—LOVE LETTER—

Pagi ini masih seperti pagi sebelumnya. Tidak ada yang yang mengejutkan seperti loker milik salah seorang siswa yang penuh dengan surat cinta dan stempel bibir. Loker itu milik Jeon Wonwoo, seorang primadona di sebuah sekolah swasta Kyungsan Junior High School. Wajah tampannya telah berhasil memikat hati para gadis, ditambah dengan kepintarannya yang tak pernah diragukan lagi oleh siapa pun. Tetapi sikapnya yang terkesan cuek terkadang membuat para gadis mengeluh kecewa. Wonwoo tidak pernah menerima satupun dari pengakuan cinta mereka. Itu sebabnya mengapa para siswi gencar mengirim surat cinta setiap hari ke dalam loker Wonwoo.

Selain itu, beberapa orang secara gamblang menyerahkan langsung pernyataan cinta mereka, bersama dengan sebuah kotak bekal yang telah ditata sedemikian rupa agar menarik minat Wonwoo. Tetapi, sayangnya, mereka hanya mendapat delikan dan pengabaian. Yang secara tak langsung menyababkan keretakan pada hati mereka.

Ketika Wonwoo duduk di bangku dan hendak meletakkan buku paket ke dalam laci, ia menemukan sebuah catatan kecil. Wonwoo mencabut catatan itu dan membaca tulisannya.

Bisa datang ke aula pada jam makan siang hari ini, manis?

Wonwoo berdecak.

Hell, siapa pula orang gila menyebutnya dengan sebutan manis?

Wonwoo pun menyimpan catatan tersebut ke dalam saku. Tepat saat guru sejarahnya masuk.

••••

Jam makan siang telah dimulai sejak lima menit yang lalu, namun Wonwoo masih berdiam diri di tempat. Terlalu asyik dengan bukunya hingga melupakan eksistensi catatan kecil di dalam sakunya. Lagipula, ia sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan seseorang. Itu sangat mengganggu, ia pikir. Oleh karena itu, tidak ada gunanya ia mengikuti perintah yang tertulis di sana.

Wonwoo terkejut tatkala dua orang siswa mendobrak pintu kelasnya. Wonwoo sama sekali tidak mengenal keduanya, dan ketika mendapati tiga garis merah pada kerah kemeja putih mereka, barulah ia tahu jika mereka merupakan seniornya.

"Jeon Wonwoo hoobae-nim, kau telah membaca catatan yang ada di dalam lacimu, bukan?" tanya senior berantakan yang bername tag Choi Seungcheol.

Wonwoo terkesiap. Mau bagaimanapun ia hanyalah seorang hoobae yang harus menghormati seniornya. Tentu saja ia agak ngeri mendengar pertanyaan intimidasi dari Seungcheol.

"Y-ya, sunbae-nim. Saya sudah membacanya, tapi saya—"

"Tidak ada tapi-tapian Jeon Wonwoo! Cepat ikut kami!" kakak senior yang satu lagi menarik lengannya untuk ikut.

Pasrah diboyong kedua seniornya, Wonwoo hanya bisa menghela napas kasar. Ia benci berurusan dengan kakak kelas. Memangnya siapa sih orang yang ingin menyatakan cintanya kepada Wonwoo hingga harus menggunakan kuasa senior ini?

Mereka akhirnya tiba di aula. Wonwoo bergidik saat menyadai bahwa aula ini sepertinya sedang dihuni oleh banyak orang. Dan benar saja, ketika ia masuk, ia menemukan wajah-wajah asing yang jarang ditemui. Mereka semua pasti seniornya. Kurang lebih sekitar dua puluhan orang berkumpul dan bersorak menyambut kehadirannya.

Dua senior yang menariknya kini telah bergabung bersama kumpulan itu. Wonwoo berdiri di tengah-tengah mereka. Setelah itu aula tiba-tiba menjadi senyap dan digantikan oleh alunan musik klasik yang terkesan romantis. Wonwoo agak merasa takut karena tidak seorang pun mencoba bersuara, terlebih tidak ada yang membawa bunga atau segala macam seperti ketika Wonwoo akan diberi pernyataan cinta.

Kejutan lain menghampiri. Para seniornya tiba-tiba bergeser dan memberi jalan bagi seseorang yang kini tengah berdiri membelakanginya. Kedua mata lentiknya sontak membeliak karena mengetahui kejanggalan yang terjadi di sini. Hanya dari punggungnya saja Wonwoo bisa menebak bahwa orang itu bukanlah seorang perempuan. Hei, dia memakai celana seperti Wonwoo dan rambutnya cepak seperti pemain bola. Jika saja tidak seperti ini keadaannya, Wonwoo pasti sudah menertawakannya.

