Aku membuka pintu kamarku. Tidak ada siapa-siapa, tentu saja. Memangnya siapa yang akan keluar masuk kamarku dengan lancang.
Oh, itu. Tentu saja Kushina. Tapi itu dulu.
Aku masih berdiri di depan pintuku, nostalgia kurasa. Membayangkan seorang gadis SMP duduk di atas kasurku sambil memeluk buku pelajaran, mau belajar bareng katanya, kakinya berayun-ayun riang, matanya menatap lurus ke depan pintu, dimana aku berdiri. Atau sedang memporak-porandakan barangku mencari bendaーapapun itu yang tidak penting kurasa.
Ia masih memakai seragamnya, rambut merahnya yang panjang sepinggang digerai. Mata violetnya yang selalu berbinar-binar menatapku diikuti dengan senyuman tanpa dosa di bibir mungilnya.
Tapi sosoknya kian memudar dengan cepat. Aku sampai tidak menyadarinya. Sekarang yang kutatap hanyalah kamarku yang selalu rapi dan-- kosong.
Hampa.
Aku rindu.
Terkadang hal yang sederhana adalah sesuatu yang berharga ketika kita kehilangannya.
Aku menghela nafas. Masuk ke kamarku dan menutup pintu.
Aku menanggalkan blazer abu-abuku yang kemudian kugantung di pintu. Aku menatap kamarku lagi dengan tatapan kosong. Punggungku menempel di tembok, lalu perlahan aku menjatuhkan diriku. Aku terduduk di depan pintu dengan naas.
Aku tidak mengerti apa yang aku pikirkan. Aku mencintai gadis itu. Ia belum terlalu banyak berubah. Apalagi sifat kekanakannya. Ia merasa senang ketika melanggar peraturan, entah merasa keren, kriminal, besar, penjahat dunia atau apalah-- aku tak mengerti.
Caranya menatapku juga, tidak berubah. Aku suka ketika violet itu menatapku seakan aku adalah dunianya. Tapi, tadi ia menyembunyikannya dengan sikap sok dinginnya.
Kurasa satu-satunya yang berubah dari dirinya hanya satu, fisiknya.
Aku melihat itu, lekukan-lekukan di tubuhnya telah membentuk sempurna. Aku merasakannya ketika memeluknya.
Ah, iya dan aku tidak bisa melupakan rasa ketika lidahku menjilat lehernya, dan ketika aku melumat, menghisap buah dadanya. Aku tidak percaya, gadis polos yang innocent punya ukuran yang 'besar' seperti itu. Dan dari tubuhnya menguar harum yang membuatku mabuk kepayang. Aroma unik khas Kushina.
Ah, andai aku bisa melakukannya lebih lama. Atau bahkan menuntaskan mencicipi tubuhnya sampai tuntas ke akar-akarnya.
Di pikiranku berkelebat bayangan-bayangan vulgar tentang tubuh kushina. Menari-nari di imajiku. Aku menenggak ludah dan menutup kelopak mataku. Sabar Minato, sebentar lagi kau akan merasakannya. Tunggulah.
Aku berdiri, membuka kancing- kancing seragam putihku dengan kasar dan membuangnya sembarang. Lalu dengan kasar, aku menghempaskan diriku ke kasur. Punggungku menghantam kasurku. Di tubuhku hanya melekat celana seragam abu-abuku dan dasi sewarna celanaku di leherku.
Aku diliputi rasa amarah, aku tidak tahu kenapa. Bayangan-bayangan tentang tubuh Kushina berganti dengan siluet 'kriminal-kriminal IPS' yang memuakkan. Sebaiknya mereka tidak menyentuh Kushina-ku, mereka akan tahu akibatnya.
Aku melirik blazerku yang digantung di pintu. Tadi Kushina menangis di pelukanku bukan? Aku ingin mendengarkan keluh kesahnya, apa yang membuatnya menangis. Aku tak tahu, sepertinya hati kecilnya sendiri menolak segala perbuatan pelanggaran itu. Aku ingin selalu berada di sisinya dan memeluknya ketika ia bersedih.
