Disclaimer : I do not own Naruto. Yamanaka Ino, Uchiha Sasuke and any other characters belong to Masashi Kishimoto.

Inspired from GOT series and The Bride of The Death God fanfiction.

Warning : RUSH! SasuIno. Rate T semi M for theme, language and touchy feely.

For #SASUINO4S18 / SUMMER


Dancing with the Sun

"It's a blessing from the Great Sun, My Queen."

Ino melongo dalam takjub, sempat tidak percaya dengan apa yang diutarakan padanya.


Siang itu terasa amat panas.

Terik mentari menyengat kulit menimbulkan ruam kemerahan, ditambah hawa panas dari jelaga yang beterbangan. Namun sang putri sama sekali belum beranjak dari tempatnya.

Yamanaka Ino masih menatap datar percikan api terakhir dari sisa pembakaran jasad kakaknya.

Gadis bermanik aqua itu tak lagi menangis, air matanya telah lama mengering. Rupanya Sun King bukan hanya kejam di kata saja, tetapi ia benar-benar tak memberi ampunan.

Namun Ino tidak bisa sedikit pun menyalahkan sang raja. Dari luka parah di tubuhnya, gadis itu tahu kakaknya memang sudah tidak bisa diselamatkan.

Lagipula, semua ini adalah akhir dari skema yang sengaja dirancang oleh Deidara sendiri. Sang putri yakin kakaknya telah mengetahui segala konsekuensinya sejak lama. Pangeran Yamanaka itu selalu berakting layaknya lelaki kejam dan ambisius yang rela mengorbankan adiknya hanya demi tujuannya sendiri. Berpura-pura seolah ia tak lagi menyayangi sang putri, sengaja membuat adik kecilnya benci padanya, hanya demi membuat gadis itu tumbuh menjadi perempuan tegar terutama setelah kepergiannya. Berusaha supaya Ino tak pernah tahu mengenai motif aslinya, agar gadis itu bisa melepas sang kakak tanpa perlu meneteskan air mata.

Buruknya, Deidara telah berhasil... membuat adiknya percaya.

Sekarang Ino mengerti kenapa kakaknya selalu tampak begitu tergesa seolah sedang dikejar waktu. Sebab Deidara tahu dirinya akan segera mati, namun ia tetap bertahan hanya demi menjaganya, sampai akhirnya lelaki itu tumbang setelah merasa Ino sudah terlihat cukup tegar dan berada di tangan yang aman.

Sang putri meremas kuat jari-jemarinya, merasa bersalah sekaligus kesal pada dirinya sendiri.

Saking menjengkelkannya Deidara akhir-akhir ini, Ino sampai berhenti memperhatikannya. Ia bahkan gagal menyadari bahwa sang kakak tengah menutupi penderitaannya dengan bersandiwara. Ternyata selama ini kakaknya telah bertarung sendirian di belakangnya.

Gadis berambut pirang itu berkedip, menghalangi butiran jelaga masuk ke dalam mata birunya.

Tentu saja, kenapa ia tidak menyadarinya lebih awal? Jika direnungkan lagi, Deidara tak pernah sekali pun berhenti melindunginya. Sang putri tidak akan bisa bertahan hidup sampai pada detik ini, jika bukan karena kakaknya.

Dibekali oleh pengetahuan luas seputar negeri sekutu dari Land of Mountains di sepanjang hidupnya, sang kakak sebagai putra mahkota Kerajaan Yamaria langsung mengetahui ke mana mereka bisa pergi setelah tragedi sepuluh tahun silam terjadi. Dari semenjak pertama kabur di hari pembantaian itu, mereka terus mengunjungi satu negeri ke negeri lain, bersembunyi di kerajaan-kerajaan kecil di dalamnya dan meminta bantuan pada para penguasanya. Tetapi itu bukanlah pengalaman yang menyenangkan dan mereka tidak selalu disambut oleh keramah-tamahan, apalagi ketulusan.

Deidara selalu jeli dan cerdik dalam bertindak. Menggunakan nama besar klan dan status mereka, keduanya memang berhasil diberi tempat. Namun kakak beradik itu belum tentu aman. Dengan mengungkap identitasnya, sama artinya dengan memberi kesempatan pada para penguasa kerajaan kecil itu untuk memanfaatkan nama mereka.

Menggigit keras bibirnya, Ino mencoba mengingat sejak kapan semuanya berawal.

