Kalian tahu tidak rasanya ngebet ingin memberitahu sesuatu tapi ragu-ragu, takut reaksi tidak sesuai. Kesal gimana gitu kan. / "Tinggal bilang, Chanyeol~ aku mengandung Park kecil milik kita, apa susahnya?" / Masalahnya adalah si CEO Park itu adalah suami super sibuk. Sampai Baekhyun ingin menggigit orang saking gregetannya.


.

.

.

.

Good News

Chanbaek pairing

WARN: Sho-ai, BL, Yaoi, Marriage!AU, Mpreg

Sorry for typo(s)

.

.

.

.


Kalau kalian tanya seperti apa rasanya menjadi pasangan dari suami tampan nggak ketulungan adalah makan hati. Iya lah makan hati melihat banyak jomblo dan pelakor memandang lapar pada suaminya. Belum lagi kalau suami kesayangannya itu mulai menggombal, aduh udah deh tamat riwayat Baekhyun. Melihat wajah tampan itu terpampang di depan mata dengan senyum tebar pesona plus kalimat-kalimat memuja hanya untuk dirinya, Baekhyun kelimpungan sampai mati rasa. Adegan romantis tiada dua seandainya saja sepasang lengan itu tidak menyusup ke dalam kaosnya—jatuhnya adegan dewasa.

Tidak apa-apa sih, toh Baekhyun menikmatinya.

Dia tidak keberatan selama kedua pihak terpuaskan. Apalagi dulu waktu masih masa pengantin baru, mhm nyoi banget lah.

Pernikahannya memang sudah berjalan selama tiga tahun dan sayangnya dihabiskan oleh mereka berdua saja. Yang ditekankan disini adalah ketidakhadiran malaikat kecil titipan surga. Iya, mereka belum punya anak. Soal usaha sih jangan dipertanyakan. Hanya saja mereka sudah mengikat kesepakatan terlebih dahulu. Tiga tahun yang lalu, umur mereka masih muda dan belum ada komitmen pasti untuk memiliki keturunan, pun Chanyeol sibuk mengembangkan cabang perusahaan.

Berkeluarga dan mengurus rumah tangga dua orang masih bisa diatasi. Tapi jika ditambah jeritan bayi? Mereka berdua belum sanggup.

Dan sekarang, di umur yang sudah duapuluh tujuh, Baekhyun berpikir bahwa dirinya mulai menginginkan keramaian di rumah yang sepi ini. Perusahaan Park yang sudah stabil juga mendorong niat Baekhyun semakin memuncak.

Tiga minggu yang lalu stok pil anti kehamilanandalannya kosong. Tanpa mengabari suami, Baekhyun tidak mengonsumsinya lagi sampai saat ini. Ia memang nekat, agak takut kalau Chanyeol memergoki rahasianya. Tapi suaminya itu sibuk dengan urusan kantor. Tidak sekali dua kali ia bertanya kenapa Chanyeol begitu sibuk, hanya diberikan jawaban sama berulang-ulang berupa keinginan untuk mensejahterakan hidup dan tentu saja membahagiakan Baekhyun.

Kalau sudah digombali begitu mana bisa Baekhyun berontak. Dia tidak munafik, ikut menikmati hasil kerja keras suaminya selama tiga tahun menikah. Ia juga tidak tega membantah, tahu persis perjuangan Chanyeol sejak masa kuliah. Meskipun CEO Park itu sudah mengantongi black card, dia masih saja banting tulang sampai malam.

Ada kalanya saat pillow talk, Baekhyun mengutarakan keinginannya membantu Chanyeol dalam urusan ekonomi agar prianya tidak kelelahan. Setiap membahas hal itu, Chanyeol akan memandangnya langsung di mata, jemarinya bergerak mengusap wajah Baekhyun dengan sayang, dan berkata;

"Maaf kalau aku terlalu fokus bekerja, aku tahu kita sudah hidup berkecukupan tapi aku ingin terus berusaha. Demi kita. Kau cukup di sisiku saja, menungguku di rumah, menyambutku sepulang kerja, dan aku sudah merasa menjadi orang paling bahagia di dunia."

Siapa yang tidak luluh dengan ketulusan manis itu?

Tampar Baekhyun kanan kiri kalau ada yang tidak setuju.

Karena kebanyakan sendirian di rumah, ia jadi semakin kesepian. Biasanya melampiaskan dengan bermain game atau mengajak sahabatnya, Luhan, jalan-jalan keluar. Kadang-kadang mengunjungi rumah orang tua dan mertua sekedar silaturahmi. Langsung dibabat dengan pertanyaan;

"Kapan kalian punya momongan?"

Aduh.

Baekhyun juga bertanya.

Pasalnya Chanyeol tidak pernah menyinggung hal ini lagi dan Baekhyun juga tidak enak mengangkat topik ini duluan. Bukannya Chanyeol itu suami menyeramkan, tapi ia merasa tidak pantas meminta hal lain sedangkan dirinya sendiri sudah selalu disediakan segala kebutuhannya.

Tapi kali ini keputusannya bulat. Selama tiga minggu tanpa obatnya, dua kali seminggu mereka melakukannya. Seminggu terakhir, Baekhyun dilanda morning sick dadakan. Setiap selesai sarapan, tujuan selanjutnya adalah kamar mandi terdekat atau wastafel di konter dapur. Sayangnya, seminggu terakhir pula Chanyeol tidak sarapan bersamanya. Pria itu bangun pagi-pagi sekali dan sudah rapi ketika Baekhyun baru membuka mata.

Dan ini hari kedelapan.

Baekhyun masih bergelung dengan selimut, merubah posisi berkali-kali karena suara yang mengusik tidurnya. Ia membuka mata, mendapati Chanyeol sedang memasang dasi di depan cermin. Bangun dengan perlahan, tetap saja deritan ranjang terdengar.

"Kau bangun, Baekhyun?"

Sepasang mata sehitam malika bergulir jatuh pada pantulan Baekhyun di cermin. Baekhyun menepi di ranjang, membawa selimut bersamanya, duduk dengan ekspresi setengah mengantuk setengah merengut. "Kau tidak sarapan lagi." suaranya berintonasi merajuk.

