Chapter Seven
.
.
.
Sakura memijat tengkuknya yang pegal, lelah karena duduk seharian di balik meja kerjanya. Semua dokumen telah diselesaikan dan email penting telah dikirimkan. Tunggu dulu, masih ada setumpuk dokumen lagi yang harus ia serahkan kepada atasannya untuk ditinjau. Hembusan napas keluar dari mulutnya, matanya terpaku pada tumpukan dokumen itu. Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian di New York. Anehnya tidak ada perubahan yang signifikan di tempatnya bekerja. Sakura masih melaksanakan tugasnya seperti biasa; Sasuke pun demikian. Semuanya tampak normal seperti tidak terjadi apa-apa, well, Sakura kadang merasa sedikit tidak nyaman ketika harus mendampingi Sasuke saat meeting atau saat atasannya itu berbicara padanya. Mungkin aku saja yang berlebihan, pikirnya.
Sakura mengetuk beberapa kali sebelum membuka pintu di hadapannya. Menjulurkan kepalanya, ia pun bersuara.
"Tuan Uchiha, saya membawa beberapa dokumen yang harus Anda tinjau ulang," nadanya sopan.
"Ah, taruh di situ," kata pria itu tanpa memalingkan wajahnya dari monitor. Sakura melakukan apa yang disuruh oleh atasannya itu. Matanya berkelana melihat tumpukan dokumen lain yang memenuhi meja di hadapannya. Penampilan pria di hadapannya pun tak luput dari perhatiannya. Dasi yang dilonggarkan, lengan kemeja yang terlipat, kacamata yang bertengger dihidungnya dan tentu saja kantung matanya yang menggelap. Sasuke terlihat sangat lelah. Kopi dalam gelas di sampingnya pun telah tandas diminum.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Sakura spontan.
"Tidak ada. Kalau semua pekerjaanmu sudah selesai, kau boleh pulang,"
"Saya akan buatkan kopi untuk Anda," suara ketikan pun terhenti. Kini atensi Sasuke beralih kepada sosok wanita itu.
"Tidak perlu," tegas dan dingin. Kata-kata itu tidak menghentikan Sakura untuk meraih cangkir kopi yang berada di samping Sasuke.
"Anda terlihat lelah, Tuan. Saya tahu bahwa Anda tidak akan berhenti sebelum semua pekerjaan Anda selesai. Setidaknya biarlah secangkir kopi mengisi energi Anda kembali," senyum kecil terukir di wajah Sakura. Dalam hati sebenarnya ia tidak tega melihat kondisi pria di hadapannya yang terlihat seperti akan pingsan kapan saja. Dengan hati-hati ia mengambil cangkir itu, takut akan reaksi apa yang akan ia dapatkan.
"Tunggu," tiba-tiba Sasuke menghentikan tindakan Sakura. Pria itu beranjak dari tempak duduknya.
"Aku perlu kau untuk melakukan sesuatu. Putar badanmu," seperti disihir wanita merah muda itu bergerak sesuai perintah. Matanya menatap jendela, memperhatikan bayangan yang terpantul. Perlahan pantulan itu semakin dekat hingga Sakura merasakan sesuatu yang hangat dipinggangnya. Uchiha Sasuke memeluknya, sangat erat.
"Maaf, tapi bisakah kita seperti ini sebentar saja? Lima menit, ah, dua menit saja," katanya sambil menyembunyikan wajahnya di balik rambut merah muda itu. Aroma bunga langsung menyapa indera penciumannya, membuatnya semakin terbuai dengan kehangatan yang ia rasakan. Sakura membatu, terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Butuh waktu baginya untuk meyakinkan diri bahwa yang dialaminya bukanlah mimpi. Tangannya bergetar, nyaris menjatuhkan cangkir kopi yang ia pegang. Sakura benci untuk mengakuinya tapi sungguh ia sangat merindukan pelukan dari Sasuke. Air mata mulai menggenang, tangan kanannya dengan hati-hati menyentuh sepasang tangan kekar dipinggangnya.
"Take your time," kata Sakura pelan, menahan isakan yang nyaris keluar. Detak jantung Sasuke yang cepat terdengar dengan jelas ditelinganya, membuat jantungnya juga berdetak mengikuti iramanya. Detik-detik mulai berlalu, pelukan itu perlahan mengendur.
"Maaf," Sasuke melepaskan pelukannya.
"Tunggu," Sakura meletakkan kembali cangkir kopi itu ke atas meja lalu meraih tangan Sasuke. Kali ini Sakura-lah yang memeluk duluan.
"Goddammit, Sasuke," kata Sakura sambil membenamkan kepalanya di dada bidang pria itu. Tanpa diminta Sasuke pun melingkarkan tangannya pada sosok dalam dekapannya itu. Pelukan itu begitu hangat dan posesif, membuat air mata yang Sakura tahan akhirnya keluar.
