FIFTY SHADES OF FREED

-TRILOGY OF FIFTY SHADES OF GREY karya EL James-

[REMAKE CHANBAEK VERSION – GS]

.

Chapter 4

.


"Hey, tukang tidur, kita sudah sampai," Chanyeol berbisik.

"Hmm," aku menggumam, enggan untuk meninggalkan mimpi yang menggiurkan tentang Chanyeol dan aku di atas selimut piknik di Taman Kew. Aku sangat lelah. Bepergian ternyata sangat melelahkan, meskipun berpergian menggunakan pesawat kelas satu. Kami sudah berada di atas pesawat selama lebih dari delapan belas jam, kurasa - dalam kelelahan aku hilang arah. Aku mendengar pintuku dibuka, dan Chanyeol condong kearahku. Ia membuka sabuk pengamanku dan mengangkatku keatas tangannya, membangunkanku.

"Hey, Aku bisa berjalan," Aku memprotes sambil mengantuk.

Ia mendengus. "Aku harus membopongmu melewati ambang pintu."

Aku menaruh tanganku dilehernya. "Melewati tigapuluh lantai?" Aku memberinya senyuman menantang.

"Mrs. Park, aku sangat senang untuk mengumumkan bahwa kau bertambah beratnya."

"Apa?"

Ia tersenyum lebar. "Jadi jika kau tidak keberatan, kita akan menggunakan elevator." Ia memicingkan matanya padaku, meskipun aku tahu ia sedang menjahiliku.

Taylor membuka pintu kearah lobi Escala dan tersenyum. "Selamat datang Mr. Park, Mrs. Park."

"Terima kasih, Taylor," kata Chanyeol.

Aku memberi Taylor senyuman tersingkat dan melihatnya kembali kedalam Audi dimana Sawyer sedang menunggu di kursi pengemudi.

"Apa maksudmu aku sudah bertambah berat?" Aku menatap garang pada Chanyeol. Senyumannya semakin lebar, dan dia menarikku lebih erat ke dadanya saat ia membopongku melewati lobi.

"Tidak terlalu banyak," ia meyakinkanku namun wajahnya tiba-tiba menjadi gelap.

"Ada apa?" Aku mencoba untuk menahan kepanikan di suaraku tetap dalam kendali.

"Kau mengembalikan berat badanmu yang tadinya kau hilangkan saat kau pergi meninggalkanku," katanya pelan saat ia menekan tombol elevator. Eskpresi suram melintasi wajahnya.

Kesedihannya yang tiba-tiba dan mengejutkan, menyentak dihatiku. "Hey." Aku menaruh jemariku di wajahnya dan ke rambutnya, menariknya dekat denganku. "Jika aku tak pergi, apakah kau akan tetap berdiri disini, seperti ini, sekarang?"

Matanya melembut, sewarna awan mendung, dan senyumnya senyum malu-malu, senyuman favoritku. "Tidak," katanya dan melangkah kedalam elevator sambil membopongku. Ia turun dan menciumku lembut. "Tidak, Mrs. Park, aku tak mungkin ada disini. Tapi aku akan tahu bahwa aku bisa menjagamu tetap aman, karena kau tak akan membantahku."

Samar-samar terdengar penyesalan dalam nada suaranya... Sial. "Aku suka membantahmu." Aku menggodanya.

"Aku tahu. Dan itu membuatku sangat... bahagia." Ia tersenyum kearahku ditengah kebingungannya.

Oh, terima kasih Tuhan. "Meskipun aku gemuk?" Aku berbisik.

Ia tertawa. "Meskipun kau gemuk." Ia menciumku lagi, kali ini lebih panas, dan aku menautkan jariku di rambutnya, memegangnya agar tetap menciumku, lidah kami bertautan dalam gerak tarian sensual yang pelan, tertaut satu sama lain. Saat elevator berbunyi ping dan berhenti, kami berdua kehabisan nafas.