Bulan purnama yang hampir bulat sempurna menyinari tubuh topless-ku dengan sinarnya melalui jendelaku yang terbuka.
Aku menatap langit-langit kamarku, memutar balik kejadian ketika istirahat tadi. Miris rasanya hatiku melihat Kushina menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah. Membuatku membersihkan bekas darah di bibirnya dengan lidahku.
Aku menyentuh bibirku. Ah ngomong-ngomong soal itu, aku belum makan sejak kejadian tadi. Tapi tulang-tulangku, otot sendiku sudah terlalu lelah hari ini sehingga mataku kian memberat dan aku tertidur dengan lambungku yang tidak terisi apapun. Salahkan Shikaku, rapat kedis setelah rapat gabungan OSIS-MPK seusai sekolah yang membuatku pulang selarut ini hingga belum sempat makan apa-apa.
Bibirku membentuk seulas senyuman. Membawaku ke alam mimpi indah, meski perutku tengah kosong.
'Besok, ini semua pasti berakhir Kushina. Kau akan jadi milikku sepenuhnya.'
THROWBACK
Minato sedang berjalan pulang seusai rapat gabungan OSIS-MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas), tapi terhenti ketika ponsel di sakunya bergetar. Ia membaca nama sang penelepon 'ShikakuーKedis' lalu mengangkatnya.
"Iya"
"Rapat kedis, ruang mading, sekarang, semuanya sudah datang."
"Siap." Jawab Minato mantap, tapi dalam hatinya ia mengumpat-umpat 'sial sial sial aku ingin pulang'. Minato menatap jam tangannya, pukul 17.24. Ia menatap ke langit yang memerah sebelum berbalik arah kembali ke sekolah.
Shikaku menutup telepon. 'Sial berkurang berapa pulsaku karena menelepon bocah itu' batinnya. Tapi ia tidak begitu peduli sih.
Ia mengedarkan pandangannya pada empat orang di hadapannya, yang bisa dibilang 'bawahan' Shikaku. Karena ia ketua kedisiplinan disini.
Salah satu dari mereka menunjukkan mimik tidak mengenakkan. Shikaku berujar "Inoichi, kontrol muka." dengan nada datar.
Tapi si lawan bicara malah menatap Shikaku tajam. Shikaku balas menatap tidak kalah tajam sehingga terjadi ketegangan di ruangan itu.
"Santai, Inoichi. Gak akan ada gunanya permasalahin bocah Namikaze itu lagi." Lerai Chouza. Tapi Inoichi tak kunjung membaik. Ia malah membalas, "Ini bukan hanya soal bocah Namikaze itu, tapi juga tentang ketuanya yang sok tahu segalanya."
Chouza dan dua orang lainnya tidak bergeming. Memang, divisi-divisi OSIS khususnya kedisplinan menentang ketika Minato Namikaze diangkat jadi kedis-- kecuali Shikaku. Karena dari dulu pun, tidak pernah ada anak kelas 10 yang diangkat jadi OSIS. Biasanya, ketika menemukan anak kelas 10 yang berpotensi, maka ia akan direkomendasikan para guru kemudian di tahun berikutnya diangkat jadi OSIS. Tapi sosok Minato Namikaze, entah apa yang membuatnya dengan mudah dilantik jadi OSIS ketika kelas 10.
Namun, seiring berjalannya waktu, mereka bisa menerima karena Minato menunjukkan kinerja yang baik. Tapi tidak dengan Inoichi, ia masih tidak habis pikir.
"Lihat, datang ke rapat seperti ini saja terlambat."
"Bukalah matamu, Inoichi. Jangan buta. Bocah itu cukup banyak membantu kita selama ini." Ujar Shikaku datar.
"Kau tidak usah sok suci ya, Shikaku. Kau selalu mendukung bocah itu seakan-akan kau punya tujuan dibalik semua ini." Balas Inoichi dengan seringaian suram.
Shikaku menghela nafas. "Kau tahu, itu sama sekali bukan wewenangku mengangkat anggota OSIS di tengah jalan."