Kemudian lagu berganti menjadi sesuatu yang lebih mellow, mungkin seperti musik dansa yang sering Wonwoo tonton dalam drama. Saat itu pula, senior berambut cepak itu membalikkan badan.

Rahang Wonwoo serasa ingin jatuh.

Ia sama sekali tidak bisa mengontrol ekspresi wajahnya yang menunjukkan jijik dan geli. Bahkan ini pertama kalinya Wonwoo melihat senior yang sejelek itu. Rambutnya cepak, cara memakai seragam yang terlalu cupu, bibir yang tebal, dan kulitnya agak gelap dari laki-laki korea kebanyakan. Tak lupa Wonwoo melirik tag nama yang tersemat di dada kirinya, Kim Mingyu.

Astaga.

Sangat buruk dari apa yang Wonwoo bayangkan.

Mingyu tampak berjalan perlahan menuju Wonwoo yang meneguk liurnya kasar. Sungguh, ia ingin berlari dari tempat itu sekarang juga sebelum ia mendapat mimpi buruk saat terlelap. Dengan kedua tangan yang menggenggam setangkai bunga mawar, Mingyu menyunggingkan senyum terbaiknya. Detik itu juga Wonwoo pikir ia akan muntah.

"Jeon Wonwoo, matahariku."

Wonwoo tidak sadar jika seniornya itu telah berada lima kaki dari tempatnya berdiri.

"Hari ini kukumpulkan teman-temanku demi menyaksikan pernyataan suci yang akan kusampaikan kepadamu."

Baiklah, Wonwoo pikir isi perutnya kini telah berkumpul di tenggorokan dan siap untuk dikeluarkan.

Mingyu berlutut di hadapan Wonwoo dan menyodorkan bunga mawar itu ke arahnya.

"Aku, Kim Mingyu, secara resmi ingin mempersuntingmu di hadapan Tuhan dan teman-temanku. Maukah kau menjadi permaisuriku, Jeon Wonwoo?"

Astaga, astaga, apa salahku hingga mendapat pernyataan cinta dari orang ini, Ya Tuhan. Batin Wonwoo.

Aula kembali hening. Tidak ada lagi suara alunan musik romantis, kini pandangan semua orang tertuju pada Jeon Wonwoo. Tentu saja sekarang adalah sesi jawaban yang harus Wonwoo putuskan.

"S-sunbae-nim," Wonwoo memanggilnya pelan, "Maksudku, Kim Mingyu sunbae-nim." Ia kembali meneguk liurnya kala meihat senyuman Mingyu yang semakin lebar.

"Apa saya harus mengatakan apa yang ada di dalam lubuk hati saya?" Wonwoo bertanya.

"Tentu saja, sayangku."

Cih. Sayang apanya.

Wonwoo menarik napas dalam, membuat orang-orang di sekitarnya keringat dingin mendengar jawaban yang akan dilontarkan.

"Saya sungguh tidak menyangka akan mendapat pengakuan cinta dari sunbae-nim. Karena biasanya saya hanya mendapat pengakuan itu dari gadis-gadis cantik. Saya mengakui bahwa saya seorang bi, tetapi ini masih di luar perkiraan saya."

Mingyu tampak terkejut ketika Wonwoo mengaku bahwa dirinya adalah seorang biseksual. Tetapi ia masih memberikan kesempatan kepada Wonwoo untuk melanjutkan.

"Sunbae-nim sepertinya tidak pantas bersanding dengan saya. Saya adalah Jeon Wonwoo yang orang-orang kenal. Mereka mengatakan saya tampan, manis, sekaligus cantik. Saya tidak akan merusak keturunan saya nantinya. Jadi saya minta maaf sunbae-nim."

Jawaban panjang lebar itu jelas saja menimbulkan keterkejutan oleh semua pihak. Secara tidak langsung, Wonwoo menolak dan mempermalukannya dengan alasan bahwa Mingyu itu jelek dan tidak pantas bersanding dengan laki-laki tampan sepertinya. Hal itu tentu saja membuat Mingyu patah hati, sekaligus malu.

Lantas, Wonwoo beranjak tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tetapi sebelum melewati ambang pintu, ia berbalik dan berseru, "Bunga itu sunbae-nim ambil dari taman sekolah, bukan? Saya akan melaporkannya kepada Jung seonsaeng-nim karena sunbae-nim memetiknya tanpa izin. Permisi."