"Sangat senang," gumamnya. Senyumannya lebih gelap sekarang, matanya temaram dan penuh dengan janji yang cabul. Ia menggelengkan kepalanya untuk memulihkan dirinya sendiri dan membawaku ke serambi.

"Selamat datang di rumah, Mrs. Park." Ia menciumku lagi, lebih murni kali ini, dan memberiku senyuman paten—milik—Chanyeol—Park—bertegangan—ratusan—gigawatt, dimatanya menari-nari kebahagiaan.

"Selamat datang dirumah, Mrs. Park." Aku berseri-seri, hatiku menjawab panggilannya, meluap dengan kebahagiaannya sendiri.

Aku pikir Chanyeol akan menurunkanku, tapi tidak. Ia membopongku melewati serambi, koridor, masuk ke dalam ruang utama, dan mendudukkanku di meja utama di dapur dimana aku duduk dengan kaki yang menggantung. Ia mengambil dua gelas champagne dari lemari dapur dan sebotol champagne dingin dari kulkas - Bollinger favorit kami. Ia dengan cekatan membuka botol itu, tidak menumpahkan sedikitpun, menuangkan champagne berwana pink pucat kedalam masing-masing gelas, dan menyerahkan satu padaku. Mengambil gelas yang satunya, ia dengan lembut membuka kakiku dan maju untuk berdiri diantara keduanya.

"Bersulang untuk kita, Mrs. Park."

"Untuk kita, Mr. Park," Aku berbisik menyadari senyumanku yang malu-malu. Kami bersulang dan meneguk champagne itu.

"Aku tahu kau lelah," ia berbisik, menyapukan hidungnya di hidungku. "Tapi aku benar-benar ingin ke tempat tidur... dan bukan untuk tidur." Ia mencium sudut bibirku. "Ini malam pertama kita kembali ke sini, dan kau benar-benar milikku." Suaranya menghilang saat ia menempatkan ciuman lembut di leherku. Ini pagi buta di Seattle, dan aku sangat lelah, tapi gairah merekah di dalam perutku dan dewi batinku pun mendengkur.

~o00o~

Chanyeol tidur dengan damai di sampingku saat aku melihat cahaya fajar merah muda dan keemasan melewati jendela besar. Lengannya tersampir lembut di atas payudaraku, dan aku mencoba untuk menyamai nafasnya agar aku bisa kembali tidur, tapi itu sia-sia. Aku segar, setiap sel tubuhku bekerja, pikiranku bergerak cepat.

Banyak hal yang terjadi tiga minggu belakangan ini - siapa yang kubodohi, maksudnya adalah tiga bulan belakangan ini - sehingga aku rasa kakiku belum kembali ke tanah. Dan sekarang aku disini, Mrs. Baekhyun Park, menikah dengan seorang mogul paling lezat, seksi, dermawan, paling kaya yang bisa ditemui seorang wanita. Bagaimana ini bisa terjadi begitu cepat?

Aku berbalik, berbaring mirip untuk menatapnya, menilai ketampanannya. Aku tahu ia memperhatikanku saat tidur, tapi aku jarang punya kesempatan melihatnya tidur. Ia terlihat begitu muda dan bebas dalamm tidurnya, bulu matanya yang panjang, sedikit janggut menutupi dagunya, dan bibirnya yang seperti pahatan sedikit terbuka, santai saat ia bernafas dalam-dalam. Aku ingin menciumnya, mendorong lidahku diantara bibirnya, mejalankan jariku diatas janggutnya yg tajam. Aku benar-benar harus menahan keinginan untuk menyentuhnya, tidak mengganggunya. Hmm... aku bisa sedikit menggoda telinganya dengan gigiku dan menghisapnya.