Minato membuka pintu ruangan tiga kali tiga meter pesegi yang di pintunya terdapat tulisan 'Ruang Mading'. Ruangan ini berisi alat-alat ekstrakulikuler dan perlengkapan mading. Ruangan yang gelap dan sumpek.
"Lalu, aku salahkan siapa? Guru?"
Kedatangan Minato ke ruangan itu menghentikan diskusi yang tengah berjalan sengit.
Kesan pertama Minato ketika melihat ruangan itu: "Apakah seluruh area di sekolah yang sudah kosong ini tidak lebih baik daripada ruang sumpek ini?"
Minato membuka bibirnya hendak mengatakan kalimat itu. Tapi kemudian bibirnya terkatup kembali menyadari ia sedang ditatap tajam oleh seseorang. Oh, Ia paham situasinya sekarang. Ia pun bediri di samping Shikaku di hadapan meja bundar kecil di tengah ruangan.
"Minato, kau punya banyak informasi tentang anak-anak IPS itu. Kau bilang, kau mencurigai sesuatu tentang minuman." Shikaku memulai diskusi.
"Iya, itu benar, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri reaksi dari zat itu."
"Bisakah kau mengidentifikasi apa yang ada di minuman itu?"
"Persisnya, aku belum bisa. Tapi aku akan mengetahuinya secepatnya." Jawab Minato dengan yakin.
"Cih." Terdengar nada yang merendahkan dari salah satu peserta rapat.
Semua mata tertuju pada Inoichi yang sedang tersenyum meremehkan. "Dasar bocah-bocah generasi sekarang. Seperti tidak bisa duduk diam dan belajar dengan baik saja." Lanjutnya.
Minato bersikap biasa ketika ia sedang diremehkan seperti ini. Tapi sebenarnya dalam hati ia sedang mengutuk-ngutuk Inoichi.
"Angkatan kita saja saat kelas sepuluh tidak pernah membuat kubu-kubu sesat seperti ini. Hebat sekali ya angkatanmu sekarang, kumpulan gadis populer, atau bocah-bocah kriminal, Namikaze-san?"
Minato tidak bergeming. Masih menatap Inoichi yang hendak melanjutkan kalimatnya.
"Ah, iya. Bahkan menjadikan anak kelas 10 OSIS, benar-benar pencetus ide-ide segar teranyar. Angkatan terbaik. Pencetak sejarah." Lanjut Inoichi sembari bertepuk tangan dengan irama suram.
Inginnya Minato menonjok wajah memuakkan di hadapannya dengan kekuatan penuh. Tapi, ia masih menahan amarahnya. Memutar otak agar memberikan comeback dengan cara yang membuat Inoichi kalah telak.
"Inoichi!" Bentak Shikaku. Seluruh peserta rapat terkejut mendengar Shikaku membentak.
"Saya pikir itu bukanlah sikap yang baik ketika sedang rapat, bukan?"
"Ditunjuknya Namikaze-san sebagai OSIS bukan tanpa sebab. Kau mungkin berpendapat, 'jika ia memang berpotensi, tunjuk tahun depan saja?' Tapi guru-guru disini telah 'mengendus' ketidakberesan dari X IPS bahkan seusai MOS. Tapi mereka tidak bisa menemukan apa-apa karena kasus ini disembunyikan dengan rapi. Makanya tugas ini diberikan kepada kita, kedisiplinan OSIS. Dan menurut mereka, Namikaze-san adalah orang yang paling berpotensi dari kelas 10, terlebih ia adalah teman dekat Kushina Uzumaki, salah satu siswa yang bergabung dengan mereka. Dan aku sama sekali tidak punya wewenang melantik, membebastugaskan anggota OSIS, karena aku disini hanya ketua kalian." Jelas Shikaku.
Minato menyeringai. Tapi, ia merasa belum puas jika ia sendiri belum menyudutkan Inoichi dengan perkataannya.
"Jika anda memusuhi atau membenci, tidaklah perlu ditunjukkan di depan wajah orang-orang. Anda sendiri pernah menjadi siswa 'blacklist' dan mendapatkan dua kali surat peringatan ketika kelas 10. Anda harus bersyukur, setidaknya nama anda telah diputihkan atau 'diminta diputihkan' sehingga anda bisa masuk Organisasi Siswa Intra Sekolah ini. Benar kan Yamanaka-san?" Ujar Minato dengan sangat lancar tanpa beban. Bagai ikan belut yang melesat. Tentu saja karena kalimat ini sudah ia siapkan matang-matang.
