Genre : Fantasy, Drama, Romance
Pair : Kim Namjoon and Kim Seokjin, slight Lee Jaehwan and Kim Seokjin
Rate : M
Disclaimer : The characcharacters are not mine. I have not own anything except this story and idea.
Summary :
Ketika pandangan mereka bertemu, Namjoon merasakannya, perasaan ingin selalu melindungi dan ada disampingnya. Hanya dalam 8 detik, warewolf itu jatuh cinta, pada seorang manusia yang seharusnya menjadi musuh abadi bagi mereka. Dan Namjoon ingin merasakannya, apa jadinya jika ia menyentuh pipi merona dihadapannya? Apa jadinya jika bibirnya mengecup bibir semerah delima itu? Namjoon berbisik, "Mate-ku." (Namjin, BL, warewolf!AU)
Chapter 1 (Whisper)
Seokjin bersandar pada jendela mobil yang sedang melaju, ia menatap pada pepohonan basah di luar sana. Hujan lebat membasahi bumi saat itu. Dipertengahan bulan Juni ini, Seokjin memutuskan untuk pindah ke tempat yang tenang, sejuk, dan damai, serta bebas dari hiruk-pikuk kota Seoul.
Tatapan mata Seokjin jauh memandang kedepan, tangan kanannya menyentuh dada kirinya perlahan, ia menghela nafas pelan, sosok disampingnya menatap Seokjin dalam. "Jin-ah?" bisiknya lembut. Seokjin menoleh, pandangannya dengan Jaehwan bertemu, senyum kecil ia pasang untuk menenangkan tatapan khawatir pemuda tampan dihadapannya.
"Aku tidak apa-apa." Ucapnya pelan, Jaehwan menggengam tangan kurus Seokjin dan membawanya untuk menyentuh pipi hangatnya, Jaehwan tersenyum merasakan ibu jari Seokjin mengusap permukaan pipinya dengan lembut.
"Kau yakin?" Ucap Jaehwan dengan senyuman, dan Seokjin membalas dengan anggukan pelan, pandangan Seokjin beralih menatap jemarinya yang masih menyentuh pipi Jaehwan, ia menatap sendu cicin perak yang tersemat di jari manisnya.
'Apa aku yakin?'
Tepat pada pukul 4 sore, mereka tiba. Seokjin menutup pintu mobil hitam dibelakangnya dengan pelan, ia menatap takjub bangunan dihadapannya. Sebuah rumah yang tak begitu besar namun tak bisa dibilang kecil, dengan bahan bangunan yang didominasi kayu ek dan kaca transparan. Bangunan itu berdiri kokoh diantara pepohonan pinus dan ek merah, di depannya ada balkon dengan bunga bakung mengihasi pagarnya, lonceng angin yang dipasang di tiang bagian depan balkon itu bergemerincing lembut di telinga Seokjin.
Seokjin bernostalgia dalam renungannya, dulu ia sering kesini bersama kedua orang tuanya untuk menikmati liburan mereka, waktu kecil Seokjin yang menanam bunga bakung itu bersama ibunya sementara ayahnya pergi memancing bersama sang kakek, setelah kematian ibunya yang mendadak, mereka tidak pernah kembali kesini, ayahnya memutuskan untuk menikahi pekerjaannya, dan Seokjin kecil yang kesepian menghabiskan waktunya di rumah sakit.
"Jin-ah, barang-barangmu sudah ada di dalam, kita harus mempersiapkan keperluan medismu." Ucapan Jaehwan membuat Seokjin terlepas dari lamunannya. "Ah. Iya"
Mereka berdua masuk kedalam rumah itu, Seokjin melihat seisi ruangan yang nampak tak ada sedikit perubahan baginya, semua sama seperti dulu, hanya ditambah barang-barang pribadi Seokjin seperti buku, beberapa barang modern dan satu kamar penuh dengan peralatan medis layaknya rumah sakit kecil memenuhi isi rumah itu.
