Summary: Naruto awalnya ragu menjalin cinta dengan wanita yang baru dikenalnya di bar namun pikirannya salah, Sakura memenuhi kriteria idealnya yang membuatnya perlahan jatuh cinta namun Naruto merasa ada sesuatu di balik senyum yang selalu Sakura ukirkan untuknya/"Aku ini bukan wanita sempurna seperti yang kau kira, semuanya palsu."/

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

WARNING: Mainstream, Typo, OOC

...

"Um..." Naruto mengerang pelan merasakan cahaya matahari pagi menyilaukan mata birunya. "U-um..." ia mengerang lagi sembari menutupi kepalanya memakai selimut tebal berwarna pink; ia tidak suka bangun pagi-pagi apalagi semalam ia habis minum-minum bersama teman-temannya di bar hingga larut malam.

Srak...

Selimut yang menutupi seluruh tubuhnya ditarik lembut membuat Naruto mengerang protes merasakan cahaya menusuk mata birunya lagi. "Ibu... lima menit lagi..."

Tawa kecil menjawab keluhan Naruto...

Mata biru Naruto terbuka sepenuhnya; suara tawa barusan bukanlah suara ibunya, dan mana mungkin ibunya tertawa akan kebiasaan malasannya. Dengan ragu-ragu, ia memberanikan diri melirikan mata ke samping—seorang wanita muda berambut merah muda duduk di ujung ranjang, mengukir senyum lembut di bibirnya.

"Selamat pagi." kata Sakura lembut.

"Ah..." Naruto menemukan dirinya kehabisan kata-katanya; senyum yang amat manis akan tetapi ia tak mengenal wanita muda di depannya ini! Panik, mata birunya menjelajah—dan menyadari jika ini bukanlah kamarnya! A-apa yang sebenarnya terjadi?

Sakura memiringkan kepalanya. "Kenapa? Kau tidak ingat aku? Kau kebingungan ini bukan kamarmu?"

Mata biru Naruto terbelalak; bagaimana wanita muda ini tahu!? Apa dia bisa membaca pikiran seseorang? Seram! Rasa terkejutnya semakin menjadi saat tangan Sakura bersentuhan dengan tangannya, mengaitkan jari-jarinya dengan wanita itu, membuat mata birunya tertuju pada mata hijau dihadapannya.

"Tenanglah," kata Sakura masih dengan senyumnya. "Mau minum?"

Sentuhan di tangannya membuat kepala Naruto sakit—perlahan memori-memori ketika minum bersama teman-temannya muncul—mata birunya melebar—ia ingat, ia ingat minum-minum bersama teman-temannya, ia ingat Ino datang terlambat karena harus menaksa temannya yang tak lain adalah wanita berambut pink di depannya, ia ingat wanita muda di depannya itu memperkenalkan diri dan menjabat tangannya, ia ingat semuanya... juga termasuk wanita muda di ah—Sakura menyatakan cinta padanya—dan dengan polosnya Naruto menerima karena desakan teman-temannya terutama Ino.

'Ah, ya, Sakura juga menawarkan tinggal bersama saat tahu aku tidak punya tempat tinggal karena baru pindah ke sini.' pikir Naruto.

Naruto berpikir bahwa Sakura hanyalah wanita polos yang jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Serius, mereka baru berkenalan kurang dari satu hari dan Sakura langsung menyatakan cinta padanya dan untuk menambah kelucuan itu ia ditawarkan tinggal berdua. Awalnya ia dan teman-temannya menganggap itu hanyalah lelucon belaka akan tetapi cuma Ino yang menggebu-gebu soal pernyataan cinta Sakura padanya.

'Ini keajaiban! Aku tidak percaya Sakura jatuh cinta juga pada akhirnya! Naruto kau harus menerimanya!'

Perkataan Ino semalam terngiang di kepalanya, Naruto masih belum paham maksud dari itu apalagi 'jatuh cinta pada akhirnya' yang terdengar paling mencurigakan.

"Haloooo..."

Seruan Sakura membuat Naruto kembali ke dunia nyata, "Ya?" responnya singkat.

Sakura tidak mengeluarkan kata, memerhatikan wajah Naruto sesaat sebelum akhirnya bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruang makan. "Aku buat sarapan." katanya sebelum menutup pintu kamar tidur.

Naruto menghela napas kecil; ia merasa Sakura memberikannya waktu menyendiri buat memproses apa yang terjadi. "Hm..." gumamnya; atau mungkin itu memang sifat natural Sakura—? Sakura tipe yang banyak bicara jika mengingat pesta minum semalam.

'Aku pikir... dia menjadi sedikit pendiam karena ingin mendapatkan 'image' wanita baik-baik?' pikir Naruto, negatif.

Naruto menggelengkan kepalanya—ia tidak boleh terburu-buru menyimpulkan sesuatu, ia baru bertemu Sakura semalam. Tidak mau berpikir yang aneh-aneh, ia bangkit dari tidurnya lalu berjalan menuju kamar mandi setelah sebelumnya mengambil handuk putih, kemudian melepas pakaian dan menaruhnya di keranjang pakaian kotor.

"Ugh, tidur dengan pakaian lengkap benar-benar menyesakan." katanya. "Hm, dia tidak melepaskan pakaianku, ya?" gumamnya agak kecewa—merasa pikirannya mulai berpikir negatif kembali, Naruto menyalakan shower. "Apa yang aku pikirkan sih?"

Sakura mana mungkin senakal itu, apalagi dengan pria yang baru jadi kekasihnya kurang dari 24 jam, ditambah ia tak memiliki perasaan ke Sakura lantas kenapa harus kecewa? Tadi pun ketika bangun, wanita muda itu tidak berada di sampingnya, tidur satu ranjang dengannya.

'Ugh, mandi pun tidak berhasil menjernihkan pikiranku.' keluh Naruto dalam hati.

Merasa tidak ada gunanya berlama-lama di kamar mandi, ia keluar setelah menyikat gigi sebentar. Ketika berada di depan pintu, mata birunya tanpa sengaja menangkap pakaian di ranjang dan catatan bertuliskan: untukmu. Ia tersentuh sesaat, "Kenapa dia punya pakaian lelaki?" ia bertanya-tanya ketika memakainya. "Masa sih...?"

'Sakura sebenarnya sudah punya kekasih lain dan tinggal bersama!?'

"Tapi..." Naruto bergumam sembari matanya mengecek sekelilingnya; semua barang di kamar tidur hanya untuk satu orang bahkan hampir semunya berwarna magenta; tidak ada tanda-tanda 'keberadaan' orang lain.

Cklek.

Sakura membuka pintu kamar, akan tetapi tidak masuk hanya mengintip di balik celah pintu. "Kau sudah selesai? Kau mau sarapan bersamaku?"

"Ah iya," sahut Naruto tanpa sadar; kenapa ia langsung menyetujuinya? Apa karena Sakura menawarkan sambil tersenyum manis padanya—?

Sakura melangkah ke dalam—dan mendorong punggung Naruto. "Kalau begitu ayo, aku bisa telat jika kau tetap berdiri di situ."

Naruto tak keberatan akan protes Sakura, ia justru menggaruk belakang kepalanya; sepertinya ia harus berhenti berpikir lama-lama, ia sekarang punya satu orang yang selalu bersamanya.

Setelah menunjukan ruang makan, Sakura duduk di kursinya yang diikuti oleh Naruto. "Sarapannya tidak begitu mewah sih, aku harap kau suka...?"

Mata biru Naruto tertuju pada mangkuk berisi nasi, di sampingnya ada tamagoyaki. "Aku suka kok," katanya, ia merasa seperti di rumah, sebab semenjak berpisah dari orang tuanya untuk kuliah di Tokyo, ia selalu memakan ramen cepat saji dan roti; menyenangkan ada lagi yang membuatkannya sarapan. Ia lantas mengambil sumpit, "Selamat makan."

