Bungo Stray Dogs by Asagiri Kafka & Harukawa Sango

So Hard To Say It: Shougakkou by SarahMaula157Kila0ooo

Cover image dimiliki oleh yang membuat, editan kalimat oleh saya

Warning: Typo, OOC, genderbender, AU, gajeness, garing kriuk-kriuk, dwwl…

A/N: Sebuah fanfiction BSD berseri dengan judul "So Hard To Say It", dan ini adalah bagian sekolah dasar atau shougakkou dari serial ini :)

Cover image mengandung spoiler :)

A Soukoku fanfiction [AU!school, fem!Chuuya]

Sistem sekolah campur Indonesia-Jepang :)


Senja yang telah menyelimuti Kota Yokohama itu tidak menunjukkan bahwa hari sesore yang dikatakannya. Di suatu ruang kelas pada sebuah sekolah dasar Yokohama tampak seorang anak perempuan setia bergelut dengan banyaknya lembaran kertas. Angin yang berhembus melalui celah jendela membelai lembut rambut jingganya, seolah-olah mengingatkan dirinya.

Anak perempuan itu menengok ke jendela dan mendapati matahari kala sore hari itu seolah berada di antara awan. Menghela nafas, lalu dia berdiri untuk meregangkan badan. Sejenak memandangi hasil kerja kerasnya, anak itu tersenyum bangga seraya bergumam, "Yosh!" Setelah barang-barang dibereskan, dia segera memakai tasnya sembari melangkah pergi.

Nakahara Chuuya adalah namanya—sudah duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar Negeri 2 Yokohama. Hasil evaluasi belajarnya tadi sudah lebih baik daripada dua hari yang lalu di mana ia memulai program ini—program belajar dan mengevaluasi hasil belajar secara mandiri, begitulah Chuuya menamainya. Semua itu dilakukannya karena satu hal: ingin mendapatkan hasil terbaik yang pernah ia capai pada tahun terakhirnya di sekolah tersebut.

Langkah kakinya terhenti saat matanya melihat sesuatu tergeletak di tepi jejeran bunga sekolah. Chuuya mendekati objek tersebut, lalu mengambil dan membersihkan benda persegi berlembar itu. Sebuah buku tulis sederhana. Dia mengecek isinya, dan mendapati berbagai catatan tentang pelajaran matematika. Amburadul memang, tetapi catatan pada buku itu mudah dimengerti.

'Kenapa ada di sini?' batin Chuuya heran.

Manik birunya berhenti jelalatan saat mendapati nama sang pemilik buku.

"Dazai Osamu, Kelas 6-1," Chuuya membaca data singkat sang pemilik buku yang tertera di balik sampul depan, 'Anak itu, ya,' pikirnya.

Chuuya sedikit tahu tentang anak yang dimaksud—hasil keterpaksaan ikut rumpian teman-temannya. Dazai Osamu, seorang anak laki-laki yang seangkatan dan seumuran dengannya. Anak yang berpenampilan seperti baru saja selamat dari sebuah kecelakaan maut—dengan perban yang melilit tubuh dan sebuah kurk. Untuk ukuran anak jenius dia memiliki hobi yang aneh, yaitu bunuh diri. Kabarnya, anak itu seseorang yang dingin dengan segala leluconnya yang aneh. Seperti itulah Dazai Osamu yang Chuuya dengar.

Dengan kata lain, dia tidak tahu apa-apa tentang Dazai Osamu.

Mendengus kecil, Chuuya kembali melangkah pergi dengan keputusan menyimpan dan akan mengembalikan buku itu (secara diam-diam, tentu saja). Kakinya melangkah menuju halte bus—tempat dia biasa menunggu jemputan jika sedang malas pulang dengan berjalan kaki. Hari ini tenaganya benar-benar terkuras. Lupa bawa uang saku pula. Walau tidak terlalu mengurangi rasa laparnya, Chuuya bersyukur bahwa dirinya selalu dan terbiasa membawa bekal air minum dari rumah.

'Kuharap, hari ini Ane-san cepat menjemputku,' batin Chuuya lelah.