Sementara Jaehwan sibuk dengan pemanas ruangan, Seokjin memasuki area dapur, ia tersenyum kecil, mengingat begitu banyak kenangan dalam dapur ini. Ia mengingat dulu nenek dan ibunya yang pertama kali mengajari Seokjin memasak disini, seakan seperti baru kemarin, Seokjin mengingat rasa japchae pertama yang ia buat, rasa yang membuat ayahnya memujinya dan mengusap kepala anak laki-lakinya itu dengan bangga.
"Hey." Lamunannya kali ini terlepas karena Jaehwan melingkarkan lengannya dipinggang Seokjin, ia merasakan nafas hangat tunangannya itu dilehernya yang sensitif. "Sejak kita sampai disini, kau hanya diam. Ada semuanya baik-baik saja?" Bisik Jaehwan lembut.
"Hanya bernostalgia sedikit. Bagaimana heater-nya? Itu masih baru, harusnya tidak rusak."
Jaehwan terkekeh, ia mempererat pelukannya. "Sudah menyala kok. Hanya konslet sedikit, mungkin karena guncangan di mobil." Nafas lembutnya menggelitik leher Seokjin, dengan satu tarikan nafas pelan Jaehwan berkata, "Aku selalu bertanya-tanya, parfum apa yang kau pakai Jin?" Seokjin menyentuh tangan di pinggangnya pelan, dengan tawa kecil ia menjawab, "Sudah kubilang kalau aku tidak pakai parfum, mungkin itu wangi sabun mandi."
Mereka terdiam masih dengan posisi yang sama sampai suara langkah kaki mendekati mereka, sesosok wanita paruh baya tersenyum dengan tangan yang penuh membawa sekeranjang buah persik, segera Jaehwan menghampirinya dan membantunya mengangkat keranjang buah itu dan menaruhnya di meja makan didekatnya.
"Aigo~ maafkan aku yang seenaknya masuk kesini Seokjin-ah, tapi aku sudah memanggil dan tidak ada jawaban, karena pintu depan terbuka jadi aku masuk saja." Ucapnya dengan senyuman ramah.
Seokjin balas tersenyum. "Tak apa ahjuma, aku akan dalam pengawasanmu mulai hari ini." Seokjin membungkukan badannya, ia mengenali wanita paruh baya itu, Lee Shiwon, seorang perawat khusus bagi orang-orang yang menderita penyakit yang sama dengan Seokjin. Dan Seokjin sudah sering bertemu dengannya. Terakhir kali mereka bertemu belum lama ini, saat Seokjin mengurus kepindahannya.
"Suamiku baru saja panen, jadi ada banyak sekali buah persik, ini bagus untuk kesehatanmu, Seokjin-ah."
"Terima kasih, tolong sampaikan juga rasa terima kasih-ku pada Yewon ahjushi." Seokjin tersenyum lebar, pasangan Lee ini sudah seperti paman dan bibi baginya, Seokjin juga sering berkunjung ke rumah mereka yang tak jauh dari rumah ini saat ia kecil dulu, pertama kali ia dikenalkan pada pasangan Lee adalah pada saat ia pertama kali datang ke kota ini. Ia ingat betul ketika Ahjushi dan Ahjuma Lee memperkenalkan diri mereka sebagai teman dari kedua orang-tuanya.
"Aku mendukung keputusanmu pindah kesini Seokjin-ah, suasana dan udara disini bagus untuk perkembangan kesehatanmu." Senyum mengembang di bibir wanita paruh baya itu, pandangannya beralih menuju Jaehwan yang saat ini menata buah-buahan di atas meja makan.
"Dokter Lee, saya sangat berterima kasih karena sudah megizinkan uri Seokjin pindah ke kota kecil ini." Ia memandang Jaehwan penuh makna yang dibalas senyum ceria dan gelengan kecil oleh Jaehwan.
"Dari awal aku sudah setuju dengan keputusan Seokjin untuk pindah kesini, meskipun kita akan menjalani hubungan jarak jauh." Jaehwan mengusap tengkuk lehernya pelan, "Lagi pula Seoul tidak begitu jauh dari sini." Tambahnya.