Sikap Deidara berangsur berubah terutama semenjak royal guard yang menyelamatkan mereka dari tragedi pembantaian, akhirnya meninggal dunia lima tahun lalu karena melindungi keduanya dari upaya perbudakan. Setelah itu, sang kakak lah yang berperan menggantikan tempatnya. Jika bukan karena kelicikan dan muslihat yang mulai dipakai oleh Deidara, mungkin keduanya tidak akan bisa lepas dari tangan para penguasa pemilik negeri yang mereka singgahi.

Dari semenjak itu juga sang kakak selalu berkata bahwa adiknya merupakan sebuah aset yang berharga. Bukan hanya dari status dan garis keturunan saja, setelah tumbuh dewasa, Ino memang sering kali menjadi target incaran banyak pria di luar sana hanya semata karena penampilannya. Seorang putri cantik yang telah kehilangan rumahnya adalah target yang empuk untuk dimiliki secara cuma-cuma.

Tapi tentu saja sang kakak tidak pernah membiarkan orang-orang itu bertindak semaunya.

Sekarang Ino bisa menduga dari mana kakaknya mendapat luka-luka itu. Dua tahun lalu saat Deidara kembali membawanya kabur dari suatu negeri kecil di wilayah Land of Lightning sebelum mereka akhirnya disambut baik di Kerajaan Grassia, sang kakak berhasil mencegah adiknya dijual pada salah satu dari Kelima Negara besar oleh bangsawan kerajaan itu. Seperti halnya yang terjadi pada pengawal mereka, lagi-lagi Deidara melindunginya... secara diam-diam.

Ino tak pernah menyangka kakaknya terluka pada saat itu. Deidara adalah seorang ahli pedang dari semenjak usia muda, membuat sang adik tak pernah meragukan kemampuannya. Namun Ino hanya terlalu lugu untuk menyadari bahwa musuh mereka lebih banyak dari hitungannya. Terlebih, pangeran Yamanaka itu pandai sekali menyembunyikan sakitnya.

Dan kini, perjalanan jauh yang ditempuh untuk menuju Kerajaan Hidduria pasti telah memberi efek buruk pada tubuhnya. Berkuda hanya memperparah kesehatannya, dan pada akhirnya membuka kembali lukanya.

Ino tertawa miris.

Ia masih ingat alasannya trauma berkuda.

Dahulu ketika kabur dari pembantaian di tengah-tengah perjalanan pulang mereka dari perkumpulan Enam Negeri, Ino kecil dibawa lari menaiki kuda selama berhari-hari dan bermil-mil jauhnya. Ia ingat... dari saat itu pun kakaknya selalu ada untuk memeluk dirinya... yang sedang gemetar ketakutan.

Puk.

"Ayo."

Ino mengerjap ketika seseorang menarik tangannya. Ia menoleh, mendapati Sun King akhirnya mendatanginya, setelah merasa sang putri telah cukup menghabiskan waktunya untuk berkabung.

"Persiapkan dirimu," ujar sang raja. "Kita akan melanjutkan perjalanan."

Ino hanya menjawab dengan sebuah anggukan pelan.

Sebelum mengambil langkah untuk mulai mengikuti suaminya, gadis itu memejamkan mata. Mengambil napas dalam, untuk terakhir kalinya ia menghirup aroma pembakaran orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Selagi berharap... terik mentari akan membakar segala kepedihannya.

x x x

Ino menengadah untuk menerawang ke atas langit biru yang menaungi kerajaan itu. Aquamarinenya sedikit menyipit, merasakan terang sinar sang surya yang merebak menyelubungi setiap sudut kehidupan di sana.

Siang itu, rombongan yang membawa sang putri akhirnya tiba di Kerajaan Hidduria, tempat tinggal Sun King dimana ia memerintah seluruh Land of Fire dari singgasananya.

Hidduria merupakan kerajaan kapital yang besar dan makmur. Negaranya kaya sehingga seluruh rakyatnya hidup dengan sejahtera. Cuacanya sangat cerah dengan udara yang begitu hangat, nyaris membuat Ino bernostalgia pada negerinya, Yamaria, yang memiliki cuaca hampir sama. Kecuali tidak ada deretan benteng pegunungan yang tercipta secara alami sebagai gerbang yang mengelilingi Kerajaan terbesar di Negara Api itu.