Tubuh kurusnya menghilang dibalik pintu yang tertutup, menyisakan Mingyu yang termangu dengan sakit hati yang teramat sangat.

••••

"Jeon Wonwoo, kau habis dari aula?" Soonyoung, teman Wonwoo yang kebetulan ditemuinya di koridor bertanya sembari menyeruput yoghurt stroberi.

Wonwoo mengangguk.

"Pernyataan cinta lagi?"

Wonwoo pun merampas yoghurt-nya dan meminumnya hingga surut. "Bahkan lebih buruk, kurasa. Aku seperti lupa cara bernapas ketika melihatnya."

Soonyoung tertawa. "Makanya jangan suka menolak cinta orang sembarangan, jadi kena karma 'kan."

"Diam kau, Kwon Soonyoung!"

Soonyoung menyejajarkan langkah mereka. "Ngomong-ngomong, tadi kau dipanggil Nayoung sunbae. Katanya dia ingin merekrutmu untuk menjadi relawan kelulusan."

Wonwoo sontak menghentikan langkah dan menatap Soonyoung terperangah. "Relawan apa?"

"Relawan kelulusan. Kau tahu kan, yang menyusun perlengkapan untuk upacara kelulusan siswa kelas 3." jelas Soonyoung sembari merotasikan kedua bola matanya.

Wonwoo terdiam sejenak. Relawan kelulusan? Ah, kenapa Wonwoo baru ingat jika kelas 3 akan melaksanakan upacara itu. Tetapi, pada detik selanjutnya ia tersenyum lebar. Well, itu artinya dia tidak akan bertemu sunbae jelek tadi kan?

"Tentu saja aku mau, Kwon Soonyoung!" Wonwoo berseru tiba-tiba dan membuat Soonyoung terperanjat. "Nanti aku yang akan menemui Nayoung sunbae. Terima kasih informasinya!"

Wonwoo beranjak tanpa mengatakan hal lain. Mengabaikan raut tak percaya dari wajah bulat Kwon Soonyoung. Pemuda sipit itu menggaruk kepala, heran dengan keputusan Wonwoo yang menerima tawaran tersebut. Padahal seingatnya Jeon Wonwoo tidak suka diperintah oleh senior.

*

—Graduation Ceremony—

Tidak banyak yang dikerjakan oleh relawan kelulusan yang rata-rata duduk di kelas dua. Mereka diberi arahan oleh guru-guru dan senior yang ada di sana. Tahun ini pertama kalinya dibentuk relawan kelulusan seperti ini, karena biasanya sekolah akan membayar pekerja dari luar yang memang bekerja pada bidangnya. Oleh karena itu, banyak yang bermalas-malasan saat menata beberapa bunga di atas panggung.

Wonwoo sendiri menyusun kursi-kursi yang tersedia bersama Soonyoung. Pemuda sipit itu juga ikut dalam tim relawan ini. Wonwoo mengerjakan semuanya dengan senyuman, ia bahkan sampai dipuji oleh Nayoung. Tidak seperti siswa lainnya.

"Saya senang bisa membantu sunbae-nim agar upacaranya berlangsung dengan baik." Kata Wonwoo, tak lupa senyum lima jarinya.

Nayoung memberinya dua ibu jari. "Aku salut padamu, Wonwoo."

Wonwoo tersipu. Tentu saja, memangnya siapa yang tidak senang diberi pujian oleh sunbae-nim yang paling cantik di sekolah ini? Meski baru kelas 3 SMP, tubuh Nayoung sangat tinggi dan semampai. Semua siswa di sekolah ini haruslah iri pada Jeon Wonwoo ini.

"Kudengar kau menolak Kim Mingyu dari kelas 3-3 ya, Wonwoo?" Nayoung bertanya lagi, kini raut wajah penasarannya mulai tampak. Berbeda dengan Wonwoo yang malah mematung.

"A-apa?" Wonwoo termangu. "S-saya memang sedang tidak ingin berpacaran, sunbae-nim."

Nayoung manggut-manggut. "Begitu, ya. Tapi sebaiknya kau minta maaf kepadanya, Wonwoo. Kau tahu, sebenarnya aku ini sepupunya. Dia sangat sedih karena kau menolak cintanya."

APA?

Wonwoo berharap lantai yang dipijaknya terbelah dan menenggelamkannya ke dasar bumi. Nayoung sunbae-nim sepupunya sunbae jelek itu? What the hell! Kenapa sepupunya cantik sekali!

"A-ah, saya sebenarnya sudah meminta maaf padanya, sunbae-nim. Tapi saya memang tidak sedang ingin menjalin hubungan apapun."

