LET IT GO
.
.
.
.
.
YOONIMIN, SLIGHT VMIN
.
.
.
.
.
Sequel
.
.
.
.
.
Sorry for typos, enjoy!
.
.
.
.
.
Jimin tak hentinya memasang senyum lebar diwajah, tatapannya kosong kedepan, tak jelas melamunkan apa. Bahkan eksistensi orangtua dan keluarga Kim di meja makan pun diabaikannya.
Oh, jangan tanya kenapa Kim Taehyung dan ibunya bisa berakhir makan malam di rumah Jimin hari ini. Jika saja bukan karena ulah Taehyung, yang entah bagaimana bisa membakar seisi dapur saat hanya ditinggal lima menit oleh ibunya untuk mengangkat telepon, mungkin kediaman Park tidak akan seramai ini. Untuk beberapa hari kedepan, bibi Kim akan menumpang memasak di rumah Jimin hingga dapurnya selesai diperbaiki.
TAK!
"Yak!" Jimin mengaduh, ia memegangi kepalanya, lalu mendelik kearah Taehyung,"kau ini kenapa?" ujarnya kesal
"Kau yang kenapa, manggaetteok." Taehyung balas bertanya, sendok bekas memukul kepala Jimin ia letakkan kembali disebelah mangkuk nasi," tubuhmu disini, tapi jiwamu melayang kemana?"
Jimin agak terkejut Taehyung bisa mengatakan kalimat seperti itu, tak seperti Taehyung yang dia kenal. Sejak kapan Taehyung jadi puitis?
"Aku tidak kemana-mana. Hanya sedang memikirkan sesuatu." Jimin menjawab singkat, lalu kembali melahap makanan yang sejak tadi diabaikannya
"Oh, iya. Jimin-a," kini ibunya memanggil,"bagaimana acara mendakimu waktu itu? Kau belum cerita pada ibu."
Wajah Jimin mendadak merona saat dia kembali mengingat semua kejadian yang dialaminya selama mendaki gunung.
"Tidak ada yang spesial." Jimin menjawab pelan, mencoba menutupi rona merah di wajahnya,"kami hanya harus bermalam di puncak karena hujan."
"Kami?" tanya Taehyung,"kau bersama orang lain?" ia mendadak penasaran dengan orang yang mau diajak Jimin mendaki gunung seperti itu. Ah, atau mungkin Jimin memaksanya ikut dengan menyeretnya sepanjang perjalanan? Mengingat bagaimana sikap brutal Jimin, hal itu mungkin terjadi. Taehyung mendadak berubah menjadi detektif.
SRET!
"Aku selesai!" Jimin berdiri, lalu tanpa menunggu respon yang lain, segera berbalik menuju kamar
Keempat orang yang masih duduk di meja makan saling melempar tatapan bingung. Ada apa dengan Park Jimin?
"Taehyung-a, kau tahu Jimin kenapa?" bibi Park bertanya,"dia jadi sering bertingkah aneh sejak pulang dari gunung."
Pikiran Taehyung mendadak linglung. Jangan-jangan, Jimin kerasukan arwah gunung!
Wajah Taehyung mendadak pucat. Dia pernah melihat kejadian ini sebelumnya, di siaran drama pagi yang selalu ibunya tonton. Taehyung berdiri dari tempatnya, lalu mengambil sendok dan sebotol kecap ikan, lalu berlari menuju kamar Jimin.
BRAKK!
"Yak, Kim Taehyung!" ini kedua kalinya Taehyung dibentak oleh Jimin dalam jangka waktu kurang dari sepuluh menit.
"Jimin-a, minum ini!" Taehyung menyodorkan botol kecap ikan beserta sendok yang dia bawa ke arah Jimin,"aku tak ingin kau mati." sambungnya
Jimin mengerutkan dahi, anak ini belum minum obatnya? Kenapa juga Jimin harus mau meminum kecap ikan.