"Selamat makan," kata Sakura.

Drrt! Drrt! Drrt!

"Hm?" Sakura menaruh kembali sumpit di tangannya begitu merasakan ponsel miliknya bergetar, ekspresi wajahnya berubah serius setelah melihat nomor yang tertera di layar ponselnya. "Maaf sebentar ya, Naruto," sesalnya sebelum bangkit berdiri meninggalkan ruang tamu menuju kamar tidur.

"Um..." Naruto menyahut sekenanya; ekspresi Sakura benar-benar berubah drastis tadi saat mengecek ponsel membuatnya menjadi penasaran siapa yang menelepon pagi-pagi begini. Ia pun mengangkat bahu, Sakura akan bercerita padanya, ia yakin jadi lebih baik melanjutkan sarapan saja.

"Maaf, aku rasa pagi ini kau makan sendiri saja," kata Sakura.

Naruto menoleh, hendak memprotes. Ia diundang sarapan bersama masa malah ditinggal sendiri? "Yang benar sa—" kata-katanya terhenti melihat penampilan Sakura—rambut panjang pink dikuncir kuda tak lupa kacamata merah gelap terpasang di wajahnya. "Um..." penampilan Sakura sungguh berbeda dari yang tadi.

"Kau masih belum bekerja kan, Naruto? Kau mau melamar bekerja jadi apa?" tanya Sakura sambil memakai sepatu. Ia menoleh pada Naruto setelah selesai memakainya. "Well?"

"Oh!" Naruto terasadar, ia berjalan mendekati Sakura, sambil menggaruk belakang kepalanya. "Aku melamar di bagian programmer... m-maksudku, aku ingin bekerja di perusahaan pembuat game! Kenapa kau bertanya?"

Sakura tertawa, "Tidak, aku hanya ingin membantumu," sahutnya. "Hm, aku pikir aku punya teman yang bekerja di bidang game. Aku akan menanyakan padanya apa kau bisa melamar di sana,"

"Sungguh?" Naruto tidak percaya ini; Sakura ternyata memiliki sifat yang baik. "Tapi aku sudah melamar di tempat lain dan sudah ditahap interview, Sakura."

"Aku rasa ide melamar ke tempat lain itu bagus, Naruto, kau tidak harus melamar di satu perusahaan saja...?" gumam Sakura.

Itu tidak salah sih tetapi sejak dulu Naruto ingin bekerja di tempat yang sedang dilamarnya ini. "Ok,"

"Kau terdengar tidak senang," kata Sakura. "Jika kau tidak mau, aku tidak akan memaksamu, kau tahu."

Eh!? Apakah ekspresi wajahnya begitu jelas? "Sungguh tak apa-apa. Aku justru senang kau mau membantuku, dattebayo." Naruto menjelaskan.

Sakura tertawa kecil. "Kalau kau memang sungguh-sungguh. Ok." katanya. "Aku berangkat kerja dulu."

"Ok." kata Naruto. "Hati-hati ya, dattebayo!" serunya menyemangati, namun cengirannya menghilang ketika Sakura melangkah maju dan meletakan kedua tangan di dadanya. "Sakura—!" mata birunya melebar saat Sakura mencondongkan wajahnya, ia semula mengira wanita itu mau menciumnya tapi cuma berhenti beberapa senti dari wajahnya barulah menutup kedua mata hijaunya.

Serius? Mana mungkin ia mencium wanita yang baru dikenalnya meskipun ber-title pacar. Ia tidak punya keinginan untuk mencium Sakura, itu bukan masalah wanita muda itu tak menarik atau apa; Sakura wanita yang cantik, ia hanya menilai bila itu terlalu aneh.

Mata birunya tertuju pada kening Sakura; kening yang cukup menggoda; jadi Naruto memutuskan mendaratkan bibirnya di kening wanita muda itu.

Sakura terkejut merasakan bibir Naruto di keningnya namun tersenyum kemudian. "Aku rasa itu cukup."

"Y-ya,"—sejak kapan ia jadi gugup begini berurusan dengan wanita? Ini bukan seperti dirinya!

Blam.

Naruto menepuk keningnya setelah Sakura keluar; kenapa ia seperti kembali menjadi anak remaja yang baru pertama jatuh cinta!? Gugup tidak tahu harus berbuat apa? Jatuh cinta, jatuh cinta, jatu—"Mana mungkin, dattebayo!" serunya diiringi tawa gugup.

Ia baru semalam bertemu Sakura, tidak tahu apa-apa tentangnya jadi mana mungkin ia langsung jatuh cinta pada wanita berambut merah muda itu hanya karena dia bersikap baik sekali padanya—? Ia kan belum melihat sisi buruk dia jadi ia tidak bisa terpesona begini!

'Seandainya aku bisa mengendalikan perasaanku.' keluh Naruto dalam hati.

Perasaan cinta mana bisa diatur sesuka hatinya...

Drrt! Drrt! Drrt!

"Hm?"

.

.#.

.

Naruto sebenarnya bukan tipe pria yang suka minum-minum bahkan jika disuruh memilih minum atau makan ramen, ia lebih memilih makan ramen namun dari pada di apartemen sendiri, ia setuju bertemu teman-temannya di bar tempat Ino bekerja.

'Mereka tidak pernah mau kumpul makan ramen.' keluh Naruto dalam hati.

Bar satu-satunya yang bisa membuat teman-temannya mau berkumpul; Naruto menilai mungkin mereka semua butuh minum setelah lelah seharian bekerja. Lagi pula, menu makanan di bar tempat Ino bekerja lumayan enak.

Mata biru Naruto langsung menangkap tempat dimana teman-temannya berada setelah masuk ke dalam bar, ia melangkah mendekati kemudian duduk di sebelah Sasuke sambil melipat tangan di atas meja setelah sebelumnya ia menyapa "hay".

Ino menghampiri meja teman-temannya setelah ia melihat Naruto masuk. "Kau mau memesan sesuatu Naruto?"

"Martini," jawab Naruto singkat.

"Ok," Ino menyahut singkat juga dan pergi.

Naruto menatap teman-temannya yang sejak tadi diam. "Jadi?" tanyanya.

"Naruto jangan marah begitu, kita cuma kumpul-kumpul seperti biasa," sahut Shikamaru.

Naruto cuma menghela napas kecil; ia merasa kumpul-kumpul hari ini pasti teman-temannya ingin mengetahui kehidupan pribadinya, terutama cintanya—

"Apa kau sebegitu bahagianya menjalani kehidupan rumah tanggamu bersama wanita itu sampai terpaksa ke sini?" Sasuke membuka suara, nadanya sedingin es.

"Apa? Tentu saja tidak, dattebayo!" sergah Naruto tidak terima.

"Kalau begitu berhentilah marah," kata Choji menawarkan minuman miliknya.

"Nah," Naruto meminum sedikit lalu mengembalikannya pada Choji.

"Mungkin dia dicampakan wanita itu dan sekarang mau mabuk-mabukan." kata Sasuke, menyindir lagi.

"Hey!" Naruto naik pitam; hubungannya dengan Sakura baik-baik saja ditambah ia bukanlah tipe pria yang pergi minum-minum setelah dicampakan wanita, ia lebih milih makan ramen. "Kau sensitif sekali hari ini, teme."

"Mungkin dia iri karena kaulah yang berhasil jadi kekasih Sakura," canda Kiba seraya memukul bahu Naruto main-main.

Naruto terdiam sesaat, sebelum akhirnya ia tertawa; Sasuke? Iri padanya? Itu lelucon paling konyol yang pernah didengarnya selama berteman dengannya apa lagi ia yakin 100 persen Sakura bukanlah tipe Sasuke.

