byunkirisu

Present

Indonesia Translation of The Boss

Main Casts :

Byun Baekhyun / Park Chanyeol

Support Casts :

Huang Zitao, Kim Minseok, Wu Yifan, Do Kyungsoo, Kim Jongin, and many more

Rate : M

Warning : Yaoi, Boys Love, Boy x Boy, Mild Language, Violence, and other Mature contents.

This fanfiction is originally written by CannibalQueen on AsianFanfictions, I hereby stated only translate the story into Bahasa Indonesia.

Fanfiction ini ditulis oleh akun CannibalQueen di AsianFanfictions, saya menyatakan kalau saya hanya menerjemahkan cerita ini ke dalam bahasa Indonesia.

ANY FORM OF COPYING IS PROHIBITED.

SEGALA BENTUK PENYADURAN SANGAT DILARANG DENGAN KERAS.

.

.

.

.

Foreword:

Park Chanyeol mungkin sudah berjudi terlalu banyak dalam balap kuda. Ya, dia tinggal di sebuah apartemen tua, dan benar dia makan ramen sekali setiap hari untuk menyimpan pemasukannya. Tapi, itu jelas belum cukup untuk menyebabkan masalah besar. Dia hanya sedang berusaha hidup hemat. Atau begitulah kira-kira yang dia pikirkan.

Hingga suatu hari seorang lelaki muncul di apartemennya dan berkata kalau Chanyeol sudah berhutang terlalu banyak. Pria cantik dengan senjata api itu memberikannya dua opsi.

Opsi pertama: 1. Bayar hutangnya, atau opsi kedua: 2. Mati

Jadi, dia memilih opsi ketiga.

.

.

.

.

Chanyeol selalu tahu apabila suatu hari kebiasaan berjudi yang ia miliki akan membawa dirinya ke dalam sebuah petaka besar. Hanya saja, dia tidak pernah menyangka jikalau kejadian buruk akan menimpanya ketika dia sedang mandi.

"Manusia pada dasarnya memiliki delapan area vital," sosok penyusup itu berkata, berhitung dengan menggunakan jemarinya yang lentik dan cantik. "Ginjal, paru-paru, tulang punggung, tulang selangka, Vena Jugularis, otak, jantung, dan favoritku, hati. Tembak salah satu dari antara delapan titik tersebut dengan menggunakan sebuah peluru dan kau akan berdarah dengan begitu cepat hingga kau tak punya waktu untuk berdoa kepada Tuhan.

Seperti yang bisa kau lihat … aku adalah seorang penembak jitu, dan setelah menerima semua tembakan yang aku berikan, barangkali kau kesulitan untuk berpikir dengan jernih sekarang. Jadi, hari ini aku tidak akan melakukan rutinitas yang biasa karena aku tahu kau seperti akan mengompol di celana … atau di lantai kamar mandimu. Aku akan membuat percakapan ini singkat.

"Kau harus membayar hutangmu. Satu milyar won. Bunga dua puluh persen. Pada hari Jumat. Atau. Kau harus memasang keamanan rumah yang baik. Karena pada waktu berikutnya ketika aku datang kesini dan memberi tahumu siapa yang berkuasa dan dengan siapa kau berurusan … aku tidak akan menggunakan paintball gun."

Chanyeol kesulitan untuk berpikir sementara dia terbaring di atas lantai, telanjang seperti saat dia baru dilahirkan ke dunia, air yang mengucur perlahan-lahan membersihkan jejak cat berwarna merah di permukaan lantai. Pria cantik bersurai rambut hitam mengilap itu berjalan mendekat ke arahnya lalu menggantungkan senjatanya ke atas bahu dan menjejalkan sebuah sepatu kulit yang terlihat mahal ke dalam tenggorokan Chanyeol. Chanyeol tersedak oleh karena air yang masuk ke dalam mulutnya yang membuka.

"Jika kau paham apa yang aku katakan, kedipkan bulu mata pendekmu yang cantik dua kali."

Dengan seluruh rasa takut yang begitu hebat, ia buru-buru mengedipkan mata dan, dengan seulas senyuman penuh percaya diri, lelaki asing tersebut mengeluarkan kakinya.

"Bagus." Dia menjatuhkan sebuah kartu nama ke bawah dengan sebuah kedipan mata, memperhatikan benda tersebut mengambang di tengah-tengah permukaan lantai kamar mandi.

Kemudian, ia bergegas keluar dari pintu, meninggalkan Chanyeol yang terbatuk-batuk dan ketakutan di permukaan lantai berkeramik yang dingin.

.

.

.

.

.

.

.

"What the hell? Apa yang telah terjadi padamu?"

Chanyeol menjatuhkan kepalanya yang pusing ke atas meja bar sementara Sehun menggantungkan sebuah kain lap yang telah compang-camping ke atas bahunya. Lagipula, tidak ada pelanggan yang datang di waktu seperti ini, jadi mereka tidak terlalu pusing jika meja counter dalam keadaan sedikit berantakan sekalipun.

"This is it, Sehun. Aku serius. Aku sudah tamat."

"Lagi-lagi. Apa yang telah terjadi?"

Chanyeol mengangkat kepala dan Sehun melihat bekas luka yang beberapa saat lampau telah dia sadari begitu kawannya yang satu itu masuk ke dalam bar, sebuah lebam besar berwarna keunguan di atas tenggorokan dan permukaan dahi Chanyeol. Kedua tangan temannya bergetar dan dia terbatuk-batuk. Chanyeol memang agak aneh biasanya. Tapi, setelah mereka berteman selama bertahun-tahun, Sehun tidak pernah melihatnya seperti ini.

Jadi, sambil menghela nafas, dia menuangkan secangkir bir Maker's Mark.

"Aku tidak akan meminta bayaranmu untuk yang satu ini," katanya sambil mengedipkan mata, menggeser gelas ke seberang meja counter dimana Chanyeol berada, "atau kurasa kau bisa membayarku nanti."

Chanyeol pada akhirnya kembali berbicara setelah gelas tersebut berada di dalam genggaman. "Oh, bagus. Lebih banyak tagihan."

"Apa maksudmu dengan 'lebih banyak tagihan'?" Sehun bertanya dengan wajah kebingungan. Dia mengalihkan pandangan ke sekeliling untuk sesaat meski tahu apabila Chanyeol adalah satu-satunya pelanggan mereka kala itu. Ia menurunkan volume suaranya dan berbisik, "Aku pikir selama ini kau digaji."

"Maksudku, lebih banyak hutang. Seorang lelaki datang ke rumahku, Hun. Dia menembakku dengan sebuah paintball gun sialan dan berkata kepadaku kalau aku tidak membayarnya besok dia akan datang dengan senjata sungguhan." Dia menggulung kemejanya, menunjukkan lebih banyak lebam di daerah-daerah vital.

