Disclaimer: Saya tidak memiliki Naruto dan Percy Jackson.
NARUTO
Awan badai terpuntir menjadi angin topan mini. Angin puting beliung mengular ke arah titian bagaikan tentakel monster ubur-ubur.
Anak-anak menjerit dan lari ke dalam museum. Angin merampas buku catatan, jaket, topi, dan ransel mereka. Naruto meluncur menyeberangi lantai titian yang licin.
Kiba kehilangan keseimbangan dan hampir terjungkal dari pagar, namun Naruto menyambar jaketnya dan menariknya ke belakang.
"Makasih, Bung!" teriak Kiba.
"Ayo, ayo, ayo!" kata Pak Pelatih Hedge.
Kaguya dan Sasuke memegangi pintu agar tetap terbuka, menggiring anak-anak lain ke dalam. Jaket snowboarding Kaguya mengepak-ngepak liar, rambut gelapnya berantakan menutupi wajahnya. Naruto menduga Kaguya kedinginan, namun gadis itu terlihat tenang dan percaya diri—memberi tahu yang lain bahwa semuanya akan baik-baik saja, menyemangati mereka agar terus bergerak.
Naruto, Kiba, dan Pak Pelatih Hedge lari ke arah mereka, tapi rasanya seperti berlari di pasir isap. Angin seolah menghadang mereka, mendorong mereka ke belakang.
Sasuke dan Kaguya mendorong seorang anak lagi ke dalam, lalu kehilangan pegangan mereka pada pintu. Pintu terbanting hingga tertutup, menjebak mereka ke titian.
Kaguya menarik-narik gagang pintu. Di dalam, anak-anak menggedor-gedor kaca, tapi pintu sepertinya tersangkut.
"Sasuke, tolong!" teriak Kaguya. Sasuke cuma berdiri di sana sambil nyengir bodoh, seragam Cowboy-nya bergelombang ditiup angin, seakan dia mendadak menikmati badai tersebut.
"Maaf, Kaguya," kata Sasuke. "Sampai di sini saja aku menolong."
Sasuke menyentakkan pergelangan tangan, dan Kaguya pun terbang ke belakang, menghantam pintu dan meluncur di titian.
"Kaguya!" Naruto berusaha menerjang maju, tapi angin menghalanginya. Pak Pelatih Hedge mendorong Naruto ke belakang.
"Pak Pelatih," katanya. "Lepaskan saya!"
"Naruto, Kiba, tetaplah di belakangku," perintah sang Pelatih. "Ini pertarungan. Aku seharusnya tahu itulah monster kita."
"Apa?" tuntut Kiba. Lembar kerja yang nyasar menampar wajahnya, namun Kiba menarik kertas itu dengan telapak tangannya. "Monster apa?"
Topi sang pelatih tertiup, dan di atas rambut keritingnya mencuatlah dua benjolan—seperti tonjolan yang didapat tokoh kartun ketika kepala mereka terbentur. Pak Pelatih Hedge mengangkat tongkat bisbolnya—tapi benda itu bukan lagi tongkat biasa. Entah bagaimana tongkat tersebut telah berubah menjadi pentungan kasar dari dahan pohon yang masih ada ranting serta daunnya.
Sasuke memberi senyum psikopat girang. "Oh, ayolah, Pak Pelatih. Biarkan bocah itu menyerangku! Bagaimanapun, kau sudah terlalu tua untuk ini. Bukankah itu sebabnya mereka memensiunkanmu ke sekolah tolol ini? Aku sudah berada dalam timmu sepanjang musim ini, dan kau bahkan tidak tahu. Kau sudah kehilangan kecermatanmu, Kakek."
Sang pelatih mengeluarkan suara marah yang menyerupai embikan hewan. "Sudah cukup, Bocah Lembek. Kau bakalan takluk."
"Menurutmu kau bisa melindungi tiga blasteran sekaligus, Pria Tua?" tawa Sasuke. "Semoga beruntung."