"Mungkin, dia sudah mencoba berbulan-bulan tapi gagal, sedangkan kau cuma butuh beberapa jam saja, itu juga Sakura yang mengutarakan cintanya," kata Shikamaru menambahkan.

Naruto terkejut bukan main. "Tunggu! Jadi ini bukan lelucon? Ini sungguhan?" tanyanya penasaran sekali, kemudian tertawa terbahak-bahak ketika Shikamaru, Kiba dan Choji mengiakan.

"Diamlah," perintah Sasuke dingin disertai rona merah tipis di pipinya, merasakan tawa Naruto justru semakin keras dirambah teman-temannya yang lain juga ikutan tertawa, ia menenggak minumnya frustasi; menyesal sudah datang ke sini.

"Ha'i, ini pesananmu Naruto," kata Ino meletakan satu gelas di meja dan mendorongnya dihadapan Naruto.

"Thanks," kata Naruto.

"Kau sungguh-sungguh tidak frustasi?" tanya Sasuke yang sejak tadi memerhatikan tingkah Naruto. "Tidak biasanya kau memesan martini," apa lagi diminum dalam satu tegukan saja.

"Hm," Naruto menjawab sekenanya, asyik mengoyang-goyangkan gelasnya. "Apa kalian mengajakku minum di sini karena mau membahas tentangku?"

"Memangnya apalagi?" Shikamaru balik bertanya. "Kami cemas karena kalian berdua pergi sebelum acara selesai, merepotkan."

"Kami cemas kau diapa-apakan atau bermain-main dengan Sakura," canda Kiba sambil menyatukan kedua jari tangannya yang sukses membuat rona merah muncul di pipi Naruto. "Ayolah cerita, kalian berdua ke mana setelah keluar dari bar."

Naruto benar-benar tidak ingin menjawab pertanyaan yang sangat pribadi macam ini, ia tidak pernah suka teman-temannya mencampuri kehidupan cintanya namun ia memberi pengecualian kali ini karena Sakura masih termasuk wanita 'asing' baginya ditambah ia yakin teman-temannya takkan berhenti bertanya sebelum dijawab. Ia menghela napas kecil. "Tidak terjadi apa-apa, Sakura hanya mengajakku tidur di kamarnya,"

"EH?!" seru teman-temannya terkejut kecuali Sasuke yang hanya memandang minuman miliknya datar.

"Dan juga menawariku tinggal... bersama dia." lanjut Naruto seraya menyeringai mengejek ke Sasuke yang hanya dibalas decihan kesal.

"EH!" seru teman-temannya lagi.

Respon keterkejutan teman-temannya serta kekesalan Sasuke karenanya menjadi hiburan tersendiri baginya; untuk pertama kalinya ia merasa puas dalam hal wanita.

Naruto meneguk minumannya penuh kemenangan.

"Jadi...?" Kiba bertanya.

"Hm?" Naruto bergumam sekenanya masih merasa di atas awan.

"Kau setuju tinggal dengannya...?" lanjut Chouji.

"Hm-hm," Naruto menjawab sambil menganggukan kepalanya.

Kiba dan Chouji saling bertukar pandang. "Wow," kata mereka bersamaan.

Shikamaru menepuk pelan bahu Naruto, sambil tersenyum kecil ia berkata. "Sakura pastilah hebat sekali bisa membujukmu untuk tinggal bersamanya."

"Hm-hm," Naruto setuju; benar, Sakura hebat sekali bisa membujuknya tinggal bersama—tunggu!"Apa kau bilang?"

"Sakura hebat sekali bisa membujukmu buat tinggal bersama, merepotkan," Shikamaru mengulangi kata-katanya. "Kau kan selama ini tidak pernah mengajak pacar-pacarmu buat tinggal bersama karena bagimu mereka hanya akan mengatur-ngatur hidupmu saja,"

"Benar juga," Kiba teringat sesuatu. "Kau selalu seperti itu, makanya kami terkejut apalagi kau mengenal Sakura cuma semalam, dia pastilah hebat sekali di ranjang sampai-sampai kau mau."

Naruto tidak menanggapi godaan Kiba, ia terdiam mencerna kata demi kata.

Sasuke menghela napas kecil, seakan tahu akan kejadian selanjutnya, ia memasang headset di telinganya dan melanjutkan minumnya.

"Aaaaaahhh..."

Ya...

Telinga Sasuke aman malam ini...

.

.x.

.

Naruto mengembuskan napas lesu berkali-kali selama di dalam lift apartemen.

Apa?

Alasan apa yang membuatnya setuju tinggal bersama Sakura?

Apa?

Apa?

Apa karena wanita muda itu memiliki senyum serta wajah yang manis? Tidak, tidak, ia pernah memiliki kekasih yang lebih manis dari Sakura akan tetapi ia tetap tidak mengajak untuk tinggal bersama.

"Berbicara selera..." Naruto bergumam.

Sakura bukan tipe wanita yang termasuk kriterianya, tipenya lebih ke pada wanita yang memiliki tubuh seperti model; ia tak menilai Sakura tidak memiliki tubuh menarik, sejak pertama beradu pandang dengan bola mata hijau seperti ada sesuatu yang membuatnya tertarik, dua bola mata hijau yang penuh misterius, indah ketika menatapnya dan tanpa disadarinya ia memilih duduk di samping wanita itu dari pada di samping Sasuke yang menawarinya tempat duduk.

"Mungkin itu daya pikatnya?" Naruto bertanya-tanya ketika keluar dari lift.

Semua wanita yang dikencaninya, ia hanya melihat dari tampilan fisiknya saja dan semuanya berakhir karena ia bosan atau mereka mencampuri kehidupan pribadinya: mungkin, mungkin selama ini ia salah menilai, mungkin, mungkin tipenya itu wanita misterius seperti Sakura...

Meski malu mengakuinya, ia sempat terpikir satu detik untuk mencium bibir Sakura bukanlah keningnya, mau mengabulkan keinginan wanita muda itu supaya senang sebab ia begitu suka melihat senyum wanita muda itu, tidak puas hanya melihatnya satu atau dua kali, ia ingin lebih...

Naruto menepuk keningnya seakan tak percaya akan apa yang baru terpikirkan olehnya. "Apa aku ini punya fetish ke bibir?" ia bertanya-tanya sambil memasukan kunci, mengetahui tidak dikunci ia pun masuk ke dalam. "Tadaima,"

"Meow..."

"Ah!" Naruto terkesikap kaget ketika mendapati seekor kucing berbulu putih menggeram marah padanya.

"Pink-chan kau tidak boleh seperti itu." kata Sakura melangkah mendekat, ia mengangkat kucing tersebut ke pelukannya barulah menatap Naruto dengan lembut. "Okaerinasai," katanya.

"Pink-chan...?" Naruto kehilangan kata-katanya, masih syok.

Sakura mengangguk lalu mengulurkan kucingnya ke depan. "Ini kucing peliharaanku, Naruto!" katanya.

"Meow..."

Sakura tersenyum. "Kalian berdua bisa berteman baik? Pink-chan, ini Naruto bersikap baiklah padanya sebab dia kekasihku!"

"Meow..."

Sakura tertawa kecil.

Naruto masih terdiam; tadi pagi ia tidak melihat kucing berbulu putih itu di apartemen Sakura dan bukankah ada larangan memelihara hewan!? Jadi... bagaimana Sakura bisa tidak dikeluarkan oleh pemilik apartemen ini karena melanggar peraturan tersebut?

"Ha'i," Sakura menjulurkan kucing miliknya tepat di wajah Naruto. "Naruto kau belum berkenalan dengan Pink-chan,"

"Ah, ahahahahaha..." tidak tahu menjawab apa, Naruto tertawa gugup, ia melemparkan pandangan ke sisi lain; di mata birunya, Sakura begitu imut—ia terbatuk, "Hai," ingin rasanya ia lenyap dari sini sekarang juga karena tiga kata bodoh tadi.

