.

.

Daddy, Don't Kill Them © Cyreela

KookV Fanfiction

[ BoysLove, Romance, Drama – M – MissTypos ]

.

Chapter 4

.

.

"Shoot him. Now."

"Cih."

Sebelum Kim Taehyung sempat tersadar dari pikiran liarnya, tekanan ujung revolver di bagian intim tubuhnya lenyap, diikuti gebrakan ceroboh di bawah meja. Beberapa pengunjung di sekitar mereka menoleh, melemparkan tatapan tertarik. Berbagai komentar samar-samar terdengar. Sebagian besar bernada merendahkan.

Taehyung mengabaikan semua itu untuk dapat fokus memperhatikan perubahaan ekspresi pria yang beberapa menit lalu mengancam serta menodongnya dengan senjata api. Sedikit terkejut mendapati keangkuhan di wajah pria itu berganti dengan sesuatu yang tampak seperti ketegangan.

"Ini hanya sebuah kesalahpahaman," kegelisahan meresap dalam suaranya, "Aku tidak tahu jika dia adalah bagian dari propertimu," dan terdengar jelas sehingga menarik tanda tanya di benak Taehyung. Karena, bagaimana bisa pria besar ini terintimidasi oleh perintah tanpa minat pria yang ukuran tubuhnya jauh lebih kecil?

Di sisi lain, si pria putih pucat mendengus bosan. Tanpa mengatakan sepatah katapun, dia melangkah pergi seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Meninggalkan si pria tua yang duduk kaku di kursinya dan Taehyung yang masih berdiri seperti orang bodoh di tempatnya, berusaha memahami sesuatu.

Tunggu sebentar, apa dia baru saja menyelamatkanku?

.

.

Jeon Jungkook berdiri di depan lima anak tangga menuju bar mewah kawasan Jung-gu; Candelaria.

Tujuan utamanya adalah bertemu Taehyung—atau lebih tepat dikatakan berpura-pura tidak sengaja bertemu Taehyung di tempat kerjanya lalu memperhatikan si pirang sepanjang malam. Sayangnya Jungkook yakin, kedua penjaga di atas sana tidak akan membiarkan dia melangkah lebih jauh dengan mudah.

Terhitung masih ada satu minggu penuh sebelum Agustus berakhir. Artinya masih ada tujuh hari sial sebelum usianya menyentuh angka sembilan belas. Batas awal bagi seluruh penduduk Korea Selatan untuk dapat masuk ke dalam tempat berlabel dewasa dan minum alkohol secara bebas.

"Hei kau! menyingkir dari sana sekarang juga!" penjaga yang berwajah lebih masam berteriak. Tanpa perlu memeriksa sekitar, Jungkook sadar teriakan itu ditujukan untuknya—karena siapa lagi orang yang berdiri diam di depan anak tangga selama lebih dari tiga puluh menit di malam yang dingin?

"Kau menghalangi pengunjung yang ingin masuk ke dalam bar kami!" timpal penjaga lain.

Jungkook menghela nafas pendek. Tergoda melakukan sejumlah tindak kekerasan begitu mendengar cemoohan dari mulut kedua penjaga. Meskipun tubuh mereka dua kali lebih besar dan dilengkapi persenjataan tingkat pertama—yang tercetak jelas di balik seragam hitam ketat—tidak sedikitpun Jeon Jungkook merasa terintimidasi.

Dia yakin mampu dengan mudah menjatuhkan kedua penjaga dalam rentang waktu singkat tanpa terluka.

Namun pemuda berambut hitam itu ingat bahwa dia harus mempertahankan kesan baik di hadapan Taehyung, dan memulai keributan saat si pirang berada di wilayah yang sama bukanlah pilihan yang tepat. Jadi Jungkook memutar otaknya, memikirkan cara lain agar kedua penjaga itu berhenti merendahkannya dan dia dapat masuk tanpa mencederai seseorang.

"Berapa yang kalian butuhkan untuk membiarkanku masuk?"

Seperti yang Jungkook duga, kedua penjaga itu tertawa. Terdengar begitu menjijikan di telinganya. Yang berwajah lebih masam melangkah turun. Melempar tatapan tajam ketika berhadapan dengan wajah tanpa ekspresinya, "Pulang dan kumpulkan uang sebanyak yang kau bisa lalu kau bisa datang kembali dengan pakaian mahal dan mobil mewah."

Jungkook memutar matanya. Jadi ini bukan tentang tanda pengenal.

"Katakan saja berapa,"

Penjaga di atas tergelak sebelum menanggapi secara main-main, "Berapa banyak uang yang bisa kau tawarkan pada kami berdua?"