"Kenapa juga aku harus minum kecap ikan?" Jimin bertanya, tak mengerti
"Sudah, minum saja. Sebelum terlambat." Taehyung semakin mendesak Jimin,"menurut Jang Geum noona, kecap ikan bisa mengusir arwah jahat dari dalam tubuhmu. Cepat minum!"
Jimin ingin sekali melempar Taehyung dari ujung menara Namsan.
"Kim Taehyung, sahabat sehidup sematiku," suara Jimin terdengar pelan, tapi penuh penekanan,"sepertinya kau yang kerasukan. Siapa pula Jang Geum Noona."
"Eh," Taehyung memiringkan kepala, tak mengerti,"kau tidak tahu Jang Geum Noona? Dia dokter terkenal di kerajaan Joseon. Ibu selalu mengaguminya dari televisi." Jawabnya polos,"kupikir kau pintar, Jimin-a."
BUGH!
Hilang sudah kesabaran Jimin. Dia melempar bantal disebelahnya, tepat mengenai wajah Taehyung. Sebenarnya Jimin sangat tergoda ingin melempar Taehyung dengan benda yang lebih keras, ponsel, contohnya. Tapi berhubung ponselnya lebih penting daripada isi kepala Taehyung, dan bibi Kim masih berada di ruang makan, Jimin mengurungkan niat itu. Dia masih punya banyak kesempatan nanti.
"Terserah kau saja, jenius." Jimin membanting diri keatas kasur, ia menatap langit-langit.
Taehyung meletakkan sendok dan botol kecap ikan yang sejak tadi dipegangnya diatas meja belajar Jimin, lalu naik keatas kasur dan duduk bersila tepat disebelah sang pemilik kamar.
"Kalau kau tidak kerasukan arwah gunung, kenapa sikapmu jadi aneh sejak pulang dari sana?" Taehyung bertanya
Jimin menghela napas,"Aku juga tidak tahu."
Taehyung menatap sahabatnya,"Kau perlu kupanggilkan biksu?"
TAK!
Tak butuh waktu lebih dari satu detik bagi Jimin untuk memukul kepala Taehyung dengan kepalan tangannya.
"Panggil Jungkook, dia lebih bisa diajak bicara dibanding dirimu." Jimin memerintah
Taehyung mengerucutkan bibir, kesal karena mendapat pukulan dikepala, tapi tetap melakukan perintah Jimin dan langsung menelepon Jungkook untuk datang ke rumah Jimin secepatnya.
.
.
.
Jungkook menatap seniornya, dia baru saja selesai mendengarkan 20 menit cerita mendetail pengalaman mendaki Jimin. Dan sekarang, dia tak tahu harus merespon seperti apa.
"Jadi, kau sudah resmi berpacaran dengan Min Yoongi?" Jungkook mengambil kesimpulan
"Menurutmu aku terlalu terburu-buru mengambil keputusan? Bagaimana jika aku menyesalinya? Astaga, Jeon Jungkook! Aku baru saja membuat kesalahan besar!" Jimin mendadak histeris
Jungkook menghela napas, dia pikir seniornya ini tidak senaif itu saat menyangkut masalah percintaan. Ternyata dia tak ada bedanya dengan Taehyung. Pantas saja mereka bisa berteman selama itu.
"Hyung, tenanglah!" Jungkook menyeru,"kau tidak melakukan kesalahan apapun."
Jimin menatap takut kearah Jungkook,"Darimana kau bisa tahu aku tidak mengacau?"
Jungkook ingin memukul kepala Jimin agar kembali pada kesadarannya.
"Kau bahkan belum mencoba." Jungkook bergumam pelan, tapi masih cukup untuk didengar oleh Jimin
"Apa yang harus kulakukan?" Jimin kembali bertanya
"Hyung," Jungkook menatap Jimin tak percaya, kenapa seniornya ini jadi bodoh? Jangan-jangan Jimin benar-benar meminum kecap ikan yang Taehyung bawa saking paniknya,"kepalamu baik-baik saja? Kenapa kau jadi bodoh begini?"
"Jeon Jungkook!" Jimin meninggikan suara,"aku serius!"