Sehun tidak bisa mempercayai hal tersebut dan meninju meja kayu bar dengan keras. "Dammit, Chanyeol, waktu itu kau bilang kalau kau sudah mengurus semuanya!"

"Well, I fucking lied, okay!?" ia mengacak-acak rambutnya sendiri, terlihat jauh lebih frustasi ketimbang biasanya. "Aku pikir aku telah mengurusnya. Aku sebelumnya berpikir untuk membayar begitu aku memenangkan sesuatu. Tapi, pertama-tama, aku harus mendapatkan pinjaman lain-"

"Fuck!" Sehun berteriak, dan untuk sesaat dia harus berbalik dari pria menyedihkan yang ada di hadapannya. Dia menenggelamkan wajahnya di dalam kedua telapak tangan dan menggosok matanya. "God dammit aku telah memberi tahumu sebelumnya untuk berhati-hati. Kau tahu apa yang telah terjadi padaku."

"Aku tahu."

"Aku sudah bilang, bayar sebelum kau meminjam lagi."

"Aku tahu."

"Lalu, mengapa kau tidak mendengarkanku!?"

"Aku tidak tahu, oke!? Semua menjadi kacau begitu cepat! Awalnya hanya sedikit tapi aku tidak begitu memerhatikan telah kalah berapa kali. Akhir-akhir ini, aku sibuk dengan pekerjaan jadi aku tidak punya waktu untuk sekadar memeriksa hutang-hutangku. Aku pikir tidak seburuk ini!"

Dia kembali menatap Chanyeol setelah jeda beberapa saat. "… Seberapa buruk hutangmu?"

Chanyeol menghela nafas dengan berat. "Satu milyar won dengan bunga dua puluh persen."

Sehun kembali bersandar pada meja counter, meletakkan kepala di atas kedua lengannya yang terlipat. "Yeol …" dia pada akhirnya memulai, tapi ia sendiri tidak tahu harus melanjutkan bagaimana.

"Aku hanya punya seperempat dari itu … mungkin."

"Bagaimana dengan kedua orangtuamu?"

"Mereka sedang dalam perjalanan ke India sekarang, menolong beberapa orang miskin yang ada di tempat-tempat kurang layak tinggal. Aku tidak bisa menghubungi mereka. Dan aku sadar, lagipula kalau aku bisa menghubungi mereka sekalipun, apa yang harus aku katakan? Aku ketagihan berjudi dan akhirnya mendapat masalah? Bahwa anak laki-laki mereka tidak sesempurna yang mereka kira?"

"Itu yang kau permasalahkan sekarang? Nyawamu sedang terancam!"

"Well, itu yang aku permasalahkan, percaya atau tidak."

"… Well, bagaimana dengan Yoora?"

"Lupakan dia. Dia sudah bersuami dan punya tiga orang anak untuk diurus. Tidak ada jalan lain. Sehun … bagaimana kalau-"

"Kumohon, jangan meminta padaku, Yeol. Aku ingin membantumu. Serius. Tapi aku juga sedang dalam masalah. Rentenir akan menagih hutang minggu depan dan aku masih harus memikirkan ibuku."

Ibu Sehun telah masuk rumah sakit dalam waktu yang lama, didiagnosa menderita kanker pankreas dan mereka mengetahui kabar itu sedikit terlambat. Satu-satunya hal yang bisa membantu beliau untuk bertahan hidup adalah pengobatan-pengobatan radiasi yang Sehun bayar kapanpun dia mampu. Tapi, itu sangat jarang dan tidak berturut-turut. Ibunya tidak akan hidup lama dan Sehun sudah menerima kenyataan tersebut. Dia hanya ingin beliau nyaman sebelum ajal menjemput.

Di sisi lain, Sehun juga harus membayar uang kepada beberapa orang rentenir, dia bahkan kesulitan untuk membayar sewa tempat tinggal, tentu saja tidak mungkin baginya untuk membantu Chanyeol membayar hutangnya karena kalah taruhan.

"Benar," Chanyeol akhirnya berujar. Mereka berdua tenggelam dalam keheningan kemudian dan Sehun menuangkan mereka lebih banyak bir dalam diam. Tapi, sebelum itu, dia telah mengganti jenis bir menjadi bir yang berharga mahal. Ini bisa jadi waktu mereka minum-minum bersama yang terakhir.

Setelah Chanyeol meneguk minumannya dengan puas, berputar di bangku bar yang dia duduki, ia akhirnya berbicara lagi.

"Haruskah aku … haruskah aku kabur?" Dia mulai ngelindur. "Haruskah aku pergi ke Meksiko?"

"Itu tidak akan berhasil," Sehun cegukan, mengusap bibirnya dengan lemas. Dia awalnya tidak ingin mabuk, tapi dia begitu depresi tadi, sial. Seluruh kuasanya terasa berat tapi beruntung otaknya masih bisa bekerja. "Pamanku melakukan hal yang sama beberapa tahun lalu. Mereka langsung menangkap dirinya. Mengirimkan kami tangan pamanku di dalam kotak. Lucu bagaimana aku juga ikut tersandung masalah yang sama … omong-omong … buang jauh-jauh ide itu."

"Mengapa?"

"Kau harus pergi memohon dahulu. Memohon kepada mereka untuk memberikanmu lebih banyak waktu. Cobalah dulu, Yeol."

"Bagaimana kalau itu tidak berhasil?"

"Itulah saat bagimu untuk lari."

Chanyeol mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam saku, memandangi alamat yang tertera dengan pandangan letih dan berpikir jika dia harus melakukan apa yang ada di dalam benak kepalanya.

Sehun melirik kartu itu dan mendengus, menahan tawa di tengah-tengah momen penuh ketegangan.

"Apa?" Chanyeol bertanya dengan kesal.

"Aku tahu itu tidak lucu tapi aku sedikit mabuk dan … itu sebenarnya lucu. Siapa tepatnya orang yang sudah memberikanmu pinjaman uang?"

"Aku tidak pernah bilang siapa, kau juga tidak akan tahu. Hanya beberapa orang lelaki yang bekerja untuk pemilik klub ini."

Sehun mendengus lagi dan Chanyeol menatap pemuda tersebut kebingungan.

"Aku tahu aku tahu. Hanya saja … nama klubnya Chanyeol … di atas kartumu..." Dengusan kembali terdengar. "Kau tahu … It's the fucking Banana Boat."

"APA?"

.

.

.

.

.

.

.

.

