Summary: Naruto awalnya ragu menjalin cinta dengan wanita yang baru dikenalnya di bar namun pikirannya salah, Sakura memenuhi kriteria idealnya yang membuatnya perlahan jatuh cinta namun Naruto merasa ada sesuatu di balik senyum yang selalu Sakura ukirkan untuknya/"Aku ini bukan wanita sempurna seperti yang kau kira, semuanya palsu."/

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

WARNING: Mainstream, Typo, OOC

.x.

Naruto bersenandung kecil disela-sela mengemudinya; sudah lama ia tidak mengendarai mobilnya, terakhir kali sewaktu dirinya wisuda, ia membawa gōng zhǔ keliling kamakura untuk merayakan wisudanya bersama teman-temannya; ia sebenarnya ingin membawa gōng zhǔ ke tokyo tetapi karena ia baru mulai tinggal di sini, belum memiliki tempat tinggal, terpaksa tak membawa gōng zhǔ.

"Aku ikut senang melihatmu bahagia Tuan Naruto." kata Yamato. "Tetapi aku harap ini tak menimbulkan skandal baru untukmu."

"Apa maksudmu?" tanya Naruto heran.

Yamato menepuk keningnya. "Ini yang kucemaskan." keluhnya. "Aku tahu wanita itu, dia adalah anak dari Kizashi Haruno, partner-mu dulu, kau pasti tahu kan seberapa pengaruhnya Kizashi di jepang?"

"Tentu saja aku tahu," sahut Naruto, jika tidak, ia takkan mencoba mengajak kerja sama dengan Kizashi dulu.

"Kau tahu Tuan?" Yamato sedikit ragu mengatakannya sebab sudah lama sekali ia tak pernah melihat Naruto berbuat ceroboh. "Kalian berdua berciuman di depan umum!" serunya panik. "Ini akan menjadi skandal panas keesokan harinya!"

"Oh! Sungguh?" tanya Naruto syok; ia baru tahu konsekuensi yang menunggunya; namun ia tidak merasakan terbebani justru jujur ia merasa senang. "Biarkan. Dengan begitu semua orang tahu Sakura milikku."—ia harap Sasuke juga melihatnya.

Yamato menepuk keningnya, lagi. Inilah alasannya tidak menyukai ketika Naruto jatuh cinta sebab tuannya itu tak peduli akan reputasi yang sudah dibangun olehnya serta ayahnya sendiri. "Aku tidak melihat wartawan tadi tetapi aku bukanlah ahlinya soal ini, mereka selalu menemukan cara lain agar bisa mendapat berita panas selebritis dan pebisnis terkemuka."

"Hm?" Naruto berpikir keras; ia setuju dengan statment Yamato, terakhir kali ia memiliki skandal sewaktu tanpa sengaja ia tidak memakai penyamaran saat ke bar hotel bintang lima untuk menemani teman-temannya minum, akhirnya keesokan harinya wajahnya berada di halaman depan majalah gosip dengan judul: para pebisnis muda bermabuk-mabukan bersama!? Ada apa?

Naruto memutar bola matanya setelah membaca judul yang dramatis itu; menyedihkan—itulah tanggapannya; memang kenapa ia minum-minum? Ia memang pebisnis muda sukse tetapi ia juga manusia yang membutuhkan kesenangan, dan itu bersama teman-temannya.

"Aku terkejut, anda dekat dengan Nona Sakura," kata Yamato. "Sebab beberapa bulan belakangan ini dia memiliki skandal dengan sahabatmu, Tuan Sasuke."

"Hm?" Naruto menghentikan mobilnya di depan bandara.

Sakura memiliki skandal dengan Sasuke?

Naruto berpikir; mungkin skandal soal lelang kencan itu? Ia tak bisa menebak hal yang lain selain itu, Sakura juga tidak menunjukan tanda-tanda tertarik dengan Sasuke.

"Skandal apa?" tanyanya sambil keluar dari mobil miliknya.

"Tuan Sasuke berkali-kali tertangkap kamera wartawan mengunjungi rumah sakit tempat Nona Sakura bekerja." kata Yamato, ikut keluar dari mobil, lalu ia menyerahkan paspor milik Naruto. "Majalah menerangkan jika mereka bertemu pertama kali saat lelang kencan, disitulah bibit cinta muncul." terangnya serius namun ketika diakhir ia memutar bola matanya akan kata-kata yang berlebihan, tepatnya kata-kata majalah yang dibacanya.

"Hehhh," ia sudah menebak Sasuke sering mengunjungi Sakura di rumah sakit setelah tahu Itachi bekerja juga di sana; itu trik paling dasar dan ia pun akan melakukan hal sama jika tak tinggal bersama dengan wanita muda itu.

Dokter memiliki jadwal kerja yang ketat bahkan di saat jadwal mereka libur, mereka harus membatalkan libur jika ada keadaan darurat yang membutuhkan mereka; oleh sebab itu Naruto mencoret dokter sebagai calon kekasihnya sebab jadwal mereka yang padat dan lagi, kesukaannya akan ramen yang tidak wajar juga alasan tambahan baginya.

Tetapi sekarang, ia justru jatuh cinta pada seorang dokter.

Kehidupan memang penuh kejutan.

Naruto menerima paspor miliknya. "Aku tidak peduli jika memang akan terlibat skandal dengan Sakura, karena itu kan salah dia sendiri yang pertama menciumku."

"Kurasa Nona Sakura melakukannya karena kau terlalu memaksakan dia tuan," sahut Yamato yang tadi menjadi saksi bisu 'first kiss' mereka berdua.

Naruto memutar bola matanya. "Aku meminta dia untuk mengatakan sesuatu, kan?" sahutnya acuh tak acuh. "Bukannya aku meminta bibirnya." lanjutnya tidak terima disalahkan.

"Kau menikmatinya, kan?" tanya Yamato.

"Well," Naruto meletakan jari di dagunya, berpikir; ia sebenarnya selalu ingin mencium Sakura hanya saja ditahannya karena merasa bukan waktu yang tepat, makanya tadi ia syok saat dicium sebab Sakura kan tidak menunjukan perasaan apa pun padanya.