Jungkook menghela napas,"Aku juga serius, hyung!" Ujarnya, ikut meninggikan suara, tak mau kalah,"kau tinggal mengajak Yoongi kencan atau semacamnya agar bisa tahu perasaanmu yang sebenarnya. Memangnya apa lagi yang bisa kau lakukan selain itu?"
Jimin membuka mulut, hendak protes, tapi suaranya tertahan saat sadar jika perkataan Jungkook barusan ada benarnya,'"Oh." ujarnya singkat
Jimin mengeluarkan ponselnya, mengetikkan nama Yoongi pada layar, lalu berhenti, ia menatap Jungkook,
"Apa yang harus kukatakan?" tanyanya
Jungkook berusaha keras untuk tak memakan hidup hidup orang didepannya ini.
"Berikan padaku!" Jungkook merebut ponsel Jimin, lalu mengetikkan beberapa kata dan langsung mengirimnya, tanpa meminta persetujuan Jimin.
TING!
Ponsel Jimin berbunyi beberapa menit kemudian.
From : Min Yoongi
Oke, kita bertemu di Myeongdong akhir pekan ini.
Jimin membaca ulang balasan Yoongi, lalu menatap Jungkook dengan mata melebar sempurna.
"Jeon Jungkook kau jenius!" Ia berujar senang, lalu memeluk erat tubuh Jungkook, terlalu bahagia
"Hey, hey! Siapa yang bilang kau boleh memeluk kookie seenaknya?" Taehyung, yang sejak kedatangan Jungkook didepak keluar oleh Jimin karena dinilai 'terlalu kekanakan' untuk masalahnya, tiba-tiba saja masuk dan menjauhkan Jungkook dari Jimin.
"Kim Taehyung, kau menghancurkan suasana!" Jimin balas berseru.
"Kau yang duluan seenaknya memeluk kookie!" Taehyung tak mau kalah
Siapapun, tolong keluarkan Jungkook dari rumah ini.
.
.
.
.
.
.
.
Jeonghan tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dia sedang bersantai dirumah, mencoba menghilangkan efek mabuk setelah semalaman berpesta, saat Jimin meneleponnya dan berteriak dengan sangat lantang jika dia butuh bantuan sekarang juga.
Dan disinilah dia, berdiri diam seperti patung, dengan pemandangan kamar Jimin yang seperti habis diterpa tornado. Jadi sebenarnya apa fungsinya disini? Sepanjang perjalanan tadi, Jeonghan sempat berpikir jika Jimin mengalami masalah serius, serangan jantung, contohnya. Tapi melihat kondisinya sekarang, Jeonghan rasa kondisinya tak separah itu.
"Ya, Park Jimin!" Jeonghan setengah berteriak, kehilangan kesabaran,"kau memaksaku datang kesini pagi-pagi hanya untuk melihatmu menghancurkan kamarmu? Kau sudah gila, ya?"
Jimin mengerang kesal, ia melempar dua potong pakaian yang sedang dipegangnya entah kemana, lalu menatap Jeonghan dengan tatapan memohon,"Jeonghan-a, bantu aku." ujarnya pelan
Jeonghan menggeram, bagaimana dia bisa menolak jika Jimin sudah mengeluarkan tatapan mirip anak anjing yang dibuang dipinggir jalan seperti ini? Kadang Jeonghan bingung, sebenarnya sampai mana batas keimutan temannya ini?
Oke, kita abaikan ocehan tidak warasnya barusan, kembali ke masa sekarang.
"Apa maumu?" Jeonghan bertanya
"Bantu aku memilihkan pakaian untuk kencan hari ini."
DUARR!
Petir imajiner menggelegar diatas kepala Jeonghan. Jimin...tidak serius, kan?
"Tunggu dulu..." Jeonghan mencoba menekan intonasi suaranya, ia menatap Jimin,"kau meneleponku pagi-pagi hanya untuk memintaku memilihkan pakaian untukmu?"
Jimin mengerucutkan bibir, sudah sangat siap untuk menangis,"Hanya kau temanku yang paling mengerti fashion. Aku tidak ingin mengacaukan hari ini."