Dari kejauhan, Chuuya melihat ada seorang anak sebaya dirinya duduk di halte bus tersebut. Hal itu spontan membuatnya berpikir, apakah mereka satu sekolah atau tidak. Serta, apa yang dilakukan anak itu hingga belum dijemput padahal sudah sesore ini. Namun, langkahnya terhenti saat ia mengenali anak itu.

'Dazai Osamu…'

Tampak seorang anak laki-laki duduk di tengah-tengah kursi tunggu itu. Surai cokelat tuanya yang tergerak karena angin melambai pelan, membuat perban yang melilit setengah kepalanya terlihat. Kurk yang biasa dia gunakan kini disampirkan. Matanya yang terlihat hampa memandang lurus ke depan. Dazai Osamu yang tidak Chuuya kenal tengah duduk di sana dengan pandangan datar.

Chuuya terpaku di tempat: ragu dan enggan ke sana.

Bukan.

Bukannya dia tidak suka dengan anak itu. Dia tidak seperti beberapa anak lain yang tidak suka bahkan membenci keberadaan Dazai Osamu. Hanya saja, duduk bersama tanpa bahan obrolan adalah hal yang tidak mengenakkan. Lagipula, dia malas berurusan dengan orang populer.

Menghela nafas—antara pasrah dan lelah—di tempat, Chuuya memutuskan ke halte bus itu. Tanpa sadar, ia melangkah lebih pelan. Chuuya berhenti saat jarak antara dirinya dan Dazai kurang lebih dua meter. Tahu bahwa ada orang lain di tempat itu, Dazai menoleh untuk melihat si empu. Manik cokelatnya bertemu dengan manik laut Chuuya.

Mereka masih bertukar tatapan, sampai 'tak lama Chuuya bersuara, "Ano… boleh aku duduk di sebelahmu?"

"…" yang ditanya malah tidak memberi respon—Dazai masih memandangi Chuuya.

Urat kekesalan Chuuya mulai kambuh gara-gara anak satu ini. Ditanya baik-baik malah tetap melototin dia? Terpesona melihat hadiah dari Tuhan, heh? Perempatan imajinernya makin membesar karena perkataannya diabaikan. Chuuya segera duduk sambil berucap dengan menahan rasa jengkelnya, "Kuanggap diammu itu sebagai 'iya'!"

Mata dan kepala Dazai mengikuti arah gerak anak perempuan itu. Chuuya duduk di ujung kursi tunggu halte bus itu—menjaga jarak karena beberapa alasan.

Dazai masih memerhatikan Chuuya yang memandang ke depan dengan menautkan kedua alis ke bawah. Rambut senja dan manik lautnya membuat Dazai berpikir kalau anak perempuan itu blasteran. Ransel merahnya yang sederhana tampak sedikit menggembung. Pasti banyak bawaan, pikirnya. Kaos biasa dengan hiasan kerah baju yang manis dan rok lipit selutut membuat anak perempuan itu terlihat sederhana namun manis. Tapi, satu hal yang membuat penampilannya agak mencolok. Sebuah topi fedora berhiasan yang ada di pucuk kepalanya. Dazai menaikkan sebelah alis saat melihat benda itu.

"Apa?"

Pertanyaan ketus itu menyadarkan Dazai.

Saat fokusnya kembali, dia mendapati anak perempuan itu melirik dirinya dengan jengkel.

Tatapan sinis nan menusuk Chuuya berikan pada anak laki-laki itu. Apa dia tidak tahu betapa risihnya dirinya sejak tadi?

"Iie, nande mo nai," balas Dazai sambil memalingkan wajahnya, "Tokoro de, kenapa kamu malah duduk?" tanyanya dengan melirik Chuuya terang-terangan.

"Hah?" Chuuya jelas bingung dan kaget dengan pertanyaan itu, "Apa maksudmu? Ini, kan, tempat umum! Berarti sudah jelas, kan?" balasnya dengan sengit.

Yak, sekakmat.

Dazai kembali menoleh, "Kan, tadi kamu bertanya padaku. Dan, aku belum menjawabnya. Itu berarti, kamu belum boleh duduk di sini, kan?"

JLEB! Oke, ini baru sekakmat.

"Ukh! A-Abaikan saja pertanyaanku itu!" Chuuya mengelak sambil memalingkan wajah.