Sasuke menunjuk Kiba, dan angin puting beliung pun mewujud di sekelilingnya. Kiba terbang ke titian seperti dilempar. Entah bagaimana, Kiba berhasil meliukkan tubuh di udara, dan menghantam dinding ngarai secara menyamping. Dia meluncur, mencakar habis-habisan untuk mencari pegangan. Akhirnya dia mencengkeram tubir sempit yang terletak kira-kira lima belas meter di bawah titian dan bergantung di sana dengan ujung-ujung jarinya.
"Tolong!" Kiba berteriak kepada Naruto dan Pak Pelatih Hedge. "Tolong lemparkan tali tambang! Tali bungee! Apa saja!"
Pak Pelatih Hedge mengumpat dan melemparkan pentungnya kepada Naruto. "Aku tidak tahu siapa kau, Bocah, tapi kuharap kau jago. Sibukkan makhluk itu"—dia menghunjamkan jempol ke arah Sasuke—"selagi aku menyelamatkan Kiba."Menyelamatkan dia bagaimana?" tuntut Naruto. "Bapak mau terbang?"
"Bukan terbang. Panjat." Hedge menendang sepatunya hingga lepas, dan Naruto hampir saja kena serangan jantung koroner. Sang pelatih tak memiliki telapak kaki manusia. Dia memiliki kuku belah—kuku belah layaknya kambing. Artinya, yang di kepalanya itu, Naruto menyadari, bukanlah benjolan. Itu tanduk.
"Bapak seorang faun," kata Naruto.
"Satir!" bentak Hedge. "Faun itu mahluk Romawi. Tapi akan kita bicarakan itu nanti."
Hedge meloncati pagar. Dia melompat ke arah dinding ngarai dan mendarat dengan kuku belah terlebih dahulu. Disusurinya tebing dengan kelincahan yang mencengangkan, menemukan pijakan yang tak lebih besar dari prangko, menghindari angin ribut yang berusaha menyerangnya selagi dia berjuang untuk menghampiri Kiba.
"Manisnya!" Sasuke menoleh untuk menghadap Naruto. "Sekarang giliranmu, Bocah."
Naruto melemparkan pentungan. Sepertinya ini tindakan sia-sia karena angin kencang sekali, namun pentungan itu terbang tepat ke arah Sasuke, bahkan menukik ketika dia berusaha mengelak dan menghajar kepalanya sedemikian keras sampai-sampai dia jatuh berlutut.
Kaguya juga tidak selinglung kelihatannya. Jemarinya dikatupkan ke pentungan ketika benda tersebut menggelincir ke sampingnya, tapi sebelum cewek itu sempat menggunakan pentungan itu, Sasuke berdiri. Darah—darah keemasan—mengucur dari dahinya.
"Usaha yang bagus, Bocah." Dia memelototi Naruto. "Tapi kau harus berusaha lebih keras."
Titian berguncang. Retakan halus muncul di lantainya yang terbuat dari kaca. Di dalam museum, anak- anak berhenti menggedor pintu. Mereka mundur, memperhatikan dengan ngeri.
Tubuh Sasuke terurai menjadi asap, seolah-olah molekul-molekulnya tengah tercerai berai. Wajahnya masih sama, senyum putih cemerlangnya masih sama, namun seluruh sosoknya mendadak tersusun oleh uap hitam yang berputar-putar, matanya bagaikan percikan listrik ditengah-tengah awan badai hidup. Dia mencuatkan sayap hitam setipis asap dan menjulang di atas titian. Seandainya ada malaikat yang jahat, Naruto memutuskan, wajahnya pasti persis seperti ini.
"Kau adalah ventus," kata Naruto, kendati dia sama sekali tak tahu bagaimana dia bisa mengetahui kata itu. "Roh badai."