Jeonghan menghela napas, ia menundukkan kepala, menahan diri untuk tidak memarahi manusia didepannya ini,"Oke," ia mengangkat kepala, lalu menghampiri lemari pakaian Jimin, setengah isinya berserakan di lantai kamar.
Jeonghan memperhatikan isi lemari Jimin dengan seksama. Tidak buruk, pikirnya. Jimin memiliki banyak variasi pakaian yang bisa dipilihnya, dan sepertinya tidak sulit untuk menggabungkan beberapa jenis pakaian.
Jeonghan menganggukkan kepala, lalu memutar badan, kini berhadapan dengan Jimin,"Siapa kencanmu?"
Jimin sedikit kaget mendengar pertanyaan Jeonghan,"Ke-kenapa kau perlu tahu?" Cicitnya
Jeonghan menghela napas,"Aku perlu tahu apa yang dia suka dan tidak suka, kau tahu kesan pertama dalam kencan itu penting, kan? Bagaimana jika aku memakaikan celana kulit padamu dan ternyata orang yang kau ajak jalan itu pecinta binatang? Bukankah akan menjadi bencana?"
Jimin mengangguk pelan, menyetujui, ia membuka mulut,"M-min Yoongi." ujarnya pelan, namun masih cukup untuk didengar Jeonghan
"Oke, Min Yoo-APA?" Jeonghan tak bisa menahan diri untuk tidak berteriak, matanya melebar sempurna, ia menatap Jimin dengan tatapan tak percaya,"kau akan pergi kencan dengan Min Yoongi? Wah, Park Jimin. Apa lagi yang kau sembunyikan dariku, huh?"
Jimin memutus kontak mata, tak kuat menatap Jeonghan,"Bisakah kita kembali fokus pada memilihkan pakaian untukku?"
Jeonghan menggeleng,"Kau tidak akan kemana mana sampai kau menceritakan semuanya padaku, tuan Park."
Jimin menghela napas. Yah, Jeonghan akan tahu cepat atau lambat. Ia duduk diatas kasur, lalu menceritakan semuanya.
"Whoa, Park Jimin." Jeonghan tak bisa menahan kekagumannya setelah Jimin selesai bercerita,"kupikir kau anak polos, ternyata kau agresif juga."
Jimin berdecih,"Bisa kita kembali pada lemariku? Kau belum memilihkanku pakaian apapun."
"Oke, oke." Jeonghan bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju lemari Jimin. Ia mengeluarkan beberapa potong pakaian, dan mengambil beberapa yang tercecer dilantai. Ia mengatur semuanya diatas kasur Jimin, mempresentasikan empat jenis style yang berbeda.
Jimin menatap keempat pilihan pakaiannya dengan takjub, dia bahkan tak tahu jika memiliki semua pakaian ini. Memang kemampuan mix and match Jeonghan tidak ada tandingannya.
"Well, karena aku hanya tahu jika Min Yoongi ini anak yang tidak banyak bicara dan menyukai sarkasme, kurasa empat pilihan ini bisa membuatnya terkesan." Jeonghan memulai,"jadi, mana yang kau suka?" ia menatap kearah Jimin
Jimin menatap seksama keempat jenis pakaian pilihan Jeonghan. Kira-kira, mana yang akan Yoongi sukai? Astaga, apa berkencan selalu sesulit ini?
"Aku... suka yang ini." Jimin menunjuk satu di ujung kanan, kemudian menatap Jeonghan
"Ah, urban street style." Jeonghan tersenyum, ia mengangkat hanger pakaian pilihan Jimin,"kau ingin menyaingi aura mengintimidasi Min Yoongi, ya?"
Jimin tak mengerti dengan apa yang Jeonghan katakan, jadi dia hanya mengangguk mengiyakan.
"Kalau begitu cepat pakai ini, kau bilang kalian akan bertemu di Myeongdong jam sebelas, kan?" Jeonghan melirik karah jam dinding
Jimin berbalik, dan berjengit kaget saat menyadari waktu berlalu dengan cepat.