"Maafkan aku, Sakura. Maaf. Maaf," kata itu terus keluar dari mulut Sasuke bagaikan mantra.
"Maaf, aku tidak tahu segala kesulitan yang kau alami. Maaf sudah menjadi orang brengsek yang terus menyalahkanmu. Maaf, Sakura. Sungguh, aku sangat menyesal," Sasuke membenamkan kepalanya dibahu Sakura, menyembunyikan air mata yang keluar. Tubuh keduanya sama-sama bergetar karena tangis masing-masing. Jantung keduanya pun bedetak kencang berusaha mengungguli satu sama lain. Kata maaf terus keluar dari mulut Sasuke. Segala penyesalan pun ia sampaikan kepada wanita mungil dalam dekapannya. Tangan Sakura mulai bergerak, mengusap punggung Sasuke, berusaha menenangkan sekaligus memberitahunya bahwa ia tahu seberapa besar penyesalan yang pria itu rasakan. Perlahan Sakura melonggarkan pelukan mereka, memegang wajah Sasuke dihadapannya.
"Aku tahu, Sasuke. Aku juga minta maaf karena sudah menyalahkanmu atas hal yang sama sekali tidak kau ketahui. Maafkan aku," tangis keduanya pun kembali pecah, suara isakan memenuhi ruangan itu.
"Bisakah kita mulai lagi dari awal, Sakura? Aku tahu aku tidak pantas meminta ini kepadamu. Tapi, aku tidak tahan melihatmu setiap hari tanpa bisa memperbaiki kesalahan yang terjadi. Aku tidak bisa, Sakura. Maafkan aku yang egois ini tapi sungguh, aku tidak bisa," kata Sasuke di sela tangisnya. Sakura juga tidak bisa menahan dirinya. Tangisnya semakin kencang. Bohong kalau Sakura tidak merasakan hal yang sama. Tapi kebencian dan amarah sudah terlanjur menguasai dirinya hingga ia melupakan fakta bahwa sosok dalam pelukannya ini tidak bersalah.
"Kau tidak bersalah, Sasuke. Tapi, aku juga tidak bisa berpura-pura tidak ada yang terjadi. Kita tidak bisa kembali seperti dulu begitu saja," Sakura menghapus jejak air mata di wajah Sasuke, "Kita tata dulu hati masing-masing. Setelah itu baru kita coba menata hubungan kita, okay?", kata Sakura yang diakhiri dengan senyuman. Sasuke kembali memeluk Sakura dengan erat, ribuan kata terima kasih pun terucap. Ia tidak tahu harus berkata apa selain terima kasih kepada wanita itu. Sasuke merasa lega karena Sakura bersedia untuk memperbaikmemperbaik di antara mereka. Sasuke merasa bahagia.
"Okay, cukup pelukannya. Pekerjaanmu masih menunggu, Tuan Uchiha," Sakura mengingatkan. Sasuke melepaskan pelukannya dan tawa kecil pun keluar dari mulutnya.
"Ah, benar. Astaga aku sampai lupa. Maaf kau harus melihat sisiku yang cengeng ini," tangannya mengusap wajahnya sendiri. Keduanya pun tertawa. Sakura kembali mengambil cangkir kopi yang sempat ditinggalkan dan berlalu meninggalkan Sasuke.
"Sebenarnya ada satu hal yang menggangguku. Apakah barusan kau merokok? Baunya sangat menyengat," tanya Sakura sambil membuka pintu di hadapannya.
"Hanya dua batang. Aku butuh sesuatu untuk melepaskan stres, kau tahu," jawab Sasuke sambil memegang tengkuknya. Ia tahu bahwa Sakura sangat benci dengan rokok dan orang yang merokok.
"Well, ada aku di sini," kata Sakura sebelum hilang dibalik pintu. Sesaat Sasuke merasa bingung dengan perkataannya itu. Tiba-tiba bola lampu muncul di atas kepala Sasuke, akhirnya mengerti maksud ucapan Sakura. Senyum sumringah terukir di wajah tampannya. Perasaan bahagia meliputi dirinya. Sakura dan segala permainan katanya selalu bisa membuatnya berdegup, tidak ada yang berubah. Merasa energinya sudah terisi, Sasuke pun kembali kepada kegiatannya yang tertunda tadi.
.
.
.
Semua orang terlihat sibuk di kediaman Uchiha. Pemandangan pelayan yang lalu-lalang menyambut Sasuke begitu ia masuk. Aneh, tidak seperti biasanya.
"Kenapa semua orang sibuk sekali?" tanyanya kepada seorang pelayan yang kebetulan lewat.