Suara tawa Sasuke bagaikan tornado yang memporak-porandakan atap. "Aku senang karena sudah menunggu, Blasteran. Kiba dan Kaguya sudah kukenal berminggu-minggu. Aku bisa saja membunuh mereka kapan saja. Tapi nyonyaku bilang yang ketiga akan datang—seseorang yang istimewa. Beliau akan memberiku hadiah besar apabila kau mati!"
Dua angin puting beliung mendarat di kiri-kanan Sasuke dan berubah menjadi ventus—cowok-cowok yang mirip hantu dengan sayap setipis asap serta mata yang berkilat laksana petir.
Kaguya tetap terkulai, pura-pura linglung, tangannya masih menggenggam pentungan. Wajahnya pucat, namun cewek itu memberi Naruto ekspresi penuh tekad, dan Naruto memahami pesannya: Terus alihkan perhatian mereka.
Akan kuhajar mereka dari belakang.
Manis, pandai, dan garang. Naruto berharap dia ingat dia punya pacar seperti Kaguya.
Naruto mengepalkan tinju dan bersiap menyerang, tapi dia tidak memperoleh kesempatan itu.
Sasuke mengangkat tangan, lengkungan listrik mengalir di antara jari-jarinya, dan menyetrum Naruto di bagian dada.
Gedubrak! Naruto mendapati dirinya telentang. Mulutnya terasa seperti kertas alumunium yang terbakar. Dia mengangkat kepala dan melihat bahwa pakaiannya berasap. Sambaran petir itu menjalari tubuhnya dan menghantam sepatu kirinya hingga copot. Jari-jari kakinya hitam terkena jelaga.
Para roh badai tertawa. Angin mengamuk. Kaguya berteriak mengancam, tapi teriakannya terdengar mendenging dan jauh sekali.
Dari ekor matanya, Naruto melihat Pak Pelatih Hedge memanjat tebing bersama Kiba di punggungnya. Kaguya sedang berdiri dengan putus asa mengayun-ayunkan pentungan untuk menghalau dua roh badai lainnya, namun mereka kelihatannya cuma mempermainkan cewek itu. Pentungan Kaguya menembus tubuh mereka seolah mereka tak ada di sana. Dan Sasuke, tornado gelap bersayap yang memiliki mata petir, menjulang di atas Naruto.
"Stop," kata Naruto parau. Dia bangun sambil terhuyung-huyung, dan dia yakin siapa yang lebih kaget: dirinya sendiri atau para roh badai.
"Bagaimana mungkin kau masih hidup?" sosok Sasuke berkedip-kedip. "Petir tadi seharusnya cukup untuk membunuh dua puluh orang!"
"Giliranku," ujar Naruto.
Dia merogoh saku dan mengeluarkan koin emasnya. Dia membiarkan instingnya mengambil alih, melemparkan koin ke udara seakan dia telah melakukan itu ribuan kali. Dia menangkap koin dalam telapak tangannya, dan tiba-tiba saja dia memegang sebilah pedang—pedang tajam bermata ganda yang tampak seram. Gagangnya yang bergerigi pas sekali dengan jari-jarinya, dan seluruh benda itu terbuat dari emas—gagangnya, bilahnya.
Sasuke menggeram dan mundur. Dia memandang dua rekannya dan berteriak, "Tunggu apa lagi? Bunuh dia!"
Roh-roh badai lainnya tidak tampak senang dengan perintah itu, namun mereka terbang ke arah Naruto, jemari mereka berderak dialiri listrik.
Naruto menebas roh pertama. Pedangnya melewati tubuh roh badai tersebut, dan sosok berasap makhluk itu pun terbuyarkan. Roh kedua melepaskan sambaran petir, namun bilah pedangnya menyerap aliran listrik tersebut. Naruto mendekat—satu hunjaman cepat, dan roh badai kedua pun tercerai berai menjadi serbuk emas.
Sasuke melolong murka. Dia memandang ke bawah, seolah-olah berharap rekannya akan mewujud kembali, tapi mereka tetap menjadi serbuk emas dan tersebar ditiup angin. "Mustahil. Kau ini siapa, Blasteran?"
