sehun?"

Zitao membaca ekspresi lelaki itu dengan cepat. Bibir Sehun bergetar karena entah suatu kalimat yang tertahan disana dan tak bisa ia ucapkan.

"Kita hanya berbagi malam singkat, Sehun. Aku mau tidur denganmu beberapa kali bukan berarti aku mau menikah denganmu," ucap Zitao ketika ia mendapati Sehun hanya menatap seprai hotel yang kusut akibat aktivitas mereka beberapa saat yang lalu. Suara detik jam terasa begitu mencekik ketika tak ada satu dari mereka yang berbicara. Hanya keramaian Paris di malam hari dan pemandangan menakjubkan menara ikonik yang hanya membuat Zitao bernafsu untuk memuntahkan makan malamnya.

Zitao dan romantisme, sangat bertolak belakang. Dan entah sial apa dia sekarang, harus duduk berdua dengan teman masa kecilnya. Di Shangri-La Paris. Telanjang. Membahas suatu entitas yang tak pernah bisa gadis itu pahami; cinta.

"Kau datang kepadaku untuk sekedar menyalurkan hasratmu dan selalu disertai emosi yang meluap-luap. Tidak ada cinta di sana. Tidak ada sorot cinta untukku seperti yang selalu kau berikan pada Luhan."

Jackpot.

Zitao tepat sasaran. Karena tepat setelah ia menyebut nama itu, ia melihat punggung Sehun menegang dan tangannya gemetar; entah karena apa. Sedetik kemudian Zitao paham seberapa pentingnya Luhan bagi laki-laki ini.

"Paham apa kau tentang cinta, Zitao?" geram lelaki itu dari celah-celah giginya yang terkatup rapat; menahan air mata yang bisa luruh kapanpun. Sehun bisa saja meledakkan seisi Shangri-La, namun alih-alih takut, Zitao malah mengeluarkan suara tawa kecil yang terdengar tidak ramah.

"Ya, tahu apa aku tentang cinta? Yang kutahu hanyalah mencari pundi-pundi dolar itu untuk sekedar memuaskan dahagaku terhadap rancangan cerdas rumah mode internasional," tukas Zitao cepat. "Namun setidaknya aku lebih tahu cara yang beradab untuk menyudahi suatu hubungan alih-alih bersembunyi dari kenyataan kemudian memanfaatkan sahabatnya sebagai alat pembuat gosip. Setidaknya, Oh Sehun, aku yang tidak tahu cinta ini, bukanlah sosok pecundang sepertimu."

Rahang Sehun bergetar. Zitao menghela napas panjang sebelum meraih jemari Sehun yang terkulai lemas. Jemari itu dingin, lebih dingin dari Sungai Seine di musim gugur. Ia membawa telapak tangan itu ke pipinya.

"Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi antara kau dan Luhan, namun aku berharap kau bisa menyelesaikannya sebelum kau memantapkan hatimu. Mau kau apakan sebenarnya hidupmu ini."

Sejenak hening menguasai, sebelum satu kalimat magis tergelincir dari bibir Sehun, "Aku mencintainya, Zi."

Dan malam itu, selama empat belas tahun ia mengenal Sehun, itu adalah kali pertama Zitao melihat Sehun begitu rapuh dan tak berdaya. Malam itu, malam terakhir musim gugur, Sehun menangis meraung-raung dalam pelukan sahabat kecilnya.

.

.

.

Januari 2017, Manhattan, New York, USA.

.

Luhan meringkuk dalam ranjang dengan sepatu masih melekat pada kakinya. Sinar matahari pagi seakan menyoroti figur sempurnanya dari selambu jendela apartemennya. Rambutnya yang dipotong pendek sebatas tengkuk berantakan di atas bantal, begitu juga dengan lipstiknya yang mengotori sisi rahang bawahnya. Di sudut ruangan, turntable memutar vinil-vinil lagu dari Cigarretes After Sex yang semakin membuat dadanya naik turun. Di sampingnya, tergeletak ponsel keluaran terbaru yang sedang membuka laman New York Times.