"Appa awalnya melarangku," helaan nafas Seokjin terdengar berat. "Tapi akhirnya Ia mengijinkanku setelah diyakinkan oleh Jaehwan hyung." Jelasnya demikian.
"Aigo~ tidak heran juga kalau Kyuhyun-ssi melarangmu, tapi disini ada aku dan Yewon, kau akan baik baik saja Seokjin-ah." Dengan langkah pelan mereka bertiga berpindah tempat ke ruang perawatan Seokjin, Jaehwan menjelaskan dengan detail peralatan yang ada di dalam ruang medis yang lengkap itu kepada Shiwon ahjuma, dan Seokjin hanya memandangi mereka dari ruang tamu sambil memakan buah persik yang sudah dikupasnya.
Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 8 malam, Shiwon ahjuma berpamitan pada mereka, "Biar kuantar pulang." Ucap Seokjin lembut. "Rumahku hanya disebelah rumahmu Seokjin-ah, kau bisa melihatnya." Ia menunjuk bangunan sederhana, namun luas berwarna kuning gading tak jauh dari pandangan mereka. "Hanya beberapa langkah dan turun sedikit." Ucapnya lagi. "Tidak apa-apa, kami akan mengantarmu." Jaehwan menggengam tangan Seokjin, dan mereka pun mengantarkannya hingga sampai depan rumah wanita paruh baya itu, rumah yang indah dan asri, menurut Seokjin.
"Terima Kasih, suami dan anak laki-laki ku belum pulang dari pasar, besok pagi kalian bisa menyapa mereka. Ah, ya. Seokjin-ah, uri Sandeul selalu menanyakan kapan kau akan tiba disini." Seokjin mengingatnya, Sandeul, anak laki-laki semata wayang Pasangan Lee, teman kecil Seokjin.
Bisa dibilang Sandeul adalah teman pertama Seokjin. Mereka sering bermain di rumah pohon yang di bangun Yewon ahjushi dekat rumah mereka, Sandeul adalah orang yang mengajarkan Seokjin memanjat, tentu tanpa sepengetahuan ayah Seokjin. Namun setelah kematian sang ibu, mereka tidak pernah bertemu. Meskipun ia sering bertemu dengan Shiwon ahjuma, yang berkerja di rumah sakit tempatnya di rawat dulu, tapi ia tak pernah melihat Sandeul lagi. Terakhir kalinya ia melihat Sandeul adalah saat pemakaman ibunya. Dan itu sudah 8 tahun lamanya.
"Benarkah? Besok pagi aku akan datang menemuinya, Ahjuma." Senyum lebar mengembang di bibir ranum Seokjin. Setelah Shiwon ahjuma masuk ke rumahnya, Seokjin dan Jaehwan kembali. Hari ini adalah hari yang melelahkan namun juga membahagiakan untuk mereka.
Sesampainya di rumah, Jaehwan mengunci pintu dengan perlahan, memastikan semuanya terkunci dengan benar lalu menutup gorden putih dihadapannya. Langkahnya terhenti saat ia mendengan suara lolongan, meskipun samar, namun terdengar jelas di telinganya yang tajam. Dahinya mengerut pelan.
"Jaehwan hyung, apa kau lihat peralatan lukisku?" Panggilan Seokjin menyadarkannya, dan ia bergegas menghampiri tuanngannya yang kini sibuk dengan kardus kardus di kamarnya, ia duduk di lantai kayu seraya menggerakan kepalanya secara acak, mencari peralatan lukisnya.
"Peralatan lukismu sudah kuletakan di meja dekat perapian, Jinnie." Ia berjongkok di samping tunangannya seraya mengusap lembut surai hitam Seokjin. Seokjin menoleh, tatapan lembutnya menatap mata indah Seokjin yang balas menatapnya. Perlahan Jaehwan mendekatkan wajah mereka hingga ujung bibirnya menyentuh ujung bibir Seokjin, namun Seokjin segera menjauhkan wajahnya. "A-aku akan mengambilnya." Lalu ia bergegas menuju ruang tamu.