"Baiklah, Wonwoo. Dia memang terlalu membesar-besarkan keadaan." kata Nayoung, "Kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu karena sebentar lagi kita akan makan siang bersama."

Wonwoo mengangguk. "Baik, sunbae-nim."

Hari kelulusan tiba. Aula telah penuh oleh siswa dan siswa kelas 3. Keluarga mereka juga datang dan memenuhi setiap sudut aula, mengangkat tinggi kamera mereka untuk menjepret momen terakhir di sekolah menengah pertama. Selain itu, relawan kelulusan dari kelas 2 juga hadir karena kepala sekolah menjanjikan penghargaan bagi kerja keras mereka. Tetapi Wonwoo tidak ada di antara siswa-siswa itu. Pemuda itu malah dengan santainya masih bergelung di balik selimut. Ia tidak ingin pergi dan bertemu dengan Mingyu di sana.

Ponselnya berdering, menunjukkan nama Kwon Soonyoung di layar yang berkedip. Wonwoo mendengus malas sebelum mengangkat panggilan tersebut.

"Jeon Wonwoo, jangan bilang kau masih bercinta dengan tempat tidurmu!" seru Soonyoung dengan napas memburu.

Wonwoo merotasikan bola matanya, malas. "Aku tidak enak badan, Kwon."

"Kudoakan bokongmu semakin tepos!"

"Aku malas. Lagipula itu upacara untuk mereka, bukan untukku. Tidak ada keluargaku yang akan mengikuti upacara membosankan itu."

"Bilang saja kau tidak ingin bertemu sunbae yang menembakmu itu!"

"Siapa bilang!" Wonwoo menyulut. "Aku sedang menikmati liburan sehariku sebelum bertemu denganmu lagi besok."

"Baiklah, kau tidak ingin bertemu dengannya. Tapi aku serius, kau harus datang!"

"Aku sungguh malas—"

Ucapan Wonwoo terhenti ketika mendengar Soonyoung yang sedang berbicara dengan seorang perempuann. Hingga suara dari telepon itu berubah lembut dan penuh sarat kekhawatiran.

"Jeon Wonwoo, kenapa tidak hadir?" Itu suara Nayoung. Sial.

Wonwoo berdalih, "S-sunbae-nim, maafkan saya. Saya pikir eksistensi saya tidak akan diperlukan lagi di sana."

Nayoung menghela napas. Dan Wonwoo yakin Kwon Soonyoung pasti terbahak-bahak di belakangnya.

"Siapa yang mengatakan kau tidak diperlukan, Wonwoo? Kim seonsaeng-nim memintamu untuk memberikan pidato perihal kinerja kalian para relawan kelulusan."

Wonwoo sontak terduduk di atas ranjang. "Apa?!"

"Datanglah, Wonwoo. Aku akan menunggu lima belas menit dari sekarang."

Sambungan terputus.

Wonwoo mengusak surainya frustrasi. Ia menatap jam digital di atas nakas dan terbeliak ketika menemukan angka 7.35 berkedip di sana.

"Kwon Soonyoung sialan!!"

••••

Wonwoo tiba tepat saat upacara kelulusan dimulai. Ia langsung mencari Soonyoung di aula lantai dua. Dengan penampilan seadanya ia menembus kerumunan keluarga siswa kelas tiga yang juga berada di tempat yang sama. Soonyoung ada di sana, di antara kumpulan siswa yang menjadi relawan kelulusan.

"Soonyoung!"

Yang dipanggil segera menoleh, lalu melambaikan tangan.

"Cepat pergi ke belakang, sebentar lagi akan dimulai." kata Soonyoung.

Wonwoo tahu itu. Dia datang pada Soonyoung untuk ditemani. "Kau ikut aku!" serunya sembari menarik lengan Soonyoung.

"Aku benar-benar lupa tentang pidato." Ujar Wonwoo, ia terus merengut di depan Soonyoung.

"Ya, awalnya bukan kau yang akan pidato sih. Tapi Nayoung sunbae yang menyarankan dirimu pada kepala sekolah."

Wonwoo terbelalak. "Kau tidak bohong?"

Soonyoung menggidikkan bahu. "Untuk apa bohong di saat genting seperti ini? Lagipula Nayoung sunbae tahu kau pandai bicara." katanya, dalam hati meringis, pandai membual, mungkin.

"Dimana Nayoung sunbae?"

"Dia berkumpul dengan teman-temannya lah. Kau bersiap-siap saja, sebentar lagi giliranmu."