Otot-otot wajah Inoichi menegang. Ia diliputi amarah. Ia terpojok, harga dirinya jatuh mendapat pukulan telak dari seorang bocah. Bocah yang dari tadi ia coba jatuhkan. Ia tidak bisa menahan amarahnya.
"Apa pedulimu! Memangnya masa laluku penting! Aku anggota OSIS sekarang dan aku sudah berada di sekolah ini lebih lama daripada kau! Kau tahu hal seperti itu dari mana bocah?!" Bentak Inoichi dengan suara menggelegar. Karena apa yang dikatakan Minato semuanya benar. Hal itu terjadi karena orangtuanya yang merupakan penyumbang terbesar SMA 02 Konoha tidak mau citra anaknya tercoreng.
"Shikaku…" Inoichi menggeram. "Pasti kau yang menceritakan semuanya pada bocah emas mu ini bukan?!"
"Tidak, itu tidak benar." Sanggah Minato. Semua mata tertuju padanya kini. "Untuk apa Shikaku senpai memberitahukan hal seperti ini. Iya kan?" Minato menoleh ke ketuanya. Shikaku mengangguk.
"Aku sendiri yang mencari tahu segalanya tentang keadaan disini. Termasuk kubu-kubu sesat yang Yamanaka-san singgung tadi. Jadi, mudahnya… aku tahu segalanya." Jelas Minato.
"Iya, dan kalian harus percaya apa yang ia katakan dan lakukan. Karena ia menyelesaikan segala tugasnya dengan sangat mengesankan." Tutup Shikaku.
"Kurasa atmosfer disini sudah sangat tidak nyaman, maka aku putuskan rapat sampai disini dulu. Kita lanjutkan lain waktu." Rapat selesai, anggota kedis bubar. "Memuakkan."
"Lain waktu." Shikaku melirik Minato. "Dan aku yakin sebelum waktu itu datang, Minato-san dapat menuntaskan pekerjaannya. Iya kan Minato san?"
Minato tersenyum kaku kepada Shikaku. "Iya, akan saya lakukan. Saya tidak akan gagal."
"Oh, ya Minato. Kau tinggal."
Minato pun tetap berada di sekolah, menatap langit yang menunjukan kenampakan permulaan malam dengan bulan hampir-purnama yang bersinar malu-malu dibalik awan cumulus.
"Maafkan Inoichi, dia memang seperti itu."
"Tidak apa-apa. Aku paham apa yang terjadi."
"Ngomong-ngomong, aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan." Tanya Shikaku.
"Oh, itu. Sepertinya tidak perlu kuberi tahu. Yang jelas aku akan menyelesaikan tugasku secepat-cepatnya."
"Oh, secepat itukah? Dan kapan?"
"Besok. Iya besok semuanya akan berakhir. Karena aku akan punya sampel minuman itu." 'Dan aku akan memiliki Kushina dalam dekapanku kembali…' Batin Minato.
"Oh, dan apa yang kau ketahui dari minuman itu."
Minato menatap Shikaku dengan horror sebelum melanjutkan, "Memiliki sifat adiksi yang sangat kuat. Merusak. Meracuni, karena ia adalah…"
Hata mengambil kemasan botolan kosong yang ia beli di pasar. Kemasan ini adalah kemasan botolan yang sangat biasa, lumrah, kita temui sehari-hari dan ditemui dimana-mana.
Tapi hari ini, Hata dan teman-temannya menggunakan botol itu sebagai kemasan minuman 'penghancur mimpi-mimpi'. Mereka sedang meramu 'pesanan' dari gadis manis bernama Kushina Uzumaki. Dan juga membuat sampel lain untuk dijual.
Saat Hata sedang menyeduh sirup dalam jumlah besar yang akan ia perdagangkan, salah satu temannya yang tambun mengajaknya bicara.
