Chapter 1
Naruto
Sebelum dia kesetrum sekalipun, Baginya hari itu sudah payah.
Dia terbangun di kursi belakang sebuah bus sekolah, tidak yakin di mana dia berada, berpegangan tangan dengan cewek yang tidak dikenalnya. Bukan bagian itu yang payah. Cewek ini manis, tapi dia tidak tahu siapa cewek itu dan apa yang dirinya lakukan di sana. Dia duduk tegak dan menggosok- gosok matanya, mencoba berpikir.
Beberapa lusin anak sedang berleha-leha di kursi-kursi di depannya, mendengarkan iPod, mengobrol, atau tidur. Mereka semua kelihatannya seumuran dengan dirinya ... lima belas? Enam belas? Oke, itu baru seram, dia bahkan tidak ingat umurnya sendiri.
Bus tersebut bergemuruh, menyusuri jalanan dengan lancar. Di luar jendela, gurun melesat di bawah langit biru cerah. Dia cukup yakin dia tidak tinggal di gurun. Dia berusaha berpikir ke belakang ... ke hal terakhir yang dia ingat ...
Cewek itu meremas tangannya. "Naruto, kau baik-baik saja?"
Cewek itu mengenakan jins belel, sepatu bot hiking, dan jaket snowboarding dari bulu domba. Rambut putihnya dipotong pendek dan tidak rata, dihiasi kepangan kecil-kecil di samping. Dia tidak menggunakan rias wajah, seolah sedang berusaha untuk tidak menarik perhatian, tapi itu tidak berhasil. Dia sangat cantik. Warna matanya berubah-ubah bagai kaleidoskop—putih, biru, dan abu-abu.
Naruto melepaskan tangan cewek itu. "Mmm, aku tak—"
Di bagian depan bus, seorang guru berteriak, "Baiklah, Bocah-bocah Lembek, dengarkan!"
Laki-laki tersebut jelas seorang pelatih. Topi bisbolnya ditarik sampai ke bawah, menutupi rambutnya, jadi kita hanya bisa melihat mata kecilnya yang mirip manik-manik. Dia memiliki janggut kambing tipis serta muka masam, seperti baru saja memakan sesuatu yang menjijikkan. Lengan dan dada gempalnya menonjol di balik kaus polo warna jingga cerah. Celana olahraga dan sepatu Nike yang dikenakannya putih tak bernoda. Sebuah peluit dikalungkan di lehernya, sedangkan sebuah megafon dijepit ke sabuknya. Laki-laki itu pasti tampak cukup mengerikan andaikan tingginya tak cuma 150 senti. Ketika dia berdiri di lorong, salah seorang murid berseru, "Berdiri dong, Pak Pelatih Hedge!"
"Aku dengar itu!" Sang pelatih menelaah bus untuk mencari si pelaku. Lalu matanya melekat pada Naruto, dan kerutan di mulutnya pun semakin dalam.
Bulu kuduknya merinding. Dia yakin sang pelatih tahu dia tak seharusnya berada di sana. Sang pelatih pasti akan memanggilnya lalu menuntut penjelasan tentang apa yang dia lakukan di bus— dan dia tak tahu harus berkata apa.
Tapi Pak Pelatih Hedge berpaling dan berdeham. "Kita akan sampai lima belas menit lagi! Tetaplah bersama pasangan kalian. Jangan hilangkan lembar kerja kalian. Dan jika ada salah satu di antara kalian, Bocah-Bocah Lembek, yang membuat masalah dalam karyawisata ini, aku sendiri yang akan mengembalikan kalian ke kampus dengan cara yang kasar."
Sang pelatih memungut tongkat bisbol dan berlagak seperti sedang memukul home run.
Naruto memandang cewek di sebelahnya. "Memangnya boleh dia berbicara pada kita seperti itu?"
Cewek itu mengangkat bahu. "Dia selalu bicara seperti itu. Ini Sekolah Alam Liar. 'Di mana anak-anak adalah hewan.'"
Cewek tersebut mengucapkannya seolah itu adalah lelucon yang pernah mereka bagi sebelumnya.
"Ini semacam kekeliruan," Naruto berkata. "Aku tak seharusnya berada di sini."
Anak laki-laki di depannya berputar dan tertawa. "Iya, betul, Naruto. Kita semua telah dijebak! Aku tidak kabur enam kali. Kaguya tidak mencuri BMW."
Cewek itu merona. "Aku tidak mencuri mobil itu, Kiba!"
"Oh, aku lupa, Kaguya. Apa ya, ceritamu? Kau 'membujuk' si dealer sampai dia meminjamkan mobil itu padamu?" Si anak laki-laki mengangkat alis ke arah Naruto seakan berkata, bisakah kau mempercayainya?
Kiba adalah cowok berambut hitam, tato seperti segitiga terbalik berwarna merah di kedua pipinya, wajah kekanak-kanakan yang ceria, serta senyum jail yang langsung memberi tahu kita bahwa cowok ini tidak boleh berada di dekat-dekat korek atau benda tajam. Jari-jarinya yang panjang dan cekatan tidak mau berheti bergerak—mengetuk-ngetuk kursi, menyibakkan rambut ke belakang telinga, memain-mainkan kancing pada jaket tentara longgar yang dia pakai. Entah anak itu memang aslinya hiperaktif atau dia telah mengkonsumsi gula serta kafein yang cukup untuk membuat seekor kerbau kena serangan jantung.
"Ngomong-ngomong," Kiba berkata, "kuharap kau menyimpan lembar kerjamu, soalnya punyaku sudah kupakai buat lap ludah berhari-hari lalu. Kenapa kau melihatku seperti itu? Apa ada yang menggambari wajahku lagi?"
"Aku tidak kenal kau," Naruto berkata dengan suara datar.
Kiba memberinya senyuman lebar. "Oke deh. Aku memang bukan sahabatmu. Aku kembaran jahatnya."
"Kiba Inuzuka!" Pak Pelatih Hedge berteriak dari depan. "Ada masalah di belakang sana?"
Kiba berkedip kepada Naruto. "Perhatikan ini." Dia berputar ke depan. "Maaf, Pak Pelatih! Saya tidak mendengar suara Bapak. Bisa tolong Bapak menggunakan megafon Bapak."
Pak Pelatih Hedge menggeram, seolah dia senang karena mendapat alasan untuk menggunakan megafonnya. Dia melepaskan megafon itu dari sabuknya dan melanjutkan memberi arahan, namun suaranya kedengaran seperti Dart Vader. Anak-anak tertawa terbahak-bahak. Sang pelatih mencoba lagi, tapi kali ini megafon itu mengumandangkan: "Sapi bilang moo!"
Anak-anak terpingkal-pingkal, dan sang pelatih membanting megafon itu. "Inuzuka!"
Kaguya menahan tawa. "Ya Tuhan, Kiba. Bagaimana caramu melakukan itu?"
Kiba mengeluarkan obeng kembang mungil dari lengan bajunya. "Aku ini bocah istimewa."
"Serius nih," pinta Naruto. " Apa yang kulakukan di sini? Kita mau ke mana?"
Kaguya mengerutkan alus. "Naruto, apa kau bercanda?"
"Tidak! Aku sama sekali tidak tahu—"
"Ya iyalah, dia memang bercanda," ujar Kiba. "Dia berusaha membalasku gara-gara krim cukur di agar- agar waktu itu, iya kan?"
Naruto menatapnya sambil bengong.
"Tidak, menurutku dia serius." Kaguya berusaha menggamit tangan Naruto lagi, tapi dia menarik tangannya menjauh.
"Maafkan aku," katanya. "Aku tak—aku tidak bisa—"
"Sudah cukup!" teriak Pak Pelatih Hedge dari depan. "Barisan belakang baru saja mengajukan diri untuk bersih-bersih sesudah makan siang!"
Anak-anak yang lain bersorak.
"Wow, kejutan," gerutu Kiba.
Tapi Kaguya terus memandangi Naruto lekat-lekat, seolah dia tidak bisa memutuskan harus merasa terluka atau khawatir. "Apa kepalamu terbentur atau semacamnya? Kau benar-benar tidak tahu siapa kami?"
Naruto mengangkat bahu tanpa daya. "Lebih parah daripada itu. Aku sendiri tidak tahu siapa aku."Bus menurunkan mereka di depan sebuah kompleks bangunan berplester merah mirip museum yang bertengger begitu saja di tengah-tengah negeri antah berantah. Mungkin itu memang Museum Nasional Negeri Antah Berantah, pikir Naruto. Angin dingin bertiup di gurun. Dia tadinya tak terlalu memerhatikan apa yang dia kenakan, tapi pakaiannya kurang hangat: jins serta sepatu olahraga, kaus ungu, dan jaket penahan angin tipis berwarna hitam.
"Jadi, kuliah singkat buat yang kena amnesia," kata Kiba dengan nada sok ingin menolong yang membuat Naruto berpikir bahwa ceramahnya takkan menolong sama sekali. "Kita ini murid 'Sekolah Alam Liar'"— Kiba membuat tanda kutip di udara dengan jari-jarinya. "Artinya, kita ini 'anak nakal.' Keluargamu, atau pengadilan, atau entah siapa, memutuskan bahwa kau terlalu merepotkan, jadi mereka mengirimmu ke penjara indah—sorry, 'sekolah berasrama'—di sini di 'Ketiak Amerika', Battle Mountain, Nevada. Di sini kau mempelajari keterampilan yang bermanfaat di alam liar, misalnya lari lima belas kilo di antara kaktus atau menganyam bunga aster untuk dijadikan topi! Dan sebagai hadiah istimewa, kita pergi kie karyawisata 'edukasional' bersama Pak Pelatih Hedge, yang menjaga ketertiban dengan tongkat bisbol. Apa sekarang kau sudah ingat semuanya?"
"Belum." Naruto melirik anak-anak lain dengan was-was: mungkin dua puluh cowok, kira-kira sepuluh cewek. Tak seorang pun dari mereka bertampang seperti pelaku kriminal kambuhan, tapi Naruto bertanya-tanya apa yang telah mereka lakukan sehingga dijebloskan ke sekolah untuk berandalan ini, dan dia bertanya-tanya apa sebabnya dia ditempatkan bersama mereka.
Kiba memutar bola matanya. "Kau benar-benar serius mau bercanda, ya? Oke, jadi kita bertiga mulai masuk sini semester ini. Kita benar-benar akrab. Kau melakukan semua yang kusuruh, memberiku hidangan pencuci mulutmu, dan mengerjakan tugas-tugasku—"
"Kiba!" bentak Kaguya.
"Oke. Abaikan bagian terakhir tadi. Tapi kita memang berteman. Yah, Kaguya lebih dari sekadar temanmu, beberapa minggu terakhir—"
"Kiba, hentikan!" wajah Kaguya memerah. Naruto bisa merasakan bahwa wajahnya memanas juga. Menurutnya dia pasti ingat jika dia pacaran dengan cewek seperti Kaguya.
"Dia kena amnesia atau semacamnya," kata Kaguya. "Kita harus memberi tahu seseorang."
Kiba mendengus. "Siapa, Pak Pelatih Hedge? Dia pasti akan berusaha menyembuhkan Naruto dengan cara menggetok kepalanya."
Sang pelatih berada di depan kelompok tersebut, membentakkan perintah serta meniup peluitnya untuk mengatur anak-anak; tapi sesekali dia melirik ke belakang, ke arah Naruto, dan memberengut.
"Kiba, dia butuh bantuan," Kaguya bersikeras. "Dia gegar otak atau—"Yo, Kaguya." Salah seorang cowok lain mundur untuk bergabung dengan mereka selagi kelompok itu menuju museum. Si cowok baru menyempilkan dirinya ke antara Naruto serta Kaguya dan menabrak Kiba hingga terjatuh. "Jangan bicara kepada para pecundang ini. Kau pasanganku, ingat?"
Si cowok baru memiliki rambut gelap bergaya 'pantat bebek', kulit cokelat terbakar putih, dan gigi yang begitu putih sehingga seharusnya ditempeli label peringatan: JANGAN LIHAT GIGI SECARA LANGSUNG. DAPAT TERJADI KEBUTAAN PERMANEN. Dia mengenakan seragam Dallas Cowboys, jins Western, serta sepatu bot, dan dia tersenyum seakan dia adalah anugerah Tuhan bagi cewek-cewek berandalan di mana saja. Naruto membencinya seketika juga.
"Pergilah, Sasuke," gerutu Kaguya. "Aku tidak minta sekelompok denganmu."
"Ah, tidak boleh begitu. Ini hari keberuntunganmu!" Sasuke mengaitkan lengannya ke lengan Kaguya dan menyeret cewek itu melewati pintu masuk museum. Kaguya melemparkan tatapan terakhir dari balik bahunya seakan untuk mengatakan, Tolong aku!
Kiba berdiri dan membersihkan badannya. "Aku benci orang itu." Dia mengulurkan tangan kepada Naruto, seolah mengajaknya berjalan bersama-sama ke dalam. "Aku Sasuke. Aku keren banget, aku ingin pacaran dengan diriku sendiri, tapi aku tidak tahu caranya! Bagaimana kalau kau saja yang pacaran denganku? Mau? Kau sangat beruntung!"
"Kiba," kata Naruto, "kau aneh."
"Iya, kau sering bilang begitu padaku." Kiba nyengir. "Tapi kalau kau tidak ingat padaku, itu artinya aku bisa mengulang semua lelucon lamaku. Ayo!"
Naruto merasa jika sahabatnya adalah anak ini, kehidupannya pasti lumayan kacau; tapi dia mengikuti Kiba ke dalam museum.
Mereka berjalan menyusuri museum itu, berhenti di sana-sini agar Pak Pelatih Hedge berkesempatan menguliahi mereka dengan megafonnya. Megafon tersebut silih berganti membuat sang pelatih terdengar seperti Sith Lord atau mengumandangkan komentar-komentar aneh seperti: "Babi bilang nguik."
Kiba terus mengeluarkan mur, baut, dan tali kapas dari saku jaket tentaranya serta merakit benda-benda itu jadi satu, seolah dia harus menyibukkan tangannya sepanjang waktu.
Naruto terlalu resah sehingga tidak terlalu memperhatikan benda-benda yang dipamerkan, namun temanya tentang Grand Canyon dan suku Hualapai, pemilik museum cewek terus saja memandangi Kaguya serta Sasuke dan mencemooh. Naruto menduga cewek- cewek ini adalah geng populer. Mereka memakai jins yang serasi dan atasan merah muda serta rias wajah tebal yang cocok untuk pesta Halloween.
Salah seorang dari mereka berkata, "Hei, Kaguya, apa sukumu yang mengelola tempat ini? Apa kau boleh masuk secara gratis kalau kau melakukan tarian hujan?"
Cewek-cewek lain tertawa. Bahkan Sasuke yang katanya "pasangan" Kaguya juga menahan senyum. Jaket snowboarding Kaguya yang berbulu-bulu menyembunyikan tangannya, tapi Naruto punya firasat bahwa cewek itu sedang mengepalkan tinjunya.
"Ayahku orang cherokee," kata Kaguya. "Bukan Hualapai. Tentu saja, kau butuh sedikit sel otak supaya memahami bedanya, Ino."
Ino membelalakan mata, pura-pura kaget. Tetapi dia justru kelihatan seperti burung hantu yang kecanduan make-up. "Aduh, maaf! Apa ibu-mu yang anggota suku ini? Oh, iya ya. Kau tak pernah kenal ibumu."
Kaguya menerjang Ino, tapi sebelum perkelahian sempat dimulai, Pak Pelatih Hedge membentak, "Yang di belakang sana, cukup! Tunjukan teladan yang baik atau kukeluarkan tongkat bisbolku!"
Kelompok tersebut beranjak ke ruang pajang berikutnya, namun para cewek terus saja menyerukan komentar-komentar pedas pada Kaguya.
"Pasti senang ya, balik ke penampungan?" tanya salah seorang dengan suara manis.
"Ayahnya mungkin terlalu mabuk, jadi tidak bisa kerja," kata yang lain dengan simpati palsu. "Itu sebabnya dia jadi klepto."
Kiba menangkap lengan Naruto. "Tenang. Kaguya tidak suka kita ikut campur dalam pertengkarannya. Lagi pula, kalau cewek-cewek itu tahu siapa ayah Kaguya yang sebenarnya, mereka semua bakal menyembah- nyembahnya dan berteriak, 'kami tak pantas!'"
"Kenapa? Memang ada apa dengan ayahnya?"
Kiba tertawa tak percaya. "Kau tidak bercanda? Kau tidak ingat bahwa ayah pacarmu—"
"Dengar, aku harap aku ingat, tapi aku bahkan tidak ingat siapa Kaguya, apalagi ayahnya."
Kiba bersiul. "Terserah deh. Kita harus bicara ketika kita kembali ke asrama."
Mereka sampai di ujung ruang pajang. Di sana terdapat sebuah pintu kaca besar yang mengarah ke teras di luar.
"Baiklah, Bocah-Bocah Lembek," Pak Pelatih Hedge mengumumkan. "Kalian akan menyaksikan Grand Canyon. Cobalah untuk tidak berulah. Titian itu bisa menahan bobot tujuh puluh pesawat jet jumbo, jadi manusia kelas bulu macam kalian semestinya aman di atasnya. Jika mungkin, cobalah jangan saling dorong hingga jatuh dari tepi, sebab itu akan membuatku tambah repot saja."
Sang pelatih membuka pintu, dan mereka semua melangkah ke luar. Grand Canyon terbentang di hadapan mereka, secara langsung. Di tubirnya, terjulurlah sebuah titian berbentuk tapal kuda yang terbuat dari kaca, jadi kita bisa melihat ke bawah.
"Wow," ujar Kiba. "Keren juga."
Naruto harus sepakat. Walaupun dia lupa ingatan dan merasa tidak seharusnya berada di sana, Naruto mau tak mau terkesan.
Ngarai tersebut lebih besar dan lebih lebar daripada yang dapat kita apresiasi melalui foto. Posisi mereka tinggi sekali sampai-sampai di bawah kaki mereka ada burung yang berputar-putar. Seratus lima puluh meter di bawah, sebuah sungai mengular di dasar ngarai. Kumpulan awan badai telah bergerak ke atas mereka selagi mereka berada di dalam, memancarkan bayang-bayang yang bagaikan wajah-wajah marah ke tebing. Sejauh yang bisa dilihatnya, tersebar di seluruh padang, terdapat jurang merah serta kelabu, seolah dipahat dengan pisau oleh dewa-dewa sinting.
Naruto merasakan nyeri yang menusuk di belakang matanya. Dewa sinting ... Dari mana dia memperoleh gambaran seperti itu? Dia merasa seakan dia telah mendekati sesuatu yang penting—sesuatu yang seharusnya dia ketahui. Dia juga merasakan firasat tak terbantahkan bahwa dia tengah berada dalam bahaya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Kiba. "Kau tidak akan muntah di pinggir, kan? Soalnya aku seharusnya bawa kameraku."
Naruto mencengkeram pagar. Dia gemetaran dan berkeringat, namun itu tak ada hubungannya dengan ketinggian. Naruto berkedip, dan rasa nyeri di balik matanya pun mereda.
"Aku tak apa-apa," dia berhasil menjawab. "Cuma sakit kepala."
Guntur menggelegar di langit. Angin dingin hampir menggulingkan Naruto ke samping.
"Ini tak mungkin aman." Kiba menyipitkan mata ke arah awan. "Ada awan badai tepat di atas kita, tapi di sekeliling kita cuacanya cerah. Aneh, ya?"
Naruto mendongkak dan melihat bahwa Kiba benar. Lingkaran awan gelap telah parkir di atas titian, tapi langit di segala arah tampak luar biasa jernih. Dia punya firasat yang tidak enak soal ini.
"Baiklah, Anak-Anak Lembek!" teriak Pak Pelatih Hedge. Dia mengerutkan kening ke arah awan badai, seakan awan-awan itu mengganggunya juga. "Kita mungkin harus mempersingkat karyawisata kita ini, jadi mulailah bekerja! Ingat, kalimat lengkap!"
Badai menggemuruh, dan kepalanya mulai sakit lagi. Tidak tahu apa sebabnya dia berbuat begitu, Naruto merogoh saku jinsnya dan mengeluarkan sekeping koin—lingkaran emas seukuran uang setengah dolar, tapi lebih tebal dan lebih tak rata. Pada satu sisi tercetaklah gambar kapak tempur. Pada sisi lainnya ada wajah laki-laki bermahkota daun dafnah. Tulisan pada koin itu seperti berbunyi IVLIVS.
"Walah, apa itu emas?" tanya Kiba. "Kau ternyata merahasiakan sesuatu dariku."
Naruto menyimpan koin itu lagi, bertanya-tanya bagaimana bisa dia memiliki koin tersebut, dan apa sebabnya dia merasa akan segera membutuhkan koin itu.
"Bukan apa-apa kok," katanya. "Cuma koin biasa."
Kiba mengangkat bahu. Mungkin pikirannya harus bergerak secepat tangannya. "Ayo," katanya. "Kutantang kau meludah ke tepi."
Mereka tidak berusaha terlalu keras untuk mengisi lembar kerja. Salah satu sebabnya, perhatian Naruto terlalu tertuju ke badai dan perasaannya sendiri yang campur aduk. Sebab lainnya, dia sama sekali tak punya gambaran bagaimana cara mengisi soal seperti "sebutkan tiga lapisan sedimen yang kau amati" atau "jelaskan dulu contoh erosi."
Kiba tidak membantu. Dia terlalu sibuk merakit helikopternya dari tali-tali kapas.
"Lihat nih." Kiba meluncurkan helikopter tersebut. Naruto menduga Helikopter itu akan jatuh, namun baling-baling dan tali kapas itu betul-betul bisa berputar. Helikopter kecil tersebut berhasil menyeberang sampai ke tengah-tengah ngarai sebelum kehilangan momentum dan terpuntir ke jurang.
"Bagaiamana caramu melakukan itu?" Naruto bertanya dengan heran.
Kiba mengangkat bahu. "Bakalan lebih keren kalau aku punya karet gelang."
"Serius nih," kata Naruto, "apa kita benar-benar berteman?"
"Terakhir kali yang kuingat sih begitu."
"Kau yakin? Kapan hari pertama kita bertemu? Apa yang biasanya kita obrolkan?"
"Kejadiannya ..." Kiba mengerutkan kening. "Aku tak ingat persisnya. Aku ini penderita GPPH, Bung. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas. Mana bisa aku ingat semua detail?"
"Tapi aku tak bisa mengingatmu sama sekali. Aku tak ingat siapa pun yang ada di sini. Bagaimana kalau—"
"Kau benar dan yang lain salah semua?" tanya Kiba. "Kaukira kau baru muncul di sini pagi ini, dan kami semua punya ingatan palsu tentangmu?"Suara kecil dalam kepalanya berujar, Memang itu yang sedang kupikirkan.
Tapi asumsi itu kedengarannya gila. Semua orang di sini cuek saja padanya. Semua orang bersikap seolah dia merupakan bagian normal dari kelas itu—kecuali Pak Pelatih Hedge.
"Bawakan lembar kerja ini." Naruto menyerahkan lembar kerja itu kepada Kiba . "Aku akan segera kembali."
Sebelum Kiba sempat protes, Naruto berjalan menyeberangi tititian.
Hanya ada kelompok sekolah mereka di tempat itu. Mungkin masih terlalu pagi untuk kedatangan turis, atau mungkin cuaca ganjil ini telah menakut-nakuti para wisatawan. Anak-anak Sekolah Alam Liar telah menyebar berpasang-pasangan di titian. Sebagian besar sedang berkelakar atau mengobrol. Sebagian cowok menjatuhkan koin satu sen dari tepi pagar. Kira-kira lima belas meter dari posisi Naruto, Kaguya sedang berusaha mengisi lembar kerjanya, namun Sasuke, pasangannya yang bodoh, malah merayunya, merangkulkan lengan ke bahu Kaguya dan memberinya senyuman putih menyilaukan itu.
Kaguya terus saja mendorong Sasuke agar menjauh, dan ketika cewek itu melihat Naruto diberinya cowok itu tatapan yang seolah menyiratkan, Cekik cowok ini demi aku.
Naruto memberi isyarat agar Kaguya menunggu. Dia mengampiri Pak Pelatih Hedge, yang sedang menumpukan badai ke tongkat bisbol sambil mengamati awan badai.
"Apa kau yang melakukan ini?" sang Pelatih menanyainya.
Naruto melangkah mundur. "Melakukan apa?" kedengarannya sang pelatih baru saja bertanya apakah dia telah menciptakan badai guntur.
Pak Pelatih Hedge memelototi Naruto, matanya yang bagai manik-manik berkilat di bawah pinggiran topinya. "Jangan main-main denganku, Bocah. Apa yang kaulakukan di sini, dan kenapa kau mengacaukan pekerjaanku?"
"Maksud Bapak ... Bapak tidak mengenal saya?" ujar Naruto. "Saya bukan salah satu murid Bapak?"
Hedge mendengus. "Tak pernah melihatmu sebelum hari ini."
Naruto lega sekali sampai-sampai dia ingin menangis. setidaknya dia tidak gila. Dia memang berada di tempat yang salah. "Begini, Pak, saya tidak tahu bagaimana ceritanya sampai saya berada di sini. Ketika saya terbangun, saya sudah berada di bus sekolah ini. Saya cuma tahu saya tak seharusnya berada di sini."
"Memang benar." Suara galak Hedge memelan hingga menjadi gumaman, seakan dia tengah berbagi rahasia. "Kau punya kekutan yang hebat untuk mempengaruhi Kabut, Bocah, jika kau bisa membuat semua orang ini mengira mereka mengenalmu; tapi kau tak bisa mengelabuiku. Sudah berhari-hari aku mencium bau monster. Aku tahu kami kedatangan penyusup, tapi baumu tak seperti monster. Baumu seperti blasteran. Jadi—kau ini siapa, dan dari mana kau berasal?"
Sebagian besar perkataan sang pelatih tidak masuk akal, namun dia memutuskan untuk menjawab dengan jujur. "Saya tidak tahu siapa saya. Saya tidak ingat apa-apa. Bapak harus membantu saya."
Pak Pelatih Hedge mengamati wajah Naruto seakan sedang berusaha membaca pikirannya.
"Hebat," gerutu Hedge. "Kau jujur."
"Tentu saja saya jujur! Dan apa maksudnya dengan monster dan blasteran? Apa itu kata-kata bersandi atau semacamnya?"
Hedge menyipitkan mata. Sebagian diri Naruto bertanya-tanya apakah laki-laki itu sinting. Tapi sebagian lainnya tahu laki-laki itu tidak sinting.
"Dengar, Bocah," kata Hedge, "aku tak tahu siapa kau. Aku Cuma tahu kau ini apa, dan itu artinya masalah. Sekarang aku harus melindungi kalian bertiga alih-alih hanya dua. Kaulah paket khusus itu? Begitukah?"
"Apa yang Bapak bicarakan?"
Hedge memandangi awan badai. Awan-awan tersebut menjadi kian tebal dan kian gelap, melayang- layang tepat di atas titian.
"Pagi ini," kata Hedge, "aku mendapat pesan dari perkemahan. Mereka bilang tim penjemput sedang dalam perjalanan. Mereka akan datang untuk mengambil paket khusus, tapi mereka tidak mau memberiku rinciannya. Kukatakan kepada diriku sendiri, Ya Sudah. Dua orang yang sedang kuawasi lumayan kuat, lebih tua daripada sebagian anak yang pernah kulindungi. Aku tahu mereka sedang dibuntuti. Aku bisa membaui monster dalam kelompok ini. Kukira itulah sebabnya perkemahan tiba-tiba panik, ingin segera menjemput mereka. Tapi kemudian kau muncul entah dari mana. Jadi, kaukah paket khusus itu?"
Rasa nyeri di belakang kepalanya jadi lebih parah daripada sebelumnya. Blasteran. Perkemahan. Monster. Dia masih tak paham apa yang dibicarakan Hedge, namun kata-kata itu serasa membekukan otaknya—seakan benaknya tengah mencoba mengakses informasi yang seharusnya ada di sana namun tak ada.
Naruto terhuyung-huyung, dan Pak Pelatih Hedge menangkapnya. Untuk ukuran laki-laki pendek, sang pelatih memiliki cengkraman sekuat baja. "Waduh, hati-hati, Bocah Lembek. Kaubilang kau tak ingat apa-apa, ya? Ya sudah. Sepertinya aku harus mengawasimu juga, sampai tim penjemput tiba di sini. Kita biarkan saja sang direktur yang mencari tahu ada apa sebenarnya."
"Direktur apa?" ujar Naruto. "Perkemahan apa?"
"Diam saja di sini. Bala bantuan seharusnya tiba di sini sebentar lagi. Mudah-mudahan tak ada yang terjadi sebelum—"
Petir menggelegar di angkasa. Angin kencang kian menjadi. Lembar kerja beterbangan ke Grand Canyon, dan seluruh jembatan berguncang-guncang. Anak-anak menjerit, terjerembap, dan mencengkeram pagar.
"Aku harus mengatakan sesuatu," gerutu Hedge. Dia meraung ke megafonnya: "Semuanya masuk! Sapi bilang moo! Menyingkir dari titian!"
"Kata Bapak benda ini stabil!" teriak Naruto melampaui angin.
"Pada kondisi normal," Hedge sepakat, "sedangkan ini bukan kondisi normal. Ayo!"