Dengan sedikit keberanian ia beranjak keluar dari dalam taksi, melalui aspal hitam jalanan yang masih basah oleh karena hujan di penghujung musim panas. Tapi, kesadaraan atas apa yang hendak dia lakukan seketika itu juga mengembalikan dirinya ke realita. Klub tersebut terletak di lingkungan gudang dan banyak keanehan di sekitar tempat itu. Sebuah palang neon bertuliskan 'XOXO' dengan warna ungu terpampang dengan mencolok, ialah nama asli dari klub tersebut, tapi sepertinya warna bangunannya yang aneh memberikan klub itu julukan yang kurang menyenangkan. Selain karena berwarna kuning terang, bahkan terlihat jelas di tengah-tengah kegelapan, antrian di luar klub kebanyakan adalah seorang pria, beberapa nampak gugup dan mencurigakan, seolah mereka tidak semestinya ada di situ.

Chanyeol tidak yakin apabila dia harus ikut mengantri atau tidak, karena masalah yang dia miliki sangat genting (setidaknya baginya).

Jadi dia langsung bergegas menghampiri penjaga bertubuh tangguh yang ada di antrian depan, menerima banyak lirikan tidak terima dan sahutan tak senang dari beberapa orang di antrian.

Dia menyerahkan kartu nama itu. "Aku di sini untuk menemui pemilik klub ini!" dia berteriak melebihi musik yang berdentum, menggema di dalam dada.

Begitu penjaga tersebut melihat kertas yang dia pegang, ia menganggukan kepala dan memberikan gestur kepada pria bertubuh tangguh lain untuk menjaga baris antrian. "Ikuti aku," ujarnya dengan keras, mengibaskan gorden yang menghalangi jalan mereka dan memimpin Chanyeol untuk memasuki klub yang dipenuhi oleh banyak orang, meski sekarang sudah memasuki waktu subuh. Jika dari tampak luar klub itu terlihat aneh, maka bagian dalam nampak juga sama anehnya.

Chanyeol hampir berteriak ketika dia sadar kalau itu adalah sebuah gay strip club. Sebuah alasan lain di balik julukan 'Banana Boat'.

Begitu dia melihat seorang pelayan melewati mereka, mengenakan thong berbentuk pisang untuk yang pertama kali, dia menutup kedua matanya dengan menggunakan tangan dan mengikuti sang penjaga melalui celah di antara jemarinya.

Dia sudah terlibat dalam apa? Chanyeol berpikir dengan menyedihkan. Dia dibesarkan untuk menjadi seorang homophobic, dan penari pria setengah telanjang dengan lelaki-lelaki dewasa yang mengelilingi mereka serta meneriakkan nama mereka telah membisukan dirinya.

Ia berjalan dengan terlunta-lunta, melalui keramaian dan bangku-bangku, menghindari pelayan-pelayan setengah telanjang dengan gesit. Tapi kemudian, sang penjaga telah pergi meninggalkan dirinya dan ia ketinggalan di belakang, terjebak di tengah-tengah lautan testoteron yang terfokus pada penari-penari berbusana minim di atas dua catwalk berbentuk sayap yang mengelilingi panggung bagian tengah.

Chanyeol menjadi lebih panik lagi ketika lampu-lampu mulai diredupkan tiba-tiba, menenggelamkan ruangan tersebut dalam kegelapan pekat. Ia hampir berteriak ketika kulit telanjang seseorang menyenggol lengannya. Tapi, sebelum dia sempat membuka mulut, penerangan di panggung utama seketika itu juga dinyalakan dan musik mengalun jauh lebih keras daripada sebelumnya.

Orang-orang mulai bersiul dan berteriak, dengan cemas dia menyadari kalau ini pasti adalah acara utama pada malam itu. Kepala Chanyeol mulai menoleh kesana kemari, mencari-cari pria bertubuh besar yang beberapa saat lampau dia ikuti, tapi hasilnya nihil.

Akan tetapi, perhatiannya kemudian menangkap sosok familier begitu lampu-lampu terfokus pada bagian tengah panggung. Seorang laki-laki mungil di dalam balutan pakaian kulit melangkah ke atas panggung, mengikuti dentuman musik dengan gaya yang sangat sassy. Pinggangnya bergerak mengikuti ritme lagu secara alami, dan pahanya, montok dan seksi, secara aneh terlihat menggoda meski ditutupi oleh celana hitam. Chanyeol mulai kebingungan tiba-tiba; mengapa dia memandangi lelaki itu begitu lama?

Chanyeol lega karena pria itu tidak melakukan aksi tak senonoh seperti melepas baju, tapi biar begitu dia masih mampu menghipnotis keramaian, membuat gerakan berjongkok dan merangkak mengelilingi panggung. Ia tampak seperti seorang dominatrix versi lelaki, bahkan sekali waktu menepis tangan penonton yang hendak menyentuhnya. Meski demikian, para penonton menyukai pemandangan tersebut dan melemparkan lebih banyak uang, korban tepisan yang paling menikmatinya.

Untuk beberapa saat, meski Chanyeol sudah berusaha keras untuk tidak menikmati penampilan itu, kedua tangan yang awalnya menutupi seluruh bagian dari wajahnya perlahan-lahan diturunkan dan dia memandangi penari itu sepenuhnya. Untuk beberapa alasan, dia berpikir, pria ini nampak sangat familier.

Begitu sang penari bertemu tatap dengannya dan memberikannya sebuah kedipan mata, Chanyeol sadar siapa dia.

Dia orang brengsek yang sudah menembakku! Dia berteriak di dalam benak kepala tatkala kedipan mata tersebut berangsur-angsur berubah menjadi sebuah senyuman mengerti dan sang penari beranjak turun untuk menghampiri dirinya.

Chanyeol menganga selama beberapa saat sementara pria yang bersangkutan mendekat dengan gerakan yang begitu sensual, tidak memiliki banyak pilihan selain daripada memandangi, namun dalam sekejap mata kerah bajunya tahu-tahu sudah ditarik dari belakang dan dia dibawa keluar dari ruangan tersebut. Sang penjaga sudah kembali dan telah berhasil menemukan dirinya.

Ia kemudian menarik Chanyeol keluar dari lantai utama, melalui banyak gang yang berliku-liku, sebelum pada akhirnya berhenti di hadapan sebuah double door raksasa berbahan oak yang ada di penghujung gang. Hanya dalam sekali ayunan, ia melempar Chanyeol masuk ke dalam ruangan. Sosok jangkung itu mendarat dengan keras di atas permukaan lantai.

"Kau semestinya sudah tahu, tapi aku akan memeringatimu. Jangan sentuh apapun, dan tunggu di sini."

Dengan peringatan yang kekanak-kanakan lelaki itu meninggalkan Chanyeol di sana, menutup pintu di belakangnya.