"Meow..."

Ya, ingin lenyap dari sini sekarang juga.

"Hm," Sakura berpikir sesaat. "Apa kau sudah makan? Ada sushi untukmu kalau kau mau."

Naruto menggeleng. "Aku sudah makan dengan teman-temanku tadi di bar," sesalnya—jika tahu Sakura akan memasak untuknya lebih baik tadi ia cuma minum. Mata birunya mendapati raut wajah Sakura berubah sedih; ia harus berbuat sesuatu! "Ah, tapi aku mau mandi saja,"

Berhasil. Wajah Sakura cerah kembali. "Kalau begitu aku siapkan air hangatnya."

Naruto mengangguk setelahnya berjalan menuju ruang televisi berniat duduk namun niatnya terhenti seketika ia melihat layar televisi yang masih menyala. "Whoa!" ia berdecak kagum—kagum melihat konsol playstation 4 di bawah meja televisi, tersadar dari kekagumannya, ia mengerutkan keningnya "Apa Sakura memainkannya?"

Itu pertanyaan bodoh... tanpa perlu dijawab pun, itu sudah pasti Sakura yang memainkannya, di sini hanya ada wanita muda itu dan mana mungkin kucing bermain playstation.

"Sakura..."—wanita muda itu terus membuatnya terkejut.

Selagi Naruto sibuk berkutat dipikirannya, Sakura keluar dari kamar mandi. "Fyuh... aku sudah selesai menyiapkan air hangatnya—ah!" kata-katanya tak selesai, ia langsung berlari ke samping Naruto saat mengetahui playstation yang dimainkannya menyala.

"Sakura, kau suka main game... ?" tanya Naruto penasaran.

Sakura berhenti membereskan, diam; berpikir sejenak. "Ya..." jawabnya akhirnya pelan sekali, lalu ia menatap Naruto serius. "Apa itu... aneh?"

Naruto tidak menjawab; ini untuk pertama kalinya ia melihat ekspresi wajah Sakura yang seperti itu, raut yang marah dan—menuntut—? Ia menggaruk pipinya yang merona merah. "Ah... tentu itu tidak aneh, aku hanya terkejut, semua orang bebas melakukan apa yang dilakukannya kan? Lagi pula menurutku tidak buruk justru akan menyenangkan kalau kita punya hobi yang sama." jelasnya perlahan-lahan dan hati-hati agar tidak menyinggung Sakura.

"Benarkah?"

"Hm?"

Sakura mendekatkan wajahnya ke Naruto, menatap pria itu malu-malu. "Benarkah itu tidak... um, aneh?"

"Ah... tentu saja Sakura," kata Naruto meyakinkan, pipinya pun ikut merona seperti halnya Sakura.

Sakura menjauh akhirnya, kemudian menyatukan kedua tangannya, wajahnya kembali ceria. "Oh iya! Aku sudah menyiapkan air hangatnya jadi kau bisa berendam! Ayo!" katanya semangat sembari mendorong Naruto menuju kamar mandi.

"A... ah, ya," Naruto menjawab sekenanya; rasanya suasana tadi sungguh berbeda, raut wajah Sakura yang serius sungguh berbeda, ia seperti melihat jati diri yang berbeda dari wanita itu; ia tidaklah sejenius Shikamaru akan tetapi ia bisa menilai senyuman yang selalu Sakura berikan untuknya ketika memberikan pendapat masalah hobi bermain game benar-benar tulus sungguh berbeda dari senyuman tadi pagi.

Naruto melepas semua pakaiannya setelah Sakura meninggalkannya di kamar mandi, tanpa mengecek suhu air ia masuk ke bathub, bersandar santai; aroma cherry menyeruak menyentuh hidungnya ketika ia berendam, aroma yang menenangkan membuatnya menutup kedua mata birunya.

"Naruto." panggil Sakura.

Tanpa membuka matanya, Naruto menjawab. "Hm?"

"Punggungmu mau aku gosok?" tanya Sakura.

"Hm-hm," Naruto masih tenggelam dalam aroma cherry, ia baru membuka tersadar ketika mendengar suara pintu tertutup perlahan, kemudian membuka matanya mendengar suara langkah kaki—dan terbelalak melihat Sakura berdiri dihadapannya hanya berbalut handuk putih yang menutupi tubuh mungil wanita itu. "Sa... kura..."

What the fu—apa yang dilakukan Sakura di sini!?

Kenapa juga ia tidak mengunci pintu kamar mandi?

Sakura menjajarkan wajahnya pada Naruto dengan menumpu kedua tangannya di lutut. "Kau kan setuju memintaku menggosok punggungmu,"

Naruto merasakan darah naik ke kepalanya, yang sukses membuat pipinya merona hebat. "Sakura, aku tidak pernah setuju kau menggosok punggungku dan kenapa kau telanjang, dattebayo!"—ia bersumpah ia bisa melihat belahan dada Sakura sekarang... matanya tidak bisa berhenti memandang itu... sial...

Reaksi Sakura tidak seheboh reaksi Naruto, ia cuma berjongkok dan memutar jari telunjuknya di dalam air bathub. "Tentu saja aku hanya memakai handuk supaya bajuku tidak basah,"

Tentu saja Naruto tahu alasan yang itu, yang menjadi pertanyaan kenapa Sakura mau telanjang demi dirinya—pria yang baru dikenalnya selama satu malam? Pacar-pacar ia sebelumnya butuh waktu satu minggu bahkan lebih buat melakukan itu padanya, sedangkan Sakura...

Naruto kembali sadar begitu merasakan tangan Sakura menyentuh tangannya, mata birunya kini tertuju pada mata hijau dihadapannya.

Sakura tersenyum. "Jadi? Ayo kau keluar, biar kugosok punggungmu, Naruto."

Naruto mengambil handuk di sampingnya dan melilitkan di pinggulnya setelah selesai barulah ia berdiri keluar dari bathtub; ini sudah berlebihan baginya. "J-jangan bercanda, Sakura. Aku tidak pernah memintamu untuk melakukannya, dattebayo!"

Sakura hanya memasang tampang polos. "Tapi tadi saat aku menanyakannya padamu, kau kan menjawab: hm-hm jadi kupikir kau mau, Naruto."

Naruto menepuk keningnya; ia rasa kesalahpahaman ini bukan sepenuhnya Sakura, ia menyalahkan diri karena terlalu tenggelam dalam aroma cherry milik Sakura—ia terbatuk sebentar akan pemikiran 'aroma cherry milik Sakura'. "Aku sudah selesai mandinya jadi kau tak perlu melakukannya." katanya tenang, berjalan keluar tanpa mendengar jawaban dari Sakura.

Naruto mengembuskan napas lewat mulutnya ketika keluar dari kamar mandi.

Suasana tadi begitu menegangkan...

Naruto masih belum percaya Sakura melakukan hal itu padanya, biasanya wanita yang dikencaninya akan malu ketika diajak mandi bersamanya akan tetapi wanita itu sama sekali tidak menunjukan rasa malu, hanya sekali Sakura malu itu ketika menjelaskan ia menjawab 'hm-hm' sebagai persetujuan meminta digosok.

Naruto mengerutkan alis berpikir.

Sakura benar-benar tidak malu—apakah wanita itu termasuk tipe yang percaya diri akan tubuhnya—? Tubuh Sakura memang indah, dan ia menemukan kaki jenjang putih wanita itu begitu menggoda—dan akan jauh lebih menggoda lagi ketika berada di bahunya saat mereka berdua bercin—

Naruto menggelengkan kepalanya ketika pikirannya mulai berpikir yang tidak-tidak.

Atau mungkin—Sakura sering melakukan hal tersebut hingga tidak memiliki rasa malu sedikit—? Menawarkan pada kekasih masa lalunya—?