Jaehwan menundukan kepalanya, masih diposisi yang sama. "Jin-ah." Desisnya pelan.
Suara detak jarum jam memenuhi ruangan kala itu. Seokjin duduk di atas sofa dengan selimut beludru lembut menyelimuti bahunya, kedua kakinya terangkat keatas, tangan kurus itu sibuk dengan kertas sketsa dan pensil dihadapannya. Ia menoleh, menatap jam yang kini menunjukan pukul 10 malam, ia baru akan bergegas dari ruang nyamannya sampai Jaehwan menghampirinya dengan sehelas air dan wadah kecil dengan beberapa butir pil yang berbeda ukuran dan warna.
Jaehwan duduk disamping Seokjin, tanpa berkata apapun Seokjin meminum semua pil itu dengan teratur dan menenggak air putih digenggamannya sampai habis. "Seokjin-ah." Jaehwan menggambil gelas dari genggaman Seokjin, ia menatap pemuda dihadapannya dalam. "Besok pagi aku harus kembali ke Seoul, aku akan datang kesini tiap hari minggu atau hari libur." Ada rasa kelu di sela kalimat yang diucapkan Jaehwan, berjauhan dengan orang yang dicintai adalah sesuatu yang menyakitkan namun, ini jauh lebih baik dari pada ia bertemu dengan Seokjin tiap hari tapi melihat pemuda itu seolah terkekang dan tidak bahagia.
Sudah 24 tahun Seokjin hidup di Seoul, dan sisa hidupnya ia habiskan di rumah dan rumah sakit saja. Ia senang melukis, dan menjadi pelukis profesional serta memiliki sebuah galeri adalah impiannya, bagaimana ia bisa melukis keindahan alam yang sudah lama ia bayangkan jika lima langkah ia keluar dari rumahnya saja sudah membuat ayahnya naik darah, ayahnya selalu beralasan jika ia berkeliaran di tengah kota adalah hal yang membahayakan. Seokjin mengerti, ayahnya begitu protektif karena takut kehilangan putra semata wayangnya, karena penyakit yang sama merenggut nyawa istrinya.
Butuh waktu beberapa tahun untuk meyakinkan Ayah-nya agar mau mengerti apa yang diinginkan anaknya. "Kau harusnya fokus pada kesehatanmu saja." Itu yang selalu diucapkan sang ayah jika anaknya mengungkit tentang impiannya. Namun ia dan ayahnya tahu, sang ibu tumbuh di kota yang sejuk dan damai ini dahulu, mereka sering kesini dan tidak ada yang membahayakan disini, dan mereka semua tahu, Seokjin akan merasa damai dan bebas jika ia disini.
Setelah tertegun beberapa menit, Seokjin berkata. "Aku mengerti. Terima Kasih, hyung." Dengan lembut Jaehwan menyentuh pipi halus Seokjin, "Apapun akan kulakukan untukmu, asal kau bahagia, Jinnie." Ucapnya pelan namun bisa didengar jelas oleh Seokjin. Sekali lagi Seokjin tertegun, perasaan hangat menyelimutinya, dan kali ini ia memejakan matanya seraya mendekatkan wajahnya pada wajah tampan Jaehwan. Tampak tatapan kaget Jaehwan yang kini melepaskan sentuhan tangannya dari pipi Seokjin.
"Jin-ah? Boleh kah?" Bisiknya pelan, dan Seokjin mengangguk sebagai jawaban.
Dengan perlahan Jaehwan meraih rambut belakang Seokjin, mengelusnya dengan lembut seranya menautkan bibir mereka berdua. Ciuman itu terasa lembut dan manis, dengan hati-hati Jaehwan mengapit bibir penuh dan ranum milik Seokjin dengan bibirnya. Perlahan, lidah mereka bertaut, tangan kurus Seokjin berada di dada bidang Jaehwan, nafasnya sedikit tersengal. Ini adalah ciuman pertama mereka. Jaehwan memang tunangan Seokjin, namun mereka tidak berpacaran, Jaehwan adalah dokter yang menangani Seokjin, mereka berkenalan 4 tahun yang lalu, mereka dekat dengan mudah karena banyak kecocokan yang mereka rasakan pada diri masing-masing, satu minggu yang lalu mereka bertunangan, dan pada detik itu Seokjin pertama kali mengetahui fakta bahwa Jaehwan mencintainya, dan ayah Seokjin lah yang menjodohkan mereka berdua.