Kruyuuuuuk!

"…" kedua anak itu terdiam. Tak lama, Dazai yang menatap datar Chuuya mendapati wajah anak perempuan itu tertunduk dan memerah.

"Pfft! Ahahahaha!" Dazai tertawa lepas mengetahui keadaan anak perempuan itu.

"Hei! Ini bukan hal yang pantas ditertawakan!" teriak Chuuya marah.

"Hahahaha! Memang, tapi ini hal yang boleh ditertawakan, daro?" balas Dazai yang kembali tertawa.

"Omae… awas saja kau!" geram Chuuya sambil menahan kepalan tangannya yang siap melayang kapan saja.

Dazai perlahan berhenti tertawa sambil menyeka sebelah mata yang 'tak tertutup perban, "Yang tadi nyaring sekali!"—"Berhenti kau!"—"Dari jam berapa kamu tidak makan?" tanyanya.

"Bu-Bukan urusanmu!"

"Jawab saja. Sejak kapan?"

Dengan enggan Chuuya menjawab, "S-Sejak aku berangkat sekolah."

"…" keduanya kembali terdiam. Chuuya sibuk menahan rasa lapar dan malunya. Sementara itu, Dazai sibuk membongkar isi tasnya. Chuuya ingat benar kalau tadi pagi dia tidak sarapan. Padahal, Kouyou, kakak sepupunya, sudah menyiapkan roti panggang.

"!" Chuuya tersadar dari lamunan saat sesuatu menyentuh sebelah tangannya. Ia menoleh dan mendapati sebungkus roti melon diletakkan begitu saja. Chuuya menengadahkan kepala untuk melihat satu-satunya manusia yang bersama dirinya. Dan, tampak Dazai yang sedang merapikan kembali isi tasnya.

Dazai melirik Chuuya yang hanya terdiam melihatnya, "Itu untukmu. Teman-temanku terlalu banyak memberiku," jelasnya, lalu kembali (sok) sibuk.

"…" Chuuya termangu, lalu menatap roti itu sebelum akhirnya mengambilnya. Kali ini, giliran Chuuya yang sibuk dengan tasnya. Dazai yang sudah duduk anteng di tempat sedikit menoleh ke arahnya.

"Ini!" sebuah buku tulis tersodor ke Dazai, "Aku tidak sengaja melihat ini tergeletak di tanah," jelas Chuuya dengan wajah yang sedikit memerah dipalingkan ke arah lain.

"Oh, begitu," Dazai menyambut buku itu, "Kamu seharusnya tidak perlu repot-repot," buku itu lalu berpindah tangan.

"Dan, membiarkan orang-orang menginjaknya? Kamu pikir, aku setega itu?" balas Chuuya.

"Siapa tahu?" Dazai balik membalas sambil mengindikkan bahu.

"Kh! Omae… Teme!" teriak Chuuya sambil menunjuk Dazai.

"Oya, kamu kasar sekali! Seorang perempuan akan di cap jelek kalau berkata kasar, kamu tahu?"—"Masa bodoh!"—"Jika terus seperti itu, aku akan melaporkanmu pada wali kelasmu, lho!" ucap Dazai dengan ancaman yang terdengar main-main.

"Apa?! Berani-ber—chotto. Memangnya kamu tahu kelasku?" balas Chuuya menantang.

Dazai membalas dengan santai, "Nakahara Chuuya, Kelas 6-3. Sudah cukup?"

"Ukh! Dari mana—Bagaimana—GAH! Awas saja kau! Dasar manusia mumi!" teriak Chuuya bangkit dari duduknya seraya menunjuk Dazai yang senyam-senyum penuh kemenangan.

"Ah," Dazai yang menyadari sesuatu segera bangkit dengan bantuan kurknya, "Aku duluan. Pastikan kamu segera memakannya, Chuuya!" ucapnya memeringatkan, lalu melangkah menuju mobil hitam yang berhenti di seberang jalan.

"Ee! Shitteiru yo!" balas Chuuya kesal, lalu terdiam sejenak, "OI! Jangan memanggil namaku seenaknya! Tidak sopan!" marahnya pada Dazai yang sudah masuk mobil.