Naruto jelas senang dengan kemajuan ini, dan... ciuman pertama mereka sungguh seperti yang dibayangkannya.

Bibir Sakura yang dengan lembut sesuai dugaannya selama ini.

Naruto menepuk keningnya frustasi. "Dan mulai lagi aku berpikir aneh-aneh," keluhnya; ia sendiri terkejut akan ini, mungkin karena sudah lama tidak merasakan perasaan 'terikat' dengan wanita jadi ini seperti hal baru baginya, ia selama ini memiliki kekasih hanya sebatas rasa suka itu pun karena kesempurnaan fisik mereka. Ia hanyalah lelaki biasa jika dilihat dari cara berpikirnya dulu tentang wanita.

Naruto selalu berpikir, cinta bisa dibangun seiring waktu berjalan, jadi tipenya selalu wanita seperti model sebab itu juga mempengaruhi masa depannya dan juga partner bisnisnya kala itu; ia pun tidak memungkiri memiliki sifat yang sama seperti Sakura yaitu perfeksionis.

Dan itu semua salah...

"Apa?" kata Yamato. "Tuan, aku tidak bisa mendengarnya. Bisa diulangi?"

Naruto tidak menjawab, pikirannya kembali mengingat kejadian manis beberapa menit yang lalu...

Naruto senang dicium Sakura meski tadi hanya singkat, namun ia masih belum bisa menebak perasaan wanita muda itu; apa yang diucapkan Yamato tidak sepenuhnya salah, ia memang tadi memaksa Sakura yang mungkin memicu wanita muda itu melakukannya, namun ia juga menilai jika Sakura menciumnya tanpa paksaan sebab setelah menciumnya, wanita muda itu mengukir senyum favoritnya bukanlah sebuah senyum paksaan, dan lagi ia dapat dengan jelas menilai juga itu senyum yang malu-malu.

"Yamato, aku ingin meminta sesuatu darimu," kata Naruto serius.

"Apa itu Tuan?" sahut Yamato penasaran.

Naruto melipat tangan di depan dadanya. "Seperti yang tadi kau bilang, ada kemungkinan besok akan ada berita skandal antara aku dan Sakura jadi aku ingin selama aku di perancis, kau awasi Sakura, jangan sampai wartawan melakukan sesuatu yang membuat dia stres. Sakura kan sedang fokus pemulihan ayahnya." jelasnya serius.

"Tapi Tuan," sergah Yamato. "Aku yakin Tuan Kizashi akan menyewa bodyguard setelah skandalnya keluar, keluarga Haruno lebih kuat dibanding kita."

"Kau mau mengetesku?" tanya Naruto menantang.

Yamato langsung menggelengkan kepalanya. "Tentu tidak. Aku mengerti." katanya gugup. "Aku penasaran, kenapa Tuan Naruto memutuskan pergi, maksudku ya memang kedua orang tuamu jelas nomor satu tetapi Tuan tadi sama sekali tidak meminta Nona Sakura buat ikut dengan Tuan atau apa pun itu biar kalian tidak bisa berjauhan."

"Terus terang saja aku pergi dengan perasaan bimbang," kata Naruto murung. "Tetapi karena Sakura memberikan ciuman 'kangen' padaku, aku lantas berpikir: inilah yang aku tunggu." katanya sedikit tersenyum mengingatnya. "Jadi aku berpikir positif lagi akan hubunganku dan dia. Jika memang apa yang aku pikirkan benar bahwa Sakura memiliki perasaan yang sama denganku kurasa berpisah sebentar bukanlah sesuatu yang besar." lanjutnya serius. "Aku bohong jika tidak cemas, tapi setelah kejadian tadi aku sekarang jauh lebih percaya akan perasaan Sakura padaku." dan lagi Sakura bukanlah tipe wanita yang bisa dimanipulasi oleh Hanare sebab Sakura tidak menyukai wanita paruh baya itu dan selalu menghindarinya, jadi ia—"Aku percaya dengan keyakinanku." katanya percaya diri.

Memang ada hal lain yaitu Sasuke, namun ia rasa ia tidak terlalu mencemaskannya sebab Sakura sendiri bilang padanya jika wanita muda itu jatuh cinta maka Sakura hanya akan melihat pria itu seorang.

Naruto semakin positif akan hal tersebut; ia percaya akan kata-kata Sakura.

Naif? Mungkin.

Ia hanya akan tetap berpikir positif hingga mendapat jawaban dari Sakura.

Yamato meletakan tangannya di bahu Naruto, menepukan-nepukannya dengan senyum lebar dibibirnya. "Terkadang dengan semua kejahilan Tuan membuatku sampai lupa jika Tuan sudah dewasa."

"Apa itu pujian?" tanya Naruto.

Yamato mengangguk.

"Thanks," kata Naruto dengan senyum, kemudian ia membalikan tubuhnya. "Aku bisa terlambat jika terus mengobrol denganmu." katanya. "Tolong jaga Sakura sampai aku kembali, paman Yamato."

Yamato melambaikan tangannya. "Serahkan padaku, Tuan."

Naruto tidak menjawab, memilih melambaikan tangannya, barulah berjalan ke dalam bandara.

Sebelum check-in, Naruto mengecek ponselnya apakah ada email masuk, dan mendesah pelan mengetahui tak ada satu email pun dari orang tuanya, dengan berat hati ia mematikan ponselnya dan memasuki bagian check-in, ia mengeluarkan kartu identitas serta tiket pesawatnya.

Pemikirannya berkelana.

Kenapa?

Naruto tidak mengerti kenapa kedua orang tuanya menyembunyikan hal penting ini padanya padahal mereka belum tahu soal tes kerjanya jadi tidak ada alasan bagi orang tuanya menyembunyikan sakit ini.

Rasa penasarannya berubah marah, ia berharap kedua orang tuanya memiliki alasan yang cukup logis tentang ini.

"Ini Tuan," kata seorang petugas.