Chanyeol menduga-duga apa yang mesti dia lakukan sekarang. Ruangan yang ditempati tidak berpenghuni, hanya ada dia seorang di sana, dan banyak objek kecil aneh yang menghiasi tembok. Terdapat meja dan bangku-bangku yang terlihat sangat sederhana, berbahan kayu oak murni dengan lapisan warna merah velvet, diletakkan di tengah-tengah ruangan. Akan tetapi, tembok serta rak-rak yang ada di sana tampak sangat berbanding terbalik. Setiap sisi dibariskan dengan jarak yang berbeda-beda. Ada banyak sekali benda di dalam rak tersebut, mulai dari mainan figurine yang lucu hingga alat belat diri yang nampak berbahaya, kamus-kamus bahasa asing dan tumpukan majalah gosip, sebuah akuarium kecil berisi seekor ikan mas hingga hiasan kepala rusa di atas pintu. Mejanya sendiri sangat berantakan, dipenuhi oleh berkas-berkas, dan lebih banyak lagi mainan. Chanyeol berpura-pura tidak melihat sebuah cambuk yang ada di sana. Benda itu terlihat seperti sudah sering digunakan.

Dia kini duduk dengan punggung menghadap ke arah pintu. Chanyeol melipat kedua lengan di atas pangkuan untuk menenangkan dirinya sendiri, akan tetapi kakinya menepuk permukaan lantai dengan tidak sabaran dan jemarinya bergerak lebih cepat setiap detik, tenggorokannya juga mulai terasa mual.

Akhirnya pintu itu membuka di belakangnya. Kedua tungkainya seketika itu juga merapat dan dia duduk dengan posisi tegak yang sempurna, ia dapat mendengar debaran jantungnya yang begitu keras, melebihi suara tegukan ludah yang baru saja dia hasilkan.

Sosok laki-laki yang duduk di bangku yang ada di hadapan dirinya sama sekali bukan apa yang dia ekspetasikan. Namun, itu barangkali karena dia baru saja melihat pria asing itu menghibur para pria di atas panggung. Sang penari cantik yang telah dia temui beberapa saat lalu merapikan anak-anak rambut yang menutupi kedua matanya, masih terlihat sangat memesona meski sedang berkeringat. Pasangan manik gelapnya berkilauan di bawah bubuhan eyeliner yang berwarna lebih gelap sementara ia memandangi Chanyeol. Mata itu sepertinya mampu melihat apa saja.

"Aku rasa sudah cukup, tuan-tuan," ia berujar dengan suara merdu. Dua orang sosok pria berwajah datar yang keberadaannya tidak disadari oleh Chanyeol sebelumnya bergegas keluar dari ruangan dalam diam, sukses memerangkap dirinya di ruangan yang sama dengan orang yang, mungkin saja, akan mengeksekusinya.

Namun, Chanyeol sama sekali tidak yakin apa yang mesti membuat dirinya menganggap pria itu mimpi terburuk yang dia miliki. Bagaimana seorang laki-laki yang begitu … terlihat muda … dan sangat menawan, menjadi ketua dari sindikat kejahatan? Dan sejak kapan atasan geng mengurusi hal-hal kecil ini secara langsung?

"Aku harap kau menikmati pertunjukkannya," kata pria itu, diiringi dengan sebuah kedipan mata lain dan seulas senyuman, mengusap leher bagian belakangnya dengan sebuah kain berwarna ungu. "Aku biasa tidak tampil di hari Kamis, tapi salah satu penariku tiba-tiba saja berhalangan untuk hadir. Jadi, mau tidak mau aku harus menggantikannya."

Dia tidak menunggu jawaban Chanyeol. "Jadi, kulihat kau sudah dengan lancang datang ke kantorku." Ia mengedipkan bulu matanya dengan polos, melipat jemarinya dengan tenang di bawah dagunya. Senyuman yang ada di wajah lelaki tersebut berangsur-angsur berubah menjadi jahat dan keji. "Dan sebelum tenggat waktu yang aku berikan juga … Kau pasti sudah memiliki uangku."

"Well, sebenarnya," Chanyeol memulai dengan gugup.

"Oh, tidak," sang lawan bicara memotong, wajahnya mengerut. "'Sebenarnya' bukan kata yang bagus di dalam kamusku … Kau tahu, itu biasanya berarti tidak. Dan dalam kasusmu, dugaanku tepat. Apakah benar begitu?"

"Ya, tapi-"

"Apakah kau kidal?"

"Maaf?" jawab Chanyeol, agak terkejut.

"Kau tidak kelihatan kidal menurutku. Berikan tangan kirimu."

Chanyeol perlahan-lahan mengulurkan tangan kiri ke atas meja, memandangi dengan nafas tertahan sementara jemari pucat sang pria cantik mulai memeganginya. Ia menautkan jari-jari mereka berdua erat-erat, dengan penuh keintiman, dan Chanyeol berusaha menahan diri untuk tidak menyuarakan protes, tidak memahami situasi yang dihadapi. Dia menelusuri buku-buku jari dan semua yang ada di antaranya, menggenggam pergelangan tangan Chanyeol dengan satu tangan.

"Kau memiliki tangan yang mengagumkan," ia berkata dengan pelan, sebuah kilauan terpancar dari kedua matanya yang gelap. "Sangat besar. Sangat cantik. Meski tidak secantik milikku … sangat disayangkan sekali."

Sebelum Chanyeol bahkan sempat berkedip, pria mungil itu menahan pergelangan tangan yang lebih tinggi di atas meja. Dengan tangan lain, dia mengambil sebuah patung marbel kecil dari dalam laci dan memukul tangan kiri Chanyeol keras-keras menggunakan objek tersebut.

Chanyeol tidak pernah berteriak sekencang ini seumur hidupnya. Rasa sakitnya sangat membutakan mata dan benar-benar mengejutkan.

"Aku telah memberitahumu secara spesifik apa yang akan terjadi jika kau tidak membayar hutangmu, bukankah begitu? Kau pikir karena aku mempunyai sebuah gay bar aku akan terlihat seperti seorang pengecut bagimu!? Tidakkah kau paham dengan siapa kau berurusan di sini!?"

Chanyeol tak bisa berbicara, air mata mulai terbentuk di sudut pelupuk matanya dan terancam akan mengalir keluar sesaat lagi. Dia membuka mulut tapi tak ada kata-kata yang terdengar. Ia berusaha keras untuk melepaskan diri dari genggaman pria itu, tapi pada kenyataannya lelaki tersebut lebih kuat dari kelihatannya.

"Jawab aku!" ia berteriak, mengangkat patung marbel itu lagi.