Chanyeol segera menghadap ke arahnya, rasa bersalah hinggap sesaat diganti rasa gemas menggerogoti. Baekhyun tidak pernah gagal tampil imut, bahkan dengan rambut berantakan, bibir mengerucut, digulung selimut sudah cukup membuatnya ingin naik ke ranjang lagi dan mengeloninya sepanjang hari.

"Maaf, sayang. Ada klien yang tidak sabaran memaksa memajukan rapat. Aku harus mengurus beberapa hal sebelum itu dimulai."

Baekhyun menghela napas, tidak bisa memprotes. Chanyeol mendekat, melumat singkat bibir kering suami mungilnya, membasahinya dengan cara sendiri. "Jangan cemberut, aku akan makan malam di rumah hari ini."

Baekhyun menarik dasi, membuat bibir mereka bertabrakan kembali. Dirasa puas, ia melepaskan tautan dan beralih merapikan kerah kemeja dengan senyuman. "Kalau begitu aku tunggu di rumah."

Selalu berakhir seperti itu. Chanyeol yang membujuk agar suami mungilnya tidak marah dan Baekhyun yang menurutinya tanpa membantah. Luhan sering menasehatinya agar mau menyuarakan pendapat, setidaknya dengan begitu Baekhyun tidak terlalu banyak menyimpan rahasia. Tapi memang dasarnya Baekhyun tidak mau membebani Chanyeol, ia menahan dirinya sendiri. Jatuhnya jadi tidak terbuka.

Seusai sarapan, lagi-lagi ia berakhir di wastafel konter dapur. Memuntahkan makanannya kembali sampai tidak berselera. Minum air putih pun rasanya mual. Dengan langkah gontai ia menuju kamar. Ia sudah mengecek kemarin menggunakan test pack, mengingat saran Ibunya dulu saat persiapan menikah untuk melakukannya sampai empat kali dengan barang berbeda.

Hasilnya 50:50. Dua dinyatakan positif sisanya tidak. Baekhyun semakin frustasi. Kenapa alat tes kehamilan saja ikut bingung seperti dirinya sih. Tidak bisa meminta Chanyeol membantunya, ia menelpon Luhan. Yup, Luhan malah lebih dulu tahu dibanding suaminya sendiri.

["Kenapa tidak coba sekali lagi hari ini? Kalau bergaris dua, aku yakin duaratus persen kau sedang mengandung, Baek."]

Baekhyun bertanya ragu-ragu, "Kalau ternyata tidak, bagaimana?"

["Senang sedikitlah dengan kabar ini. Mual muntahmu itu tidak mungkin berbohong. Kau juga selalu di rumah, tidak kecapekan, jadi tidak mungkin kalau itu meriang."]

Baekhyun meremas ujung baju dengan gelisah. "Kau sedang kosong tidak?"

["Aku sudah selesai merapikan dapur. Kau mau aku membantu apa?"]

Ia bernapas lega, mensyukuri sahabat seperti Luhan yang mengerti keluh kesahnya sampai menawari bantuan terlebih dahulu. "Temani aku ke rumah sakit. Biar jelas saja, aku tidak suka diombang-ambing begini."

Ia bisa mendengar pekikan tertahan dari sebrang telpon. ["Begitu dong dari kemarin! Pokoknya setelah dapat konfirmasi hamil, kau harus segera memberitahu Chanyeol. Jangan sampai priamu itu marah karena aku duluan yang mengetahuinya."]

Baekhyun tertawa, "Aku tidak akan membiarkanmu dimarahi."

.

.

.

.

.

.

.

Tangannya bergetar memegangi kertas hasil pemeriksaan. Dilanda kontroversi hati antara ingin memberikannya pada Chanyeol atau meremasnya dibuang ke tong sampah. Baekhyun senang, terlampau senang dan ingin segera menerjang suaminya sepulang kerja dengan pelukan berikut kabar bahagia. Ia melirik lagi ke jam dinding di ruang tamu, pukul tujuh malam dan mungkin beberapa menit lagi suaminya akan muncul di pintu depan.

Luhan sudah memberinya ciuman di pipi kanan kiri dan ucapan selamat berkali-kali siang tadi. Heboh sekaligus gemas akhirnya Baekhyun mengandung setelah tiga tahun pernikahan. Pun memaksa agar Baekhyun tidak merahasiakannya dari Chanyeol. Padahal Baekhyun sudah menceritakan betapa sibuknya Chanyeol dan dia diceramahi Luhan bahwa tidak ada berita yang paling membahagiakan selain yang satu ini.

Memang benar sih.

Baekhyun hampir tidak percaya dalam perutnya ada kehidupan lain. Tapi tetap saja ia cemas panas dingin. Takut kalau Chanyeol tidak menerima karena ia tidak memberitahu dulu tentang obatnyayang habis. Mau merutuki tindakan nekatnya tapi apa daya sudah terjadi.

Tinggal perjuangkan sampai akhir!

Suara kunci pintu yang terbuka membuat Baekhyun gelagapan melipat kertas dan melesakkannya ke kantong celana. Baru ingat ia memakai piama yang modelnya memang tak ada kantong.

"Shit, ceroboh sekali." Mengumpat pelan dan memutuskan untuk menyembunyikannya dibalik bantal sofa di belakang punggung.

Ia baru bangun dari sofa saat Chanyeol sudah masuk ke ruangan. Langkah keduanya terhenti, Chanyeol menatapnya lama seperti menunggu sementara Baekhyun beberapa kali mengalihkan pandangan karena gugup. Tidak bisakah Chanyeol mengenyahkan pandangan seintens itu, ia jadi keringat dingin kan.

Jangan-jangan Chanyeol sudah tahu ada yang disembunyikan.

"A-Aku sudah menyiapkan makan malam, ayo makan bersama." cuma itu yang terlintas di pikiran Baekhyun lalu meninggalkan suaminya menuju ruang makan. Menghindari tatapan yang membuatnya menciut.

Baekhyun menjadi takut dengan prasangka sendiri padahal Chanyeol cuma menunggu mendapat pelukan. Biasanya ia disambut pelukan hangat dan bisikan rindu dengan manja ketika baru membuka sepatu. Duh, jadi kangen kan. Tapi kali ini sampai masuk ruang tamu pun Baekhyun tidak melakukannya. Ia mulai bertanya apa ada yang salah.