"Ah, Tuan Sasuke sudah pulang rupanya. Maaf saya kurang memperhatikan. Itu, Tuan dan Nyonya Besar barusan tiba dari Canada," jawaban itu sudah cukup bagi Sasuke. Tidak, bukannya para pelayan di rumahnya itu munafik dan baru bekerja jika orang tuanya ada di rumah. Hanya saja saat ayahnya ada di rumah semua orang jadi direpotkan.
Sasuke langsung menuju ke ruang kerja ayahnya, seakan tahu bahwa Uchiha Fugaku akan berada di sana.
"Ayah, ada hal yang ingin kutanyakan," kata Sasuke setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk oleh Fugaku. Tatapan penuh tanya pun dilontarkan oleh pria paruh baya dihadapannya.
"Ayah masih ingat dengan Keluarga Haruno? Aku dengar mereka pindah ke Jepang," to the point, membuat Uchiha Fugaku terkejut.
"Kenapa tiba-tiba menanyakan mereka?"
"Aku hanya penasaran, dulu ayah dan Tuan Haruno sangat dekat bagaikan saudara. Rasanya aneh saja ayah tidak pernah menyebut nama beliau lagi selama sepuluh tahun ini," pria paruh baya itu terperanjat, tidak menyangka kata-kata itu akan terlontar dari mulut anak bungsunya.
"Bukan urusanmu," balasnya berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Bukan urusanku? Lucu sekali. Sungguh lucu sekali. Katakan padaku, apa yang sudah ayah lakukan pada mereka, hn?" Sasuke yang biasanya sopan kini menaikan nada bicaranya. Tentu saja hal ini tidak diterima dengan baik oleh ayahnya.
"Apa katamu?! Kau mulai tidak sopan, Sasuke!", Fugaku beranjak dari meja kerjanya. Mikoto, ibu Sasuke, yang mendengat teriakan suaminya lantas masuk, mencari tahu penyebab teriakan itu.
"Tidak sopan? Huh, setidaknya aku tidak menghancurkan keluarga orang lain hanya karena mereka menolak bekerja sama denganku,"
"APA KATAMU?!"
"Sasuke! Apa maksudmu?" Mikoto berusaha menengahi.
"Oh, apakah ibu tahu bahwa ayah, Sang Uchiha Fugaku yang luar biasa ini, telah menghancurkan Keluarga Haruno? Hanya karena mereka tidak mau bekerja sama dengan ayah? Ayah bahkan mengancam para pemegang saham perusahaan Keluarga Haruno untuk mencabut saham mereka jika tidak mau di-blacklist, kan?"
"DASAR ANAK KURANG AJAR!"
"Hentikan, Fugaku!" terlambat. Sebuah tamparan sangat keras mendarat di pipi kiri Sasuke, membuatnya mundur selangkah. Mikoto yang menyaksikan itu pun menghampiri anaknya.
"Kau keterlaluan, Fugaku! Bisa-bisanya kau-"
"Aku keterlaluan? Anak ini-lah yang sudah kurang ajar! Berani-beraninya dia berkata seperti itu!" tunjuk Fugaku dengan penuh amarah.
"Ayah marah karena barusan yang kukatakan adalah fakta, kan? Oh, satu hal lagi. Apa ayah tahu bahwa Tuan dan Nyonya Haruno sudah meninggal dunia? Hm? Tahu penyebabnya apa? Ego ayah yang besar itulah penyebabnya! Ayah sungguh, sungguh, sungguh, god, aku bahkan tidak tahu kata yang pantas untuk mendeskripsikannya," Sasuke berlalu meninggalkan ayahnya yang terdiam.
"Aku sebenarnya tidak mau mengatakan ini. Tapi sungguh, sungguh aku menyesal memiliki ayah yang tega melakukan apa saja hanya karena egonya yang besar itu ternodai sedikit," Sasuke terus melangkah meninggalkan Mikoto yang berteriak memanggil namanya. Pikirannya kalut, ia dipenuhi dengan amarah. Ia sebenarnya tidak bermaksud untuk berbicara kasar kepadanya ayahnya, hanya saja reaksi yang ia dapatkan membuatnya mendidih. Dengan segera ia tancap gas meninggalkan Kediaman Uchiha. Ia harus pergi menjauh sebelum meledak karena amarahnya.
Sasuke perlu menenangkan dirinya, mendinginkan kepalanya sebelum ia bisa melakukan hal yang lebih gila. Mobil hitam yang dikendarainya pun melesat, membelah jalanan, menuju tempat dimana ia bisa menemukan ketenangannya.
.
.
.
Saya usahakan chapter selanjutnya akan up secepatnya. Kritik dan saran dipersilahkan
-xoxo
2nd.