"Ya!" Chanyeol berseru dengan seluruh kekuatan, nafasnya terputus-putus. Ia berteriak kesakitan lagi dengan keras dan genggaman di tangannya perlahan-lahan mulai mengendur. Buru-buru ia tarik kembali tangannya, memandangi jemarinya yang patah dan terluka dengan mata basah oleh air mata. Ada rasa sakit yang menyengat di seluruh lengan kirinya kini. Tapi, dia tahu rasa sakit ini tidak seberapa dengan apa yang akan terjadi nanti. Jadi dia melakukan tujuannya kemari.

Chanyeol beranjak dari bangkunya dan secara mengejutkan bertekuk lutut di atas permukaan lantai. "Ampun! Tolong ampuni aku!" ia berteriak. Menundukkan kepala serendah yang dia bisa hingga wajahnya mencium karpet yang berdebu. "Aku tidak bisa bayar tapi kumohon! Aku akan melakukan semua yang perintahkan! Hanya jangan bunuh aku! Aku akan bekerja untuk membayar hutang-hutangmu! Aku akan melakukan apapun itu untuk melunasi semuanya!"

Ada teriakan kencang dari atas dirinya, sang atasan telah berdiri di balik meja. Sepatu boot besar berwarna hitam yang ia kenakan diarahkan dengan perlahan ke atas tangan Chanyeol yang terluka, mengancam untuk menyakitinya lagi. Dia bergetar ketakutan, tapi tidak mundur. "Kumohon," ia bergumam terus menerus.

Kemudian sepatu boot itu ada di bawah dahinya, mengangkat kepala Chanyeol hingga mata berkaca-kacanya bertemu pandang dengan sosok laki-laki yang sangat cantik, sangat berbahaya. Dia terdiam sementara pria yang bersangkutan melepas sepatunya dan bertelanjang kaki.

Ia arahkan kaki kanannya yang tidak bersepatu kepada Chanyeol. "Cium kakiku."

Chanyeol memandanginya untuk sesaat, hanya sesaat. Pria dengan cengiran keji terpatri pada paras wajahnya itu mulai menaik-turunkan kedua alisnya dengan penuh harap, ia kemudian meraih kaki tersebut dengan menggunakan tangannya yang tak terluka dan meninggalkan sebuah ciuman takut-takut di atas sebuah tato berbentuk aneh yang ada di sana.

Laki-laki itu tertawa lagi dan mengusap wajah Chanyeol dengan menggunakan jari-jari kakinya sebelum dia kembali menarik kakinya.

"Berdiri," ia memerintah.

Chanyeol segera menuruti, akan tetapi kedua tungkainya bergetar seperti seekor rusa yang baru dilahirkan.

"Duduklah."

Chanyeol menanggapi gestur tersebut dengan lega, meski masih sedikit gemetaran karena takut. Pria tersebut kembali duduk di balik mejanya, melipat kedua kakinya dengan santai. Ia lagi-lagi meletakkan tangannya di bawah dagu. "Jadi, kau akan bekerja untukku demi membayar hutangmu … Menarik … Dan kau akan melakukan apapun?"

"Y-ya, tuan," ia membalas, dengan suara pelan.

"Kau akan melakukan apapun?" Secara tiba-tiba saja, kaki telanjang itu mengusap-usap betis Chanyeol di bawah meja, menelusuri hingga ke antara kedua pahanya.

Chanyeol berusaha menahan diri untuk tidak menyuarakan protes. Sebuah harapan baru saja muncul dan dia tidak ingin kehilangan kesempatan itu. "Y-ya."

"Kau yakin?" jari-jari kaki tersebut merayap di area sekitar pahanya, terdiam dan bergerak-gerak dengan sengaja di selangkangannya.

Chanyeol hanya bisa menutup kedua mata dan menganggukan kepala dengan perlahan. Dia baru saja menyetujui apa?

Sebuah tawa kecil lain terdengar. "Kris! Tao!" pria itu berteriak tiba-tiba.

Tidak ada lagi kaki yang mengganggu Chanyeol dan double door di belakang mereka terbuka.

"Tao, obati tangannya," dia memerintahkan dengan jentikan jari yang santai, "dan bawa dia ke mobil. Aku akan ke sana sesaat lagi. Kris, panggil teman kita yang lain."

Dua orang penjaga bertubuh jangkung tersebut membungkukkan tubuh kepada atasan mereka yang keluar dari dalam ruangan, kemudian bergegas pergi melaksanakan tugas masing-masing. Penjaga yang bertubuh paling besar pergi, dan yang bermata kucing mengalihkan pandangan kepada Chanyeol.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di luar, hari sudah pagi dan nampak rintik-rintik hujan khas musim panas berjatuhan. Chanyeol melihatnya sebagai sebuah permulaan dari kematiannya yang sebentar lagi terjadi.

Dia duduk di dalam sebuah limo panjang, dihempit dengan tidak nyaman di antara kedua orang penjaga bertubuh besar, tapi dia tak berani untuk mengucapkan sepatah katapun. Atasannya sendiri terdiam. Ia tampak seperti baru saja membersihkan diri dari performa tariannya yang aneh, berganti baju menjadi pakaian kulit dengan jas hitam dan sebuah dasi. Penampilannya yang sekarang cocok sekali jika disandingkan dengan posisi yang ia miliki, namun, meski demikian, Chanyeol masih tidak mempercayai kalau laki-laki ini adalah pemimpin yang sesungguhnya. Seorang pemimpin sindikat.

Satu-satunya orang yang membuat keributan hanyalah sosok seorang pria asing lain, dengan sebuah karung menutupi kepalanya. Dia terbaring di atas lantai di antara mereka semua, semua tangan dan kakinya terikat ke belakang dan Chanyeol mengasumikan apabila mulutnya disumpali sesuatu, menilai dari suara-suara aneh yang terdengar teredam.

"Diam!" sang bos akhirnya mengucapkan sesuatu dengan sebal, menendang perut lelaki yang mulutnya disumpal sebelum kembali menyilangkan kedua kaki dan memandangi kuku-kuku jemarinya sendiri.

Chanyeol memperhatikan pemandangan di luar yang perlahan-lahan mulai berubah. Ada banyak gudang-gudang berbeda di luar sekarang, dengan boks-boks container besar yang ditumpukkan satu sama lain di atasnya. Di satu penghujung, dia tidak bisa melihat apapun karena embun di pagi hari yang menghalangi penglihatannya, dan ia menduga jika mereka sedang berkendara menyebrangi jembatan, ada sebuah sungai di sebelah.

Situasi kala itu sama sekali tidak terbaca. Wajah mereka semua terlihat datar, tidak ada satupun dari antara mereka yang memberikan indikasi akan apa yang hendak menimpa Chanyeol, atau pria yang disekap. Mereka telah mengobati tangannya yang terluka, kini terperban dengan sangat rapi secara mengejutkan.