Kaguya begitu terperanjat sampai-sampai dia menjatuhkan pentungannya. "Naruto, bagaimana ... ?"
Lalu, Pak Pelatih Hedge meloncat kembali ke atas titian dan menjatuhkan Kiba seperti sekarung tepung.
"Wahai para roh, takutlah padaku!" raung Hedge sambil meregangkan lengan pendeknya. Kemudian dia menengok kesana-kemari dan menyadari bahwa hanya ada Sasule.
"Sialan, Bocah!" dia marah-marah pada Naruto. "Tidakkah kau sisakan sebagian untukku? Aku suka tantangan!"
Kiba berdiri, bernafas tersengal-sengal. Dia terlihat malu bukan kepalang, tangannya berdarah karena mencakar-cakar batu. "Hei, Pak Pelatih Kambing Super, siapapun kau—aku baru saja jatuh dari Grand Canyon yang terkutuk! Jangan minta-minta tantangan!"
Sasuke mendesis kepada mereka, tapi Naruto dapat melihat kilatan rasa takut di matanya. "Kalian sama sekali tak menyadari berapa banyak musuh yang telah kalian bangunkan, Blasteran. Nyonyaku akan menghancurkan semua demigod. Perang ini takkan bisa kalian menangi."
Di atas mereka, badai menggila menjadi topan ganas. Retakan menyebar di titian. Hujan deras tumpah ruah, dan Naruto harus berjongkok untuk menjaga keseimbangan.
Sebuah lubang terbuka di antara awan-awan—sebuah pusaran hitam dan perak.
"Nyonya memanggilku kembali!" teriak Sasuke girang. "Dan kau, Demigod, akan ikut denganku!"
Dia menyerang Naruto, tapi Kaguya menjegal monster itu dari belakang. Walaupun Sasuke terbuat dari asap, Kaguya entah bagaimana berhasil menyentuhnya. Mereka berdua jatuh terjengkang. Kiba, Naruto, dan sang Pelatih buru-buru maju untuk membantu, namun roh tersebut menjerit murka. Dia melepaskan angin kencang yang menjatuhkan mereka semua ke belakang. Naruto dan Pak Pelatih Hedge mendarat dengan bokong lebih meluncur di kaca. Bagian belakang kepala Kiba terbentur dan dia pun terkapar menyamping sambil bergelung, setengah sadar dan mengerang-erang.
Kaguya yang paling sial. Dia terlempar dari punggung Sasuke dan menabrak pagar, terguling ke samping hingga dia bergantung dengan satu tangan di atas jurang.
Naruto hendak menghampiri Kaguya, tapi Sasuke berteriak, "Akan kubawa saja yang satu ini!"
Sasuke mencengkram lengan Kiba dan mulai naik, menyeretnya di bawahnya. Badai berputar-putar kian cepat, menarik mereka ke atas bagaikan penyedot debu.
"Tolong!" teriak Kaguya. "Siapa saja!"
Lalu dia tergelincir, menjerit saat dia jatuh.
"Naruto, sana!" teriak Hedge. "Selamatkan Kaguya."
Sang Pelatih meluncurkan tendangan kambing ganas ke arah Sasuke—menghajarnya dengan kuku belahnya, membebaskan Kiba dari cengkraman roh tersebut. Kiba jatuh dengan selamat ke lantai, namun Sasuke ganti mencengkram lengan sang Pelatih. Pak Pelatih Hedge berusaha menyundulnya, lalu menendangnya dan menyebutnya bocah lembek. Mereka membubung ke udara, semakin cepat.
Pak Pelatih Hedge berteriak ke bawah sekali lagi. "Selamatkan Kaguya! Biar kuatasi yang satu ini!" Kemudian sang satir dan roh badai berpusing ke dalam awan dan menghilang.
Selamatkan Kaguya? Pikir Naruto. Kaguya sudah tiada!
Tapi lagi-lagi instingnya menang. Dia lari ke pagar sambil berpikir, aku ini edan, dan melompat dari tepinya.
