Damanic's present
-o0o-
With the world of imagination
"Replay"
Violet
.
.
.
.
"Tch…"
Seungkwan mendecih kesal. Enam bulan berlalu dengan cepat dan tak ada yang berubah. Ia tetap akan menikah.
Dirinya sadari bahwa tak mungkin melawan atau dengan bodohnya memilih bunuh diri. Jadi yang ia bisa lakukan adalah menangis dan menghadapi kenyataan.
Sudah 2 bulan juga Hansol mendiaminya dan memilih menjauh. Semua itu agar Seungkwan mulai terbiasa dengan ketidak hadiran Hansol di sisinya.
Junhwi memberikan sebuket bunga lily bercampur baby breath ke tangan Seungkwan.
"Semoga kau bahagia…"
Hanya itu yang bisa Junhwi ucapkan.
"Baiklah, kau siap?" Tanya Seungcheol.
Seungkwan tak menjawab dan lebih memilih menghela nafasnya.
Di seluruh hidup Seungkwan, ia tak pernah melihat Seungcheol seceria ini, secerah ini. Dan sebagai anak, Seungkwan tak akan menghilangkan secerah cahaya di wajah sang appa.
Junhwi memeluk Seungkwan untuk kesekian kalinya.
"Semangat, Kwanie." Kata Junhwi sebelum meninggalkan Seungkwan hanya berdua bersama sang appa.
Alunan grand piano terdengar dengan indah. Membuat suasana syahdu dengan kebahagiaan dari para hadirin.
Namun bagi Seungkwan?
Seungkwan menatap sosok di depan sana. Sosok yang akan menjadi suaminya berdiri dengan jas silver yang memukau.
Namanya Lee Seokmin. Dan Seungkwan biasa memanggilnya dengan hyung saja semenjak pertemuan pertama mereka 6 bulan lalu.
Orang yang sebentar lagi akan menjadi suaminya adalah seorang pengusaha muda yang terpaut 3 tahun darinya.
Seokmin merupakan anak dari relasi bisnis Seungcheol dan yang Seungkwan pahami bahwa hal itulah yang membuat sang appa memutuskan jalan pernikahan Seungkwan.
"Seokmin hyung…" Lirih Seungkwan.
Selama Seungkwan mengenal Seokmin, Seokmin benar-benar sosok yang baik hati dan selalu berusahan membuatnya tersenyum. Apalagi yang kurang dari sosok Seokmin kecuali Seungkwan tak mencintainya.
Tinggal sedikit lagi dan Seungkwan akan menjadi pasangan Seokmin yang sah di mata hukum dan di mata Tuhan.
Tepat di depan altar-
"Baiklah, Seokmin –ssi, dimana pengantin prianya?"
-suara Seungcheol sambil menghentikan langkahnya.
Seungkwan menyerit bingung yang disambut dengan suara tawa riang dari Seokmin.
"Aku hanya bertugas membawa cincin, Seungcheol ajushi. Hansolie, jangan bersembunyi." Ucap Seokmin.
Begitulah hingga pintu utama terbuka, menampakan sosok Hansol yang dengan tuxedo putihnya muncul bersamaan dengan guguran kelopak mawar putih.
Deg.
Deg.
Deg.
"Apa maksudnya ini?" Bisik Seungkwan.
Matanya membulat sempurna. Begitu pula dengan mulutnya yang terbuka lucu.
Hansol sudah sampai di hadapan Seungkwan dan Seungcheol dengan senyum penuh kelembutan.
Sungguh Seungkwan masih berada antara dunia nyata dan khayalan.
Hingga lengannya Seungcheol serahkan ke Hansol, barulah Seungkwan sadar apa yang terjadi.
"Aku titip anakku padamu, Hansol."
"Pasti, appa. Serahkan padaku." Jawab Hansol mantap.
Air mata sudah meluncur dari manik Seungkwan. Menyisakan sirat kebahagian di tiap titik air mata.
"Appa…." Ucap Seungkwan sambil memandang sang appa dengan tatapan beribu makna.
Seungcheol tersenyum lantas membawa Seungkwan dalam pelukannya. Menepuk puncak kepala Seungkwan lantas mengecup pipi sang anak.
"Kau harus melanjutkan upacaranya." Ucap Seungcheol sambil menatap Hansol dan Seungkwan dengan bergantian.
Seungcheol berbalik hendak kembali ke bangkunya, namun melihat Jeonghan yang tak ada di tempat seharusnya membuat langkah Seungcheol beralih ke pintu keluar.
"Junhwi, aku titip dongsaengmu." Pesan Seungcheol sebelum meninggalkan area pernikahan.
Junhwi hanya mengangguk dan matanya kini beralih ke altar.
Dimana sosok Seungkwan tersenyum bahagia.
Benar- benar bahagia.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Hyung, apa yang harus kulakukan?"
"Maksudmu? Apa yang harus kau lakukan?"
"Aku akan menikahi Seungkwan setelah kami lulus. Yak hyung! Jangan mengerem mendadak."
"Apa maksudmu, Hansol?"