Tepat ketika Soonyoung mengatakan itu, nama Wonwoo dipanggil untuk memberi sedikit pidato mengenai kinerja mereka. Mengingat kegiatan ini sebagai perdana di sekolah, semua orang pasti akan kagum dengan sukarelawan ini.

"Soonyoung, Soonyoung, aku harus bagaimana?!" Wonwoo panik dan mengguncang-guncang tubuh berisi Soonyoung. Membuat pemuda sipit itu pusing.

"Yasudah tinggal naik dan berbicara apa susahnya sih!" Soonyoung melempar tatapan kesal.

Wonwoo menyalak, "Jadi kenapa bukan kau saja yang pergi?!"

"Memangnya sejak kapan namaku menjadi Jeon Wonwoo?" Merotasikan bola matanya, Soonyoung kembali berbicara, "Tarik napas dalam-dalam, lalu buang. Lakukan itu sampai kau tiba di podium. Aku akan melihatmu dari dekat. Sekarang pergi!"

Wonwoo pun mengikuti saran tersebut. Hingga akhirnya ia muncul di balik tirai merah yang menjuntai, melemparkan senyum canggung kepada para hadirin. Ketika telah berdiri di depan podium, Wonwoo mengeluarkan secarik kertas sebagai contekan manakala ia gugup dan lupa dengan apa yang harus ia katakan. Kepalanya diangkat dan memandang seluruh sudut aula yang hening.

"Selamat pagi," sapanya. Beberapa orang senior tersenyum ke arahnya.

"Saya Jeon Wonwoo dari kelas 2-1 yang akan mewakili tim relawan kelulusan yang telah berkontribusi banyak pada perhelatan akbar ini. Sebelum saya memulainya, saya ingin berterima kasih kepada Pak Kepala, guru-guru dan staf, para senior yang hadir, juga kepada teman-teman sekalian." Pandangan Wonwoo mengedar. Ia hanya penasaran terhadap reaksi orang-orang yang mendengarkan ocehannya. Ada yang tersenyum, menguap, melamun, bahkan di ujung sana ada yang tertidur.

"Pada tahun ini sekolah memilih beberapa siswa yang bersedia menjadi relawan kelulusan sebagai bagian dari kemandirian siswa. Jika di sekolah lain, mereka mungkin menggunakan jasa para pekerja, sementara kami dituntut agar menggunakan tenaga yang ada. Para sunbae juga banyak berkontribusi dalam membimbing kami. Kami tidak akan melupakan kebaikan mereka, saya harap mereka mendapatkan sekolah favorit yang mereka idamkan."

Wonwoo menundukkan pandangan untuk melirik tulisan di atas kertas. "Untuk teman-teman relawan...," ia mendongak dan sorot matanya langsung tertuju pada salah satu sunbae yang duduk di barisan ketiga dari depan. Itu adalah Kim Mingyu, yang sialnya tengah mengedipkan sebelah matanya saat menyadari tatapan Wonwoo. Seketika ia menjadi blank.

"Terima kasih untuk kerja kerasnya. Saya akan mengakhirinya sampai sini. Terima kasih!" Wonwoo membungkuk kemudian berlari ke belakang panggung, padahal masih ada acara serah-terima penghargaan untuk tim relawan. Bahkan Pak Kepala sudah mulai naik tangga menuju panggung.

Soonyoung yang sedari tadi melihat Wonwoo dari sudut, langsung berlari ke belakang panggung untuk menemui temannya itu.

"HEI, JEON WONWOO, ACARANYA BELUM SELESAI, BODOH!" teriaknya sekencang mungkin, hingga suaranya terdengar sampai ke telinga para sunbae yang mulai tertawa.

Wonwoo tampak seperti orang linglung. Ia berjalan mondar-mandri sembari menggigiti kukunya. Sesekali menepuk-nepuk kepalanya supaya mengenyahkan pemandangan menjijikkan tadi.

"CEPAT KEMBALI KE SANA!" seru Soonyoung lagi sembari mendorong tubuh kurusnya hingga hampir terjerembab.

"Apa? Kenapa?"

Nah, sepertinya Wonwoo jadi gila gara-gara sebuah kedipan mata.

"Kepada Jeon Wonwoo-haksaengie, mohon untuk kembali ke atas panggung."

Dasar bodoh, Jeon Wonwoo!

—TBC

Terinspirasi dari foto jaman predebut Kim Mingyu. I love him so much, so does Wonwoo. Sorry for typo(s) and some absurd things.

Let's visit my wattpad account: thankgyu or raininserenity (too much to handle).

xoxo