Naruto tak takut terhadap ketinggian. Dia cuma takut tubuhnya remuk saat menghantam dasar ngarai seratus lima puluh meter di bawah. Dia menduga dia takkan bisa berbuat apa-apa selain mati bersama Kaguya, tapi dia merapatkan lengan ke badan dan menukik dengan kepala lebih dulu. Sisi ngarai berkelebat seperti film yang dipercepat. Wajahnya serasa terkelupas.
Dalam sekejap, Naruto sudah menyusul Kaguya, yang mengepakkan lengannya dengan liar. Naruto merengkuh pinggang Kaguya dan memejamkan mata, menanti ajal.
Kaguya menjerit. Angin mendesing di telinga Naruto. Dia bertanya-tanya bagaimana rasanya mati. Dia berpikir, barangkali tidak enak. Dia berharap entah bagaimana mereka takkan pernah tiba di dasar.
Mendadak angin berhenti. Jeritan Kaguya berubah menjadi suara terkesiap. Naruto mengira mereka pasti sudah mati, tapi dia tak merasakan tumbukan apa pun.
"N-N-Naruto," Kaguya berhasil mengeluarkan kata-kata.
Naruto membuka mata. Mereka tidak jatuh. Mereka melayang di udara, sekitar tiga puluh meter di atas sungai. Naruto memeluk Kaguya erat-erat, dan cewek itu memperbaiki posisinya sehingga dia memeluk Naruto juga. Hidung mereka berdekatan. Jantung Kaguya berdebar kencang sekali, Naruto bisa merasakannya melalui pakaian cewek itu.
Napas Kaguya beraroma seperti kayu manis. Dia berkata, "Bagaimana caramu—"
"Aku tak melakukan apa-apa," kata Naruto. "Kukira aku bakal tahu seandainya aku bisa terbang ... "
Tapi, kemudian Naruto berpikir: aku bahkan tak tahu siapa aku.
Naruto membayangkan tubuhnya melayang ke atas. Kaguya memekik saat mereka melesat beberapa kaki lebih tinggi. Mereka sebetulnya tidak melayang, Naruto memutuskan. Dia bisa merasakan tekanan di bawah kakinya seolah mereka sedang menyeimbangkan diri di atas semburan air panas.
"Udara menopang kita," kata Naruto.
"Yah, suruh udara agar lebih menopang kita! Membawa kita pergi dari sini!"
Naruto menengok ke bawah. Hal yang paling mudah adalah turun pelan-pelan ke dasar ngarai. Kemudian dia mendongkak. Hujan telah berhenti. Awan badai tidak kelihatan seseram tadi tapi masih menggemuruh dan berkilat-kilat. Tak ada jaminan bahwa para roh badai betul-betul sudah pergi. Naruto sama sekali tak tahu apa yang telah menimpa Pak Pelatih Hedge. Dan Naruto meninggalkan Kiba di atas sana, nyaris tak sadarkan diri.
"Kita harus menolong mereka," kata Kaguya, seakan membaca pikirannya. "Bisakah kau—"
"Mari kita lihat." Naruto berpikir naik, dan mereka pun langsung melesat ke angkasa.
Fakta bahwa Naruto tengah menunggangi angin mungkin saja keren dalam kondisi yang berbeda, namun dia terlalu terguncang. Begitu mereka mendarat di titian, mereka lari menghampiri Kiba.
Kaguya membalikan badan Kiba ke samping, dan dia mengerang. Jaket tentaranya basah kuyup kehujanan. Rambutnya mengilap keemasan karena berguling-guling di atas debu monster. Tapi paling tidak dia tidak mati.
"Kambing ... jelek ... bego," gumam Kiba.
"Ke mana dia pergi?" tanya Kaguya.
Kiba menunjuk lurus ke atas. "Tidak turun-turun. Tolong katakan padaku dia tak menyelamatkan nyawaku."
"Dua kali," kata Naruto.