Sorak sorai suara rakyat segera terdengar menyambut kedatangan rombongan tersebut, berhasil mencuri atensi sang putri. Orang-orang berbaris di sepanjang jalan, dengan wajah gembira meneriakkan nama raja mereka.

Kini Sun King tengah duduk berdampingan dengan permaisurinya, diarak menggunakan sebuah kereta terbuka yang ditarik oleh enam ekor kuda.

Melihat keberadaan calon ratu dari klan Yamanaka duduk di samping sang raja, penduduk kerajaan itu semakin bersorak riang untuk mendoakan keduanya. Rakyat Fireland pasti telah mendapat kabar mengenai pernikahan raja mereka, sebab kini berbagai perayaan tengah dilakukan di sepenjuru Land of Fire secara serentak.

Tak begitu lama sampai iring-iringan tersebut tiba di Istana Hidduria. Bangunannya megah dan indah, terbuat dari batuan pualam dengan dominasi warna hitam. Memasuki hall utama, terdapat pilar-pilar tinggi yang menyangga tangga panjang yang menghubungkan menara-menara istana.

Rupanya perayaan penyambutan tersebut tak masuk sampai ke dalam istana, karena sesaat setelah tiba di sana, Sun King lekas kembali ke ruang singgasananya dan lebih memilih untuk langsung mengecek keadaan Kerajaannya setelah cukup lama ditinggalkan. Sementara Ino segera diantar menuju ruangannya untuk beristirahat.

Setibanya di kamar, Ino langsung merebahkan dirinya ke atas kasur. Tak peduli para pelayan masih harus membersihkan tubuhnya, sang putri merasa sangat letih seolah seluruh tenaga telah diambil dari raganya.

Gadis itu memejamkan mata. Entah apa yang sedang dirasakannya sekarang selain lelah. Rasa sedih dan kehilangan, kah? Benar. Ia merasa seperti telah kehilangan tujuannya. Selama ini Ino hidup sesuai dengan jalan yang dipilihkan kakaknya, tak pernah secara khusus memikirkan jalan hidupnya sendiri. Kini setelah sang kakak tiada untuk selamanya... apa yang harus diperbuatnya? Ino merasa kebingungan dan tersesat.

Bahkan di akhir hayatnya, Deidara telah menyuruhnya untuk menyerah atas negeri mereka... Land of Mountains... yang selama ini menjadi alasan mereka berjuang...

Ino mengerjap dalam kaget ketika ia membuka lagi aquanya. Perlahan gadis itu mengangkat badan, dan langsung tersadar bahwa barusan ia telah terlelap entah sedari kapan.

Kini cahaya temaram lilin telah menyelubungi kamar. Gelap di luar menandakan hari sudah di penghujung petang.

Sang putri sepenuhnya terbangun, mendapati tubuhnya hanya dibalut oleh selembar handuk. Kemudian seorang pelayan datang dan membungkuk padanya, lalu segera meminta Ino untuk mengikutinya.

Tanpa pikir panjang gadis itu menurut. Ia berjalan menuju sebuah ruangan di samping kamarnya, berharap itu adalah ruangan untuknya bisa membersihkan diri.

Melangkah melewati pintu putih besar, Ino mendapatkan apa yang ia cari. Sebuah kamar mandi megah dengan lantai dan dinding yang tersusun dari alabaster putih.

Memasuki ruangan tersebut, sang putri menyadari pelayannya tidak ikut melangkah masuk, alih-alih segera menutup pintu putih di belakangnya.

Pelipis Ino terangkat sejenak, tak biasanya mendapati dirinya ditinggal sendirian untuk membersihkan diri. Namun gadis itu hanya menghela napas singkat, segera merasa rileks saat hidungnya menghirup aroma wewangian sabun dan badannya menembus uap hangat yang memenuhi seluruh ruangan.

Menangkap suara percikan air, gadis itu melangkah lebih ke dalam sampai ia menemukan keberadaan pancuran air di pusat ruangan tersebut. Di bawahnya, sebuah bak marmer berwarna putih tertanam di lantai, membentuk kolam berukuran sedang. Ino berjalan menembus kepulan uap yang berasal dari pancuran air hangat itu, dan baru menyadari bahwa ia tidak sedang sendirian di sana.

Uchiha Sasuke tengah duduk sendirian di dalam kolamnya.