Tidak butuh waktu lama, kendaraan tersebut perlahan-lahan berhenti dan pintu dibukakan bagi mereka oleh sang supir. Atasan mereka keluar terlebih dahulu, menggeliat di tengah-tengah udara subuh. Sosok seorang pria bertubuh besar dan bersurai pirang dengan nama Kris mengikuti, menarik pria yang tersungkur di lantai sebelum membukakan payung untuk bosnya. Yang lain ikut keluar dengan Chanyeol membuntuti beberapa detik setelahnya.

Mereka hampir berada di penghujung jembatan, lampu dari mobil memberikan penerangan hingga ke penghujung pelabuhan yang gelap. Sang bos mengulas senyuman terbalik dan menatap Chanyeol. "Kau bilang kau akan melakukan apapun."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah pisau lipat dan Chanyeol terlompat karena terkejut.

"Tenang, manis," sang lawan bicara tertawa, membuka objek tersebut. "Ini bukan untukmu." Ia berjalan ke arah sosok laki-laki yang tersungkur di atas permukaan tanah, memotong tali demi tali yang mengikat seluruh bagian tubuhnya dengan mudah. Pria itu sama sekali tidak bergerak dari sana meski sudah tidak lagi terikat, tapi kemudian Tao menariknya hingga duduk. Atasan mereka mengembalikan pisau lipat miliknya ke dalam saku dan melepaskan karung yang menutupi kepala tawanan mereka.

Chanyeol mengekspetasikan seseorang dengan wajah ditato, berparas menyeramkan seperti seorang ganster. Tapi, itu adalah seorang pria tua. Dia mungkin sudah di pertengahan usia, puncak kepalanya sudah botak. Matanya yang memiliki banyak kerutan seketika itu juga membesar begitu ia menyadari sekelilingnya, dan jas yang ia kenakan terlihat mengindikasikan apabila dia adalah seorang pebisnis kelas bawah. Secara kesimpulan, dia tidak terlihat seperti seseorang yang akan terlihat disekap di mobil seorang pemimpin sindikat.

Sang bos berjongkok tepat di sisinya dan dengan kasar menjambak sisa-sisa rambut pria itu untuk memaksa pandangan matanya bersitatap langsung dengan Chanyeol.

"Pria ini sudah mencuri dariku," dia berujar, menyunggingkan senyuman masam dari kedua sudut bibir. "Pertama dia berusaha untuk mengambil uangku, lalu dia berusaha untuk mengorek informasi." Ia menggelengkan kepala dengan sedih, "Itu adalah dua hal yang terlalu banyak." Dia kembali berdiri dan meraih sesuatu dari bagian belakang celananya. "Sekarang, sangat disayangkan sekali tapi, dia harus pergi."

Dengan satu terikan cepat, ia mengeluarkan sebuah senjata api, yang sebelumnya tidak disadari oleh Chanyeol. Chanyeol melemparkan lirikan secara bergantian kepada pria yang terduduk di tanah, ke arah pistol itu, dan sosok pria yang memegangi senjata tersebut, tengah memamerkan senyuman keji dan penuh harap. Dia tidak ingin mengambil kesimpulan akan apa yang saat ini dipikirkan oleh sang bos.

Jadi, atasan mereka memecahkan misteri itu. "Jangan membuatku mengatakannya untukmu, sweet thing. Kamu sendiri yang mengatakan akan melakukan apapun itu. Kau merengek dan merendahkan dirimu di hadapan kakiku dan sekarang aku memberikanmu kesempatan untuk hidup terbebas dari hutang dengan bekerja padaku. Oleh karena kebaikan hatiku." Ia menghela nafas secara dramatis, tapi kemudian kedua manik hitamnya memandang tepat pada pupil milik Chanyeol. "Tapi, perlu diingat kalau aku bukan seorang dewa."

Chanyeol berdiri di sana dengan syok, tangan yang ada di kedua sisi tubuhnya bergetar. "Ta-tapi-" dia terbata-bata.

"Tidak ada 'tapi'. Seseorang di sini akan mati hari ini. Entah itu kau atau dia. Tapi, honey, lakukan permintaan kami dan pilih dia, oke? Karena jika kita membunuhmu … well … perlu diketahui kalau kita akan membunuhnya juga pada akhirnya. Lagipula, lebih sedikit mayat yang terbunuh akan terlihat lebih baik di pengadilan, bukan?" dia tertawa. "Ditambah. Kau cukup tampan, dan aku tidak suka membunuh orang-orang tampan. Itu membuat dunia ini menjadi lebih jelek."

Chanyeol menelan ludah dengan susah payah, berusaha untuk mencari opsi lain di dalam benak kepalanya. Tapi, otaknya tak bisa bekerja dengan baik sekarang, karena tangan sang atasan mulai beralih kepada senjata itu.

"Izinkan aku," kata sang lawan bicara. Ia mematikan pengaman dan memasukkan sebuah peluru ke dalam selongsong senjata hanya dalam satu kedipan mata. Kemudian diberikannya pistol itu, menyodorkan bagian penghujungnya kepada Chanyeol.

Si jangkung menerima benda tersebut dengan menggunakan tangannya yang tidak terluka, berat benda tersebut mengejutkannya. Dia tidak pernah memegang sebuah senjata api sebelumnya, apalagi menembak sesuatu atau seseorang. Ia bukan seorang pembunuh. Tapi jika dia harus membunuh seseorang

"Jangan terlalu dipikirkan," kata si bos tiba-tiba dengan senyuman penuh pengertian. "Mereka akan membunuhmu lebih cepat dari yang kau kira."

Chanyeol mendengar dua bunyi klik yang nyaring tepat di kedua telinganya dan ia perlahan-lahan menolehkan kepalanya ke belakang hanya untuk menemukan Kris dan Tao, masing-masing mengambil ancang-ancang untuk membunuhnya, mengacungkan senjata ke arah kepalanya.

"Sekarang bawa dia ke pinggir sungai dan lakukan apa yang kuperintahkan."

Dua penjaga tersebut menarik sang pria berusia pertengahan hingga berdiri, penyumbat yang beberapa saat lalu menyumpal mulutnya terlepas tatkala sayup-sayup suara melengking tercipta dari bibirnya, dan Chanyeol ditinggalkan sendirian untuk bergegas menghampiri sosok itu.

"Jangan lakukan itu!" ia memohon dengan panik.

"Aku harus melakukannya," dia mencicit, suaranya serak.

"Oh tidak, tidak, tidak kau tidak harus melakukannya. Kita bisa mencari jalan keluar! Aku bukan orang jahat! Aku punya keluarga! Seorang istri, dan dua orang anak!"

"Aku juga punya keluarga. Teman-teman. Sebuah kehidupan."