"Astaga, Jeonghan! Aku bisa terlambat!" Jimin berseru, sebelum berlari meninggalkan Jeonghan didalam kamar.
.
.
.
"Min Yoongi!" Jimin berseru
Yoongi mengalihkan atensinya dari aplikasi pesan dalam ponselnya, kemudian menoleh kearah sumber suara. Ia menatap Jimin yang sedang mengatur napas beberapa langkah didepannya,
"Kenapa berlari?" Yoongi bertanya, masih dengan intonasi datar
"Maaf..hah...kupikir aku terlambat." Jimin menjawab disela deru napas yang masih belum stabil
Yoongi melihat jam di layar ponselnya,"Kau tidak terlambat." Ia memberitahu
Jimin mengangguk, lega karena dia ternyata tidak terlambat. Ia menegakkan tubuh, dan tersadar dengan perubahan gaya berpakaian Min Yoongi. Untuk beberapa detik, matanya tak bisa lepas menatap Yoongi.
Kenapa Yoongi bisa seimut ini? Astaga, Jimin merasa dirinya akan mimisan.
"Kau melihatku seolah ingin memakanku, Jimin-a." Suara Yoongi menyadarkan Jimin
"Ah, maaf. Hanya saja, aku tidak pernah melihatmu menggunakan celana pendek." Jimin berujar,"tunggu dulu. Kau memanggilku apa barusan?" Jimin mendadak bertanya
"Apa?" Kening Yoongi mengerut, tak mengerti
"Tadi," Jimin mengulang,"kau memanggilku Jimin-a? Ini kedua kalinya kau memanggilku dengan informal seperti itu." Jimin tersenyum,"aku suka."
Dua kata terakhir dari Jimin membuat wajah Yoongi merona. Apa-apaan dia? Memangnya apa yang spesial dari panggilan itu? Bukankah semua orang memanggilnya seperti itu?
"Semua orang memanggilmu seperti itu, Jimin-ssi." Yoongi kembali bersikap formal,"jadi, kita mau kemana hari ini?" ia mengalihkan topik
"Kau kembali kaku lagi," Jimin tanpa sadar mengerucutkan bibir,"kupikir kita sudah ada kemajuan tadi."
Yoongi memutar bola matanya,"Aku lapar, ayo kita makan dulu." Ujarnya, sepenuhnya mengabaikan perkataan Jimin barusan
"Oke, ayo." Jimin menyetujui,"aku tahu restoran enak disekitar sini."
GREP!
Jantung Yoongi berhenti untuk sepersekian detik saat Jimin tiba-tiba meraih tangannya, membawanya dalam sebuah genggaman lembut. Wajahnya kembali merona. Apa Yoongi akan terus merona seperti ini setiap kali bersama dengan Jimin? Ini bisa jadi masalah nantinya.
Keduanya makan di kafe brunch rekomendasi Jeonghan. Ah, ya. Selain memberikan saran pakaian, Jeonghan juga memberitahu Jimin tempat-tempat apa saja yang bisa dirinya dan Yoongi kunjungi untuk kencan pertama mereka. Dan sejauh ini, saran dari Jeonghan tidak ada yang salah. Yoongi terlihat sangat menikmati kencan mereka.
Setelah selesai mengisi perut, keduanya pergi ke toko musik. Yoongi berkata dia membutuhkan beberapa peralatan baru, dan Jimin tak memiliki alasan untuk menolak ajakan itu.
Yoongi terlihat serius berbicara dengan petugas toko, sesekali tersenyum saat sang petugas membuat lelucon tentang hal random.
Jimin melihatnya dari sisi lain toko. Dan dia tidak menyukainya. Dia tidak suka Yoongi tersenyum didepan orang lain seperti itu. Dadanya mendadak panas, dan insting seolah memerintahkan kakinya berjalan menghampiri keduanya.
"Kau sudah selesai, Yoongi-a?"
Yoongi berjengit terkejut saat Jimin tiba-tiba muncul disebelahnya dan merangkul pinggangnya. Ada apa ini?