Bibir mereka masih bertaut, wajah Seokjin yang tadinya agak pucat kini memerah. Ia mengeratkan pegangannya pada kemeja bagian dada Jaehwan, dan Jaehwan pun tersadar, ia melepas ciuman mereka perlahan, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci hanya untuk memberi mereka ruang untuk bernafas. Jaehwan memandang bibir merah terang milik Seokjin yang kini tampak bengkak, ia tersenyum penuh arti.
"Aku mencintaimu." Jaehwan memeluk Seokjin, ia meletakan dagunya di bahu Seokjin. Seokjin yang masih terengah hanya membalas dengan anggukan pelan. Dan senyuman di bibir Jaehwan perlahan menghilang, terganti oleh senyuman sedih yang tentu saja tak dapat dilihat Seokjin saat itu.
Malam itu mereka tidur di ruangan yang terpisah. Seokjin tidur di kamarnya, dan Jaehwan tidur di atas sofa ruang tamu yang nyaman dekat perapian.
Hingga pagi tiba, Jaehwan sudah bersiap. Ia mengobrol pada supirnya sebentar, lalu kembali ke dalam rumah, mengambil barang-barangnya. Seokjin duduk di tangga balkon rumahnya, tangan kurusnya menggengam secangkir coklat hangat kesukaannya.
"Jin-ah, aku berangkat ya. Jaga dirimu baik-baik, telpon aku kapanpun kau mau." Jaehwan membantu Seokjin berdiri, lalu mengecup pelan pipinya. "Sampai ketemu hari minggu." Ucap Seokjin pelan, ia masih setengah mengantuk. Mereka melambaikan tangan, Seokjin masih berdiri disana sampai mobil sedan hitam itu menghilang dari pandangannya.
Seokjin tersenyum lebar. Ia sudah memiliki rencana cemerlang hari ini.
Setelah mandi ia menuju dapur untuk sarapan, dengan sedikit keheranan ia menatap meja makan yang kini tertata rapih. Lauk dan nasi, lengkap dengan sup. 'Ahjuma membuatkan ini, dimakan ya. Kalau kau mencariku, aku ada di ladang samping rumahku' secarik kertas dengan pesan sederhana itu membuat Seokjin tersenyum senang. "Sepertinya ahjuma yang menyiapkan ini saat aku mandi." Gumam Seokjin.
Setelah sarapan Seokjin bersiap, ia memasukan peralatan lukisnya ke tas, nyanyian kecil keluar dari bibirnya saat ia menyimpulkan tali sepatu berwarna coklat itu dengan riang. Tak lupa mengunci pintu, ia merapihan sweater-nya sekali lagi dan pergi bergegas keluar dari rumah.
"Ahjuma!" Seokjin memanggil untuk kesekian kalinya namun tak ada jawaban, "Apa aku kesiangan ya?" Ia menggaruk belakang kepalanya pelan.
"Oh tuan muda, mereka sedang pergi mempersiapkan festival." Suara asing itu membuat Seokjin menoleh, ia menatap seorang kakek yang nampak tua namun masih gagah, terlihat dari caranya memanggul cangkul yang lumayan besar di bahu kirinya, ia berjalan mendekati Seokjin dengan senyum ramah.
"Ah, begitu. Eum, terima kasih banyak." Seokjin membungkukan badannya. Kakek itu tersenyum ramah, "Sepertinya kau orang baru disini, namaku Im Yosung, aku yang memiliki perkebunan anggur dibawah bukit ini. Kalau mau, mainlah ke tempatku, nak." Keramahan kakek itu membuat Seokjin tersenyum hangat, pindah kesini adalah keputusan yang tepat, menurutnya.