Jungkook mendongak, "Lebih dari yang bisa otak kecil kalian pikirkan," jawabnya sembari mengulas seringaian berbahaya. Menit berikutnya digunakan pemuda bermarga Jeon itu untuk mengucapkan sebuah penawaran singkat yang membuat kedua penjaga tegang bahkan sebelum kata terakhir terucap.

Angin malam berhembus. Deru kendaraan bermotor membelah jalanan legang. Beberapa pasangan berjalan riang melewati Candelaria dengan tangan saling bertaut.

Tidak ada persetujuan maupun penolakan yang terdengar.

Dan ketika Jungkook melangkah masuk, tidak seorangpun menghalanginya.

.

.

Atas kemurahan hati Hong Jisoo, Taehyung memiliki beberapa menit berharga untuk menenangkan diri di bawah meja bar setelah melewati pelecehan seksual yang menegangkan. Bahkan bartender tampan yang bergabung pada musim panas tahun lalu itu memberinya sekaleng cola gratis dan tetap menghargai batas privasi.

"Jika kau tidak merasa baikan juga, lebih baik kau beristirahat di ruang staff,"

Taehyung menggeleng cepat. Membayangkan dirinya seorang diri di ruang staff berhatu itu berhasil membuat bulu kuduknya meremang, "Tidak perlu! Aku sudah jauh lebih baik sekarang!" jawabnya sembari menarik senyum lebar yang cukup meyakinkan.

Meskipun mata coklatnya menyiratkan keraguan, Jisoo mengangguk dan melemparkan senyum tipis, "Syukurlah jika begitu," ucapnya pelan.

Detik selanjutnya, ketika derit kursi beradu dengan lantai marmer terdengar di sela dentingan gelas dan alunan musik indie lembut, Taehyung memperhatikan—dengan kekaguman—bagaimana postur santai Jisoo berubah tegak dan senyum profesional terpasang di wajahnya secara bersamaan hanya dalam satu kedipan mata.

"Selamat malam," si bartender menyapa ramah, "Apa yang bisa kubantu untukmu, Tuan?"

Ada sejumlah ketukan statis di atas meja bar sebelum jawaban dari suara yang familiar menerobos pendengaran si pirang, "Apa yang kau tawarkan?"

Jeon Jungkook?

Taehyung ingin bangkit untuk memastikan—namun Jisoo lebih dulu menekan salah satu bahu bagian depannya dengan tempurung lutut lalu melemparkan sebuah lap bersih ke atas kepalanya. Dari balik lap putih yang menutupi sebagian besar poni pirangnya, Taehyung menatap heran si bartender. Dengan gerakan bibir, dia mengajukan sebuah pertanyaan hening; 'ada apa?'.

Sayangnya Jisoo hanya melemparkan lirikan tak terdefinisi sekilas padanya kemudian kembali fokus melayani pelanggan, "Bagaimana dengan cola?"

Taehyung tersedak pelan. Menatap kaleng cola kosong di tangannya dan melirik si bartender secara bergantian.

"Jangan main-main denganku,"

"Maafkan aku," ucapnya tanpa penyesalan, "Aku akan segera membuatkan sesuatu untukmu, Tuan,"

Tanpa menurunkan lutut yang menahan pergerakan Taehyung, Jisoo mengambil gelas cocktail di rak bawah dan sprite dingin di kulkas kecil. Kemudian, jemari terampil si bartender mengisinya dengan ice cubes lalu membuka kaleng minuman berkarbonasi secara dramatis sebelum menyiramkannya ke dalam gelas. Sebagai sentuhan terakhir, dia mencelupkan tiga potong lime serta beberapa helai daun mint.

Sementara itu yang bisa dilakukan Taehyung hanya memainkan kaleng soda kosong dan menatap lantai sembari menunggu Jisoo menurunkan lututnya. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin mengambil risiko membuat keributan lain dengan mengacaukan keseimbangan si bartender—atau membuatnya jatuh ketika melayani pelanggan—saat dia mencoba melepaskan diri secara paksa.

"Silahkan," ucap Jisoo, mendorong minuman itu ke arah pelanggan.

"Mengapa mereka masih mempertahankan orang lancang seperimu?"

Taehyung mengerjap bingung. Suara familiar itu menyiratkan ketidakpuasaan. Namun sejauh yang dia tahu, Hong Jisoo merupakan bartender terbaik di Candelaria. Rekam kerjanya seputih kertas—tanpa kesalahan atau pelanggaran kecil. Mustahil Jisoo memberikan rekomendasi buruk apalagi salah meracik sebuah minuman. Tidak. Daya ingat serta keterampilannya adalah mukjizat.