"Tentu kau punya! Kau adalah orang yang baik! Aku bisa melihatnya! Tapi dia tidak perlu tahu! Kau bisa membiarkan aku tetap hidup dan dia tak akan pernah tahu!" Ia tak yakin apabila itu adalah air hujan, tapi pria itu terlihat seperti sedang menangis.

Mereka berdua tiba di penghujung jembatan, sang pria tua mundur hingga punggungnya menepi ke pinggir dengan Chanyeol yang berjarak hanya beberapa kaki darinya. "Bagaimana?" dia berteriak dengan putus asa.

"Aku bisa menghilang! Dia tidak akan pernah tahu aku masih hidup!"

Chanyeol melemparkan sekilas lirikan ke belakang. Dua orang bodyguard berdiri di pinggir, tapi sang bos sedang bersandar pada mobilnya, santai dan terlihat percaya diri di bawah payung, menunggu Chanyeol melakukan apa yang ia pinta. Tapi Chanyeol mengambil sebuah keputusan dengan cepat dan melangkah mendekati pria itu.

"Jangan pernah kembali," dia berbisik, "Atau kita berdua akan mati."

"Oh! Terima kasih sobat! Terima-"

Chanyeol menarik pelatuk tepat di sebelah telinga laki-laki itu dan mendorongnya ke dalam sungai. Ia terjatuh dan dalam sekejap dibawa oleh arus. Meski dia tidak benar-benar menembaknya, Chanyeol terlihat terkejut seolah dia baru saja melakukan hal buruk itu. Senjata api yang ada di dalam genggaman tangannya terjatuh ke atas permukaan, suara tembakan barusan menggema dengan nyaring di tengah-tengah hujan.

Dalam sesaat, Tao ada di sisinya, mengambil pistol dan sarungnya dan membimbing Chanyeol kembali ke mobil dengan mati rasa.

Sang atasan menggelengkan kepala dan tersenyum kecil kala Chanyeol kembali, memberikan sebuah tepukan kecil di bahu si jangkung. "Itu menyedihkan tapi harus dilakukan. Kadangkala, seseorang harus belajar kalau mereka tidak bisa main-main dengan seorang Byun Baekhyun."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ketika subuh berlalu dan pagi tiba, limo mereka telah tiba di depan sebuah toko kecil yang kotor, yang terletak di pinggiran kota. Mengedipkan matanya dengan hampa, Chanyeol samar-samar menyadari tempat tersebut sebagai tempat membuat tato.

Sang bodyguard dengan perawakan mirip kucing, Tao, kemudian segera menutup telfon. "Dia sudah bangun, tuan," ia berkata setelah memutuskan sambungan, suaranya terdengar jauh lebih lembut dari yang Chanyeol bayangkan.

"Bagus," Baekhyun menghela nafas, menyugar rambutnya dengan letih. "Mari segera kita selesaikan. Aku butuh mandi air hangat dan sebuah ranjang."

Kelompok itu bergegas keluar dari dalam mobil dan memasuki toko, seorang pria yang terlihat lelah dalam balutan sebuah kaus tanpa lengan berwarna hitam dan sepasang celana piyama membukakan kunci pintu. Dia bertubuh pendek, tapi meski demikian, nampak berotot, dengan mata sipit dan tato berwarna-warni di kedua lengannya. Ada banyak gambar yang ditatokan pada tubuhnya, ikan koi, naga-naga, burung bangau, bunga lotus, dan semua jenis unsur objek yang terlihat 'Asian'. Akan tetapi, ada satu buah tato yang ditangkap oleh pandangan mata mengantuk Chanyeol, terletak di bawah pergelangan tangan yang bersangkutan. Itu adalah simbol yang sama dengan yang di kaki Baekhyun, yang baru saja dia cium tadi.

"Kau tahu, Byun, hanya untukmu aku bangun jam enam pagi untuk menggambar sebuah tato sialan."

Baekhyun melemparkan senyuman. "Dan kau tahu, Minseok, hanya kau satu-satunya orang yang aku percayai untuk pekerjaan ini."

"Ya, ya. Pujian hanya akan membuatmu mendapatkan banyak hal," dia berkata sambil melambaikan tangan. "Apakah ini orangnya?" ia bertanya, akhirnya menyadari kehadiran Chanyeol.

"Yep." Baekhyun menganggukan kepala. "prajurit baru kita."

Mata Minseok memandangi yang lebih tinggi dari atas hingga bawah. "Persis seperti tipemu, eh? Jangkung dan terlihat teler."

Chanyeol akan merasa terhina kalau saja dia tidak tersentak. Pandangan atasan barunya menatap Chanyeol melalui pasangan lensa beriris gelap miliknya dengan sangat intens, melihat tiap detil dari tubuhnya. Ia bergerak dengan tidak nyaman, menduga-duga apabila Baekhyun memiliki penglihatan x-ray.

Baekhyun menyeringai, sama sekali tidak terpengaruh dengan pertanyaan Minseok, malahan dia kelihatan menikmatinya. "Kau tahu hanya kau orang di dunia ini yang bisa berkata begitu padaku dan tidak kehilangan jari, bukan?"

Sang tattoo artist tersenyum. "Dan itulah mengapa aku mengatakannya … Ayo kita lakukan." Ia menepuk sebuah bangku yang terlihat penuh penyiksaan, tepat di sebelah kursinya.

Sebelum Chanyeol menyadarinya, Kris dan Tao sudah mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di atas bangku tersebut. Minseok memandanginya dengan penuh harap.

"Dimana kau ingin meletakkannya?"

"D-dimana aku ingin meletakkan apa?" dia bertanya, suaranya naik satu oktaf lebih tinggi dari biasanya. Dia tahu benar apa yang akan terjadi. Sebuah tangan yang dingin menyentuh leher bagian belakangnya dan Chanyeol seketika itu juga tersentak karena kaget di bangkunya.

"Lakukan di sini." Ujar Baekhyun. "Tepat dimana lehernya menyambung pada kedua bahunya."

Minseok mengulas cengiran. "Keren. Pilihan bagus … kau harus berputar."

"Huh?" Chanyeol bergumam dengan bodoh. Baekhyun menggerakkan kedua jemarinya dan penjaga-penjaganya lagi-lagi mengangkat Chanyeol, memutar tubuh si jangkung di atas bangku seperti yang dipinta.

"Dan tanggalkan pakaianmu."

Begitu tangan Tao beralih menggenggam penghujung kaos yang Chanyeol gunakan, dia buru-buru menghentikan pria itu. "Aku bisa melakukannya sendiri!"

Baekhyun mendengus.