"Terima kasih banyak." Dengan penuh rasa hormat, Seokjin kembali membungkukan badannya. "Nama saya, Kim Seokjin. Senang berkenalan dengan anda, Tuan Im." Kakek itu menepuk bahu Seokjin pelan. "Tak usah terlalu formal, anak muda dan tampan sepertimu harusnya lebih sangar." Tawanya. Seokjin tersenyum miring, seketika ia jadi tambah jatuh cinta dengan tempat ini.
"Anu, maafkan aku kalau tidak sopan tapi aku harus segera pergiーum, Kakek Yosung." Seokjin tampak tak enak namun ia memang harus pergi.
"Oh, oh baiklah Seokjin-ah. Pemuda tampan sepertimu akan sangat mudah diingat, akan kusampaikan salammu pada Yewon dan Shiwonーah dan juga Sandeulie." Kakek Yosung mengangguk mengerti, Seokjin menunjukan manner-nya, sambil mengucapkan terima kasih ia membungkuk sekali lagi. Sepasang teman baru itu memutuskan untuk berpisah, "Kalau kau mau berkeliling, hati-hati lah dengan beruang, disini ada banyak hewan buas." Ucap kakek Yosung memperingatkan, Seokjin mengerutkan dahinya. Ia sering kesini dulu, dan menjelahah hutan bersama Sandeul, ia ingat betul kalau disini tidak ada hewan buas. Seokjin menganggap ucapan kakek Yosung sebagai candaan.
Ia melangkah jauh ke dalam hutan, memorinya lah yang menuntunnya.
Ia tak merasa asing sedikit pun pada hutan ini, meskupun jalan setapak yang selalu ia lalui dulu kini ditumbuhi semak belukar dan ilalang yang tinggi, ia merasa bahwa ia akan segera sampai. Seokjin melihat jam digital di pergelangan tangan kirinya, sudah dua setengah jam ia berjalan. "Harusnya sudah dekat." Gumamnya.
Langkah Seokjin terhenti saat ia merasakan ada gerakan yang sangat cepat menembus angin dihadapannya. Ia tertegun. Sampai tiba saatnya ia mengalihkan pandangannya ke belakang, dan menatap sepasang bola mata keemasan yang menatapnya tajam. Seokjin tetap berada pada posisinya, dihadapannya kini, ada sesosok hewan buas, berbalut bulu coklat terang nan tebal dan nafas yang mengeluarkan asap putih yang samar. Mahluk dihadapannya adalah seekor srigala. Srigala yang paling besar yang pernah Seokjin lihat.
Seokjin tak gentar melihatnya, ia tak takut sedikit pun. Seokjin merasa bahwa ia... takjub. Bulu coklat terang itu tampak begitu indah dan hangat mata keemasan yang menatapnya itu tajam dan tegas. Seokjin terpesona olehnya, cukup lama ia terdiam menatap srigala besar itu sampai ia merasakan pandangannya sedikit kabur. Ia baru sadar kalau ia berjalan sudah terlalu jauh hanya untuk mencari danau yang indah dalam memorinya, tempat ayah dan kakeknya memancing dahulu. 'Ah sial, aku kelelahan.'
Wajahnya kini memucat, tubuhnya mulai lunglai, karena terlalu bersemangat Seokjin lupa batasan, bodohnya ia. Dan ia pun jatuh perlahan, namun tak sampai tubuhnya menghantam tanah basah di bawahnya, sesuatu yang kuat dan hangat menyelimuti badan lemahnya, disertai lolongan lirih yang sempat ia dengar sebelum kegelapan menyelimuti pandangannya. Ia pingsan.
Seokjin mengerjap pelan, mencoba menormalkan pandangannya. Saat ia sadar sepenuhnya, ia menatap langit-langit yang terbuat dari kayu mapel, yang dipoles dengan kasar namun terlihat indah dimatanya. Tempat ini begitu asing baginya. Dari pada dibilang rumah, tempat ini seperti hmm... markas?