"Apakah kita akan sukses kaya raya dengan ini? Ah, pertanyaaku terlalu jauh? Apakah kita akan berhasil?"
Hata menjawab dengan senyum menyungging di bibirnya "Ya aku yakin. Kau lupa, kita melakukan ini bukan untuk mencari uang? Ini untuk kesenangan bung."
Sementara temannya satu lagi bertanya, "Kalau ketahuan OSIS, bagaimana."
"Tidak usah berpikir kesana. Ini sama sekali tidak terendus siapapun. Karena selama ini kita juga menjalankan misi diam diam dan hati-hati.
"Caranya, kita tawarkan dagangan kita pada segelintir orang. Mereka akan terus ketagihan dan membeli dalam jumlah besar. Jika sudah cukup, kita akan menawarkan 'bahan baku'nya supaya mereka dapat meracik sendiri." Jelas Hata.
Temannya mengerti dengan penjelasan Hata, ia menyeringai. Lalu kembali melanjutkan pekerjaannya, meracik. Ia meraciknya dengan hati-hati. Dengan masker melindungi indra penciumnya. Karena jika terhirup, suatu yang buruk akan terjadi.
Jika dagangan mereka sukses, mereka bukan sekedar pedangang jus lagi. Tapi,
Pedagang Narkotika.
Dan Minato tidak akan membiarkan itu terjadi.
Minato terbangun dari tidurnya. Ia duduk di pinggir kasurnya. Tubuhnya berkeringat. Ia melirik bayangan dirinya di kaca, masih mengenakan celana seragam dan dasi masih terpasang di lehernya, tanpa baju.
Minato terdiam sebentar, mengusap tengkuk lehernya. Ia menunduk, matanya tertuju pada lantai kamarnya. Sejurus kemudian semburat merah tipis muncul di paras tampannya.
"Mimpi yang bagus, bukan?" Bisiknya pada diri sendiri dengan senyuman yang tidak dapat diartikan.
Ia memimpikan Kushina. Tapi, Kushina muncul di mimpinya sebagai sosok wanita seksi. Ia kerap menggoda Minato dengan pakaian tipis dan terbuka. Lalu di penghujung malam, mereka berciuman panas. Lalu minato menanggalkan pakaiannya. Minato menjilat bibir ketika mengingatnya.
Minato melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul 05.45. Masih ada sekitar 3 jam lagi sebelum ke sekolah.
Ia melihat sekali lagi tubuhnya yang berantakan dan bau keringat. "Sial aku berantakan banget. Mana laper lagi."
Ia merapihkan kasur sekenanya lalu mengembil handuk biru mudanya dan melenggang ke kamar mandi.
Minato merasakan kesejukan ketika air pagi buta menyapu tubuhnya. Ia membubuhkan sabun cair di tangannya kemudian menggosok seluruh anggota tubuhnya mulai dari kaki, betis, paha, perut sixpacknya, ke dada bidangnya, lalu kedua bahunya yang kokoh dan punggung kekarnya. Setelah itu ia membersihkan benda kebanggaannya. Ia menggosok seluruh tubuhnya dengan intens, mengingat semalam ia sangat berantakan sebelum tidur.
Terakhir, ia membubuhkan shampo ke rambut pirangnya dan memijat kepalanya lembut. Cuci muka, gosok gigi, dan selesai!
Minato keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkari pinggangnya. Ia merebahkan dirinya ke kasur. "Aku sudah wangi kembali~" gumamnya.
Ia duduk di bibir ranjang dan melepas handuk birunya dari pinggang. Kemudian mengeringkan rambut pirangnya dengan itu.
"Kushina… kamu jadi pecandu narkoba tanpa kamu sadari ya, aku miris. Rasanya ingin kubantai mereka-mereka yang membuatmu jadi begini--" Matanya terpaku pada 'benda' kebanggaannya, yang berada di bawah perutnya selagi tangannya sibuk mengeringkan rambut. "Aku tak akan biarkan mereka merusakmu lebih jauh lagi, Kushina. Semuanya akan segera berakhir. Dan akan kuberi kau suatu 'benda' yang lebih candu daripada seonggok bubuk heroin."