Naruto tersadar, ia menerima selembar boarding pass, lalu melanjutkan kembali langkahnya ke dalam sambil mengecek nomor penerbangan, pintu keberangkatan, serta tak lupa kursi pesawat yang ditumpanginya. Lalu mendesah pelan setelah mengeceknya.

Yamato ternyata tidak berbohong ketika mengirimkan pemberitahuan ia hanya punya waktu lima belas menit sebelum penerbangan.

Naruto menaikan kecepatan kakinya.

'F—k my life.' keluhnya dalan hati.

Naruto menaiki tangga menuju ke dalam pesawat yang ditumpanginya, kemudian duduk di tempat yang sudah disediakan untuknya; sampai tepat waktu; ia menopang dagunya dengan tangan seraya menyilangkan kakinya, mata birunya memandang keluar kaca berbentuk kotak dengan penuh perhatian.

Tinggal beberapa menit lagi, ia akan meninggalkan tokyo—dan kali ini ia sendiran—ia merasa ada yang kurang.

Naruto mengembuskan napasnya pelan.

Tentu saja kekurangan itu adalah keberadaan kedua orang tuanya, mereka selalu bersamanya selama ini; selama menjalani bisnis di luar negeri—kedua orang tuanya selalu menemaninya, yang mengetahui segala kelemahannya.

Naruto merasa tidak adil, bagaimana bisa ayah serta ibunya menyembunyikan masalah sebesar ini? Ia bisa mengerti bila itu ayahnya, namun ibunya? Ia terkejut.

Naruto mengembuskan napas lagi.

Rileks.

Tidak ada gunanya berburuk sangka pada kedua orang tuanya, begitu tiba ke paris semua perasaan negatif ini akan berakhir.

Naruto kembali menatap keluar jendela, yang diluar kini bukan lagi pemandangan bandara melainkan kota tokyo, ia sibuk beramsumsi hingga tidak mendengar pramugari memberikan arahan tentang keberangkatan pesawat; ia sudah terbiasa naik pesawat sehingga sudah hafal apa-apa saja yang harus dilakukan sebelum take off.

Mata birunya tetap terpaku ke luar memandang kota tokyo semakin mengecil—hingga tidak terlihat sama sekali—tergantikan oleh awan berwarna seputih susu.

Naruto tidak memungkiri pemandangan ini indah apalagi ada cahaya matahari yang membuat awan terlihat berkilauan.

Terbesit pemikiran apakah Sakura akan sependapat dengannya? Mungkin tidak, sebab semalam Sakura masih belum bisa berbicara soal ibunya.

Naruto berpikir apa yang harus ia lakukan untuk menghilangkan trauma satu itu. Trauma ini jauh berbeda sebab Mebuki sudah tidak ada, berbeda dengan Kizashi.

Haruskah ia melakukan cara yang sama dengan apa yang sudah ia dilakukan pada ibunya dulu?

Naruto memang pernah merasakan kehilangan yaitu adiknya serta Shizuka namun itu sedikit berbeda. Ia tidak begitu mengenal adiknya sebab belum lahir, lalu Shizuka, mereka sudah putus ketika insiden itu terjadi, lagipula perasaannya waktu itu bersalah bukanlah rasa kehilangan, cintanya sudah tidak sedalam saat mereka masih menjadi sepasang kekasih.

Mungkin Naruto harus meminta saran ibunya sebab Kushina paling merasakan kehilangan adiknya—dan tentu saja sehabis kondisi ayahnya kembali normal.

.x.

Naruto keluar dari pintu pemeriksaan, lalu duduk di kursi tunggu untuk mengaktifkan ponselnya, ia mengecek apa ada email masuk dan mengembuskan napasnya kecewa yang entah sudah keberapa kalinya saat tahu tetap tidak ada email dari kedua orang tuanya—hanyalah email dari Karin berisikan yang menjemputnya di bandara bukanlah sepupunya itu melainkan asisten ayahnya, Temari.

Bagus.

Naruto senang bukan Karin yang menjemputnya sebab ia pasti akan 'dihabisi' oleh sepupunya, namun ia tidak senang juga posisi Karin digantikan Temari yang berarti memang kedua orang tuanya kemari berbisnis bukanlah bersenang-senang.

Naruto mengirim email ke Temari, menanyakan wanita muda itu sudah sampai mana, baru setelahnya ia keluar dari bandara memutuskan menunggu di luar saja sebab ia juga tidak membawa apa-apa.

Cahaya matahari yang menyengat menyambutnya membuat Naruto sedikit menyipitkan mata birunya yang bersembunyi dibalik kacamata hitamnya.

Syukurlah Naruto memutuskan membangun bisnisnya di paris sebab perbedaan jam dengan jepang tidaklah jauh jadi ia kali ini tidak jena jetlag; ia sempat berdebat akan membangun hotel di new york ataukah di paris, akhirnya setelah negosiasi yang panjang, Kakuzu setuju dengan sarannya.

Kakuzu...

Naruto tidak mendengar kabar lagi setelah keluar dari bisnisnya, tentu saja ia mendapat beberapa email tapi tak banyak setelah ia mengumumkannya secara resmi dihadapan para investor serta karyawannya; setelahnya bisnis perhotelannya sempat naik-turun untunglah atas kerja keras ayahnya setahun ini, kondisinya stabil lagi.

Naruto sedikit menundukan kepalanya.

Ayahnya bekerja keras karena keputusan egois dirinya setahun yang lalu, mungkin ayahnya jatuh sakit juga dikarenakan terlalu memaksakan diri mengembalikan reputasi bisnis yang jatuh karena pengunduran dirinya yang tiba-tiba.

Naruto tahu begitu penting dan sulitnya menjaga image perusahaan tetap stabil, tetapi ia tetap memutuskannya dan membiarkan ayahnya mengurus dampaknya sendiri.

Ayahnya sakit karena dirinya...

Naruto sedikit tertunduk.

Salahnya—!

Naruto menatap ke depan kosong—di saat itulah ia melihat mobil hitam melaju ke arah bandara—orang-orang di sekelilingnya berdecak kagum bahkan hingga berhenti sejenak untuk melihat mobil tersebut—ia di lain sisi bukan terkagum justru ia mengembuskan napasnya gusar setelah melihat siapa pengemudinya, kemudian melipat tangan di depan dada menunggu mobil hitam bergaris oranye di kapnya berhenti tepat di depannya.