Aku kembali bekerja pada hari Senin. Kami masih punya hari ini untuk menyesuaikan diri, kemudian kami akan kembali ke rutinitas masing-masing. Akan aneh rasanya tidak melihat Chanyeol sepanjang hari setelah melewati setiap menit bersamanya tiga minggu terakhir ini. Aku kembali terlentang dan menatap langit-langit. Seseorang mungkin berpikir bahwa menghabiskan waktu bersama terlalu sering akan sangat menyiksa, tapi itu bukan kasusku. Aku menyukai setiap dan seluruh menitnya, bahkan pertengkaran kami. Setiap menit... kecuali berita kebakaran di Park House.

Darahku berdesir dingin. Siapa yang berniat menyakiti Chanyeol? Pikiranku menggerutu pada misteri ini lagi. Seseorang dalam bisnisnya? Seorang mantan? Pegawai yang tidak puas? Aku tak habis pikir, dan Chanyeol tetap bungkam tentang semua itu, memberi informasi seminimal mungkin padaku dengan dalih untuk melindungiku. Aku mendesah. Ksatria hitam-dan-putihku yang berkilau selalu berusaha untuk menjagaku. Bagaimana caranya agar aku bisa membuatnya lebih terbuka?

Ia berbalik dan aku masih tak ingin membangunkannya, tapi hal itu memberikan efek sebaliknya. Sial! Dua mata cerah menatapku.

"Ada apa?"

"Tak ada apa-apa. Kembalilah tidur." Aku coba memberikan senyum meyakinkan. Ia merenggang, mengosok wajahnya dan kemudian tersenyum lebar.

"Jet lag?" tanyanya.

"Apakah karena itu? Aku tak bisa tidur."

"Aku punya obat mujarab untuk semua penyakit disini, hanya untukmu, sayang." Ia tersenyum seperti anak sekolah, membuatku memutar mata dan terkikik pada saat yang bersamaan. Dan hanya dengan itu seluruh pikiran negatifku tersapu dan gigiku menemukan telinganya.

~o00o~

Chanyeol dan aku bergerak ke utara kearah I-5 menuju jembatan 520 dalam Audi R8. Kami akan makan siang dirumah orang tuanya, makan siang hari Minggu untuk menyambut selamat datang dirumah. Semua anggota keluarga akan hadir, ditambah Luhan dan Jongin. Akan terasa aneh merasakan banyak orang setelah beberapa minggu terakhir hanya ada kami berdua. Aku bahkan tak punya kesempatan berbicara dengan Chanyeol pagi ini. Ia sibuk dengan urusannya saat aku sibuk membongkar kopor kami. Ia bilang aku tak perlu melakukannya, Mrs. Jones yang akan melakukannya. Tapi itu hal lain yang harus mulai kubiasakan - mendapatkan bantuan pelayan. Aku menjalarkan jemariku diatas kulit yang melapisi pintu untuk mengalihkan pikiranku yang mengembara. Aku merasa lelah. Apakah ini jet lag? Khawatir akan pelaku pembakaran?

"Apa kau akan membiarkan aku mengemudikan ini?" aku bertanya, terkejut aku bisa mengatakan katakata itu dengan keras.

"Tentu saja," balas Chanyeol, tersenyum. "Apa yang menjadi milikku adalah milikku. Jika kau membuatnya lecet, Aku akan membawamu ke Red Room of Pain." Ia melirik padaku dengan senyuman jahat.

Sial! Aku melongo menatapnya. Apakah ini lelucon?

"Kau bercanda. Kau akan menghukumku jika membuat lecet mobilmu? Kau lebih mencintai mobilmu dari pada aku?" godaku.

"Hampir," katanya dan mengulurkan tangannya untuk meremas dengkulku. "Tapi mobil ini tak menghangatkanku di malam hari."

"Aku yakin hal itu bisa diatur. Kau bisa tidur didalam mobil," bentakku.