"Kenapa kau bawa manusia kesini Taehyung?!" Suara bentakan yang terdengar asing mengagetkan Seokjin, ia menatap sekeliling mencari sumber suara tersebut, namun yang ia temukan hanya sepasang siluet dua orang pemuda yang saat ini seperti sedang beradu argumen.
"Dia pingsan! Kalau kutinggalkan dia bisa mati, Jimin!" Pemuda yang dipanggil Taehyung itu balik membentak pemuda yang ia panggil Jimin.
Dengan perlahan Seokjin bangun, ia bertumpu pada lengan kirinya, dan duduk perlahan. Ia baru sadar tempatnya tidur tadi adalah setumpuk jerami yang diberi alas bulu beruang.
"Mereka adalah musuh kita! Kau tidak sadar kalau kau sudah membahayakan nyawa kelompokmu sendiri?!" Pertengkaran itu masih berlanjut.
"Aku tahu itu tapi.. dia, saat aku melihatnya aku tahu kalau," Taehyung memberi jeda, suaranya mengecil kali ini. "kalau dia berbeda."
Mereka diam. Tak lama kemudian mereka masuk ke tempat Seokjin berbaring, pandangan mereka membelalak melihat Seokjin yang kini balas menatap mereka tak kalah kagetnya.
"Kau.. bangun?" Ucap pemuda berambut coklat terang, senyumannya lebar dan agak canggung. Sedangkan pemuda yang lebih pendek darinya menatap Seokjin tajam, surai pirang kecoklatan itu membuat Seokjin terpana.
Seokjin tertegun, masih merasa takjub, dua pemuda dihadapannya tampak sama seperti dirinya, sepertinya umur mereka tak jauh berbeda hanya saja, mereka terlihat bagai mahluk dalam negri dongeng.
"Siapa namamu?" Tanya Taehyung lagi. Seokjin tersadar, ia membetulkan posisi duduknya. "Ah, Namaku Kim Seokjin." Tak lupa ia merendahkan tubuhnya, "terima kasih sudah menolongku." Tambahnya.
"Hallo, Seokjin. Namaku Taehyung dan ini Jimin." Taehyung tersenyum lebar. Ia melirik Jimin yang hanya mendengus disampingnya. Perkenalan singkat mereka terhenti karena tiba-tiba tiga orang pemuda lainnya datang.
Sama seperti sebelumnya, suasana dalam ruangan itu agak canggung. "Hoseok hyung, dia tidak terlihat berbahaya bagiku." Ucap pemuda dengan baju kodok berbahan denim yang menurut Seokjin cukup imut. "Hallo, aku Jungkook." Ia memperkenalkan dirinya. "Aku. Um, Kim Seokjin." Ucapnya pelan. Mereka kembali tertegun.
"Kalau alpha melihatnya, aku yakin kalau dia tidak berbahaya. Aku percaya Taehyung hyung." Ucap Jungkook lagi.
Seokjin bingung namun ia masih bisa bersikap tenang, ia tidak tahu apa yang dibicarakan sekelompok pemuda ini. Berbahaya? Siapa? Aku?
"Hanya alpha yang bisa memutuskan kalau kita akan membunuhnya atau membiarkannya hidup." Perkataan pemuda dengan surai pirang terang, hampir menyerupai warna putih itu nyaris membuat Seokjin loncat dari duduknya. Ekspresinya menegang.
"Aーapa salahku...?" Bisiknya pelan. Namun pemuda dengan surai coklat keemasan yang berdiri lumayan jauh dari mereka itu dapat mendengarnya. "Kau tidak salah, hanya saja ini, hmm... adalah hukum alam." Jawabnya pelan.
"Yoongi hyung bicara apa sih? Hoseok hyung juga jangan bikin tambah cangung!" Protes Jungkook. "Mereka hanya bercanda kok." Taehyung menanggapi dengan kekehan pelan. Ia sedikit gugup.
"Yang putih itu Yoongi hyung dan yang coklat itu Hoseok hyung." Pemuda bernama Jungkook memperkenalkan mereka, Seokjin menahan senyumnya, cukup lucu baginya memperkenalkan kedua temannya sesuai dengan warna rambutnya.