Kiba mengerang semakin keras. "Apa yang terjadi? Si cowok tornado, pedang emas ... kepalaku terbentur. Begitu, kan? Aku berhalusinasi?"
Naruto sudah lupa soal pedang. Dia berjalan menghampiri pedang itu dan memungutnya. Bilah pedang tersebut terasa pas di tangannya. Berdasarkan insting, Naruto pun melemparkan pedang tersebut. Di tengah putaran, pedang itu menciut kembali menjadi koin dan mendarat di telapak tangannya.
"Yup," kata Kiba. "Benar-benar halusinasi."
Kaguya menggigil dalam balutan pakaiannya yang basah kuyup karena kehujanan. "Naruto, makhluk- makhluk itu—"
"Ventus," kata Naruto. "Roh badai."
"Oke. Kau bersikap seolah ... seolah kau pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Kau ini siapa?"
Naruto menggelengkan kepala. "Itulah yang telah kucoba bilang pada kalian. Aku tak tahu."
Badai telah mereda. Anak-anak lain dari Sekolah Alam Liar menatap ke luar pintu kaca dengan ngeri. Penjaga keamanan sedang mengutak-atik kunci sekarang, tapi sepertinya mereka tidak berhasil.
"Pak Pelatih Hedge bilang dia harus melindungi tiga orang," Naruto teringat. "Kurasa maksudnya kita."
"Dan si Sasuke itu berubah jadi ..." Kaguya bergidik. "Ya ampun, aku tak percaya dia merayuku. Dia menyebut kita ... apa, demigod?"
Kiba berbaring terlentang, menatap langit. Dia tampaknya tidak ingin cepat-cepat bangun. "Tak tahu apa artinya demi itu," katanya. "Tapi god—dewa—aku tidak merasa seperti dewa. Kalian merasa seperti dewa?"
Terdengar bunyi krak seperti ranting kering yang patah, dan retakan di titian melebar.
"Kita harus turun dari sini," kata Naruto. "Mungkin jika kita—"
"Ooo-keee," potong Kiba. "Lihat ke atas sana dan beri tahu aku apakah itu memang kuda terbang."
Pada mulanya Naruto mengira Kiba memang terbentur terlalu keras. Kemudian dia melihat sosok gelap mendekat dari timur—terlalu lambat sehingga tidak mungkin pesawat, terlalu besar sehingga tidak mungkin burung. Saat benda tersebut semakin dekat, Naruto dapat melihat sepasang hewan bersayap— abu-abu, berkaki empat, persis seperti kuda—hanya saja masing-masing memiliki lebar kira-kira enam meter ketika kedua sayapnya direntangkan. Dan mereka menghela sebuah kotak bercat cerah yang memiliki dua buah roda: sebuah kereta perang.
"Bala bantuan," kata Naruto. "Hedge bilang tim penjemput akan datang untuk menjemput kita."
"Tim penjemput?" Kiba berjuang untuk berdiri. "Kedengarannya menyeramkan."
"Dan mereka hendak menjemput kita untuk dibawa ke mana?" tanya Kaguya.
Naruto memperhatikan saat kereta perang tersebut berhenti di ujung titian. Kuda-kuda terbang melipat sayap mereka dan perlahan menyeberangi kaca dengan gugup, seolah bisa merasakan bahwa titian kaca tersebut hampir pecah. Dua remaja berdiri di kereta perang tersebut—seorang cewek pirang tinggi yang mungkin sedikit lebih tua daripada Naruto, dan seorang cowok gagah dengan kepala plontos dan wajah seperti tumpukan bata. Mereka berdua mengenakan jins dan kaus jingga, dengan tameng yang disandangkan ke belakang puggung mereka. Si cewek melompat turun bahkan sebelum kereta perang berhenti. Dia mengeluarkan sebilah pisau dan lari menghampiri kelompok Naruto, sedangkan si cowok gagah menarik tali kekang kuda.