"Hey, handsome." kata wanita berambut pirang yang mengendarai mobil.

"Jangan sok-sokan 'hey, handsome' aku, Temari." sahut Naruto kesal. "Dari semua mobil yang ada di garasi, kau memilih membawa mobilku!? Kau tahu betapa susahnya aku mendapatkan mobil ini, huh? Betapa sabarnya aku mengumpulkan uang bertahun-tahun membeli mobil ini dattebayo!?" serunya.

Jika Naruto memberi nama mobi ferrari yang berada di jepang sebagai princess, ia menamai mobil bugatti miliknya yang berada di paris—yang kini dibawa oleh Temari adalah prince. Kenapa? Sebab mobil bugatti veyron grand sport vitesse WRC adalah mobil impiannya dan biaya perawatannya melebihi mobil ferrari miliknya makanya ia tidak membawa mobil bugatti-nya ke jepang sebab perawatannya langsung di perancis jadi membuat biaya pajaknya jauh lebih mahal.

Naruto sangat berhati-hati dengan mobil itu; ia berpikir siapa yang menyerahkan kunci mobilnya pada Temari? Ia menitipkannya pada pelayan setianya Chiyo, tak ada yang bisa mengendarai mobilnya tanpa seijin darinya—kecuali ibunya...

Naruto tertunduk sedikit.

Masa sih ibunya memberi ijin? Tidak mungkin.

Ibunya—Kushina mengerti betapa pentingnya mobilnya.

Dan sekarang, Naruto mulai mendramatisir. Lagi. "Sudah masuklah," sahut Temari sambil memutar bola matanya.

Naruto menepuk keningnya, tidak habis pikir dengan tanggapan asistennya itu; beginilah jika berhadapan dengan seseorang yang tidak mengerti hobinya. "Fine," sahutnya. "Tapi aku yang membawanya." lanjutnya. "Aku tidak terima jawaban tidak,"

'F—k my life.'

"Ok," sahut Temari polos, lalu ia berpindah ke kursi di sebelahnya.

"Kami-sama," keluh Naruto sebelum masuk ke dalam mobil buggati miliknya; ia baru turun dari pesawat, ia sekarang harus membawa mobil? Ia seharusnya di sini diperlakukan seperti raja! "Kami-sama." gumamnya lagi kali ini lebih pelan; untunglah mobilnya atapnya terbuka jadi ia bisa menghirup udara segar, menghilangkan rasa jengkelnya pada Temari yang hanya tersenyum polos di sampingnya; ia lantas memacu mobilnya.

Hening...

"Well, aku akan berhenti membawa mobil kesayanganmu jika kau kembali berbisnis," Temari memulai membuka percakapan.

"Jangan ini lagi," keluh Naruto. "Kau tahu jawabanku soal ini,"

"Ya," Temari mengangguk paham. "Tetapi aku tidak mau menerimanya dan tetap berjuang membuatmu merubah pikiranmu."

"Aku takkan berubah," kata Naruto datar.

"Naruto, biar aku ingatkan lagi, tempatmu di sini, kau terlahir sebagai seorang pebisnis bukan programmer, kau tahu itu." kata Temari serius. "Kau sudah dewasa, kau seharusnya bisa membedakan mana hobi, mana kemampuanmu yang sesungguhnya."

"Percakapan ini lagi," keluh Naruto menguap bosan, ia menghentikan laju mobilnya melihat rambu lalu lintas berubah merah. "Aku bosan," katanya.

Di saat argumen mengenai ini Naruto menjadi rindu Sakura—hanya wanita muda itu yang mengerti dirinya—tetap mendukungnya setelah tahu ia mengembangkan bisnis hotel; bahkan kedua orang tuanya tidak setuju ia menjadi seorang programmer, mereka memiliki alasan yang sama seperti Temari.

"Kau ingin jadi programmer karena hobi Naruto!" seru Temari. "Kau hanya ingin berkolaborasi bukan karena benar-benar ingin di dalam lubuk hatimu."

"Tentu saja aku melakukannya karena aku mau," kata Naruto kalem—menahan emosinya sebisa mungkin.

"Tetaplah berkata pada dirimu seperti itu." sindir Temari.

Alis Naruto menyatu, "Bisa kita membicarakan hal lain?" tanyanya. "Oh, aku tahu, bagaimana kalau kita berbicara mengenai keadaan ayahku sekarang? Aku rasa itu jauh lebih penting." sindirnya tak mau kalah.

Temari melipat tangan di depan dadanya. "Uh, ayahmu baik-baik saja saat ini, dia hanya butuh istirahat,"

"Huh—?" kenapa Naruto menangkap keraguan di perkataan Temari. "Kau tidak pandai berbohong." katanya. "Spill."

Temari menepuk keningnya; memang sulit berbohong pada Naruto—mereka berdua sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. "Aku tidak berhak mengatakan ini, kau harus mendengarnya langsung," katanya.

Naruto tidak menjawab, lebih memilih menjalankan mobilnya; Temari memberikan jawaban yang sama seperti Karin. Genggaman tangannya di setir mobil mengerat.

Apa—apa keadaan ayahnya seburuk itu? Hingga Temari ataupun Karin menolak menjelaskan detail padanya?

Hipotiroid bukanlah penyakit yang serius bukan? Kan?

Seharusnya ia menanyakan dengan detail penyakit itu pada Sakura.

Naruto sendiri menjadi tak yakin. "Ayah dirawat dimana? Aku mau menemuinya sekarang." katanya serius.

"Ayahmu dirawat di rumah sakit AP..." sahut Temari.

"AP—apa?" Naruto tidak mengerti, ia memang membuka hotel di sini tetapi ia tak terlalu ingat nama-nama tempat atau bangunan sebab ia jarang keluar, kebanyakan ia ke sini hanya berbisnis, ia lebih suka berlibur ke london atau jepang. Perancis tempat yang terlalu romantis bagi pria lajang sepertinya dulu. "Hm..." bibirnya bergumam pelan; terlalu romantis eh? Ia akan mengajak Sakura berlibur di sini bila hubungan mereka sudah resmi.