Suami mungilnya itu lebih banyak diam tidak bertanya-tanya seperti apa hari Chanyeol di kantor. Dan itu membuat Chanyeol cemas kalau Baekhyun marah karena tadi pagi.

"Baekhyun,"

Agaknya lelaki mungil itu melamun karena tidak menanggapi. Kerutan di dahi Chanyeol semakin bertambah. Tangannya bergerak menghentikan acara makan, "Baek, kau baik-baik saja?"

Mendapati pergelangan tangannya ditahan, Baekhyun menoleh, "Aku baik. Memangnya kenapa?" bisa berkata dengan suara tenang begitu, bagus sekali aktingnya. Meski jantungnya bedebum keras takut Chanyeol mencurigai sesuatu.

"Kau kelihatan tidak bersemangat. Aku juga tidak mendapat pelukan."

Oh seandainya Baekhyun bisa sejujur Chanyeol. Ia tidak pernah menyembunyikan sesuatu. Selalu terbuka dan menyampaikan opininya dengan mudah. Berbeda dengan Baekhyun yang mendapati dirinya berbadan dua saja tidak sanggup menatap mata.

Memang dasarnya masalah serius sih…

"Sesuatu mengganggumu?" tidak mendapatkan jawaban dalam waktu singkat membuat Chanyeol bertanya lagi.

Oh iya, aku ingin muntah sekarang karena perubahan dalam tubuhku ini.

Baekhyun menutup mulut dan segera berjalan menuju wastafel. Mualnya sungguh mendesak di waktu yang tidak tepat. Chanyeol awalnya diam, memandangi Baekhyun sampai akhirnya melihat lelaki itu memuntahkan makanan yang belum tercerna dengan baik. Segeralah mode perhatiannya aktif.

Ia tidak menuntut pertanyaan, fokus memijat tengkuk Baekhyun agar merasa baikan. Usai membasuh mulut, tubuhnya dibalik oleh tangan Chanyeol agar berhadapan. Dahinya yang basah keringat dingin diusap dengan telapak tangan besar itu.

"Jadi kau sakit?"

Ia sungguh ingin memberitahu kenyataan membahagiakan setelah melihat tatapan khawatir itu. Uh, bikin gemas saja. Tapi ketakutan dalam dirinya menang. "Tidak apa-apa."

Bodoh! Harusnya bilang hamil!

Chanyeol mengangkat satu alis, "Jelas-jelas kau muntah sekarang."

Baekhyun tidak mungkin menggunakan alasan kecapekan, dia punya banyak waktu untuk bersantai di rumah. "Uhh, aku… cuma rindu saja denganmu." dia yang bicara, dia juga yang merona.

Hamil, Baek! Hamil!

"Rindu sampai sakit? Seharusnya kau jangan memaksakan diri bilang baik-baik saja kalau kutinggal bekerja."

Kalimat itu membuyarkan pertengkaran mulut dan hatinya, juga entah kenapa membuat Baekhyun agak marah. Marah karena tidak bisa jujur dengan perasaannya dan marah karena kalimat itu seolah menuduh dirinya yang tidak sepenuhnya salah. Enak saja.

"Memangnya kau pernah mendengarkanku kalau aku minta supaya kau tidak lembur?"

Kalimat itu juga berisi tuduhan yang memantik diri Chanyeol. "Kau…" ekspresinya kelihatan bingung sesaat, "..kau hanya perlu lebih meyakinkan agar bisa menahanku, Baek."

Baekhyun melepaskan tangan prianya dari sisi wastafel, membuka kurungan dengan cepat. "Aku kurang meyakinkan apa lagi? Rengekanku padamu seminggu terakhir ini masih tidak didengar?"

Memang dasar maniak kerja. Sudah seminggu Baekhyun memasang wajah cemberut sekalipun tidak ditanggapi. Mungkin mata Chanyeol kebanyakan melihat berkas sampai tidak paham raut muka.

Chanyeol menghela napas, mencoba tidak ikut terseret emosi. "Lanjutkan makanmu, Baek. Perutmu masih kosong." Ia menengahi.

"Kau sendiri tidak bisa menjawabnya ya kan? Makanya aku tidak menahanmu, aku tahu kau bekerja untuk kita juga. Tapi ini sudah tiga tahun, Chan. Tiga tahun aku terus menurut padamu di rumah ini."

Chanyeol semakin merasa bersalah. Ia membawa tangan Baekhyun ke dalam genggaman. "Aku minta maaf. Aku tidak meluangkan waktu untukmu, kau boleh marah."

Diberi izin seperti itu membuat Baekhyun tidak tahu harus bilang apa. Kalau ditanya apa ia marah, tentu saja iya. Ingin sekali memberi hukuman telak seperti tidak memberi jatah selama satu bulan tapi dia pengen juga. Baekhyun tidak munafik, dong.

Sayangnya kalau disuruh menuangkan emosi ke dalam kata-kata dan disemburkan semena-mena, ia tidak bisa. Ia menenangkan diri, tidak mau kalah dari hormonnya yang sedang tidak menentu.

"Aku paham alasanmu. Aku baik-baik saja."

Kalimat itu menambah buruk suasana hati Chanyeol. Baekhyun tidak pernah menuntut apapun darinya. Dan Chanyeol ingin, meskipun sekali, Baekhyun egois kepadanya. Meminta ini itu sampai Chanyeol mau membagi waktu bekerjanya. Atau setidaknya cukup cium Chanyeol dengan binal plus bersikap lebih manja saat siap berangkat, itu saja sudah bisa membuatnya melempar dasi ke sembarang arah dan memilih mengerjai Baekhyun sampai siang. Masa bodoh dengan meeting.

Iya dia memang otak kotor. Tapi kecanduan terhadap suami sendiri itu sah, bukan?

Yang dilakukan Baekhyun ini menyiksanya. Dengan egois berkata tidak apa-apa sehingga ia selalu beranggapan bahwa Baekhyun rela diduakan dengan pekerjaan.

Melihat Baekhyun sudah tenang, ia menuntunnya kembali ke meja makan. Baekhyun cukup menyesal karena membiarkannya tersulut omongan Chanyeol. Padahal prianya itu tidak bermaksud menuduh.