Mobil tersebut mulai meninggalkan tempat itu dengan senyum jenaka yang Dazai tujukan pada Chuuya.

"Dazai… teme wa oboeteru yo!" Chuuya menggeram dengan sebuah kepalan tangan ditujukan pada Dazai yang sayangnya sudah mulai menjauh.

Dazai sudah duduk anteng di kursi penumpang. Buku tulis matematika yang berada di genggaman menjadi fokusnya. Dazai yang terus menatapi buku itu telah menarik perhatian si sopir yang memerhatikanya dari cermin spion tengah mobil. Manik Dazai tidak sehampa biasanya. Tatapan itu berbeda dengan tatapan yang selalu bersanding dengan raut datarnya.

"Hirotsu-san," Dazai memanggil si sopir, "Mengapa hari ini terlambat menjemput saya?"

"Maafkan saya, Dazai-dono. Sebagai tangan kanan paman Anda, saya didesak untuk segera menuntaskan pekerjaan saya oleh atasan lain. Hal itu membuat saya terpaksa terlambat menjemput Anda, karena tidak ada yang bisa menggantikan saya," jelas Hirotsu.

"Hm… souka. Demo, ii da yo," balas Dazai sembari memasukkan buku itu ke dalam tas, lalu mengalihkan perhatiannya dengan melihat pemandangan dari kaca mobil.

"Dazai-dono," Hirotsu memanggil tuan mudanya sambil fokus menyetir, "Apa telah terjadi sesuatu hari ini?" tanyanya sambil kembali melirik spion tengah mobil.

"Tidak. Tidak terjadi apa-apa," Dazai menjawab singkat, "Hanya saja, barusan aku mengalami sebuah pertemuan baru," tambahnya pelan.

"…" Hirotsu yang masih memerhatikan Dazai segera kembali fokus menyetir seraya tersenyum kecil, "Souka."

Diam-diam, Hirotsu senang tuan mudanya mendapatkan teman baru lagi—teman baru yang baik, pastinya.

Di sisi lain, Chuuya baru saja akan membuka bungkus roti melonnya, tapi gerakan tangannya segera terhenti saat dia melihat sebuah label dan membacanya.

"…" terdiam sejenak, lalu Chuuya segera memakan roti melon itu dengan tangan yang terkepal seraya bergumam geram, "Sialan anak itu!"

Yap.

Tanggal kadaluarsa roti melon itu hari ini.

Untung diberi hari ini juga.

Dan, untung tak terlihat setitik pun warna putih yang bisa mengancam perutnya.


~ Pojok Author ~

Author: Sebelumnya…

SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA!

Semoga segala sifat kebinatangan yang ada pada diri kita sudah 'tersembelih' dan kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik. #AMIN! O:)

Yak, penjelasan ff karya saya ini! #senang

Nah, inilah ff yang saya katakan sebelum dan sebelumnya itu. Fanfiction DazaixChuuya yang sudah saya buat namun belum juga terpublishkan. Dan… akhirnya kesampaian juga! :D

Ide ff ini sebenarnya dadakan, dan terus saya kembangkan. Awalnya ff ini cuma oneshoot alias satu chapter langsung habis gak bersisa (?). Tapi, baru aja mencapai setengah alur cerita, wordsnya ternyata malah udah banyak banget. Lalu… jadilah saya buat ff ini bersambung alias berchapter.

Yah, seperti penjelasan di Author Note di atas (iya, yang item-item tebal paling atas itu), ff ini adalah sebuah serialisasi—Bukan sinetron, lho, ya!—yang rencana saya akan ada tiga… tiga apa ya namanya? Yah, pokoknya ada tiga bagian dari serial ini lah. Intinya begitu, deh.

Yak, begitulah tentang karya saya ini. Silahkan mampir dan menampakkan diri /?/ jika ingin memberi saran, kritik, pertanyaan, dan lain-lain. :)

Sebelum (kembali) berpisah…

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA YANG KE 73!

Rasio & Dark Sarah: Baiklah, sampai di sini kali ini! Sampai jumpa di lain waktu dan kesempatan! :)

All: Akhir kata, hontou ni arigatou gozaimasu, dan sampai jumpa~! :D O:)

RnR? :)