"Assistance publique hôpitaux de paris, Naruto," kata Temari; Naruto begitu pintar memikat hati seseorang tetapi tak bisa mengingat tempat? Lucu sekali.

"Hm—?" Naruto merasa nama itu tidak asing tetapi—"Aku tidak tahu, Temari," ungkapnya malu.

Temari menepuk keningnya. "Tempat ibumu dirawat dulu." katanya pelan; sejujurnya ia tidak ingin Naruto mengingat kenangan buruk tersebut namun hanya itu penjelasan yang pasti diketahui oleh pria itu.

"Oh!" Naruto terkesikap pelan; rumah sakit tempat ibunya dirawat, tentu saja ia mengingatnya. "Oh..." gumamnya murung; jika memang ayahnya di sana berarti harus memutar balik mobilnya sebab hotel miliknya berlawanan dengan rumah sakit tersebut.

"Maaf, aku tidak memiliki pilihan," kata Temari bersimpati.

Naruto memilih tidak menjawab, fokus mengendarai mobilnya yang sedang memutar balik.

Hening...

Temari menjadi tidak enak telah nenyinggung hal itu, ia tahu betapa terpuruknya Naruto kala itu, kehilangan adik serta kekasihnya ditambah lagi Kushina mulai meminum obat penenang karena depresi kehilangan bayinya; mata hijaunya melirik ke sisinya—pemandangan gedung klasik yang indah dilewatinya mereka begitu cepat—kemudian matanya menangkap sekilas cafe manis bercat pink—ia teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong... aku dengar kau menjalin hubungan dengan Haruno Sakura. Benar?"

Naruto otomatis terbatuk, terkejut. "Darimana kau tahu?" tanyanya gugup; ia tak menyangka akan membahas ini.

"Ibumu," jawab Temari enteng. "Dia bilang: tidak lama lagi aku akan punya cucu lucu berambut pink dengan mata biru, dattebane!" katanya meniru tingkah Kushina yang bersemangat kemudian tertawa pelan setelahnya.

Lagi...

Naruto otomatis membayangkan 'cucu' yang dimaksud oleh ibunya sebelum terbatuk gugup lagi. "Ya," sahutnya pelan. "Tapi... menikah? Aku dan Sakura masih jauh dari itu," keluhnya menghembuskan napas gusar; hubungam mereka saat ini bahkan belum resmi—mana mungkin ia berpikir ke sana.

"Kenapa?" tanya Temari. "Bukankah lebih baik kau menikah dan memiliki anak? Jadi kau bisa membuat anakmu menjadi penerus bisnis ayahmu," lanjutnya. "Kau bisa lepas dari tanggung jawab berat ini dan aku pun takkan lagi memakai mobil kesayanganmu," godanya.

Percakapan ini lagi?

Naruto memutar bola matanya. "Aku rasa ibuku belum bicara tentang Sakura sepenuhnya padamu," katanya.

"Apa?"

"Tidak ada," Naruto bersyukur ibunya tidak menceritakan masalah Sakura ke Temari jika ia memiliki masalah yang pribadi, ia selalu cerita pada ibunya sebab ibunya paling dekat dengannya dan terbaik memberikan dirinya saran; kali ini pun, ibunya tak mengecewakannya seperti biasa, ia senang memiliki keluarga yang hangat.

Temari berpikir sesaat, ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh Naruto namun ia tahu jika ia menyinggungnya, pria itu akan tersinggung, ia tahu sekali Naruto membenci orang mencoba memasuki masalah pribadinya; ia memutuskan mengganti topik yang lain. "Aku terkejut, Naruto. Maksudku, Sakura kan pernah terlibat skandal panas, dan kukira seleramu itu wanita baik-baik." katanya.

"Apa?" Naruto terkejut; Sakura terlibat skandal panas? Ia tidak tahu. "Skandal apa?" tanyanya penasaran.

"Sakura terlibat skandal karena dia berpose setengah telanjang di weekly young magazine, kau tidak tahu?" tanya Temari. "Pose seksinya menjadi skandal besar, dan mempengaruhi usaha ayahnya saat itu."

"Sakura—?" Naruto mencerna apa yang baru saja didengarnya—"Sakura berpose setengah telanjang!?" serunya panik; kenapa itu terdengar mustahil baginya ya? "Apa kau tidak salah orang!?"

"Duh," Temari memutar bola matanya; mana ada orang yang tidak mengenal Haruno Sakura. "Skandal itu sudah lama sekali, sewaktu Sakura masih sekolah, kurasa itu hanyalah kenakalan remaja biasa, yah kau tahulah besar dengan kedua orang tua super sibuk mungkin membuat dia melakukan apa pun biar dapat perhatian orang tua. Sakura bahkan mengklarifikasi dia tidak menyesal sudah tampil seperti itu."

"Oh," Naruto bergumam mengerti; ia yakin Sakura melakukan itu untuk mendapat perhatian Kizashi.

"Oh?" Temari syok, ia mengharapkan reaksi Naruto lebih; ia tahu betul wanita tipe seperti apa atasannya itu, hal ini merupakan sesuatu yang besar bagi Naruto kan? Set—ia teringat sesuatu lalu memutar bola matanya. "Oh... maaf ya aku lupa kau juga pernah tampil setengah telanjang di majalah technikart, tentu skandal ini bukanlah apa-apa bagimu."

"Hey! Kenapa kau membahas sesuatu yang sudah lewat dattebayo." Naruto memprotes. "Aku kan melakukannya secara profesional." lanjutnya.

Berpose berbaring di ranjang hanya mengenakan celana jeans itu pun kancing serta resletingnya terbuka apalagi Naruto dengan nakalnya meletakan jemarinya di sela-sela resleting memperlihatkan sedikit bokser berwarna oranye yang dikenakannya, itu semua pose profesional bukanlah sexy? "Yeah?" Temari merespon setengah hati.