"A-ah, ya." Yoongi menjawab pelan, suaranya tertahan di tenggorokan saking gugupnya
Jimin menatap tajam petugas yang sejak tadi mencoba mendekati Yoongi, seolah mengatakan padanya untuk cepat pergi dari hadapannya jika tidak ingin dihajar. Dan beruntung petugas itu cukup peka, dan langsung pergi, dengan alasan menyiapkan pesanan Yoongi. Keduanya pergi dari toko itu setelah selesai membayar.
"Uh...Jimin-a,"suara pelan Yoongi kembali terdengar, keduanya baru saja keluar dari toko,"b-bisa kau lepas pelukanmu?"
Jimin, yang baru sadar jika tangannya masih merangkul pinggang Yoongi, buru-buru melepasnya,"Astaga, maafkan aku." ujarnya, mendadak panik
Kenapa Yoongi merasa menyesal mengatakan hal itu? Apa kata-katanya barusan bisa ditarik?
"Kenapa minta maaf? Kau tidak melakukan kesalahan apapun." Ujarnya
"Lalu kenapa kau minta aku melepas rangkulanku?" Jimin balas bertanya
Skak mat!
"Aku..." Untuk yang kesekian kalinya, wajah Yoongi kembali merona
Jimin tertawa pelan melihat tingkah kikuk Yoongi, tangannya kembali dia bawa merangkul tubuh Yoongi, bukan di pinggang, melainkan di bahu. Jimin pikir tak masalah jika dia merangkul Yoongi seperti ini.
"Kau ingin pergi ke Arcade?" Jimin menawarkan, lagi-lagi ke salah satu tempat yang direkomendasikan Jeonghan
"Arcade?" Yoongi mengulang,"aku tidak bisa bermain game." ujarnya
"Oh, ayolah. Semua orang bisa bermain Arcade." Jimin menyanggah kalimat Yoongi, ia mengajak Yoongi pergi ke Arcade, beberapa blok dari toko musik
Yoongi awalnya terlihat kaku ketika pertama masuk kedalam bangunan penuh mesin permainan di sudut jalan itu. Namun setelah beberapa kali bermain, dirinya mulai merasa nyaman. Terlebih saat dia menemukan bakat tersembunyi yang tak pernah dia tahu saat bermain di mesin penembak.
"Kau bilang kau tidak bermain, Yoongi-a? Terdengar seperti sebuah kebohongan." Jimin menyindir halus, ketika selesai bermain
Yoongi tersenyum tipis, hari beranjak malam saat keduanya keluar dari Arcade. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Apa ini saatnya mereka berpisah? Kenapa Yoongi merasa tidak rela?
Keduanya berhenti didepan stasiun kereta. Ini waktunya berpisah, karena rumah mereka berlawanan arah.
"Jadi,"Jimin memulai,"apa kau senang hari ini?"
Yoongi tersenyum, kemudian mengangguk,"Terima kasih sudah mau menghabiskan waktu bersamaku."
Keduanya diam, kehabisan bahan untuk dibicarakan. Suasana mendadak canggung.
"Kalau begitu," Yoongi menjadi yang pertama bicara,"aku pergi dulu."
"Ah, ya." Jimin menyahut,"hati-hati, selamat jalan."
.
.
.
KLEK!
Jimin menutup pintu pelan, senyum masih setia terlukis di wajahnya. Ia berjalan melewati ruang tengah, tak menyadari kehadiran Taehyung yang memperhatikannya sejak awal kedatangannya.
"Ya, Park Jimin." Taehyung memanggil,
Jimin tak menjawab, masih berada di awang-awang
TAK!
Remot TV mendarat dikepala Jimin, membuatnya tersadar sepenuhnya. Jangan tanya siapa yang melempar.
"YAK!" Jimin berseru, tangannya mengusap kepalanya yang baru saja mendapat hadiah lemparan remot dari sang sahabat.
"Kau belum tuli ternyata," Taehyung mengabaikan seruan marah Jimin,"darimana kau?"