Menghentikan langkah, sang putri merasa kaget karena telah menerobos masuk. Ia baru hendak berbalik, namun sang raja terlebih dulu merentangkan satu tangan padanya, seolah menunggu gadis itu bergabung bersamanya.

Ino mengurungkan niatnya untuk memutar badan. Pelan-pelan, ia mencelupkan kakinya ke dalam air, segera merasakan kehangatan menelan kulitnya. Sambil menanggalkan handuk yang membelit tubuhnya, Ino meraih tangan raja yang segera menariknya mendekat untuk duduk mengangkang di pangkuannya.

Sang putri menghela napas, merasakan tubuh licin tanpa busana lelaki itu merengkuhnya.

Setelah kepulan uap menghilang dari pandangan, Ino mengangkat wajahnya untuk menatap sepasang onyx milik suaminya. Rambut ebonynya yang basah tampak mengkilap di bawah guyuran air. Parasnya yang tampan bersinar diterpa cahaya dari lampu kristal.

"Apa kini kau membenciku?" Tetap menatap gadis itu tajam, Sasuke tiba-tiba bertanya demikian. "Aku telah memerintahkan eksekusi terhadap kakakmu," jelas sang raja.

Ino mengerjap, merasakan air hangat mengguyur kepalanya. Buru-buru ia menggeleng. Tentu saja tidak! Justru raja lah yang telah membebaskan Deidara dari segala penderitaan yang selama ini ia emban. Gadis itu ingin menyanggah demikian, namun entah mengapa suaranya tidak bisa keluar dari bibirnya yang gemetar.

"Kau terus diam mengunci mulutmu dan menolak untuk bicara selama perjalanan," Sasuke meneruskan. "Apa itu sikap yang layak kau tunjukkan di hadapan raja?"

Ino terkesiap dengan mata melebar saat mendengar penuturan Sasuke tersebut, membuatnya segera menyangkal dalam panik. "A-aku, tentu tidak—"

Ucapannya tak berlanjut, ketika Ino merasakan Sasuke memotongnya. Dengan cepat bibir lelaki itu meraup lembut bibirnya, seolah menunjukkan bahwa sang raja tahu maksudnya tanpa perlu ia katakan.

Dengan gugup dan napas yang bergetar, perlahan Ino melingkarkan tangannya di leher sang raja dan balik mencium lelaki itu. Sampai ia merasa berangsur tenang di dalam dekapannya.

"Tidak mungkin aku membencimu," bisik Ino jujur di antara bibir mereka yang masih bertautan. "Hanya saja kematian Nii-san yang tiba-tiba..."

Membuatnya syok, sang putri melanjutkan dalam hati.

Satu tangan besar menggapai puncak kepala si gadis, membuat Ino mengangkat kepalanya lagi dan kembali menatap obsidian gelap sang raja.

Sasuke bisa melihat wajah gadis itu memerah karena menahan tangis. Maka, jemarinya turun untuk membelai pipi sang putri.

"Sudah cukup lama semenjak kau menunjukkan ekspresi itu di wajahmu," ujar Sasuke. "Kau tak perlu menyembunyikan perasaanmu di depanku."

Ino menelan ludah, merasakan bukan hanya tubuhnya yang berangsur hangat oleh rendaman air panas namun hatinya juga merasakan hal sama oleh ucapan lelaki yang kini tengah merengkuh kuat tubuhnya.

"Kau telah memilih hal yang tepat dengan melepasnya pergi," gumam Sasuke.

Mengusap muka, dalam diam Ino menyeka air yang sedari tadi dibendung oleh matanya. Namun Sasuke menahan pergerakan itu dan segera membenamkan kepala si gadis di dadanya.

"Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyia-nyiakan pengorbanan kakakmu." Tangan besar Sasuke menyusuri helai rambut pirang Ino. "Di bawah kuasaku, seluruh negara ini akan melindungimu."

Merasa perasaan yang sedari tadi tertahan di hatinya membuncah sekaligus, Ino balas memeluk erat tubuh sang raja. Air matanya berurai lagi setelah sekian lama. Ia mengangguk lemah sambil mulai terisak.

Meringsut mundur, Sasuke menarik tubuh sang putri masuk ke dalam pancuran bersamanya.

Supaya percikan air bisa memudarkan air matanya, dan bunyi gemericik pancuran bisa menyamarkan suara tangisnya.

.

.

Cahaya api dari puluhan lilin menari-nari membentuk bayangan di dinding kamar.

Keduanya berbaring di tempat tidur, masih tanpa busana, dengan Ino bersandar di dada sang raja, sementara tangan Sasuke membelai lembut pinggang ramping yang kini tengah direngkuhnya.

"Dia adalah orang yang telah memberikanmu padaku," ucap Sasuke, ia menunduk untuk menatap aqua istrinya. "Juga orang yang sama yang telah mempercayakan adiknya di bawah perlindungan kerajaanku," sambungnya. "Aku akan memberikan Yamaria padamu, sebagai penghargaan untuk menghormatinya."

Sambil mendongak untuk balik menatap suaminya, Ino menggeleng pelan. "Itu tidak perlu lagi. Nii-san sendiri yang memintaku untuk melupakan Yama—"

"Ini bukan hanya tentang upaya mengklaim kembali Land of Mountains yang merupakan hakmu, namun juga sebagai bentuk pembalasan dari negaraku," potong sang raja. "Apa kau tahu alasan dibalik penyerangan terhadap negaramu?"

Menelan ludahnya, Ino kembali bergeleng.

"Alasan yang sama yang mereka gunakan sebagai latar belakang usaha penggulingan pemerintahan Land of Fire, delapan tahun lalu."

"K-kenapa?" tanya Ino terbata.

"Persekutuan Empat Negara selalu takut pada kekuatan klan Yamanaka dan Uchiha," jawab Sasuke.

Terkejut mendengarnya, gadis itu melebarkan mata.

Sasuke membelai kening Ino dengan tangannya yang lain. "Tak akan lama lagi sampai berita tentang pernikahan kita menyebar pada seluruh negara, termasuk semua negara besar lain." jelas sang raja. "Ketika akhirnya mereka mendengar berita ini, di saat yang sama, persekutuan Empat Negara akan mulai mendeklarasikan perang."

Ino menghela napas dalam untuk menenangkan dirinya. "Apa perang itu... tidak bisa dicegah?"

"Semuanya tak akan bisa dihindari atau pun dicegah," jawab Sasuke. "Sudah sejak lama mereka menyusun rencana untuk melenyapkan kerajaan kita, dan akhirnya kerajaanmu menjadi target pertama untuk diserang tepat setelah pertemuan Enam Negara berakhir sepuluh tahun lalu."

Benar. Pertemuan besar tersebut ternyata hanyalah kedok dibalik motif asli mereka. Pasukan kerajaan Yamaria sengaja diserang di tengah perjalanan pulang, dan hampir seluruh royal blood dari klan Yamanaka dibantai dengan cara kotor dan licik, sebab nyaris tak mungkin untuk menembus pertahanan benteng pegunungan Land of Mountains sekalinya pasukan kerajaan itu tiba lebih dulu di Yamaria.

Ino menunjukkan kengerian di wajahnya, sehingga Sasuke menyipitkan mata. "Kenapa?" tanyanya. "Apa setelah mendengar semuanya, kau tetap memilih untuk menyerah?"

"Tidak, hanya saja... perang melawan persekutuan Empat Negera, berarti satu lawan empat. Bagaimana kau akan bertahan?" tanya Ino resah.

Sasuke terdiam sejenak, menyadari gadis itu ternyata lebih mencemaskan kondisi negaranya.

"Kau tak perlu khawatir," ujar lelaki itu. "Hidduria jauh lebih kuat dari delapan tahun lalu saat terakhir kali mereka menyerang," jelasnya. "Di bawah kepemimpinanku, tak akan kubiarkan Uchiha merasakan kekalahan yang sama untuk kedua kalinya," sang raja meyakinkan.

Ino tak punya pilihan lain selain percaya. Namun tampaknya gadis itu gagal menyembunyikan kerisauan di wajahnya, sehingga mendorong Sasuke untuk menenangkannya dengan serangkaian ciuman dalam nan lembut di bibir.

Mengangkat wajahnya lagi, akhirnya sang putri mencoba untuk tersenyum.

Sasuke merespon dengan merengkuh pundak gadis itu agar semakin merapat padanya. "Ingatlah," sang raja berbisik tepat di telinga Ino. "Meski dia menginginkanmu untuk melupakan Yamaria demi menjagamu tetap aman, namun faktanya kakakmu telah menanggung semuanya." Lelaki itu mengingatkan. "Seluruh bekas luka di tubuhnya adalah bukti dari kekejaman mereka."

Sang putri mengangguk pelan. Sembari memejamkan mata, ia kembali mengukir bayangan sang kakak agar tak lenyap di hatinya.

x x x

Tiga bulan berlalu, Ino telah resmi dinobatkan sebagai ratu dari Fireland.

Kini seorang pelayan istana tengah menyisir rambut pirang panjangnya. Tetapi tiba-tiba saja tangan pelayan wanita itu menyungkup dadanya, membuat Ino terkejut.

Ia terkekeh bingung. "Oh, apa yang sedang kau lakukan?"

Si pelayan terkesiap. "Mohon maaf, My Queen," ujarnya cepat, "Tapi, kapan terakhir kali Anda datang bulan?"

Ino sempat mengangkat alisnya saat mendengar pertanyaan tersebut. Tetapi kemudian ia memutar mata untuk berpikir. Sudah lebih dari dua bulan periode bulanannya belum juga datang.

Sang ratu belum menjawab, namun pelayannya sudah kembali bicara. "Tubuh Anda mengalami perubahan," ujarnya sambil tersenyum, satu tangan ditempatkan di perut ratunya. "It's a blessing from the Great Sun."

Ino melongo dalam takjub, sempat tidak percaya dengan apa yang diutarakan si pelayan.

Namun kemudian ia ikut tersenyum saat rasa gembira mendadak merasuki hatinya. Sambil tertawa bahagia, jemari perempuan bermata biru itu turut mengelus perutnya yang masih datar.

Mengerti apa yang dimaksudkan pelayan wanita itu barusan.

.

.

"Seorang pangeran, My Queen," ujar tabib kerajaan dengan percaya diri. Jemarinya yang berkeriput termakan usia, kini tengah menggenggam tangan Ino untuk diperiksa.

Senyum sang ratu merekah lebar, tetapi jelas ekspresi heran terpancar di parasnya yang jelita. "Bagaimana kau bisa yakin?"

Sang tabib tersenyum. Ia membungkuk untuk berbisik. "Heaven knows."

Ino hanya terkikik mendengarnya. "Rahasia, kah?" desisnya agak mengerucutkan bibir, mencoba untuk maklum meski ia ingin sekali tahu cara apa tepatnya yang digunakan tabib itu untuk bisa mengetahui jenis kelamin janin dalam kandungannya.

"Selamat, Yang Mulia!" Kedua pelayan yang mendampinginya masih bersorak kegirangan. "Anda mengandung putra dari Sun King."

"Sssstt!" Ino menyodok tangan mereka berdua. "Ini kan hanya tebakan, masih belum pasti."

Tetapi pelayan-pelayan itu masih belum bisa meredam kegembiraan mereka, membuat Ino hanya bisa bergeleng geli.

"Apa Anda meragukan pemeriksaan saya yang selalu akurat?" Tabib tua itu kembali bicara saat kemampuannya dipertanyakan.

"Tidak," sang ratu membantah sambil tertawa kaku. "Hanya saja, aku jadi merasa sedikit gugup. Apa nantinya, putraku akan diberi gelar Sun King juga seperti ayah dan kakeknya?"

Entah mengapa pemikiran itu membuat Ino jadi berdebar sendiri.

Tetapi dua orang pelayan dan satu tabib di depannya malah bergeleng dengan serentak, membuat Ino mengerutkan alis.

"Tidak, My Queen," ujar salah satu pelayannya. "Julukan Sun King hanya diberikan kepada raja yang sekarang sedang bertahta."

Pelayannya yang lain membenarkan sambil mengangguk. "Sebutan bagi raja-raja sebelumnya, baik ayah mau pun kakek dari Sasuke-sama, adalah Fire Lord."

Eh? Ino baru tahu. "Kenapa?"

"Karena Sasuke-sama bisa melampaui pemerintahan raja terdahulu." Kali ini sang tabib ikut menjawab. "Di bawah kepemimpinannya, baik Hidduria serta Land of Fire dianggap berada dalam titik terpanas dalam sejarah negara ini, membuat raja dinobatkan sebagai The Holy Fire, The Great Sun."

"Oh..." Ino hanya mengangguk paham mendengar penjelasan itu. Lalu ia tersenyum, mengetahui Sun King ternyata begitu dicintai rakyatnya, diluar rumor buruk yang selama ini beredar tentangnya. "Itu berarti... dia adalah raja yg hebat, kan?"