Jadi Taehyung mencari penjelasan lain dengan memperhatikan baik-baik ekspresi Jisoo. Sayangnya dalam posisi tertahan seperti ini, pemilik iris hazelnut tidak mendapat banyak kesempatan untuk mendapatkan jawaban. Terlebih si bartender tampan itu terus tersenyum.

Dan semakin diperhatikan, senyum mempesona Jisoo berubah menjadi senyum menyeramkan.

Dia terlihat seperti psikopat di film-film.

"Apa anda ingin minuman lain, Tuan?" tawar si bartender.

Taehyung turut menunggu. Menghitung dalam diam. Namun melewati lima puluh tidak ada jawaban yang terdengar. Kekhawatiran menyelinap. Jauh dalam benaknya, Taehyung berdoa agar dia menjadi satu-satunya pegawai sial malam ini—

"Dimana kamar kecilnya?"

—dan Tuhan mengabulkan doanya terlalu cepat.

.

.

Jisoo berjongkok di hadapan Taehyung. Ekspresi wajahnya luar biasa menyesal, membuat Taehyung merasa bersalah tanpa sebab, "Maaf, aku tidak bermaksud menahanmu seperti tadi," jemari lentiknya mulai mengelus bahu si waiter berulang kali, "Tapi aku melakukan itu juga demi kebaikanmu,"

Taehyung mengangguk yakin meskipun dia tidak mengerti apa yang dimaksud Jisoo.

Seolah-olah menyadari isi kepala si waiter, Jisoo menjelaskan, "Aku melihat Joanna di pintu masuk," dia memulai, tersenyum geli terlukis begitu melihat kegugupan di wajah tan si waiter, "Aku tidak ingin dia melihat dan menyerangmu seperti biasa, jadi aku menahanmu di bawah," lanjutnya lancar.

Dan si pirang bisa merasakan kelegaan mengalir di wajahnya.

Joanna adalah janda kaya yang kesepian. Kesalahan terbesar Taehyung adalah terlalu ramah dan berhasil menarik perhatiannya pada pertemuan pertama mereka tiga bulan yang lalu. Alhasil, Joanna melakukan kunjungan rutin setiap rabu dan akhir pekan untuk menyerang Taehyung dengan pelukan erat dan ciuman pipi bertubi.

Tidak hanya itu, Joanna tanpa malu memperkenalkan dirinya sebagai wanita yang Taehyung cintai pada pelanggan lain. Janda itu juga memaksakan dirinya mabuk berat sehingga tidak memiliki tenaga untuk berdiri. Taehyung yang pada dasarnya memiliki jiwa sosial tinggi dan tanggung jawab sebagai seorang laki-laki selalu memastikan Joanna mendapat taksi yang tepat untuk pulang—sebuah hal yang pada akhirnya disalah artikan Joanna.

"La—lalu, dimana dia?" tanya Taehyung sedikit gugup. Demi tuhan, dia tidak ingin dilecehkan lagi malam ini.

Jisoo menepuk bahunya ringan, "Tenang, Mingyu sudah membawanya ke meja di ujung paling kiri dan memberinya beberapa tembakan vodka," dia menjelaskan, "Jadi kau bisa keluar sekarang dan usahakan tidak mendekati meja nomor tiga belas, mengerti?"

Kepala pirang Taehyung mengangguk cepat, "Terimaka kasih banyak!"

Tawa si bartender meluncur ketika si waiter memeluknya erat dan membuat mereka jatuh.

.

.

Jungkook mengerutkan kening, kesal.

Dia telah menyapu pandangan di bar secara seksama dan memeriksa setiap bilik kamar mandi. Namun sosok Kim Taehyung belum juga terlihat. Informannya terlalu profesional untuk melakukan kesalahan dalam melaporkan jadwal si pirang—tapi jika benar seperti itu, dia tidak akan berpikir dua kali untuk memberi pelajaran berharga.

"Bos, kau belum cukup umur masuk ke tempat ini,"

Dari cermin wastafel, Jungkook melihat wajah malas Min Yoongi.

Kebetulan sekali.

.

.

TBC

.

.

A/N :

Setelah nulis fanfic Believe, saya kesel sendiri sama Jungkook dan ga tau kenapa kebawa waktu nulis chapter ini jadi ga mau cepet-cepet bikin Jungkook ketemu Taehyung #ditabok

Terimakasih buat yang udah mau baca fanfic ini, terlebih yang udah follow dan ninggalin jejak.

Terimakasih banyak buat Kyunie | Funf | Viyomi | noonim | JSBTS | Mawar biru komentar kalian jadi semangat tersendiri buat nulis chapter ini. Saya juga mau berterimakasih buat silent readers, semoga kalian puas sama chapter ini dan ngikutin terus fanfic ini. Love u all #kiss kiss

ps : makasih untuk koreksinya noonim #wink