Jimin berdecak,"Bukan urusanmu." Ia terlalu kesal sampai tak ingin memberitahu bagaimana serunya hari ini pada Taehyung
"Urusanku karena kau meninggalkan Jeonghan di kamar pagi ini. Aku harus memutar otak menjelaskan pada bibi Park jika dia bukan maling yang hendak mencuri pakaianmu."
Ah, benar. Jimin meninggalkan Jeonghan di kamarnya yang berantakan pagi ini.
"Aku pergi jalan-jalan ke Myeongdong." Jawabnya cepat
"Tetap tidak menjelaskan kenapa Jeonghan bisa ada di kamarmu." Taehyung membalas, tak kalah cepat
Jimin menghela napas,"Aku memintanya datang untuk membantuku memilih pakaian."
Taehyung meneliti pakaian Jimin secara menyeluruh, memang hari ini gaya berpakaiannya tidak seperti biasa,"Ada acara apa? Kenapa aku tidak tahu?"
Jimin sangat tergoda untuk mencekik manusia setengah alien dihadapannya ini. Banyak sekali pertanyaan.
"Aku pergi kencan dengan Min Yoongi di Myeongdong hari ini. Kau puas?" Ia akhirnya memberitahu
"Oh, pergi kencan..." Taehyung berujar santai,"APA?" ia tiba-tiba berteriak terkejut
Jimin memutar bola matanya, dia semakin yakin jika Taehyung menggadaikan otaknya. Lihat saja syaraf terkejutnya sampai delay seperti itu.
"Kau kencan dengan manusia es itu?" Taehyung kembali menyeru, lebih pelan dari sebelumnya
"Ya, apa kau sudah selesai bertanya?" Jimin berujar, dia lelah, ingin secepatnya tidur
"Kau gila?" Taehyung berujar, dengan nada menyindir,"aku harus tahu apa saja yang kau lakukan seharian ini bersama Min Yoongi."
"Kenapa kau perlu tahu? Aku tak pernah bertanya macam-macam tiap kali kau pergi kencan dengan Jungkook. Yang kadang bisa sampai tak pulang hingga dua hari."
Oke, kalimat terakhir itu hanya dimaksudkan untuk membalas sarkasme Taehyung sebelumnya. Mungkin sedikit berlebihan, terserah.
Taehyung membuka mulut, ingin membalas, tapi tak ada satu pun kata yang terucap.
"Intinya aku pergi bersama Min Yoongi,"Jimin memotong,"kami pergi makan, memutari toko musik, dan bermain Arcade. Hanya itu."
Jimin tak menunggu respon Taehyung dan langsung masuk kedalam kamarnya. Ia membanting diri diatas kasur, hari ini melelahkan.
Senyum kembali tercipta di wajahnya ketika Jimin kembali mengingat apa saja yang dilakukannya hari ini bersama Yoongi.
Ah, kenapa dia jadi ingin bertemu lagi dengan Yoongi? Mereka bahkan baru berpisah tak sampai tiga jam yang lalu.
TING!
Sebuah pesan masuk.
Senyum Jimin semakin merekah saat melihat nama Yoongi tertulis dilayar ponselnya.
"Terima kasih atas hari ini. Aku sangat senang :)"
Jimin dengan cepat membalas,
"Aku juga menikmati hari ini. Ingin bertemu lagi besok?"
TING!
"Tentu!"
Katakan saja mereka sedang dalam fase dimana keduanya tak ingin berpisah barang sedetik pun.
.
.
.
THE END
It's finally done! God, I feel like a big part of my burden were being lift off my shoulder! I am so sorry for the very late update. I'm sure Min have already explained the whole problem. And, that's it! This officially marks the end of Let It Go, see you on next project!
.
.
.
Love, Qiesha
Ps.
If you are wondering what kind of clothes they are wearing on their date. I imagine Yoongi wearing short pants at Incehon Airport, going to NYC for Trilogy Tour. And as for Jimin, I imagine him wearing the leather jacket he use in GCF Tokyo, when he strolls around with Jungkook.