Membayangkan Sakura menggosok punggung pria lain membuat Naruto yang sedang memakai kaus menjadi tidak nyaman—ia tidak suka dengan bayangannya tadi. Sama sekali. Tidak suka.

Naruto menolehkan kepalanya ketika mendengar suara decit kursi, ternyata adalah Sakura. "Kau tidak tidur?"

Sakura hanya menggelengkan kepala, kemudian ia memakai kacamatanya dan mulai membaca dokumen yang dibawanya dari rumah sakit.

Naruto yang dilanda penasaran berjalan mendekat, ia mengintip di balik bahu wanita berambut pink itu. "Kau membaca dokumen soal pasien—?"—ah ya, ia tidak tahu sampai saat ini pekerjaan Sakura apa, ia tidak sempat menanyakannya pada Ino tadi di bar.

"Ya, ada operasi besok jadi aku harus membaca riwayat pasien itu," jawab Sakura tanpa mengalihkan matanya. "Sebagai dokter aku harus sempurna, tidak boleh gagal,"

Naruto ber-oh ria, tanpa sadar seulas senyum kecil muncul di bibirnya; Sakura luar biasa di matanya saat ini, ia tidak pernah berkencan dengan dokter karena baginya mereka semua hanya akan mengganggu pola makannya yang suka makan ramen. Ia merenggangkan ototnya, "Kalau begitu selamat tidur, Sakura."

"Aku tidak mengijinkanmu tidur di sofa, kau boleh tidur di ranjang bersamaku," kata Sakura tanpa menoleh.

"Eh?"—bagaimana Sakura bisa tahu jika ia mau tidur di sofa? "Tapi aku—"

"Kalau kau tetap keras kepala, tidur di luar saja."

Naruto tidak bisa melawan bila Sakura bilang seperti itu, ia pun naik ke ranjang dan menarik selimut pink hingga batas bahunya, degub jantungnya tiba-tiba berdegub lebih cepat; ia gugup, mungkin karena ini pertama kalinya mereka 'tidur'—yang membuatnya mengembuskan napas; kenapa juga harus gugup? Ia sudah sering tidur dengan wanita yang dikencaninya sebelumnya jadi pastilah tidak berbeda. "Dimana Pink-chan?" sejak keluar dari kamar mandi ia sama sekali tidak melihat kucing itu.

"Aku titipkan ke pemilik apartemen," jawab Sakura.

Naruto ber-oh ria; terjawab sudah kenapa Sakura diperbolehkan membawa hewan ke kamarnya sebab kucing tersebut dititipkan ke pemilik apartemen ini. Mungkin sesama pecinta kucing makanya diijinkan?

"Hm-hm." gumamnya; berpikir menebak perilaku Sakura tidak akan pernah selesai-selesai jadi lebih baik ia tidur; ia merubah posisi sedikit mencari yang nyaman—setelah di cukupnya nyaman, rasa kantuk mulai menyerangnya, mata birunya mengerjap perlahan—di situlah ia melihat samar-samar Sakura meletakan kedua tangannya di sisi kepalanya; ia mencoba memfokuskan penglihatan mata birunya dengan mengerjapkannya, kali ini ia menangkap Sakura berjalan menuju arahnya. "Sakura..." bisiknya.

Sakura tidak membalas, menatap Naruto tanpa ekspresi di wajahnya. "Apa... keputusanku... ini benar?" bisiknya. "Ataukah... keputusan ini... salah...?"—setelah berbisik ia memeluk dirinya sendiri.

"Huh...?"—apa ia sudah berada di alam mimpi sekarang? Ekspresi wajah Sakura begitu kosong; kenapa ia begitu dingin? Ekspresinya begitu berbeda. Namun sebelum ia berpikir lebih jauh, matanya tertutup rapat, sebelum benar-benar tertidur, ia merasakan tubuhnya seperti dibalut oleh sesuatu yang hangat.

...

.x.

...

Drrt! Drrt! Drrt!

"Hm?"

Drrt! Drrt! Drrt!

"Lima menit lagi... ibu..."

Drrt! Drrt! Drrt!

Naruto akhirnya terbangun namun saat hendak duduk, tubuhnya terasa berat; apakah efek minum martininya belum hilang? "Hm?"—matanya terbuka hanya beberapa detik sebelum tertutup kembali karena sinar matahari yang menembus jendela mengenai matanya—ia kembali membuka matanya setelah menghalangi sinar matahari—dan membatu detik itu juga mengetahui Sakura begitu dekat dengannya bahkan wanita itu memeluk tubuhnya erat sekali seakan tidak ingin melepaskannya.

Jadi sekarang apa?

Naruto merasa tidak tega membangunkan Sakura yang sedang tidur ditambah ia pernah membangunkan wanita yang dikencaninya dulu setelah semalam mereka sehabis melakukan 'sexy time' tetapi hanya dapat omelan bukan ciuman selamat pagi.

Membangunkan wanita yang kelelahan bukanlah ide yang bagus.

Tidak tahu harus berbuat apa di situasi seperti ini, mata biru Naruto pun tanpa disadarinya memerhatikan wajah Sakura diam-diam.

Imut dan polos sekali.

Wajah seorang wanita memang terbaik ketika mereka tertidur.

"Hm?"—bila diperhatikan secara dekat bulu mata Sakura panjang sekali, ia pikir dari sentuhan make up ternyata alami, alisnya juga tebal alami.

Sakura memang sudah cantik tanpa perlu sentuhan make up, Naruto menjadi penasaran bagaimana jika wanita berambut pink itu berdandan—? Tadi pagi tak terlihat Sakura memakai dandanan yang tebal, cuma memakai bedak dan lipstik, ia perhatikan.

'Ya, ada operasi besok jadi aku harus membaca riwayat pasien itu.'

"Ah... !"—Naruto teringat kata-kata Sakura semalam. Panik, ia mengguncangkan bahu wanita muda itu sedikit keras. "Sakura bangun! Sudah pagi!"

Berhasil.

Kening Sakura berkerut, merasa terganggu dengan suara keras Naruto "Hm," gumamnya. "Sebentar lagi," katanya sambil mengeratkan pelukannya pada Naruto.

Naruto yang tiba-tiba dipeluk erat lupa akan hal yang dilakukannya, menikmati sebelum kembali teringat setelah Sakura menenggelamkan wajahnya dilekukan lehernya. "Sakura... kau harus bangun, ada operasi pagi ini, kau ingat?"

Mata hijau Sakura sukses terbuka sepenuhnya. "Aku lupa!" serunya panik bangkit dari ranjangnya menuju kamar mandi.

Naruto tertawa kecil melihatnya, "Hm..."—karena Sakura sedang di kamar mandi jadi lebih baik ia yang menyiapkan sarapan, ia memang hanya bisa memasak makananan yang sederhana namun ia rasa wanita itu takkan keberatan apalagi di situasi seperti ini. "Huh?" ia berharap ada banyak persedian makanan di lemari es ternyata sama sekali tidak ada, mungkin Sakura belum belanja bulanan? Kecewa, ia melangkah menuju dapur dan menemukan roti tawar di atas meja makan, selainya pun juga ada di sana. "Oke," ia memutuskan membuat roti panggang. "Oh!" ternyata Sakura juga mempunyai alat memanggang roti. "Tinggal sendirian memang perlu punya barang-barang praktis, dattebayo." gumamnya sambil memasukan dua potong roti ke dalam pemanggang dan menyalakannya.

"Kau mau ke kamar mandi? Aku sudah selesai," seru Sakura dari kamar tidur.

"Hm..." apa tidak apa-apa bila ia tinggal sebentar untuk mencuci muka? Naruto memutar bola matanya; jelas takkan terjadi apa-apa, mencuci muka dan menggosok gigi tidak menghabiskan waktu berjam-jam.