Rencana pertama memberi kabar bahagia, gagal.

.

.

.


.

.

.

Pagi ini Chanyeol tidak meninggalkannya sarapan sendirian. Baekhyun agak terkejut ketika bangun tidur dan mendapati suaminya masih terlelap dengan lengan yang melingkari pinggangnya. Sempat mencubit lengannya sendiri untuk memastikan apakah ia bermimpi. Agak canggung sebenarnya, tapi ia beruntung karena Chanyeol tidak membahas ulang yang kemarin.

Tidak beruntungnya karena Chanyeol melihat morning sick yang disembunyikan.

"Kau sungguhan tidak sakit? Wajahmu pucat,"

Baekhyun mematikan keran air. Berbalik dan menatap segelas air di tangan Chanyeol lalu mendorongnya, "Aku tidak mau minum. Tambah mual." Ia menolak halus.

Chanyeol meletakkan gelas di atas konter. "Mau ke rumah sakit?"

"Aku bisa beristirahat di rumah."

Chanyeol menghela napas. Sifat keras kepala yang dimiliki Baekhyun bukanlah dalam konteks yang baik. "Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Atau setidaknya undang Luhan kemari untuk menemanimu."

Baekhyun mengangguk. "Jangan khawatir, Chan. Kau akan terlambat kalau tetap di sini lebih lama lagi."

Helaan napas kali ini jauh lebih gusar. Mana tenang ia meninggalkan Baekhyun dalam keadaan begini. Coba saja sebut satu suami yang tidak khawatir meninggalkan pasangannya sendirian saat sakit. Tapi mengingat klien rese yang selalu menuntut lebih darinya membuatnya menurut saja.

.

.

.

.

.

.

"Aku tidak mengerti jalan pikirmu."

Luhan ikut menggigit biskuit asin yang dipesan Baekhyun agar dibelikan. Sementara pemilik rumah menatapnya dalam, "Aku tidak bisa mengatakannya, Luhan. Ini buruk, aku ketakutan."

"Jauh lebih buruk karena adu mulut kalian semalam. Aku paham sih tentang hormon kehamilan yang membuat emosimu naik turun, tapi kalau Chanyeol tidak tahu kondisimu sama saja omong kosong."

Baekhyun meremas jarinya dengan gelisah. Luhan jadi kasihan. "Makan dulu biskuitnya, itu bisa meredakan mual."

Baekhyun mengambil satu dan mengunyahnya tanpa semangat. Tapi memang rasa makanannya pas untuk kondisinya saat ini sehingga melegakannya sedikit.

"Tinggal bilang, Chanyeol~ aku mengandung Park kecil milik kita, apa susahnya?"

Baekhyun mendorong dahi Luhan menjauh, "Nada merajuknya menjijikan."

Luhan berdecak pelan, sudah dikasih hati malah dinodai. "Kau bisa menghentikan pertengkaran tak kasat mata kalian dengan berita membahagiakan ini, Baek. Mudah, kan?"

Bukan Baekhyun namanya kalau tidak menentang dulu. "Kalau dia tambah marah karena aku hamil bagaimana?"

Luhan tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa. Yang hamil siapa yang frustasi siapa. Ia mengusap wajah dengan sabar, "Baek, Chanyeol itu tampan sekaligus CEO yang hebat—"

"Terima kasih sudah memujinya,"

"—tapi masih lebih tampan Sehun, hehe."

Baekhyun memutar mata melihat Luhan berubah malu-malu, dasar, kapan nikahnya sih mereka. Oh Sehun itu sekretarisnya Chanyeol omong-omong. Luhan berdeham lalu melanjutkan, "Dia pasti mencapai itu semua dengan kerja keras. Pria seperti itu tidak mungkin menampikmu karena kehamilan. Dia bekerja dan berkata terus terang untuk kebahagiaan kalian. Apa lagi yang kau takutkan? Dia sedang bersiap menunjang kehidupan baru di keluarga ini, dia ingin memastikan ekonominya cukup untuk kalian bertiga."

Mendengar Luhan menyebut 'kalian bertiga' membuat degup jantungnya meningkat. Benar sekali. Mereka sudah tidak lagi hanya berdua. Keluarga Park ketambahan satu anggota.

"Kau yakin?"

Luhan mengangguk semangat, "Chanyeol itu pria dewasa yang bertanggung jawab. Dia memang suka tidak peka, tapi dia selalu mengutamakan semua kebutuhanmu, kan? Mustahil dia menolak darah daging sendiri."

Rasanya lebih ringan. Baekhyun menunduk melihat perut yang masih datar. Menebak-nebak seperti apa nanti jika sudah berusia bulanan. Ia semakin tidak sabar menunggunya.

"Tapi aku menyembunyikan tentang pil—"

"Oh serius, Baek. Aku tebak dia malah senang karena kau berhenti mengonsumsi pil kb itu."

Diberi dorongan sedemikian rupa membuat Baekhyun memantapkan diri. "Baiklah, aku akan bicara dengannya malam ini."

.

.

.

.

.

"A-Apa?"

Reaksi kaget yang disertai wajah kontra itu bukan berasal dari Chanyeol. Bukan. Itu Baekhyun. Ia mengerjap tiga kali dan kembali bertanya, "Jepang, kau bilang?"

"Selama lima hari. Tadinya aku pikir setelah klien dari China itu sudah bisa ditangani, aku bisa ambil cuti satu dua hari. Tapi Sehun bilang—"

Kalimat selanjutnya tidak Baekhyun dengarkan. Padahal baru saja hari ini Chanyeol makan malam di rumah lagi. Baru saja tadi pagi ia ditemani sarapan. Baru saja tadi siang diberikan semangat oleh Luhan. Lalu suaminya bilang akan ada perjalanan bisnis selama lima hari mulai besok. Harapannya dijatuhkan lagi dengan tidak elit.

Boleh tidak Baekhyun mengumpat?

"Sendirian?" tanya Baekhyun sambil mencoba menyadarkan diri dari syok.

"Tidak. Dengan seseorang dari departemen periklanan. Kujadikan dia sebagai sekretaris."

"Lalu Sehun? Dia sekretarismu, kan?"