"Setelah lulus, aku akan langsung terjun ke dunia bisnis hyung. Aku tak ingin meninggalkan Seungkwan disini. Aku ingin membawanya ikut serta kemanapun aku pergi. Maka dari itu aku sudah melamar Seungkwan langsung di hadapan appa kalian-"
"WHAT?!"
"Yak hyung! Fokus ke jalanan."
"Bagaimana aku bisa fokus kalau kau menceritakan hal seperti ini?! Terlebih kau sudah berbicara pada appa?"
"Ya. Sebelum ulang tahun kalian. Kepergianku ke America adalah untuk berbicara pada appa dan eommaku. Aku bahkan berbicara pada appa kalian dulu pada baru berbicara pada orang tuaku. Haaahhh…."
"Kau gila Hansol. Aku bahkan sudah menuduh appaku yang tidak-tidak. Astaga…"
"Hehehe… Mian hyung. Tapi sepertinya aku harus berbicara padamu untuk rahasia ini."
"Haah… Tak masalah Hansol- ah. Setidaknya kau sudah yakin akan pilihanmu. Aku bahkan sampai menjemputmu untuk membicarakan Seungkwan dan ternyata ini semua skenariomu?"
"Hmm… Sebenarnya hyung… Sebagian adalah ide appamu."
"Appaku? Tunggu sebentar. Apa maksudmu?"
.
.
.
.
.
.
.
.
Seungcheol tersenyum kecil kala melihat Jeonghan yang kini terdiam di pembatas rooftop.
Angin bertiup membuat rambut Jeonghan yang sepunggung melayang. Benar- benar cantik.
Malaikat Tuhan satu ini benar-benar membuat hati Seungcheol menghangat.
"Bisa kau jelaskan semuanya?" Tanya Jeonghan.
Suaranya benar- benar rendah.
Penggabungan antar lirihan dan bisikan.
Seungcheol melangkah menuju Jeonghan memilih ikut bersandar pada pembatas rooftop dan menikmati suasana siang yang sedikit mendung.
"Aku mencintai Doyoon-"
Hati Jeonghan mencelos walau ia sudah mengetahui hal itu. Tapi yah selama ini, Seungcheol tidak pernah berani mengakuinya.
"-dan itu dulu. Hatiku terhalang oleh ego agar aku selalu melihat Doyoon sampai memudarkan sesosok malaikat yang selalu ada di sampingku."
Seungcheol menghela nafasnya.
"Aku mengetahui pernikahan kita berlangsung oleh paksaan. Dan aku tahu bahwa kau selalu menganggapku mencintai sosok yang sudah tak ada. Kau selalu merasa sebagai penganggu dalam hubunganku dengannya. Aku tahu bahwa kau menganggapku tak mencintaimu…"
Jeonghan terdiam.
Ia menatap dalam mata Seungcheol.
"Kenapa kau tak menanyakan alasanku kenapa tak pernah mengunjungi makamnya?" Tanya Seungcheol.
Seungcheol balas menatap Jeonghan.
"Dari matamu, kau pasti akan menjawab bahwa aku tak ingin mengingat masa lalu karena sudah berada di masa ini. Bahwa aku mencoba untuk mencintaimu sehingga aku tak ingin dengan berkunjung ke makamnya hatiku akan berubah lagi-"
"Ne. Semua itu benar. Apa yang kau katakan benar. Aku hanya penggantinya! Aku hanya penganggu di hubungan kalian! Aku selalu menganggap diriku bukan pendamping hidupmu. Aku hanya ibu dari anak- anakmu. A..aku… Aku parasit…. Aku merasa berdosa Seungcheol… hiks… A..aku tahu kau sakit. Hatimu sakit, hatinya sakit. Tapi hatiku pun begitu. Hiks…"
Air mata Jeonghan meluncur dengan cepat.
Ia menatap Seungcheol dengan nyalang tanpa menghapus air matanya.
Membiarkan Seungcheol menatap air mata yang selalu tumpah karena perasaan bersalah yang dalam.
"Dengarkan aku Jeonghan. Aku hanya akan mengungkapkannya sekali. 10 tahun yang lalu aku mengatakan di hadapan makam Doyoon. Bahwa aku mencintaimu. Bahwa aku akan lepas dari bayang- bayangnya. Bahwa aku hanya akan memberikan seluruh milikku kepadamu. Bahwa egoku harus menyerah pada hatiku."
Seungcheol memeluk Jeonghan erat.
"Aku mencintaimu selama ini… Dan kau masih menganggapku terpaksa mencintaimu… Bahwa apa yang aku lakukan hanya karena kau penggantinya… Bukankah kau sama jahatnya dengan ku?"
"Hiks… Seungcheolie…."
Seungcheol tersenyum simpul.
"Aku lebih dahulu mencintaimu dan mohon maafkan aku karena aku lebih nyaman bersama dengan Doyoon sehingga aku menganggap bahwa aku mencintainya. Maafkan aku."
Ia mengusap surai Jeonghan lembut.
"Aku mecintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Akan kukatakan hingga kau percaya bahwa perasaanku benar- benar sepenuhnya milikmu."
Seungcheol berbicara tepat di telinga Jeonghan.
Mengucapkan kata- kata penuh cinta dengan nada rendahnya.