"Kau dimana? Aku keluar dari kamar mandi tapi kau tidak ada," kata Sakura.

Naruto menghentikan langkahnya. "Aku membuatkan roti panggang sambil menunggumu," jawabnya.

Mata hijau Sakura melebar sesaat sebelum akhirnya melembut. "Terima kasih Naruto, tindakanmu sangat membantuku, kau tahu."

Naruto jelas senang mendapatkan pujian, namun ia teringat sesuatu yang membuatnya menggaruk pipinya malu. "Yah tapi itu belum selesai, aku baru menaruhnya saat kau berteriak padaku."

"Tidak apa-apa," sergah Sakura. "Aku yang akan menyelesaikan sisanya,"

"Ok," Naruto mengangguk dan melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.

Saling membantu menyiapkan sarapan bukanlah ide yang buruk, Naruto selalu berpikir berbagi bukanlah ide yang bagus. Sebelumnya ia selalu merasa terganggu ketika wanita-wanita yang dikencaninya berkunjung ke apartemen pribadinya.

"Aku selalu mengusir mereka dari kehidupan pribadiku," gumam Naruto setelah mencuci mukanya, ia menatap lekat-lekat refleksi dirinya di cermin.

Akan tetapi Sakura dalam waktu singkat bisa mengubah cara berpikirnya. Mungkin karena selama tinggal bersama, wanita muda itu sama sekali tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi padanya makanya ia merasa nyaman tinggal bersama.

"Mungkin aku selama ini mengencani tipe wanita yang salah," gumam Naruto sambil meletakan sikat gigi yang barusan dipakainya. "Aku sudah memutuskan, aku akan pindah setelah dapat pekerjaan."—untuk sementara ini ia 'pasrah' tinggal bersama Sakura, "Hm," gumamnya; ia harap wanita berambut pink itu tidak menunggu terlalu lama ia mencuci muka dan menyikat gigi.

Naruto yakin Sakura pagi ini pun menunggu makan sarapan bersama.

Senyum kecil terukir di bibir Naruto memikirkannya, merasa mulai antusias ia melangkahkan kaki sedikit cepat menuju ruang makan dan tebakannya benar, Sakura sedang menunggunya sambil membaca buku.

Naruto duduk di depan wanita muda itu. "Maaf, menunggu terlalu lama,"

Sakura menutup buku yang dibacanya untuk menatap mata biru dihadapannya. "Tidak masalah,"

"Itadakimasu..."

Sarapan dalam keheningan seperti ini Naruto merasa aneh, namun ia tidak punya topik obrolan yang ingin ia perbincangkan dengan Sakura apalagi wanita itu makan sambil sesekali membaca buku, ia pikir itu buku rincian soal pasien yang mau operasi hari ini—?

"Ah," Sakura teringat sesuatu, lantas ia pun mengambil sesuatu di bawah meja makan. "Ah... aku lupa membawa Roomba ke tempat servis kemarin."

Naruto melirik matanya ke benda yang diambil Sakura—yang ternyata adalah robot pembersih otomatis. "Aku bisa memperbaikinya."

"Sungguh?" tanya Sakura penuh harap; jika Naruto memperbaikinya, ia bisa menghemat uang banyak.

Naruto mengambil robot roomba dari tangan Sakura, dan menganalisa roomba dari segala sisi. "Masalahnya apa memang Sakura?" tanyanya.

"Roomba tidak mau membersihkan lagi," respon Sakura.

"Hm," Naruto kembali memfokuskan mata birunya ke roomba. "Apa kau selalu membersihkannya?" tanyanya.

"Iya,"

"Maksudku bagian dalamnya,"

"Eh? Memangnya ada ya?" tanya Sakura balik.

"Gotcha," Naruto sudah tahu alasan kenapa roomba bisa rusak. "Sakura, apa kau punya obeng?" tanyanya. "Ah... kau harus ke rumah sakit kan? Jadi kasih tahu aku saja dimana kau menyimpannya."

Sakura terdiam sesaat, berpikir.

"Sakura?" panggil Naruto pelan; kenapa wanita itu jadi melamun? Ia kan cuma minta diberitahu dimana tempat obeng di simpan.

Sakura bangkit dari kursi. "Aku akan ambilkan,"

"Huh?" Naruto bergumam kebingungan. "Tapi kan kau ada operasi penting pagi ini—" meski sudah diingatkan, Sakura tetap berjalan menuju kamar tidur; ia sesaat termenung memikirkan: apa mungkin operasi itu cuma kebohongan—? Mustahil! Ia menggelengkan kepalanya, berjalan menuju jendela dan membuka tirainya, mata birunya menyipit merasakan cahaya matahari masuk ke dalam. "Cantik," bisiknya kagum, apartemen kelas atas emang berbeda.

"Ini obengnya," kata Sakura.

"Oh..." Naruto membalikan tubuhnya; di depannya Sakura mengulurkan satu buah kotak merah kecil, sambil tersenyum ia mengambil kotak tersebut, lalu menoleh ke sana kemari mencari tempat sampah, setelah menemukannya barulah ia duduk di lantai.

Sakura duduk di samping Naruto memerhatikan pria tersebut membuka tempat penyimpanan sampah yang dihisap roomba dan membersihkannya, sebelah alisnya terangkat; jika masalahnya hanya itu, setiap pulang kerja ia selalu membersihkannya—"Oh,"—ia terkejut melihat Naruto membalikan roomba lalu membuka bagian dalam yang berisi—um... sikat panjang? "Whoa..." sikat itu penuh dengan rambutnya! Ia tidak pernah tahu ada tempat kotor yang lain di roomba. "Hm... memang benar ya..."

"Hm?" Naruto merespon seadanya, fokus mengecek roda roomba; ini juga kotor penuh rambut pink Sakura.

"Memang benar pria yang bisa memperbaiki barang-barang rusak itu menarik,"

Kata-kata polos Sakura sukses membuat Naruto gagal membuka roda roomba, ia menoleh ke arah wanita muda itu. "Apa maksudmu?"

Sakura tersenyum tanpa dosa. "Aku cuma bilang kau terlihat sangat menarik saat memperbaiki roomba."

"Uh..." Naruto tidak tahu harus menjawab apa. "Terima... kasih?" bodoh.

Canggung...

Suasanannya benar-benar canggung.

Naruto memutuskan melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti, ia membersihkan roda dari rambut-rambut, setelah selesai ia pun mengecek setiap sensor roomba yang ternyata juga kotor; ia harus lebih hati-hati dengan sensor ini. "Um... apa kau punya tisu basah, Sakura?" tanyanya.

Sakura mengangguk dan mengambil tisu dari tasnya. "Apa ini bisa?" tanyanya.

Naruto tersenyum kecil. "Tentu saja bisa," sahutnya, membersihkan sensor-sensor roomba dengan hati-hati dan lembut, setelah selesai membersihkan sensor luar dan dalam, ia memasang lagi sikat panjang roomba ke tempat semula dan memasang penutupnya dengan baut dan mengencangkannya menggunakan obeng. "Selesai," katanya puas.

"Wah..." Sakura mengangkat roomba tinggi-tinggi.

Naruto menggaruk pipinya yang merona merah. "Aku pikir masalahnya hanya itu saja jadi coba kau nyalakan Sakura, apa hidup atau tidak."

Sakura mengangguk paham, meletakan kembali roomba ke lantai dan menyalakan tombol power-nya kemudian melompat bahagia mengetahui roomba hidup dan mulai membersihkan ruangannya. "Naruto, terima kasih."

"Whoaaa..." Naruto terkesikap ketika Sakura memeluknya; ia sama sekali tidak menduga hal ini, biasanya ia hanya menerima pujian setelah membetulkan barang elektronik; Sakura seperti anak kecil sekarang ini di matanya, sangat polos, senyumnya pun berbeda—sangat berbeda hingga membuat degub jantungnya berdegup kencang.