Chanyeol tersenyum gemas melihat Baekhyun tidak konek-konek. "Maksudku, orang baru itu kubawa sebagai sekretaris. Sehun kuberikan wewenang mengatur perusahaan di sini selagi aku di Jepang."

Masuk akal sih.

Tapi kan…

"Siapa orang barunya?"

Nah ini. Chanyeol menelan ludah, maunya membicarakan baik-baik. "Itu… Seulgi. Ingat? Kau pernah bertemu dengannya dulu."

Baekhyun mengernyit. Mencoba mengingat wanita itu. "Aku lupa wajahnya. Susah tahu mengingat semua pekerjamu sementara mereka hanya perlu mengingatku."

Chanyeol menatap was-was. Memandangi raut wajah Baekhyun, antisipasi jika berubah menjadi seram dalam sepersekian detik. Baekhyun sendiri masih mencerna situasi. Ketika otaknya sampai pada garis akhir, simpulannya tidak menyenangkan.

"Tunggu," Baekhyun mengerutkan dahi lalu alisnya menekuk tajam, "Tunggu sebentar! Jadi maksudnya kau ada perjalanan bisnis dengan seorang wanita bernama Seulgi di Jepang? Berdua saja lima hari?!"

Auh. Seperti biasa seruannya menusuk telinga.

"Baek—"

"Tidak, tidak, tidak. Aku tidak terima. Tidak sudi!"

Chanyeol sebenarnya suka melihat Baekhyun cemburu begini, bibir favoritnya itu mengerucut lucu. Tapi kalau menyangkut perjalanan bisnis tentu saja sulit kalau tidak mendapat restu suami mungilnya.

"Aku juga maunya berduaan saja denganmu di rumah. Mending mendapat cuti sehari daripada lima hari jauh darimu." Mulut manisnya melakukan comeback dengan mulus.

Sayangnya sedang tidak mempan.

"Batalkan, Chanyeol."

"Huh? Kau tidak pernah memintaku membatalkan bisnis penting. Ini tawaran menarik, Baekhyun. Aku bisa menambah cabang di sana kalau negosiasinya berhas—"

"Kubilang batalkan."

"Kesempatan ini tidak akan datang lag—"

"Pokoknya batalkan!"

Baekhyun mana rela membiarkan Chanyeol ke Negara luar, jauh dari jangkauannya. Mana tahan dia dengan situasi begitu. Kepada siapa nanti kalau dia mau bermanja demi anggota keluarga barunya di dalam perut. Masa iya dia bergantung pada orang tua, mamah papah mertua, atau lebih parah merepotkan Luhan lagi? Bayi siapa yang kerepotan siapa.

Tapi Chanyeol menganggap keegoisan Baekhyun itu bukan dalam konteks yang baik. Lagi-lagi ia merasa bahwa sikap suami mungilnya tidaklah pas dengan keadaan. "Kenapa tiba-tiba? Dua bulan yang lalu tidak apa-apa aku pergi ke China, seminggu pula. Apa karena Seulgi? Kau tidak percaya padaku?"

Padahal Baekhyun sedang kesal karena perjalanan bisnis dadakan saja. Tapi mendengar nama wanita itu disebut lagi malah membuatnya makin panas. "Kenapa menyeret Seulgi? Kau berpikir aku cemburu? Iya memang sih, muna kalau sampai aku bilang tidak tapi kan maksudku bukan ke sana!"

Sial. Dia jadi ikutan dendam dengan wanita tak bersalah itu.

"Lalu apa? Jangan kekanakan mendadak, Baekhyun. Kita sudah menikah tiga tahun dan kau juga tahu persis diriku. Ini tawaran yang bagus untuk perusahaanku."

Tatapan tajam Chanyeol menunjukkan rasa lelah yang kentara. Sekaligus percikan marah karena sikapnya. Baekhyun sadar sekali dengan itu semua. Memangnya protesan kali ini dianggap beban? Apa-apaan tatapan muak itu.

"Iya bela saja terus perusahaan kebanggaanmu itu!"

Bariton itu menyiratkan bahaya, "Baek—"

"Chanyeol keterlaluan! Tidak punya perasaan!"

Dengan itu, Baekhyun pergi menghentak-hentak ke kamar mereka. Rencana kedua memberi kabar bahagia, gagal.

.

.

.


.

.

.

"Aku sudah memesan tiket dua orang, sore nanti pesawatnya lepas landas…" Sehun menghentikan kalimatnya. Melihat bosnya yang memandangi berkas tertumpuk di atas meja tanpa semangat hidup. Sebagai sahabat sejak masa tawuran sekolah, ia mendekat, "Terjadi sesuatu di rumah?"

Chanyeol menghela napas berat, "Baekhyun marah padaku."

Sehun mengangguk-angguk paham. Tentu saja Baekhyun adalah sumber kebahagiaan si CEO Park. Jika bertengkar dengan Baekhyun, sama saja dengan merenggut semangat hidupnya.

"Karena perjalan bisnismu?" tebak Sehun.

Chanyeol menghela napas lagi. Kalau Sehun niat menghitungnya dari awal masuk kerja, mungkin sudah mencapai angka puluhan.

"Dia tidak mau aku pergi. Juga katanya cemburu dengan Seulgi."

Oh tentu saja Park bodoh—rutuk Sehun dalam hati. Tidak berani mengatakan terang-terangan atau gajinya akan ditahan. Ia masih mau menabung uang untuk menikah dengan Luhan. Uhuk. Sehun memulai spekulasi, "Kau bilang kemarin Baekhyun sakit? Mungkin saja dia tidak mau kau pergi jauh, nanti kangen."

Sayangnya Chanyeol sedang tidak bisa dirayu dengan hal begituan. "Dia memang masih muntah-muntah tadi malam—"

Sehun menyela, "Muntah-muntah?"

"Iya,"

"Sejak kapan?"

"Sejak—"

Nah lho.

Sang CEO memeras otak. Pertanyaan itu seperti memukulnya telak di muka. Dia tidak tahu jawabannya. Dia tidak pernah mencaritahu. Kenapa dia jadi ceroboh begini. Jangan-jangan Baekhyun memang sakit parah dan sudah mengalami gejala itu selama dia sibuk di kantor. Lagi, otaknya mencoba mengingat kapan pertama kali ia tidak sarapan di rumah.