"Di mana dia?" tuntut si cewek pirang. Matanya yang kelabu bersinar tajam dan sedikit mencengangkan.
"Siapa yang di mana?" tanya Naruto.
Cewek itu mengerutkan kening seakan jawaban mereka tak dapat diterima. Lalu dia menoleh kepada Kiba dan Kaguya. "Bagaimana dengan Gleeson? Bagaimana dengan pelindung kalian, Gleeson Hedge?"
Nama depan Pak Pelatih adalah Gleeson? Naruto mungkin akan tertawa jika pagi itu tidak begitu ganjil dan menyeramkan. Gleeson Hedge pelatih futbol, manusia kambing, pelindung demigod. Tentu saja. Kenapa tidak?
Kiba berdeham. "Dia dibawa pergi oleh... semacam tornado?"
"Para Ventus," kata Naruto. "Roh badai."
Si cewek pirang mengangkat alis. "Maksudmu anemoi thuellai? Itu istilahnya dalam bahasa Yunani. Kau ini siapa, dan apa yang terjadi."
Naruto berusaha sebaik mungkin utuk menjelaskan, meskipun sulit untuk bertatapan dengan mata kelabu intens itu. Kira-kira pertengahan cerita, cowok gagah itu meninggalkan kereta perang dan menghampiri mereka. Dia berdiri di sana sambil melotot dan bersedekap. Dia punya tato pelangi di bisepnya, yang kelihatannya agak janggal.
Ketika Naruto menyelesaikan ceritanya, si cewek pirang terlihat tidak puas. "Tidak, tidak, tidak! Katanya dia pasti berada di sini. Wanita itu bilang jika aku datang ke sini, aku akan menemukan jawaban."
"Annabeth," geram si cowok plontos."Coba lihat." Dia menunjuk kaki Naruto.
Naruto tidak terlalu memikirkannya, tapi dia masih kehilangan sepatu kirinya, yang telah disambar petir sampai copot. Kaki telanjangnya terasa baik-baik saja, tapi kaki itu terlihat seperti sebongkah batu bara.
"Cowok dengan satu sepatu," kata si cowok botak. "Dialah jawabannya."
"Bukan, Butch," si cewek itu berkeras. "Tak mungkin. Aku tertipu." Cewek itu memelototi angkasa, seolah langit telah berbuat salah. "Apa yang kauinginkan dariku?" jeritnya. "Sudah kau apakan dia?"
Titian berguncang, dan kuda-kuda meringkik memperingatkan.
"Annabeth," kata si cowok plontos, Butch, "kita harus pergi. Ayo kita bawa tiga anak ini ke perkemahan dan cari tahu di sana. Roh-roh badai itu mungkin saja kembali."
Annabeth bersungut-sungut sesaat. "Baiklah." Dia melemparkan tatapan sebal pada Naruto. "Akan kita selesaikan ini nanti."
Annabeth berputar dan berderap ke arah kereta perang.
Kaguya menggeleng-gelengkan kepala. "Apa sih masalah cewek itu? Apa yang terjadi?"
"He-eh," Kiba sepakat.
"Kami harus membawa kalian pergi dari sini," kata Butch. "Akan kujelaskan dalam perjalanan."
"Aku tidak mau pergi ke mana-mana dengan dia." Naruto memberi isyarat kepada Annabeth. "Kelihatannya dia ingin membunuhku."
Butch ragu-ragu. "Annabeth baik kok. Kalian harus memakluminya. Dia mendapat visi yang memberitahunya agar datang ke sini, untuk mencari cowok dengan satu sepatu. Seharusnya itu akan menjadi jawaban atas persoalannya."
"Persoalan apa?" tanya Kaguya.
"Dia mencari salah satu pekemah kami, yang sudah tiga hari menghilang," ujar Butch. "Annabeth menggalau karena khawatir. Annabeth tadinya berharap dia di sini."
"Siapa?" tanya Naruto.
"Pacarnya," kata Butch. "Cowok bernama Percy Jackson."