Tak lama kemudian Taehyung seperti mengendus sesuatu, "Alpha datang." Ia berdiri, "dan ia terluka." Lanjutnya, membuat semua mata disitu, kecuali Seokjin membelalak.
Datang sesosok srigala berbulu silver dengan luka sayatan di lengannya. Seokjin melihatnya dengan tatapan takjub dan tanpa sadar ikut mendekat dengan yang lain.
Terlihat dari mata mereka semua tampak panik, Seokjin berbisik. "Dia perlu diobati." Mereka semua, kecuali srigala itu menoleh. Seokjin mengambil sesuatu dari tasnya, kotak P3K yang selalu harus ia bawa, Jaehwan yang selalu menyiapkannya, ia tahu tunangannya itu ceroboh.
"Ia seperti habis dicakar." Tangannya dengan telaten membalut luka yang ada pada srigala anggun itu. "Aku sering diajari membalut luka oleh temanku di rumah sakit kalau sedang senggang, aku juga belajar CPR." Ucapnya dengan bangga.
"Selesai." Senyum Seokjin mengembang lebar. Taehyung dan Jungkook ikut tersenyum. Sisanya menatap Seokjin dengan pandangan sulit diartikan.
"Sebenarnya kau tidak usah melakukan itu. Ia akan pulih dalam waktu beberapa menit." Hoseok terkekeh. "Huh?" Seokjin memiringkan sedikit kepalanya. Bingung.
"Sepertinya alpha lawannya mati." Jimin berucap pelan. "Huh?" Tanda tanya besar menyelimuti Seokjin sekali lagi.
Srigala yang masih setengah sadar itu mengeratkan giginya, membuat Seokjin menatap padanya, tertegun sekali lagi.
"Sebaiknya kau jangan lihat ini dulu." Taehyung menggengam lengannya, ia mengikuti mereka keluar dari ruangan itu masih dengan kebingungan yang melandanya.
Seokjin duduk bersandar pada tembok kayu dibelakangnya. Segerombolan pemuda tadi pergi entah kemana, "Kami mau pergi cari makan dulu." Ia ingat Taehyung bicara seperti itu, ia bisa saja pergi dan kabur sekarang tapi nuraninya mengatakan kalau ia harus tinggal disini lebih lama. Dan lagi ia masih menyimpan tanda tanya besar. Siapa mereka sebenarnya?
Suara langkah kaki yang berat menyadarkannya, lalu ia berdiri, menatap pemuda bertelanjang dada, hanya dengan memakai celana jeans, otot bisepnya yang tampak kekar dibalut oleh keringat, rambut platinanya tersingkap kebelakang mengikuti pola bergelombang diatas telinganya, pemuda itu begitu besar dan tinggi. Lalu mereka bertatapan.
Jantung Seokjin berdegup kencang. Ia merasa iris zambrud itu menatapnya dalam seolah ia ditarik dengan lembut kedalamnya. Waktu seolah berhenti ketika mereka bertatapan, ada sengatan dengan sensasi menyenangkan hadir di antara mereka, tak terdengar suara apapun selain detak jantung masing-masing. Getaran itu terasa begitu menghanyutkan, seolah mereka hidup untuk pertemuan ini, seakan mereka memang ditakdirkan untuk menanti datangnya hari ini.
Pemuda tampan itu berbisik pelan. "Mate-ku."
To be continued
[Author Note]
Hello, i'm new here. Terima kasih sudah membaca, silahkan meninggalkan jejak dalam bentuk apapun. Cerita ini terinspirasi saat saya dengerin lagu The Truth Untold pas hujan2 naik gunung hehe~ Semoga suka, dan ini original pemikiran saya, jadi kalau ada yang mirip2 maaf ya *bow* tapi jangan tuduh saya plagiat, please *peluk RJ*
P.S. di chapter depan saya akan ungkapin apa penyakit Seokjin. Dan ceritanya mulai fokus ke Namjin. dan saya juga berusaha akan update seminggu sekali.