"Kau tidak tahu?"

Pertanyaan Sehun sungguh mengiris hati. Chanyeol mulai tidak nyaman pada kursinya. "Sial, aku tidak tahu apa-apa."

Kali ini Sehun yang menghela napas, "Di sana kesalahanmu, Chanyeol." Ia mulai menasehati sebagai sahabat, "kau tidak tahu keadaan suamimu sendiri bagaimana. Tentu saja Baekhyun meledak begitu tahu kau akan pergi keluar dengan wanita."

"Seulgi cuma bawahanku."

"Bawahan atau tidak, tetap saja sakit, kan? Nih coba bayangkan, Baekhyun terus-menerus mementingkan bertemu Luhan daripada menghabiskan hari bersamamu." Dalam hati Sehun mengucap maaf karena menyeret nama tunangannya, "Anggap sudah sebulan, tiba-tiba Baekhyun mau liburan karena bosan di rumah. Karena tidak mau mengganggu pekerjaanmu, dia hanya mengajak Luhan berlibur selama lima hari. Liburan jauh jauh jauh dari jangkauanmu. Seperti apa perasaanmu?"

Tempat duduknya semakin tak nyaman. "Tapi kasusku ini perjalanan bisnis, Sehun."

"Sama saja. Seperti kau mau merelakan karena Baekhyun juga perlu refreshing tapi sebenarnya sulit kan? Padahal Baekhyun tidak mengajakmu liburan karena mementingkan dirimu supaya fokus mengurus perusahaan. Seperti kau yang mengutamakan perjalanan bisnis dengan mementingkan kebahagiaan Baekhyun padahal dia tidak."

Baekhyun tidak bahagia.

Oke, kalimat itu sungguh menampar. Dan menambah parah remasan di hatinya seolah menggema.

"Omong-omong Baekhyun muntah-muntah saja? Tidak demam atau apa gitu?" Sehun mengalihkan pertanyaan.

"Badannya tidak panas sih. Tapi setiap makan selalu dikeluarkan lagi."

Sehun membawa tangan untuk menumpu dagunya, "Kalau mau kubocorkan sesuatu, akhir-akhir ini Luhan ke rumahmu terus. Menemani Baekhyun katanya."

"Berapa hari?"

"Tidak ingat, pastinya lebih dari dua hari."

Jadi Baekhyun sudah sakit sejak berhari-hari yang lalu. Great, Park. Kesehatan suami sendiri saja lalai. Ditambah dia sudah menuduh Baekhyun bersikap kekanakan. Huh, pria macam apa dirinya. Chanyeol menggigit bibir dengan perasaan bersalah, "Perjalananku tidak bisa dibatalkan?"

"Kau bisa langsung memutus kerjasama kalau melakukan itu."

Ia mengerang frustasi.

Suara ponsel memecah keadaan tegang di sana. Chanyeol merogoh saku dengan malas namun matanya beralih membesar begitu membaca nama penelpon.

Park Baekhyun.

Sehun mengangguk ketika Chanyeol memperlihatkan layar ponselnya. "Kalian berdua memang perlu bicara." Lalu bangkit untuk duduk di sofa disudut ruangan. Memberikan privasi.

["Chanyeol, aku ingin bicara sesuatu."]

Suara serius itu memotong sapaan yang akan dikeluarkan. Ia membersihkan kerongkongan dan bersiap menerima apapun yang akan dikatakan Baekhyun. Apapun itu please jangan minta liburan—harapnya masih terpengaruh ucapan Sehun.

["Maaf karena aku marah padamu sampai menyebutmu tidak punya perasaan"]

Tidak, Baek. Bukan kau yang salah. Jangan meminta maaf.—Ia membiarkan hatinya menjawab. Tidak mau memotong penjelasan Baekhyun yang repot-repot menelponnya.

["Aku… aku keterlaluan."]

Tidak. Aku yang keterlaluan. Aku memang kurang ajar. Jangan bernada sedih begitu, kumohon.

["Kau boleh pergi. Sehun memberitahuku jadwal keberangkatanmu. Dan maaf sepertinya aku tidak bisa mengantar kepergianmu di bandara nanti, makanya aku menelpon sekarang."]

Berhenti meminta maaf. Bukan kau yang salah. Bukan kau. Jangan selalu mengalah.

["Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku tidak bisa datang. Aku tidak marah, sungguh. Aku juga bukannya muak melihatmu, rindu malah"]

Aku juga. Aku rindu, sangat merindukanmu.

["Aku hanya merasa lelah, situasi semalam juga agak berdampak buruk. Maaf hormon kehamilanku tidak bisa diatur."]

Chanyeol tidak tahan untuk diam, "Jangan terus meminta maaf, Baek. Akulah yang salah di sini—" kalimatnya terhenti seketika.

Sebentar.

Apa tadi?

Hormon kehamilan?

Ia menelan ludah susah payah. Mulutnya terasa dipenuhi pasir, tangannya yang memegangi ponsel mendadak gemetar. "B-Baekhyun. Kuharap aku tidak salah dengar dan kau juga tidak sedang bercanda. Kau bilang apa tadi?" ia harus mendengarnya dua kali. Berkali-kali kalau bisa sampai sadar ini kenyataan.

Ada jeda sesaat dan kedua pihak sama-sama gelisah.

["Aku hamil."]

Ekspresi Chanyeol seperti melihat hantu. Sehun yang duduk di sofa—juga curi-curi pandang—jadi penasaran apa penyebabnya. Setelahnya, Chanyeol memutuskan panggilan dan meletakkan ponselnya ke atas meja setengah membanting. Sehun menatapnya ngeri, sayang itu hape.

"Oh Sehun,"

Namanya dipanggil dengan suara berat membuatnya merinding. "Iya, bos?"

"Bersiaplah untuk ke Jepang."

.

.

.

.

.

.

Baekhyun menggulung diri di atas sofa, kertas yang disembunyikan dibalik bantal sedang diremasnya. Apa-apaan itu tadi. Chanyeol langsung mematikan telpon ketika menerima kabar kehamilan. Memangnya seburuk itu?