"Kumohon… Buang semua pikiran bahwa kau hanya pengganti, penganggu, dan sebagainya. Buang semua bebanmu, Jeonghanie… Aku milikmu sepenuhnya. Aku mencintaimu… Jeongmal saranghae….."
Sebuah ciuman hangat di terima Jeonghan.
Dengan air mata yang masih mengalir di wajah Jeonghan.
"Bahkan jika aku terlahir kembali, aku ingin agar kaulah sosok dengan benang merah yang terhubung di kelingkingku. Saranghae…"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Berhenti membohongi dirimu Sengcheol –ah. Kita berdua tahu siapa yang kau cintai. Maka dari itu aku bersyukur dengan adanya penyakit ini kau bisa bahagia dan ia bisa bahagia juga. Sudah cukup aku memanipulasi dirimu hanya untukku sebelumnya. Dan kini, kuserahkan kembali diri dan hati yang kupinjam kepada sang pemilik.
Maaf dan terima kasih…"
.
.
.
.
END
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Junhwi hyung… Seungkwan menelpon…"
Teriakan super kencang itu terdengar dari arah lantai bawah.
Junhwi yang baru saja selesai berkutat dengan tumpukan dokumen hanya bisa menghela nafasnya.
Ia baru kembali dari kantor pukul 7 malam dan langsung menandatangani tumpukan dokumen begitu sampai di rumah.
Bahkan kemeja baby bluenya masih melekat dengan langgeng di badannya.
Minghao muncul di balik pintu dengan senyuman.
"Hyung… Seungkwan menelpon. Ini…"
Minghao mengulurkan telepon rumah ke arah Junhwi.
Telepon rumah portable berwarna metalic itu berpindah tangan ke Junhwi.
"Hao, bukannya di sini juga ada telepon?" Tanya Junhwi yang baru sadar akan situasi.
Minghao hanya memiringkan kepalanya sambil terkekeh kecil.
"Aku lupa hyungie. Hehehe… Ah, aku sudah siapkan air hangat. Sambil menelpon kau bisa berendam." Kata Minghao.
Jemari Minghao menarik lengan Junhwi.
Membawanya ke kamar mandi yang ada di kamar utama.
Minghao membantu membuka kemeja Junhwi dan dengan segera Junhwi sudah berada di bath tube lebar berbentuk lingkaran itu.
"Haahh… Yeoboseyo…"
"Yak hyung! Kau membuat tagihan teleponku membengkak!" Teriakan di seberang sana membuat Junhwi terkekeh.
"Mian. Ada apa Seungkwanie?"
Seungkwan di seberang sana terkikik kecil.
"Aku hanya merindukanmu hyungie… Bagaimana kabarmu?" Tanya Seungkwan.
"Aku baik- baik saja Seungkwanie. Hanya pekerjaan yang semakin lama semakin menumpuk. Kau tahulah perusaan appa semakin besar seiring berjalannya waktu." Jawab Junhwi.
Junhwi melirik sekilas kala Minghao menyiapkan baju yang akan dipakainya nanti dari sela pintu.
Senyumnya muncul sekilas.
"Bagaimana denganmu, Seungkwan-ah? Di negara mana sekarang kau berada?" Tanya Junhwi.
"Kami ada di New Zealand, hyung. Sebulan lagi kami akan pulang. Bagaimana denganmu hyung? Apa Minghao sudah positif? Ini tahun kedua bukan pernikahan kalian?"
Junhwi terkekeh kecil.
"Tak sepertimu yang langsung positif hanya dengan sebulan pernikahan, aku dan Minghao masih ingin berdua saja Seungkwanie. Oh iya, umur Samuel seharusnya 6 tahun bukan dan Dino sudah memasuki usia 4 tahun… Aigoo… kasihan sekali anak kalian harus berpindah- pindah sekolah."
Kini giliran Seungkwan yang terkikik.
"Selama mereka menyukainya, itu bukan masalah hyung. Jika suatu saat mereka memprotes, mungkin ia akan kutitipkan padamu. Jika tidak, mungkin akan pada appa eomma. Jika tidak lagi, mungkin pada daddy dan mommy. Hehehe…"
"Dasar. Ada lagi yang kau ingin katakan?"
"Apa eomma appa sudah lebih baik?"
Junhwi tersenyum.
Pertanyaan yang selalu Seungkwan tanyakan setiap ia menelepon Junhwi.
Pertanyaan yang selalu terlontar kala mereka sudah mengetahui kisah appa dan eomma mereka.
"Tentu saja. Mereka saling mencintai dan itu sudah cukup."
"Mommmmmmm"
"Aigo. Telingaku. Baiklah hyung, Samuel sudah memanggil. Aku telepon kapan- kapan lagi. Bye…"
Dan sambungan terputus.
"Hyungie, sudah? Sini berikan teleponnya. Kau lanjutkan berendamnya ne." Suara Minghao berkumandang.
Junhwi mengangguk pelan.
Menikmati suhu air yang benar- benar nyaman.
Ya…
Setidaknya semua sudah bahagia.
Ya.
Semuanya.
.
.
.
.
.
THE END