Chanyeol tertawa. "Kita belum berada dirumah selama sehari dan kau sudah menendangku keluar?" Ia terlihat senang. Aku menatapnya dan ia memberikanku senyuman lebar, dan meskipun aku ingin marah padanya, sangat mustahil marah saat ia sedang dalam mood seperti ini. Sekarang hal itu terlintas dipikiranku, ia sudah lebih baik sejak ia meninggalkan ruang kerjanya pagi ini. Dan itu membuatku sadar bahwa aku sedang merajuk padanya karena kami harus kembali ke realitas, dan aku tak tahu apakah ia akan kembali ke mode Chanyeol yang lebih tertutup pra-bulan madu, atau aku akan mendapatkan versi baru yang sudah dikembangkan.

"Mengapa kau sangat senang?" aku bertanya.

Ia menyunggingkan senyum lainnya padaku. "Karena percakapan ini sangat... normal."

"Normal!" Aku mendengus. "Tidak setelah tiga minggu pernikahan! Tentunya."

Senyumannya langsung menghilang.

"Aku bercanda, Chanyeol," gumamku cepat, tak ingin membunuh moodnya. Ini menamparku saat aku menyadari bahwa ia selalu ragu akan dirinya. Aku rasa ia memang selalu seperti ini, tapi hal ini tersembunyi dibalik penampilannya yang mengintimidasi. Ia sangat mudah digoda, mungkin karena ia tak terbiasa digoda. Ini adalah pengungkapan, dan aku menemukan lagi bahwa kami harus saling belajar banyak satu sama lain.

Tuan Park terlihat menggelikan saat menggunakan topi koki dan celemek Licensed to Grill (Berlisensi untuk memanggang) saat ia berdiri disamping barbecue. Setiap kali aku melihatnya, hal itu membuatku tersenyum. Faktanya, semangatku sudah naik lagi. Kami semua duduk mengelilingi meja di teras rumah keluarga Park, saat Sehun dan Chanyeol saling mengejek dan mendiskusikan rencana rumah baru, dan Jongin dan Luhan menginterogasiku dengan pertanyaan tentang bulan madu kami. Chanyeol tetap memegang tanganku, jemarinya memainkan cincin pernikahanku.

"Jadi jika kau bisa menyelesaikan rencana itu dengan Gia, aku punya jangka waktu September hingga pertengahan November dan membawa semua kru untuk menyelesaikannya," kata Sehun saat ia merengang badan dan menaruh lengan di sekitar bahu Luhan, membuat Luhan tersenyum.

"Gia akan datang untuk mendiskusikan rencana itu besok malam," balas Chanyeol. "Aku harap kami bisa menyelesaikannya saat itu." Ia berbalik dan menatap penuh harap padaku.

Oh...ini berita baru.

"Tentu." Aku tersenyum padanya, sebagian besar untuk kebaikan keluarganya, tapi semangatku tenggelam lagi. Mengapa ia mengambil keputusan tanpa memberitahuku? Atau ini karena aku memikirkan Gia - pinggul yang menggoda, payudara yang penuh, pakaian dari perancang mahal, dan parfum - tersenyum terlalu profokatif kepada suamiku? Bawah sadarku menatap garang padaku. Chanyeol tak memberikanmu alasan untuk cemburu. Sial, aku sangat labil hari ini. Apa yang terjadi padaku?

"Baekhyun," panggil Luhan, menarikku keluar dari khayalanku. "Kau masih di Perancis selatan?"

"Ya," aku membalas dengan senyuman.

"Kau terlihat sangat baik," katanya, meskipun ia menegang saat mengatakannya.

"Kalian berdua terlihat sangat baik." Nyonya Park berseri saat Sehun mengisi gelas kami.

"Untuk pasangan yang berbahagia." Tuan Park tersenyum lebar dan mengangkat gelasnya, dan semua orang disekeliling meja mengulangi pernyataan itu.

"Dan selamat untuk Jongin yang berhasil masuk ke program studi psikologi di Seattle," teriak Kyungsoo bangga. Gadis itu memberinya senyuman menggoda, dan Jongin tersenyum lebar padanya. Aku berpikir apakah ia sudah membuat langkah maju dengan Jongin. Sulit dikatakan.