'Aku tidak bisa seperti ini.' pikir Naruto dalam hati.

"Pemandangan matahari di apartemenmu indah sekali, Sakura." Naruto mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Sakura mengikuti arah pandangan mata Naruto. "Benarkah?" gumamnya datar.

"Um... ya?" Naruto menyahut seadanya; ini pertama kalinya baginya mendengar wanita sama sekali tidak tertarik melihat matahari terbit.

'Ugh, aku harus berhenti membanding-bandingkan Sakura dengan wanita yang aku kencani.'

"Aku tidak pernah menemukan memandang matahari terbit atau tenggelam itu sesuatu yang indah." gumam Sakura pelan.

"Kenapa memangnya?" tanya Naruto penasaran.

Sakura membatu mendengar pertanyaan tersebut. "Kenapa...? Aku...? Kenapa... aku tidak suka...?"

"Sakura... ?" Naruto merasa ada yang tidak beres, wajah Sakura mulai berubah pucat memikirkan alasan kenapa wanita itu tidak menyukai matahari; ia mulai berpikir bila ia terlalu memaksa. "Sakura, kau tidak usah menjawabnya jika kau tidak mau. Aku tak mau memaksamu menjawab pertanyaanku, dattebayo."

Meski Naruto sudah menjelaskan bila pertanyaannya tidak perlu dijawab, Sakura tidak merespon, ia tetap berpikir sambil menaruh kedua tangannya di rambut pink-nya, napasnya mulai menjadi tidak teratur.

Naruto yang melihatnya mulai cemas, dan sedetik kemudian panik saat Sakura menjatuhkan diri ke lantai, refleks ia pun mengikuti, duduk dihadapan wanita muda itu. "Sakura," ia mencoba menyentuh tangan Sakura yang mencengkeram erat helaian rambut pink-nya, mencoba menenangkan namun tangannya ditepis kasar.

"Jangan sentuh aku!" bentak Sakura kasar kemudian menenggelamkan wajahnya pada kedua tangannya dan mulai menangis.

Naruto panik; ia tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya; ia tak pernah tahu bagaimana caranya membuat wanita berhenti menangis! Normalnya, ia akan pergi baru kembali setelah mereka berhenti menangis, akan tetapi situasi dengan Sakura berbeda, wanita itu menangis tanpa alasan—sangat aneh untuk menangis hanya karena menjawab pertanyaannya, ia yakin pasti ada sesuatu yang lain.

'Hanya ada satu cara, tapi aku tidak yakin...'—ia pernah tanpa sengaja melihat cara ayahnya, Minato meredam kemarahan ibunya, Kushina dan itu berhasil namun ia tak yakin ia bisa selihai ayahnya membujuk ibunya.

Tetapi jika tidak mencoba maka ia takkan tahu, kan?

Ini akan menyakitkan atau... tidak. Naruto tidak mau berbohong, pukulan Sakura tadi cukup keras untuk seorang wanita, jadi ia bisa membayangkan jika tangan wanita itu mendarat di pipinya, ia mengambil napas dalam lalu mengeluarkannya. "Sakura..." panggilnya pelan.

Sakura tidak menjawab.

Tidak berhasil.

'Aku memang tidak sepandai ayah,'

Naruto mengambil napas dan mengeluarkannya kembali; bukan saatnya memikirkan siapa yang terhebat, siapa yang bukan. "Sakura..." panggilnya kali ini lembut. "Lihat aku..."

Setidaknya Sakura berhenti menangis.

Naruto menilai tanggapan Sakura sebagai hal positif, membuatnya memberanikan diri meletakan tanganya di atas tangan Sakura. "Semuanya baik-baik saja." katanya lebih lembut lagi .

Sakura menatap Naruto sesaat sebelum akhirnya memeluk pria itu erat.

Naruto tidak protes dipeluk dan tidak berkata apa-apa lagi, hanya diam membelai lembut rambut pink Sakura, menenangkan wanita muda yang berada dipelukannya.

'Aku cuma memeluknya tapi aku bisa merasakan penderitaan, Sakura.'

...

.#.

...

Setelah membaringkan tubuh Sakura di ranjang dan memastikan seratus persen wanita muda itu tertidur, Naruto memutuskan untuk ke bar menemui Ino.

"Ugh, aku lupa pakai jaket," keluh Naruto memeluk diri sendiri. Begini jadinya jika tergesa-gesa, selalu ada saja yang terlupa; ia melirik jam di tangannya: jam 10 berarti bar sudah buka. Ia harap Ino bekerja shift pagi karena kemarin Ino bekerja malam; repot bila harus ke apartemen wanita muda itu karena jauh ditambah ia ingin cepat-cepat pulang sebelum Sakura terbangun dari tidurnya.

Naruto sampai di depan bar, sedikit mengukir senyum mengetahui tebakannya benar, bar sudah buka, tanpa pikir panjang ia pun masuk ke dalam sambil matanya menyapu sekeliling ruangan mencari tanda-tanda keberadaan Ino; bar baru saja buka jadi hanya sedikit pelanggan yang datang pagi ini, tidaklah sulit mencari wanita berambut pirang ponytail.

"Aku rasa dia di rumah." gumam Naruto putus asa duduk di kursi; tentu saja Ino tidak ada, pastilah sudah pulang shift malam.

"Siapa yang kau maksud: 'aku rasa dia di rumah'?" tanya suara lirih di depannya.

Naruto menengadahkan kelapanya—lalu tersenyum lebar mengetahui suara itu dari Ino—tunggu! "Huh? Apa yang terjadi dengan suaramu, dattebayo!?"

"Oh... aku sedang tidak enak badan," sahut Ino kemudian terbatuk. "Kau tahu bagaimana rasanya kerja malam terus besoknya harus masuk pagi," keluhnya memutar bola mata birunya.

"Kau harusnya ambil libur," Naruto memberi saran. "Wajahmu pucat sekali," lanjutnya. "Dan bagaimana kalau sakitmu menular ke pelanggan, dattebayo!?"

"Kau meminta dipukul ya!?" seru Ino tidak terima 'kritikan' Naruto.

Naruto panik; temannya satu ini salah mengartikan kecemasannya. "Bukan itu maksudku Ino! Kalau kau membuat pelanggan tertular flumu dan dia protes ke manajermu, kau pasti yang akan dimarahi bahkan mungkin kau dikeluarkan, dattebayo!" jelasnya. "Aku hanya mencemaskanmu, ok?"

Ino mengusap dagunya, berpikir sesaat. "Ok, aku mengerti, hm... idemu bagus juga," katanya sambil tersenyum kecil sebentar sebelum terbatuk kembali. "Jadi?"

"Jadi?" Naruto mengulanginya dengan polos.

Ino memutar bola matanya jengkel. "'Aku rasa dia ada di rumah', apa maksud kata-katamu tadi?"

"Oh!" Naruto teringat tujuan utamanya kemari. "Aku mencarimu, Ino."

"Oh!" Ino terkejut bukan main. "Naruto, aku tahu kau tampan dan menarik, tapi aku sudah punya Shikamaru, kau ingat kan?" katanya dengan ekspresi 'sedih'.

Giliran Naruto yang memutar bola matanya jengkel. "Aku ke sini ingin bicara tentang Sakura."

"Apa yang mau kau bicarakan soal sahabatku?" tanya Ino penasaran; ini pertama kalinya Naruto bercerita soal wanita, pastilah ini spesial—"Oh! Kau akhirnya jatuh cinta pada Sakura!?"

Pernyataan mendadak Ino sukses membuat pipi Naruto merona; kenapa juga Ino bisa berpikir ke sana? "Apa? Tidak, dattebayo!" belum.