DANCER DAN AKTOR OH SEHUN CHECK-IN DI HOTEL MAHAL BERSAMA MODEL TERNAMA ASAL ASIA?

Sebagian akal sehat Luhan berkata bahwa ini tidak benar─seseorang bisa jadi membuat berita hoax untuk menjatuhkan beberapa pihak. Namun Luhan juga tidak bisa tidak percaya, jika berita tersebut mencatumkan beberapa foto yang memperlihatkan sosok lelaki dengan topi dan kacamata hitam menggandeng wanita tinggi semampai masuk ke dalam lift Shangri-La bersama. Foto itu diambil secara diam-diam dan terlihat amatir, tapi Luhan tak bisa memungkiri bahwa lelaki itu benar-benar kekasihnya.

Setetes air mata jatuh dari mata Luhan, namun cepat-cepat gadis itu menyekanya. Dengan cepat ia menyambar ponsel lalu menekan speed dial 1, lalu berjalan ke arah balkon. Berharap kekasihnya itu segera mengangkatnya dan tak keberatan untuk sekedar berbicara baik-baik mengenai berita tersebut.

Telepon diangkat di detik terakhir, dengan suara serak khas bangun tidur. "Ya?"

Luhan tak tahu darimana ia harus berkata karena di samping masalah ini, ia dan Sehun sudah lama tidak berbicara─Luhan sendiri tidak tahu pasti alasannya. Terakhir kali ia bertemu Sehun adalah dua minggu yang lalu, di malam tahun baru, di gedung agensi mereka. Keduanya tanpa sengaja bertemu di lorong tempat pertama kali mereka bertemu dahulu, kedua mata terkunci sejenak. Hanya ada sapaan ringan dan senyum singkat dari keduanya, sebelum kemudian melalui satu sama lain tanpa berniat untuk berbalik dan memeluk, sekedar menangis dan menceritakan beratnya hidup yang mereka jalani selama ini.

Luhan menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Oppa?" tanyanya hati-hati. Sejenak tak ada jawaban dari seberang, sebelum suara lirih Sehun kembali terdengar, "Ya, Lu. Ini aku."

Satu air mata lolos dari kedua netranya, dan kali ini Luhan tak berniat untuk mengusapnya sama sekali. Betapa ia merindukan suara ini. Betapa ia ingin sosok pemilik suara ini berada di sisinya sekedar untuk berbicara tentang kehidupan dan seisinya.

"Maafkan aku."

Suara tercekik aneh keluar bersamaan dengan kalimat itu dari mulut Luhan. Bersusah payah ia menahan suara tangisnya terdengar oleh orang di seberang, namun usahanya sia-sia. Sehun jelas tahu ia sedang menangis.

"Jangan menangis, Xiaolu.."

Luhan menggeleng, berharap Sehun melihatnya.

"Semuanya baik-baik saja, kan, Oppa?"

Hening.

Tanpa sadar Luhan mulai menghitung mundur.

Tiga.

Dua.

.

.

"Semuanya tidak baik-baik saja, Lu."

Ya, ini semua telah berakhir.

Hanya mendengar kalimat itu dari Sehun, Luhan sudah dapat menyimpulkan. Semua berita itu benar adanya. Tidak ada hoax. Pria dalam foto itu benar adalah Sehun. Berita itu tidak membual seperti apa yang dipikirkan Luhan. Dan hanya mendengar kalimat itu, Luhan tak lagi dapat membendung tangisnya.

"Katakan padaku, Oppa, perbuatan keji apa yang telah kuperbuat sampai membuatmu meninggalkanku seperti ini?"

Sudah. Berakhir sudah cinta pertamanya.

Musim dingin kali itu terasa begitu menusuk, sampai-sampai Luhan dapat mendengar suara retakan hatinya sendiri. Luruh bersama tangis tiada henti.

.

And I can still hear the sound of you crying through the night
there in the opera house with no one else for miles

.

.

.

To Be Continued

.

.

hehehheehehehheehehehehehheh.

.

bacotnya udah di awal tadi kan, sekarang gausah bacot lagi. sampai bertemu di chapter selanjutnya. mumumu :*