"Mereka tertarik dengan kesuksesan bisnisku!" Naruto tetap tidak mau mengalah.

"Tentu saja," sahut Temari acuh tak acuh. "Dan karena itu juga mereka menghubungiku untuk meminta kau masuk ke majalah mereka lagi."

"Apa... ?" Naruto syok; ia menerima tawaran tersebut sebulan sebelum kemunduran resminya—jadi kenapa mereka masih menginginkan artikel tentang dirinya—?

"Mereka mencintaimu, silly." kata Temari. "Majalah edisimu mendapat nilai positif terutama dikalangan gadis-gadis di sini. Berita tentangmu kembali ke sini sudah menyebar, tentu ini berita hangat," jelasnya, ia mengecek ponselnya. "Aku bahkan mendapat pesan berisikan penawaranmu untuk tampil di majalah."

"Aku tidak tertarik, tolak." sahut Naruto malas; alasan terbesarnya mau melakukan foto panasnya karena ia ingin mencoba hal yang baru—ia pernah beberapa kali tampil sebagai pebisnis Namikaze Naruto tapi ia tidak pernah tampil sebagai 'Naruto' jadi saat ditawar untuk tampil sexy bukan lagi 'businessman', ia pun tanpa pikir panjang menyetujuinya—hell, ia bahkan berpose bebas ala dirinya sendiri—tentu saja dengan persetujuan dari pihak majalah techikart.

Naruto bahkan ingat betul ia menggoda kameramen wanita yang memotretnya dengan bergumam 'mm, ah, ah.' disela-sela kegiatan karena diperintahkan untuk mematap wanita muda tersebut penuh menggoda yang menggiurkan.

"Aww, banyak wanita yang kecewa tidak bisa melihat tubuh sexy-mu." kata Temari pura-pura sedih.

Naruto memutar bola matanya, ia memutuskan diam mengakhiri percakapan mereka, mata birunya fokus ke depan; ia melihat gedung rumah sakit yang kini mereka tuju, ia membelokan mobil memasuki gedung tersebut, lalu ia berhenti untuk mengambil karcis barulah melaju kembali menuju area parkir—mencari area kosong.

Area parkir cukup ramai, Naruto harus menaiki beberapa lantai, barulah ia mendapat area kosong untuk mobilnya, ia kemudian memarkirkan mobilnya perlahan serta hati-hati, setelah dirasa sudah pas, ia pun mematikan mesin dan keluar dari mobilnya—diikuti Temari.

"Ayo, aku tahu di lantai mana ayahmu berada." kata Temari.

Naruto tanpa menjawab, mengikuti tidak jauh dari belakang dengan kedua tangan terlipat di dadanya.

Hening...

Baik Naruto maupun Temari sama-sama tidak memulai pembicaraan, tetap berjalan menuju kamar inap Minato berada.

Naruto sejujurnya senang Temari tidak bertanya aneh-aneh tentangnya, ia benar-benar beruntung wanita itu tetap bersikap profesional padanya setelah apa yang dilakukannya setahun lalu, ia masih ingat raut ekspresi kekecewaan Temari saat ia memutuskan mundur dari bisnis perhotelan yang dikembangkan olehnya.

Ting.

Temari memasuki lift, diikuti oleh Naruto.

Degub jantung Naruto berdegub cepat; apa yang harus dikatakannya ketika bertemu kedua orang tuanya? Apa ia langsung terus terang atau berbasa-basi dahulu—? Ia belum sampai tetapi perasaan kecewanya muncul lagi, tentu ia cemas namun perasaan kecewa lantaran kedua orang tuanya menyembunyikan masalah sebesar ini jauh mengalahkan cemasnya.

Ting.

Naruto keluar dari lift setelah melihat Temari juga keluar, ia melangkah ke depan tanpa menatap ke depan hingga tanpa sengaja ia membentur punggung wanita muda itu, ia baru menyadari jika Temari berhenti melangkah. "Hm? Kenapa berhenti?" tanyanya penasaran sambil mengelus hidungnya yang sakit akibat benturan tadi.

Temari mengambil napas. "Naruto... aku ingin memberitahumu satu hal, apa pun itu, kedua orang tuamu melakukan ini demi kebaikanmu."

Naruto menggaruk belakang lehernya gugup; Temari pasti melihat raut kebimbangannya sejak tadi makanya wanita muda itu mengatakannya. "Aku akan... aku hanya ingin melihat keadaan ayahku terlebih dahulu." sahutnya. "Aku... aku hanya sedikit syok, kau tahu? Bagaimana bisa ayah serta ibuku menyembunyikan ini dariku?" tanyanya sedih.

Temari terdiam lebih memilih melanjutkan lagi langkahnya.

Naruto pun otomatis mengikuti, melangkah dengan perasaan campur aduk; apa yang harus dikatakannya? Basa-basi lalu ke topik pembicaraan utama ataukah ia langsung saja? "Fokus," gumamnya, "Oh!" mata birunya tanpa disengaja menangkap ibunya sedang duduk di tak jauh darinya—dengan ekpresi murung—ia merasakan ini seperti déjà vu—ibunya mengingatkannya akan kejadian ia bertemu dengan Sakura di rumah sakit menunggu di luar—ekpresi ibunya sama persis dengan Sakura—sedih, bimbang, dan kosong. Ia mempercepat langkah kakinya ketika mata birunya bertemu dengan mata ungu ibunya, hingga akhirnya ia berhenti tepat di depan Kushina.

Naruto memilih tidak mengatakan apa-apa—ia ingin mendengar kata-kata dari ibunya terlebih dahulu.

Kushina berdiri dari duduknya perlahan, syok melihat anaknya di sini. "Kenapa kau di sini—?"

Sungguh? Di antara sekian banyak pertanyaan, ibunya justru bertanya hal kecil seperti itu?

"Bagaimana keadaan ayah?" tanya Naruto serius.

Mata ungu Kushina melebar sesaat—anaknya bahkan tahu itu? Kemudian ekpresinya berubah sedih. "Dokter sedang memeriksa ayahmu jadi ibu tidak tahu."