Dia tidak sering berolahraga, jadi ia mulai merasa tak percaya diri begitu melepaskan kaus, terlebih menyadari bagaimana Baekhyun memandangi bentuk tubuhnya dengan intens. Ia tersentak dan melemparkan kausnya yang basah ke sisi lain. Baekhyun memberikan sebuah siulan rendah dan melipat kedua lengannya di depan dada.

Chanyeol merasa malu dan kemudian melakukan hal yang sama, berusaha untuk menyembunyikan dirinya dengan menggunakan kedua lengannya dan berusaha untuk tak menatap siapapun.

Minseok hanya tertawa melihat reaksi di antara mereka berdua sebelum mengenakan sepasang sarung tangan medis dan tiba-tiba, tanpa peringatan, dia mulai menuangkan cairan dingin ke atas leher Chanyeol.

"Ack!" Ia berteriak dan secara spontanitas membungkukkan tubuh karena rasa dingin.

"Kalau kau pikir itu mengejutkan, tunggu apa yang akan aku lakukan selanjutnya!" Sang penato mengeluarkan pena berwarna merah dan mulai menggambar sebuah sketsa. Chanyeol menunggu dengan sabar selama beberapa saat, mengetukkan jemarinya ke sisi bawah bangku. Ketika Minseok selesai, ia memanggil Baekhyun dan sang pria cantik menganggukan kepala sebagai persetujuan.

"Wow, Minnie, kau semakin cepat dan cepat di tiap perekrutan."

Sang penato memamerkan cengiran. "Jadi, semua oke? Penempatannya bagus?"

"Sempurna."

"Baiklah kalau begitu."

Chanyeol mendengar suara getaran kemudian, suara yang biasa hanya dia dengar di film. Ia tidak pernah pergi ke tempat membuat tato seumur hidupnya, tak pernah berpikir untuk menandai dirinya. Akan tetapi, itu karena dia tidak pernah berpikir akan terjadi sesuatu seperti yang selama dua hari ini menimpanya. Tato yang akan dibuat ukurannya kecil. Namun, tetap saja menakutkan.

"Cobalah untuk tidak bergerak," kata Minseok dengan suara rendah, meletakkan tangannya yang diberikan sarung tangan di atas bahu Chanyeol.

Tusukan pertama terasa … tidak nyaman. Dia merasa malu karena sepertinya dia sedikit berteriak ketika jarum menusuk kulitnya untuk kali yang pertama, tapi lebih baik begitu ketimbang dia bergerak dan ia lebih memilih merasa malu daripada memiliki sebuah tato permanen yang tanpa sengaja tercoret hingga ke punggungnya.

Sang atasan menyaksikan dengan pandangan terhibur sementara Chanyeol merasa kesakitan di bangkunya, menyeringai dengan perasaan sadisnya atas penderitaan orang lain.

Tapi, akhirnya semua berakhir, dan dia hanya duduk di sana selama beberapa saat, berusaha untuk bernafas sementara Minseok membersihkan peralatannya.

"Mau lihat?" Minseok akhirnya bertanya. Chanyeol mengangguk dengan lemah. Sang lelaki kemudian memutar kursi itu hingga punggungnya berhadapan dengan sebuah cermin besar, kemudian dia memberikan Chanyeol kaca yang berukuran lebih kecil untuk digenggam.

Agak sulit untuk melihatnya karena tangannya sangat bergetar mula-mula. Akan tetapi, ketika mereka berhenti bergerak, kaca itu menunjukkan kepadanya apa yang dia ekspetasikan. Itu adalah sebuah tato kecil yang sama, dengan yang ada di kaki Baekhyun dan pada pergelangan tangan sang penato, sebuah simbol sindikat mereka, tanda resmi bahwa dia sekarang bagian dari kelompok tersebut, bahwa ia berhutang budi kepada sosok pria yang saat ini sedang tersenyum merendahkan kepadanya karena sudah membiarkan ia hidup.

Itu adalah sebuah matahari hitam, atau begitulah kira-kira kelihatannya. Sebuah cincin gelap, berlubang di bagian tengah, dikelilingi oleh sepuluh garis dengan panjang berbeda. Setiap penghujungnya diakhiri sebuah bulatan berbentuk bola. Jadi, untuk Chanyeol, tato itu terlihat seperti versi lebih artistik dari gambar matahari yang biasa ia buat sewaktu dia masih kecil. Tapi kini semua terlihat lebih penuh makna. Dia perlahan-lahan bangkit dari bangku dan meletakkan kaca, kakinya agak sempoyongan.

"Ex tenebris lux," kata Baekhyun, menatapnya dengan begitu dalam tiba-tiba.

Pandangan Chanyeol menjadi hampa ketika yang lebih mungil menariknya ke dalam sebuah pelukan kaku. Ia menelengkan kepala dan berbisik tepat di telinganya,

"Perlu diingat … kau bekerja untukku sekarang. Kau adalah milikku … Selamat datang di keluarga kami."

TO BE CONTINUED

[T/N]

So, how is that? Don't you think it's sexy, picturing Baekhyun as someone destructive?

Banyak banget yang nanyain soal fic ini, jadi akan aku jelaskan satu per satu.

Fic ini belum tamat, memang originally begitu. Aku akan berusaha untuk update tiap hari Sabtu, jika tidak ada halangan aku bakalan update di tiap hari Sabtu dalam satu bulan. Untuk kali ini, aku update hari ini … karena, well, aku udah gak sabar buat update hehehe. Jadi, kalau ada yang nanya ending fic ini bagaimana, aku sendiri juga belum tahu, ya. Menurutku sih bakalan happy ending, tapi who knows? Ikuti saja terus kelanjutan dari kisahnya =)

Ini Chanbaek? Seme atau Top nya tetap Chanyeol, kan?

Iya, tenang saja. Di sini semenya tetap Chanyeol, tapi Baekhyun juga bukan tipikal uke atau bottom rapuh pada umumnya, dia di sini badass banget. Keren abis pokoknya, kalian harus baca terus, bagaimana perjalanan Baekhyun yang keras perlahan-lahan luluh sama Chanyeol dan jadi soft sama Chanyeol.

Di cerita ini ada angst gak?

Hayoo … ikutin dulu ceritanya. Hahaha. Aku kasih bocoran deh: buat aku sih di sini ga ada angst, tapi konflik pasti ada dan sedikit hurt juga. Cerita akan jadi lebih seru kalau ada konfliknya, kan?

Aku rasa udah, segitu dulu. Kalau ada saran / kritik dan pertanyaan tinggalin aja di komentar hehe! Jangan lupa juga berikan tanggapan kalian soal cerita ini. Aku gak memaksa, tapi hal itu bisa membangkitkan semangat aku untuk terus menerjemahkan cerita ini.

Last but not least, see you again soon!