Basah merembes sampai pada bantal sofa, wajahnya terbenam di sana. Urh, siapa yang tidak menangis diberi reaksi seperti itu.

"Chanyeol bodoh. Pria brengsek. Suami maniak kerja. Mau enaknya saja menabur benih tanpa menerima buah."

Ia sibuk menyebutkan rentetan sumpah serapah bermenit-menit lamanya. Peduli setan dengan adegan maaf-maafan di telpon tadi. Suaminya itu pantas untuk dirutuki. Tiga tahun menjalani hubungan resmi tapi ini yang didapat?

Tahu begini mending dia menikah sama Sehun saja yang semasa kuliah dulu masih ngebet mengejarnya.

Pegal diposisi itu membuatnya tidak nyaman. Ia menyingkirkan bantal, mengusap basah di keseluruhan wajah. "Jangan buang air matamu untuknya, Baek." Kepalanya yang tertunduk mengakibatkan pandangan tertuju pada perut, dan itu menambah panas matanya, "Urrrhhh, oke aku menangisi calon bayiku saja."

Merubah alasan, air matanya kembali jatuh.

Menyudahinya beberapa menit kemudian, tangannya langsung meraih ponsel di atas meja—beruntung sekali tadi tidak dibanting sebagai penyalur kekecewaan. Ia hendak menelpon Luhan, namun yang diterimanya nomor itu sedang sibuk. Menghela napas frustasi, ia baru sadar betapa bergantungnya pada sang sahabat. Apa dia harus menelpon Ibunya? Atau mamah mertua sekalian biar nama Chanyeol dicoret dari kartu keluarga?

Eh jangan, kalau dicoret nanti Baekhyun bagaimana.

Oke, berarti pilihannya adalah menelpon mamah mertua untuk menendang Chanyeol dari rumah—tidak, bukan, itu ide buruk. Terus nanti Baekhyun jadi duda gitu tanpa Chanyeol?

Argh kenapa dia juga sangat bergantung pada pria brengsek itu!

Tarik napas.

Buang napas.

"Jangan stress, Baekhyun. Ingat perut, ingat jabang bayi." Perlahan kepalanya bersandar di sofa.

Baru saja berhasil menenangkan diri, suara gemerincing kunci pintu membuat tubuhnya menegak. Sebentar, sebentar, siapa yang datang ke rumahnya? Apa telepati kesedihannya sampai pada sahabat? Atau sampai ke Ibunya?

Baekhyun dengan terburu melompat dari sofa, berjalan menuju lorong pendek. Pintu depan menjeblak terbuka saat dirinya berjarak satu meter. Bahu tegap dan dada bidang langsung menyambutnya. Saat sibuk mengerjap menjernihkan pandangan, aroma kesukaannya terhirup kuat.

"C-Chanyeol?"

Rupanya telepati kesedihan itu dirasakan oleh pasangan hidupnya. Lengan suaminya memeluk erat, menarik tubuh Baekhyun untuk tenggelam padanya. Ini sungguhan Chanyeol, kan?

"Chan, ini baru jam sebelas siang, kenapa kau sudah pulang? Perjalanan bisnisnya bagaimana?" Baekhyun tidak tahan mengunci mulutnya namun juga tidak bisa melayangkan umpatan yang sedaritadi diucapkan dengan lancar.

Suara Chanyeol agak teredam di lehernya ketika bertanya, "Kenapa kau baru bilang?"

Baekhyun tidak bodoh untuk mengerti pertanyaan itu mengarah kemana. Ia menelan ludah gugup. Brengsek, kemana rasa marah dan kecewanya tadi. Kenapa sekarang diberi pertanyaan langsung saja malah lidahnya kelu. "Aku tidak mau mengganggumu." Itu benar, ia tidak mau merusak jadwal kerja suaminya.

Disisi lain, Chanyeol sedang merutuki dirinya sendiri dalam hati. Berucap bodoh ratusan kali. Ia buta terhadap keadaan suami mungilnya. Ia tidak mengerti perasaan Baekhyun setiap ditinggalnya. Dan dirinya malah menuntut Baekhyun untuk lebih terbuka.

Seharusnya dia memahami situasi.

"Sejak kapan?" Chanyeol baru sadar Baekhyun begitu kaku dalam pelukannya.

"Seminggu yang lalu…" kemudian deru napas Chanyeol saja yang dirasakan Baekhyun, ketakutan merayapi punggungnya, "aku minta maaf, aku merahasiakannya darimu. Aku sengaja tidak meminum obatku lagi, itu… itu karena kupikir ini sudah menjadi waktu yang tepat, Chanyeol. Kita sudah duapuluh tujuh, aku tidak yakin bisa menunggu bahkan hanya satu tahun lagi untuk memiliki anak. Maaf, maaf aku tidak bilang dulu."

Baekhyun panik ketika Chanyeol melepaskan dekapannya, ia belum siap dihadapkan dengan tatapan tajam menusuknya. Oh pasti habis ini Chanyeol akan memarahinya habis-habisan. Kalau sampai itu terjadi, dia sungguhan akan menelpon mamah mertua—

Kemudian kaki Baekhyun tidak lagi menapak di lantai.

Sebentar. Tunggu.

Eh? Heehh?!

Chanyeol menggendongnya. Gerakan tiba-tibanya membuat Baekhyun refleks berpegangan pada bahu tegap itu. Ia tidak sempat melayangkan pertanyaan karena Chanyeol lebih dulu membawanya menuju sofa di ruang tamu, menurunkannya perlahan di sana.

Di tengah situasi yang membingungkan Baekhyun, Chanyeol tidak ikut menduduki sofa di sampingnya. Pria itu berlutut di hadapannya, meraih kedua tangan Baekhyun yang kaku, membawanya ke dalam genggaman hangat dan diberikannya tatapan penuh perasaan yang entah sudah berapa lama terakhir kali terlihat.

"Terima kasih, Baekhyun. Aku mencintaimu."

Senyuman itu kembali lagi. Senyuman beratasnamakan perasaan terima kasih persis saat Baekhyun menerima lamarannya. Senyuman bahagia seperti saat pernikahan mereka dulu. Senyuman yang jauh lebih indah dari yang pernah diperlihatkan olehnya. Baekhyun tidak tahu kalau suaminya masih bisa menjadi tampan berkali lipat. Kalimatnya sederhana, namun sudah lama tidak didengarnya.