Naruto melirikan mata birunya ke arah pintu sebelum kembali menatap ibunya, melihat ekpresi kesedihan di wajah ibunya membuatnya ikut bersedih dan perasaan kecewanya hilang seketika. "Sudah... berapa lama ayah sakit?" tanyanya.

"Sehari setelah kami berkunjung ke apartemenmu dan Sakura, tetapi ayahmu baru dirawat kemarin malam itu juga karena ibu paksa," sahut Kushina murung. "Kondisi ayahmu sudah parah saat dibawa, ibu sempat bertanya pada suster, kalau dikondisi seperti ayahmu mungkin dia harus operasi..." lanjutnya pelan, setelah mengatakannya, ia tak lagi mampu menahan air matanya, dan menangis sejadi-jadinya.

Naruto berjalan mendekat lalu memeluk ibunya lembut. "Ibu, itu kan hanya pendapat suster, jangan mudah putus asa ya? Lebih baik kita menunggu diagnosa dari dokter." tanyanya pelan sambil membelai lembut rambut merah ibunya.

Kushina tidak menjawab.

"Maaf mengganggu privasi," kata Temari menginterupsi sopan. "Aku hanya ingin memberitahu, siapa yang akan memimpin rapat hari ini? Tuan Minato sedang sakit jadi tidak mungkin dia akan hadir."

Naruto melepas pelukannya; ia sudah menduga ayahnya kemari untuk berbisnis. "Rapat? Jam berapa?" tanyanya.

Temari melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya sebelum menjawab. "Tiga jam lagi,"

"Apa!?" seru Naruto marah. "Kenapa kau tidak memberitahu aku?"

"Excuse me?" Temari merasa tidak terima dibentak seperti itu. "Terakhir kali aku ingat, kau mundur dari bisnis ini." lanjutnya malas. "Nyonya apakah masih belum bisa hadir? Rapat ini tak bisa dibatalkan lagi sebab isu kali ini soal kasino yang mau dibuka lagi."

"Apa!?" seru Naruto lagi. "Aku dulu sudah memutuskan untuk menutupnya, kenapa masih dibahas soal ini?"

Temari tidak memperdulikan Naruto, mata hijaunya masih menatap Kushina. "Bagaimana? Apa bisa?"

Naruto mengepalkan tangannya menahan amarahnya, kemudian menatap ibunya yang masih murung, ia pun mengembuskan napasnya untuk meredakan emosinya yang naik; hanya dengan melihat ia sudah yakin ibunya belum siap untuk meninggalkan ayahnya. "Temari, aku yang akan memimpin ini."

"Eh?" Kushina terkejut. "Naruto..."

Naruto menatap ibunya lembut. "Ibu tidak usah memikirkan bisnis, tetaplah menemani ayah, ok?"

Temari tersenyum lebar, "Akhirnya, kau kembali." katanya senang. "Tidak sia-sia aku merayu nenek tua itu."

"Apa?" Naruto tidak mendengar apa yang dikatakan Temari sebab suara wanita muda itu terlalu kecil tadi.

"Tidak ada," sahut Temari memasang ekspresi wajah sedatar mungkin. "Aku akan serahkan dokumen soal rapat padamu setalah urusanmu di sini selesai."

"Ok—?" Naruto bergumam seadanya; ia hanya memiliki waktu tiga jam—waktu yang singkat untuk bersiap-siap, ia sudah lama tidak berbisnis jadi banyak yang harus ia pahami setelah ia keluar. Ia mengembuskan napas lelah. "Ibu, aku benci ini, tapi aku harus bersiap-siap," katanya. "Ibu tidak apa-apa di sini sendiri?" tanyanya cemas.

Kushina berpikir sejenak; ia sebenarnya ingin Naruto bersamanya, menemaninya dan bercerita namun ia menghapus perasaan tersebut dengan mengangguk kecil.

Naruto menatap lekat-lekat ibunya, "Ibu yakin? Aku bisa membaca dokumennya sambil menemanimu." katanya, ditambah ia ingin tahu kondisi ayahnya dan ia pun belum bertanya kenapa kedua orang tuanya tidak memberitahu soal masalah ini.

"Ibu yakin," kata Kushina. "Kalaupun kau di sini, mana mungkin dokumen perusahaan bisa dibaca ditempat sesukamu kan?"

"Well..." tentu benar kata ibunya, ia tidak bisa membaca dokumen tersebut semaunya kalaupun ia bisa, ia harus memesan tempat tersebut terlebih dahulu. "Baiklah aku berangkat dulu ibu." katanya sedih. "Aku kembali setelah rapat secepatnya." lanjutnya, "Dan juga dapat dipastikan akulah yang menang."

Sudut Temari tertarik ke atas setelah mendengar kata-kata Naruto yang terakhir, ia suka ekspresi atasannya itu, penuh ambisius—tidak ingin dikalahkan—sesuatu yang tidak ada di dalam diri Minato karena ayah Naruto tidak keras dalam berbisnis—maka dari itu para investor yang lain mencoba mengambil alih bisnis hotel yang dikuasai oleh keluarga Namikaze sebab hotel di paris merupakan hotel yang terbesar diantara hotel yang pernah dibangun.

"Naruto," Kushina bergumam pelan, sudah lama ia tidak melihat anaknya yang begitu serius, mungkin karena masalah kali ini soal akan dibukanya kembali kasino, ia tahu betul kenapa Naruto akan mempertahankan tetap menutupnya. "Kalahkan mereka ya, dattebane!" serunya memberi semangat.

"Heh," Naruto nyengir. "Tentu saja,"

.x.

Naruto mematikan mode pesawat di ponselnya, dan sedikit kecewa tidak ada email dari Sakura, ia sedikit berharap wanita muda itu yang dulu menghubunginya mengingat lamanya perjalanan.

Naruto mengembuskan napasnya.

Tidak boleh egois.

Naruto merasa beruntung hubungannya dengan Sakura berjalan baik walaupun lambat, lebih baik daripada tidak sama sekali, kan?

Naruto mengirim pesan singkat bahwa ia sudah sampai di Perancis untuk Sakura, lalu mengirimnya, barulah ia mengambil pakaian di dalam lemari, sedikit mengamati setelah jas berwarna hitam tersebut.