Aku mendengarkan senda gurau disekeliling meja. Chanyeol menceritakan perjalanan kami selama tiga minggu, memberi tambahan di sana sini. Ia terdengan santai dan terkontrol, kekhawatiran akan pelaku pembakaran terhapuskan. Aku, disisi lain, tidak bisa mengubah moodku. Aku mengambil makananku. Chanyeol mengatakan aku gemuk kemarin. Ia bercanda! Bawah sadarku menatap galak padaku lagi. Sehun tak sengaja menjatuhkan gelasnya, mengejutkan semua orang, dan ada kepanikan kecil untuk membersihkannya.

"Aku akan membawamu ke rumah kapal dan menampar pantatmu disana jika kau tidak menghapus mood jelekmu," Chanyeol berbisik padaku.

Aku tersentak, berbalik, dan menatapnya. Apa? Apakah ia menggodaku?

"Kau tak akan berani!" Aku mengerang padanya dan dari dalam aku merasakan kegembiraan yang familiar. Ia menaikkan satu alisnya padaku. Tentu saja ia berani. Aku menatap kearah Luhan di seberang meja. Dia memperhatikan kami. Aku kembali ke Chanyeol, memicingkan mataku padanya.

"Kau harus menangkapku lebih dulu - dan aku sedang menggunakan sepatu rata," desisku.

"Aku akan sangat senang melakukannya," bisiknya dengan senyuman cabul, dan aku rasa ia bercanda.

Aku merona. Anehnya, merasa lebih baik.

Saat kami menyelesaikan makan makanan penutup strawberry dan krim, hujan turun tiba-tiba dan membasahi kami. Kami semua bangkit untuk membawa piring dan gelas dari meja, menaruhnya di dapur.

"Hal baiknya adalah cuaca menahan diri hingga kita selesai," kata Nyonya Park merasa puas, saat kami kembali ke ruang belakang. Chanyeol duduk dikursi piano hitam yang mengkilat, mengijak pedal, dan mulai memainkan nada familiar yang aku tak bisa kenali.

Nyonya Park menanyakan padaku tentang pendapatku mengenai Saint Paul de Vence. Dia dan Tuan Park pergi kesana di bulan madu mereka, dan itu membuatku memikirkan firasat baik, melihat betapa bahagianya mereka sekarang. Luhan dan Sehun bercengkrama di salah satu sofa yang besar saat Jongin, Kyungsoo dan Tuan Park sedang mengobrol tentang psikologi, kurasa.

Tiba-tiba, seluruh keluarga Park berhenti berbicara dan menatap Chanyeol.

Apa?

Chanyeol bernyanyi pelan untuk dirinya sendiri di depan piano. Keheningan meliputi kami semua saat kami memutuskan untuk mendengar suaranya yang lembut. Aku sudah pernah mendengarnya bernyanyi, bukan? Ia berhenti, tiba-tiba penasaran akan keheningan yang terjadi di ruangan itu. Luhan menatap penasaran kearahku dan aku mengangkat bahuku. Chanyeol kembali duduk dan membeku, malu menyadari bahwa ia menjadi pusat perhatian.

"Lanjutkan," desak Nyonya Park lembut. "Aku belum pernah mendengarmu bernyanyi, Chanyeol. Sekalipun." Ia menatapnya penasaran. Chanyeol duduk, menatap ibunya, dan setelah sedetik, ia mengangkat bahunya. Matanya melirik gugup padaku, kemudian ke jendela. Tiba-tiba ruangan menjadi penuh dengan obrolan penasaran, dan aku menonton suamiku tercinta.

Nyonya Park mengejutkanku, memegang tanganku kemudian menarikku ke dalam pelukannya. "Oh, sayang! Terima kasih, terima kasih," bisiknya, jadi hanya aku yang pernah mendengar dia bernyanyi. