Iya, ini epilog, baik kan saya? :( #eh

Sosok dua pria dan dua balita terlihat memenuhi empat buah kursi yang mengelilingi meja bundar di dapur sederhana itu. Terlihat bahagia menghiasi wajah keempatnya. Tawa dan canda menghiasi makan pagi keluarga kecil beranggotakan empat orang tersebut.

"Mae... May mau gendong."

Arthit sedikit terkejut dengan permintaan bocah perempuan yang biasanya anti dengan yang namanya bersikap manja. Ia lebih kepada anak perempuan yang kuat, yang ingin melindungi saudara laki-lakinya yang memang sedikit pemalu jika dibandingkan dengannya. Tapi entah mengapa sejak terbangun di pagi hari tadi, ia terus menempel kepadanya.

"May sangat merindukan Mae, ya?" ucap Kongpob, tersenyum tipis. Sangat mengerti jika anaknya itu seringkali seperti ingin menanyakan kemana Mae mereka pergi namun mengurungkan niatnya itu karena takut akan menyakiti ayahnya.

Kehidupan Kongpob setelah kepergian Arthur beberapa Minggu lalu memang tidak begitu baik. Sangat buruk malah. Tapi ia bersyukur karena semua telah usai dan keluarga mereka kembali seperti yang seharusnya.

Arthit dengan telaten mengangkat Mau ke dalam gendongannya sambil tetap menyuapi M makanan yang telah dibuatnya. M tampak lahap memakan masakan rumahan kembali daripada makanan yang dipesan oleh ayahnya dulu.

"Mau jangan pergi lagi..." Bisik May, membenamkan wajahnya di cermin leher Arthit, membuatnya menyadari bahwa ia telah membuat buah hatinya ini begitu menderita karena merindukannya.

Tangan hangat Arthit membelai rambut tebal bocah perempuan itu, "Mae tidak akan pergi lagi... Tidak lagi." Bisiknya pelan.

Entah apa yang dirasakan May, hingga ketika ia membisikkan janji itu, bocah perempuan itu seketika menangis kencang, membuat Arthit panik. Kepalanya menoleh pada pria dewasa lain di ruangan itu namun hanya wajah tenang dengan senyuman penuh cinta yang didapatinya.

Belum sempat menenangkan May, M pun ikut memekik keras. Menangis seperti saudara perempuannya itu. Mungkin karena mereka kembar maka M pun merasakan kesedihan yang dirasakan oleh May.

Pagi yang tenang di lantai dua kafe kecil milik Arthit Rojnapat Suthiluck kini menjadi begitu ramai dengan tangisan dua bocah kembar yang kini berada di dalam pelukan kedua orang tuanya. Kongpob terlihat senang dengan reaksi yang ditunjukkan kedua anaknya, sementara Arthit terlihat sebaliknya. Yang manapun, bibir Kongpob kembali menyentuh bibir merah Arthit, "Aku mencintaimu, P'Arthit." Bisiknya di tengah tangisan bocah yang semakin nyaring karena tidak suka ayah mereka justru seperti ingin mengambil seluruh perhatian Mae dari mereka berdua.

Kafe kecil itu memang sengaja tidak buka untuk hari ini karena keluarga kecil tuan Suthiluck ini berencana untuk cuddling seharian sambil menonton kartun. Semuanya berjalan seperti rencana, selimut hangat digelar di lantai agar mereka tidak merasa dingin ketika berbaring di depan televisi, beberapa toples berisi makanan kering juga piring berisi potongan buah, dan beberapa botol air serta susu untuk si kembar telah siap. Semuanya sirna hingga pintu kafe di lantai bawah dipukul begitu keras hingga membuat keempat penghuni rumah kecil itu terkejut.

Praepailin.

Berdiri menantang seperti Alpha yang sedang murka. Mata cantiknya seperti berkilat tajam, ekspresinya seakan siap untuk menghabisi siapa saja yang berani menentangnya.

Iya, semengerikan itu hingga Kongpob menyuruh si kembar untuk tetap di lantai dua. Menjaga kemungkinan mereka menjadi santapan Praepailin yang sedang haus darah ini.

"Berani sekali kau, Suthiluck."

Oke, wanita di depannya ini benar-benar sedang marah jika ia memanggilnya dengan nama keluarganga seperti ini. Dengan susah payah ia menelan ludah yang seperti tersangkut di tenggorokannya. Haruskah ia meminta maaf agar lolos dari amukan wanita yang sempat menjadi sekretarisnya ini? Tapi untuk apa?

"Ah, Prae, ada apa kau-"

"Tutup mulutmu sebelum aku menutupnya dengan sepatuku," potong wanita yang sepertinya lupa merapikan rambutnya yang selalu sempurna ketika bekerja itu. "Apa maksudmu mengubah kepemilikan saham perusahaan milikmu menjadi atas namaku, hah?"

Ah, soal itu rupanya.

"Kapan aku setuju untuk menggantikannya sebagai pemegang saham? Tolong jelaskan sebelum aku benar-benar membiarkan kedua anakmu dan istrimu yang sedang mengintip di tangga itu menyaksikan kematianmu."

Tawa renyah Kongpob sepertinya membuat wanita itu semakin murka hingga sebuah kotak tissue berciuman dengan jenis Kongpob.

Setelah beberapa saat terjadi keributan karena Arthit berlari untuk mengecek keadaan kening Kongpob, mereka semua akhirnya duduk tenang di salah satu meja di kafe yang sedang tutup itu. Praepailin sepertinya juga sudah tenang, terima kasih pada May dan M yang bersikap manis hingga tante mereka itu menjadi gemas sendiri. Tak lama kemudian, Prae sudah sibuk menciumi pipi gembil dua bocah itu.

"Aku tidak perduli, Kong. Kau harus sudah menduduki kembali kursimu diperusahaan dan kembalikan namamu sendiri atas saham-saham yang kau miliki. Jika tidak kau lakukan, aku akan menculik May dan mengubah nama orang tuanya menjadi namaku dan mamprang."

Oke, itu baru namanya ancaman. Wajah P'Arthi seketika memutih, walaupun ia tidak begitu mengenal wanita itu -masih belum ingat lebih tepatnya namun tatapan matanya menyiratkan kesungguhannya untuk melakukan apa yang dikatakannya. Tangannya secara otomatis merangkul tubuh gembul May dan menjauhkannya dari jangkauan Prae, membuatnya tertawa lepas.

Praepailin berlalu dari hadapan mereka sambil masih dengan tawanya yang terdengar sangat renyah. Sungguh rasanya Arthit ingin menampar pria yang sedang tersenyum lebar hingga deretan giginya yang rapi terlihat itu karena melakukan sesuatu dengan sangat serampangan dan tanpa pikir panjang seperti ini. Memang dia pikir pengalihan saham bisa semudah itu dilakukan tanpa adanya persetujuan pihak kedua.

kedua tangannya seperti tidak pernah kosong, kakinya bergerak kesana kemari, dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Tubuhnya sedikit lelah namun ia tidak bisa berhenti sampai semua baju mereka telah tersusun rapi di lemari masing-masing, juga beberapa perabotan dari rumahnya yang dulu berada di lantai 2 kafe miliknya harus segera diletakkan di tempat yang pantas di rumah mewah itu. Untung saja Kongpob tidak benar-benar mengosongkan rumah itu ketika memutuskan memposting gambar rumahnya di situs jual beli rumah.

Kadang Arthit berpikir sebenarnya Kongpob itu pandai atau idiot.

"P'Athit, khap. Sebaiknya kita istirahat dulu sejenak." suara Kongpob terdengar lebih dulu dari wajahnya yang muncul dari balik pintu kamar utama tempatnya bersimpuh itu. "Anak-anak ingin makan es krim bersamamu."

Arthit tersenyum, meletakkan kotak yang sedang dipegangnya kemudian berdiri untuk berlajan ke arah Kongpob. Tangannya diambil oleh pria satunya, jari-jari mereka bertautan, lalu keduanya berjalan sambil beriringan tangan menuju ruang keluarga dimana kedua anak mereka sedang asik menikmati es krim di depan mereka.

Sebenarnya Arthit masih tidak nyaman untuk tinggal kembali di rumah mewah ini, namun ia merasa bahwa rumah kecilnya itu tidak akan nyaman untuk membesarkan May dan M. Lagipula, mereka telah terbiasa hidup dengan berkecukupan hingga ia sendiri belum merasa percaya diri bisa membahagiakan kedua anaknya -serta Kongpob yang mengaku tidak lagi memiliki suatu apapun itu dengan penghasilannya dari kafe kecilnya yang baru berkembang. Kafe yang pada akhirnya diusulkan Kongpob agar menjadi kafe dua lantai -karena lantai dua telah menjadi ruang kosong dengan kepindahannya ke rumah ini.

"Mae... ini..." Lamunanya buyar dengan sebuah sendok kecil yang tiba-tiba muncul di depan wajahnya. M dengan senyum menggemaskannya sedang berusaha untuk menyuapinya es krim, rupanya.

Ia tersenyum dan membuka mulutnya, memakan es krim yang disoforkan anak bungsunya itu.

"Terima kasih, sayang." ucapnya, mendapatkan anggukan semangat dari M. Bocah itu kini menjadi lebih ceria dan sudah mulai bisa mengucapkan kalimat-kalimat panjang.

Pandangannya bertemu dengan milik Kongpob, lalu keduanya tersenyum. Mereka telah mengalami begitu banyak peristiwa penuh drama dan kesedihan, namun kini mereka bersyukur karena bisa melaluinya bersama. Kini, hanya kebahagiaan yang akan mereka ciptakan. Bersama kedua malaikat kecil mereka, dan bersama cinta yang tak akan kalah dengan apapun.

Meski takdir sekalipun.

.

.

END