Wajah Ino yang tadi sumringah berubah kecewa berat "Aww... aku berharap iya karena aku sangat menyukai kalian berdua bersama."

Naruto memilih diam; ia tidak tahu harus bereaksi sedih atau gembira; sedih karena ia membuat Ino kecewa atau gembira karena sudah mendapat restu dari Ino yang notabenenya sahabat dekat Sakura.

"Apa yang mau kau bicarakan soal Sakura?" tanya Ino mulai membersihkan gelas-gelas kosong di meja bar.

'Kembali ke topik utama, eh?'

"Uh," Naruto sedikit ragu menanyakannya sekarang, sebab baginya ini sedikit pribadi, hanya tebakannya saja sih. "Ini apa Sakura... uh... punya masalah soal melihat matahari?"

Pertanyaan tersebut sukses membuat tubuh Ino membeku dengan mata biru melebar, sebelum ia kembali melanjutkan pekerjaannya. "Apa Sakura bilang padamu?" tanyanya sekalem mungkin.

"Tidak," Naruto menggeleng. "Aku melihatnya seperti ketakutan akan sesuatu, jadi aku bertanya padamu."

Ino terdiam; sepertinya Sakura sedikit terbuka dengan Naruto. "Naruto, kalau kau ingin tahu, bukanlah aku jawabannya."

"Huh?"

"Kau harus bertanya langsung pada Sakura," kata Ino. "Soal itu bukanlah tempatku untuk berbicara."

"Jadi... memang ada sesuatu, ya?" Naruto memberi kesimpulan dari setiap kata yang keluar dari bibir Ino.

Ugh.

"Aku sudah berbicara terlalu banyak." kata Ino frustasi; jika Sakura mengetahui hal ini adalah darinya, ia pasti dimarahi habis-habisan.

'Tetap tenang Ino.'

"Apa ada hal lain yang kau butuhkan dariku?" tanya Ino.

"Tidak,"—sebenarnya ia ingin minum satu atau dua gelas akan tetapi telah mendengar jawaban ambigu Ino, membuatnya tidak ingin minum lagi.

"Ok, 900 yen,"

"Huh?" Naruto tidak mengerti; 900 yen untuk apa?

"Fan service, kau harus membayar 900 yen padaku,"jelas Ino. "Kau pikir, memonopoli seorang bartender favorit selama satu jam itu gratis?"

Mata Naruto melebar tidak percaya; 900 yen, ia bisa membeli satu bir mahal di sini.

"Ino, aku belum bekerja jadi bisakah kau anggap ini bercakapan antar teman?" rayu Naruto memelas; 900 yen itu uang yang cukup besar dan ia harus memakai uang miliknya seirit mungkin.

"Maaf tidak bisa, saat kita berbicara, manajerku melihat kita berdua, dia tidak menegurku, kurasa dia berpikir, kau mungkin 'menyewa-ku'," kata Ino sambil melipat tangan di depan dadanya. "Kau sendiri yang bilang kau tidak mau aku dikeluarkan. Jadi mana tip-ku?"

Ugh. Wanita muda berambut pirang ini begitu hebat memutar balikan kata-kata; Naruto mengembuskan napas pasrah—terpaksa mengeluarkan dompetnya, memberi uang 900 yen pada Ino. "Aku membencimu, Ino." katanya jengkel.

Ino menerima dengan senang hati. "Aku cinta kau juga, sayang." responnya bahagia.

Naruto memutar bola matanya; kalau terus di sini bisa-bisa habis kesabarannya. "Bye,"

"Tunggu, Naruto!" panggil Ino.

Naruto berhenti namun tidak menoleh sama sekali. "Apa? Aku tidak mau 'menyewamu' lagi," katanya malas.

"Aku hanya ingin meminta waktumu sebentar,"

Naruto menyeringai kecil; ia membalikan tubuhnya. "Kau mendapat perhatianku," katanya.

Ino mengepalkan tangannya di dadanya; pikirannya berperang apa harus ia mengatakannya atau tidak.

'Aku ingin Sakura bahagia.' kata Ino dalam hati.

"Halooo...?" Naruto melambaikan tangannya di depan wajah Ino; mau sampai kapan wanita ini melamun; ia tidak punya banyak waktu, ia mau kembali mengecek keadaan Sakura.

Ino sadar dari lamunannya, ia mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. "Naruto, aku tidak tahu kau menyukai sahabatku atau tidak, aku,"—wajah Sakura sekilas berada diingatannya. "aku hanya ingin memberitahumu jika kau tidak menyukai Sakura, akhiri hubungan kalian,"

"Tentu saja, Ino," sahut Naruto; mana mungkin ia mau menghabiskan waktunya untuk wanita yang tak disukainya—? Tunggu! Ia ingin menghabiskan waktu mengetahui soal Sakura berarti ia—? Tidak mungkin! Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Itu saja, Ino?"

Ink mengambil napasnya dalam lagi. "Tapi, kalau kau menyukai Sakura, jangan menyerah ok? Jangan menyerah! Karena masalah dia berbeda dari wanita lain..." apa ia melakukan yang terbaik—?

"O—k... ?" itu pertanyaan yang cukup serius, lagi pula ia terbiasa mengatasi wanita yang 'bermasalah'. "Itu saja?"

Ino mengangguk pelan.

"Ok, 900 yen."

"Apa!?" seru Ino tidak percaya.

"Apa?" Naruto memasang wajah sepolos mungkin. "Fan service, kau memonopoli pria tampan dan menarik ini selama 10 menit, kau pikir itu gratis?"

"Naruto!" beraninya pria tampan dan menarik di depannya ini memutar balikan kata-katanya! Tunggu! Apa barusan ia berpikir Naruto itu pria menarik dan tampan!? Ia sudah punya Shikamaru! "Ugh, ini uangmu," katanya pasrah.

"Thanks," kata Naruto berusaha sebisa mungkin menahan tawa kemenangannya.

'Dua orang bisa bermain permainan ini Ino, dan kau kalah.' kata Naruto dalam hati.

"Aku membencimu, Naruto!" seru Ino jengkel.

"Aku cinta kau juga, sayang." kata Naruto semanis mungkin bahkan mengedipkan mata birunya nakal.

Ino berteriak frustasi.

Naruto keluar dari bar sebelum jadi bulan-bulanan Ino, ia menghela napas kecil setelah menutup pintu masuk bar.

"Apa yang harus aku lakukan?" bisiknya pelan.

Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.

Sakura...

...

Bersambung...

...

Note: hay, akhirnya saya muncul juga ya :P well, saya taruhan, kalau Perancis menang piala dunia tahun ini maka saya akan apdet fic, dan ternyata menang uwooo...! udah 3 kali tebakan saya bener terus :D Spanyol, Jerman, dan sekarang Perancis :D kaya mendadak saya #becanda#sayagaikuttaruhanuang

Fic Mysterious Girl awalnya yang saya janjiin tapi karna terkendala jadwal kerja yang sibuk jadi baru setengah saya bikin

Fic ini udah lama saya ketik cuma tinggal nyelesain bagian akhirnya karna sempet debat bakal sampe mana diakhirin chap 1-nya

Cerita ini agak berat saya publish karna terlalu dark bagi saya tapi yah... karna piala dunia udah selesai dari kapan tau, ketikan fic MG secuil-secuil saya sempetin ngetik, jadi saya publish ini dulu lah

Baru kali ini saya pake sudut pandang Naru karna klo pake sudut pandang Saku itu bakalan 'rumit' tapi ada chap spesial Saku ngungkapin perasaan dia dari permata kali ketemu Naru di chap 1 sampe um... rahasia :P

Jangan flame soal sifat Saku karna tentu saya buat karna ada alesannya :v

Jangan tagih fic lama, saya mau fokus sama fic ini

Thanks for reading...