"Tentu saja," semua orang di sana langsung setuju. "Tak ada yg meragukannya."

Tepat setelah itu, pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan orang yang barusan mereka bicarakan mulai melangkah masuk.

Mendadak tabib tua dan kedua pelayan ratu langsung bangkit berdiri dan memohon izin untuk segera undur diri.

"Seluruh negeri harus diberi kabar dan merayakan ini, My Queen," pamit sang tabib sambil tersenyum, diikuti oleh anggukan persetujuan dari dua pelayan wanita yang hendak keluar bersamanya.

"Hey!" Ino mendengus. "Kubilang, jangan dulu disebar," pintanya sambil menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan kelakukan mereka.

Tetapi ketiga orang itu hanya membungkuk bergantian padanya dan Sasuke, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar.

Sang raja mulai melangkah menghampiri Ino, lalu mengulurkan satu tangan untuk membantu perempuan yang tengah hamil muda itu untuk bangun dari duduknya.

Mengecup lembut bibir Ino sambil mengelus perut datar istrinya itu, Sasuke bertanya dengan tidak sabaran. "Bagaimana keadaanmu? Apa yang dikatakan tabib itu?"

"Aku baik-baik saja," jawab sang ratu. "Usianya sudah tiga bulan."

"Lalu?" tanya sang raja, menuntut semua informasi disampaikan padanya.

Ino tertawa kecil. Nampaknya ia memang tidak akan bisa menyimpan satu rahasia pun dari seorang Raja yang Agung semacam suaminya. "Katanya, seorang pangeran."

Sasuke berkedip. Sempat tertegun sejenak sebelum satu sudut bibirnya mulai ditarik membentuk sebuah senyum. Ia tidak berkata apa pun, hanya merengkuh Ino lagi sambil kembali melayangkan kecupan di bibir ranumnya.

"Semua orang di Fireland akan merayakannya," gumam sang raja. Ia menatap Ino dengan sedikit sorot heran membayangi matanya. "Hanya dalam waktu singkat, seluruh rakyat Hidduria bisa menerima dan mengagumimu."

Kali ini Ino tertawa geli, entah mengapa ia mendengar adanya sedikit kecemburuan dalam nada bicara Sasuke.

"Cobalah untuk sedikit tersenyum," saran perempuan itu. "Kau tampan, tapi ekspresi dan sikap dinginmu itu terlihat menakutkan," godanya. "Lagipula, apa-apaan dengan gelar Sun King yang melekat padamu? Kau jadi terkesan sebagai diktator yang kejam."

Ino terkekeh pelan, menunjukkan bahwa ia hanya sedang bercanda. Namun tak disangka, Sasuke malah menatapnya datar, sebelum kemudian lelaki itu mulai memutar badan.

Ino kaget dibuatnya.

"Kau bisa bicara seperti itu sekarang," ujar Sasuke. "Meski kau lah orang pertama yang memberiku gelar itu."

Eh? Ino berkedip. Bengong, ia bertanya. "A-apa maksudmu?"

Sang raja tak menjawab, sehingga perempuan itu berjalan cepat mengejar langkah Sasuke dan berhenti di depannya. "Jangan bercanda," pinta Ino serius. "Apa maksudmu?" ulangnya.

Memandang lekat ratunya, Sasuke hanya membuang napas singkat. "Kau mungkin tidak ingat. Tapi sepuluh tahun lalu... Kita pertama kali berjumpa di pertemuan Enam Negeri."

Mengerjap, kini Ino jadi lebih terkejut lagi.

"H-huh?"

—FIN—


03.08.17

Yeayy, finally bisa selesai juga. Ku sengaja bikin penjabaran cerita ini sesingkat-singkatnya, karena kalo ga sengaja ditahan, bisa jadi puanjang kaya BlendXBond LOL

Seperti biasa ku tulis ini dengan tergesa (a.k.a KEJAR SETORAN) kalo merasa ada salah, ntar ku perbaikin lagi~

Makasih buat semuanya, yang udah baca, yang udah support, daaaan yang udah ninggalin jejak. Tbh, aku gak bakal bisa nulis sampe saat ini *rekor* kalo bukan karena dukungan kalian~ love yaaa~

See you again di oneshot Playing with Fire, prekuel sekaligus sekuel(?) ff ini *kalo sempet bikin, tapi* XP

Thanks :)