Baekhyun jadi ingin menangis lagi.

"Chanyeol tidak marah?" ia bertanya takut-takut.

Tangannya diberi kecupan cukup lama, "Ceraikan aku kalau sampai itu terjadi."

Baekhyun menggeleng, membalas senyum suaminya, "Tidak. Aku sudah berpikir kesana karena kau memutuskan telpon tiba-tiba—tapi tidak. Aku tidak bisa berpisah denganmu."

Itu juga cukup menampar Chanyeol. Baekhyun selalu menurut, sabar, mendahulukan kepentingannya, dan bahkan jika ia menolak bayi itu, Baekhyun tetap akan bersamanya. Chanyeol melakukan apa sih di masa lalunya sampai diberi keberuntungan sedemikian rupa untuk memiliki Baekhyun? Dia perlu sujud syukur—tapi nanti, memenangkan hati Baekhyun harus diutamakan.

Chanyeol bergerak perlahan duduk di samping suami mungilnya, "Mungkin setelah kau benar-benar menceraikanku, aku akan menyesal seumur hidup karena melepaskanmu. Dan mungkin juga menjadi gila setelah itu."

Baekhyun tertawa, meski singkat, itu menyadarkan Chanyeol betapa ia merindukannya. Ia mengusap sayang pipi suaminya lalu merendahkan leher, "Aku merindukanmu." akhirnya ia mengungkapkan.

Baekhyun tersenyum malu-malu, sudah lama tidak diberi perlakuan bagai permata juga tatapan mendamba begitu dekat. Ia mengangguk samar, "Aku juga."

Hidung mereka bergesekan pelan lalu kedua bibir itu menyatu. Hanya mengecup. Tapi penuh dengan tumpahan perasaan yang ditahan masing-masing. Uh, Baekhyun meleleh. Ketika berakhir, dahi mereka masih menempel. Tatapan Chanyeol jatuh pada perut datar Baekhyun.

"Umurnya sudah seminggu ya?" bisiknya pelan.

Baekhyun semakin meleleh mendapati senyum berseri Chanyeol lalu menunduk mengikuti pandangannya, "Iya seminggu."

Usapan pada perutnya didapatkan selagi Chanyeol berbicara, "Seharusnya kau tidak menyembunyikan berita bahagia ini, sayang. Aku marah pada diri sendiri karena tidak tahu keadaanmu. Juga marah karena kau malah memberitahuku lewat komunikasi tidak langsung."

Terbukti ucapan Luhan seratus persen benar.

"Maaf tentang pertengkaran kita kemarin."

Baekhyun mengangguk lucu. Tidak lagi marah pada pria yang sempat disebutnya brengsek—oke itu prasangka buruk. Dia terbawa emosi tadi.

"Uhm, Chanyeol…"

"Ya, sayang?"

Berhenti dengan panggilan itu atau kau bisa membuatku pingsan di tempat.

Baekhyun membersihkan kerongkongan yang tiba-tiba kering. "Tentang keberangkatanmu ke Jepang jadi? Bagaimana dengan Seulgi?"

Chanyeol menjauhkan wajah dengan hidung mengerut. "Jangan bahas wanita lain di depanku,"

Baekhyun ingin tertawa, padahal yang harusnya cemburu itu dirinya. "Aku membicarakan perjalanan bisnismu, Chanyeol."

"Aku tidak pergi."

Kening Baekhyun berkerut bingung. Chanyeol hanya memberinya senyum miring.

"Aku lebih memilih bekerja di rumah dan menemanimu selama satu tahun. Baekhyun jauh lebih penting."

Pukulan pelan dilayangkan Baekhyun pada bahu tegap itu dengan wajah merona, "Chanyeol! Satu tahun itu terlalu lama, kalau perusahaanmu sahamnya turun bagaimana? Aku tidak apa-apa ditinggal selama masih hamil muda."

"Baiklah, baik, aku akan mengikuti apa katamu. Aku akan tetap di rumah sampai gejala mualmu hilang. Suruh aku apa saja, pasti kukabulkan."

Baekhyun tersenyum manis, senyuman itu menular pada Chanyeol. Mereka mempelajari kejadian ini untuk berubah menjadi lebih baik lagi, menjadi orang tua yang pantas untuk si calon bayi. Perjalanan baru mereka dimulai dari sini. Terkadang, bahagia tidak butuh rencana, ya kan?

.

.

.

.

.

.

.


END


a/n: jadi karena akhir-akhir ini saya sering baca marriage-life trus kebawa pengen buat juga hehe. Saya nggak berpengalaman tentang hidup berkeluarga, coz status masih jadi anak di sini. Jadi yah mohon maaf kalo feel 'pernikahan'nya kurang ngena. Btw ini baru niat, belum mulai ngetik, tapi saya mau tanya pendapat kalian. Kalo mau ada sequel, mending nyeritain masa kehamilan Baek atau masa lalu perkuliahan mereka—perjuangan sebelum resmi?

Pilih satu ya XD (kejam).

Juga ini nih, saya lagi ngetik cerita berchapter, masih proses sih. Sebelumnya maaf karena saya ngetik project lain padahal masih ada fic yang tbc, saya tetep lanjutin kok, mohon bersabar :') Misalkan kalian mau baca nanti saya lanjut ngetik dan publish.

(1) Chanyeol!hantu Baekhyun!siswa BL, Yaoi, romance, drama

Asli, saya belum bikin summarynya (slap) tapi singkatnya begini; Baekhyun tidak percaya hantu dan dia bukanlah anak indigo. Semenjak kecelakaannya tiga bulan yang lalu, ada parasit yang terus mengikutinya kemana-mana dan selalu mengganggu kehidupannya. Sosok tinggi dengan senyum menyebalkan dan sialnya sangat cerewet.

Dan yes, itu drama, nggak tahu kenapa tapi kepikiran mau bikin drama...

Oke sekian dari saya yang banyak mintanya (bow), dimohon pendapatnya (kalau mau sih, saya nggak maksa hehe)


Terima kasih sudah membaca~! :)