Berapa tahun ia tidak mengenakannya? Hanya melihat membawanya kepada banyak kenangan, kebanyakan kenangan pahit, ia masih ingat saat pertama kalinya ia mencoba berbisnis.

.x.

Flashback ON

.x.

Naruto mengedarkan mata birunya. "Kau yakin ini tempat bertemuan rekan bisnismu, Tuan Kakuzu?"

"Tentu Naruto, kenapa berpikir begitu?"

"Well," Naruto melirik lagi, sedikit jijik melihat seorang pria tua mencoba menyentuh bokong pelayan wanita. "Ini kan bar, kenapa kita harus di sini?"

"Kakuzu tertawa, seakan itu hal paling konyol yang didengarnya. "Kau memang amatiran, bisnis bukan selalu di kantor," jelasnya. "Kau pasti ingat bisnisku dengan Kizashi dulu?"

Naruto berpikir; tentu saja, ia ingat, pertemuan Kakuzu, ayahnya dengan Kizashi dilakukan di bar juga, hanya ia berpikir mungkin bisnis di Eropa akan berbeda.

"Dari pada memikirkan itu, minumlah ini," kata Kakuzu sambil mendorong sebuah gelas kecil kepada Naruto.

Naruto menerimanya tanpa protes, dan mendekatkan gelas ke bibirnya, namun terhenti ketika ia merasakan aroma yang tidak biasa dari gelas tersebut. "Alkohol!? Kau tahu aku baru tujuh belas tahun, dattebayo?"

"Lalu?" tanya Kakuzu balik, santai. "Di sini sudah cukup."

"Huh?" Naruto kebingungan, seingatnya batas umur di Perancis itu delapan belas tahun baru bisa minum, ataukah ia salah melihatnya? Ia belum tapi paham seluruhnya bahasa tersebut. Ia sedikit ragu sesaat, sebelum akhirnya menenggaknya dalam satu kali tegukan, "Hm," ia berusaha merasakan rasa cairan bening itu di lidahnya. "Aku tidak suka,"

"Oh,"

Naruto menyadari jika ucapannya terlalu keras. "Maaf, aku kurang sopan." sesalnya.

"Tak apa," kata Kakuzu. "Itu wine murahan lagipula," lanjutnya, lalu ia pun memanggil bartender dengan menjentikan jarinya. "Aku ingin memesan minuman terbaik di sini,"

"Siap Tuan," sahut bartender itu, lalu mulai membuat pesanan.

Naruto memerhatikan bartender paruh baya itu yang mencampurkan beberapa yang ia yakin alkohol ke dalam sebuah botol dan mulai mengocoknya.

Mata biru Naruto terkagum akan tangan bartender yang begitu cekatan sehingga baru sadar di depannya telah tersedia lima gelas yang memiliki warna yang berbeda serta aroma yang berbeda.

Naruto mengambil gelas yang berisikan cairan putih bening, lalu meneguknya, sedikit mengernyit akan rasa yang kuat, kemudian ia mencoba yang satunya yang memiliki warna putih keruh yang dihiasi jeruk nipis di bibir gelas. "Hm," tak terlalu buruk. Ia meletakan gelas itu, dan mengambil gelas yang lain yang kali dihiasi buah zaitun? Sedikit aneh, namun ia meneguknya, mengejutkan ia menyukainya rasa tersebut. "Aku kira, aku menemukan minuman favoritku, dattebayo."

"Martini, huh?" Kakuzu bergumam. "Seleramu tidak buruk juga, Naruto."

"Hm," Naruto masih menikmati sisa rasa martini di lidahnya.

"Oh, lihat, rekan bisnis pertamamu datang."

Naruto mengikuti arah mata Kakuzu, tidak jauh dari mereka ada seorang pria berambut oranye sedang berjalan ke arahnya, di samping pria itu terdapat dua orang bertubuh besar yang mungkin bodyguard.

"Namanya?"

"Yahiko,"

.x.

Flashback OFF

.x.

Tok! Tok! Tok!

Naruto kembali dari lamunan panjangnya ketika mendengar ketukan keras di pintu kamarnya.

"Aku sedang sibuk, Temari." kata Naruto, padahal sudah dibilang jangan diganggu.

Tok! Tok! Tok!

"Ck," Naruto mendecih kesal, sambil mengeratkan ikatan jubah handuknya agar tidak terlepas, ia berjalan menuju pintu, lalu membukanya perlahan. "Sudah kubilang—!?"

Duagh!

Naruto jatuh tersungkur setelah mendapat pukulan di pipinya, ia mendecih yang mengeluarkan darah di sana, belum sempat memproses apa yang sedang terjadi, kerah handuknya ditarik, seakan meminta agar berdiri.

"Bangun!"

Naruto merintih pelan, ia tidak bisa fokus karena pukulan tadi begitu menyakitkan, dan ia hanya pasrah saat kerah handuknya ditarik yang kemudian tubuhnya didorong kasar hingga jatuh ke belakang, ia tidak merasakan sakit di tubuhnya, dan menyadari tubuhnya terjatuh di ranjang miliknya.

Mata biru Naruto akhirnya bisa fokus; wanita muda dengan rambut merah panjang sepinggang, matanya yang berwarna merah—"What the fu—Karin!?" serunya syok mengetahui sepupunya yang menjadi pelakunya.

Karin tidak mengindahkan teriakan Naruto, justru ia malah naik ke perut Naruto dan duduk di sana hingga membuat pria muda itu meringis kesakitan.

"Kau berani sekali menampakan diri, Namikaze."

Bersambung...

Udah lama ga update fic ini...

Saya bakal nyoba up 2x seminggu dengan word 1-2rb per chap jadi 1 minggu 4rb word, jika kalian protes, silakan buat fic sendiri oke?

Jika kalian mau, mungkin saya bakal update Misterious Girl dengan word segitu juga...

Ah, sekarang, biarkan saya bersenang-senang lagi berantem(?) sama Yozora ❤️

Thanks for reading...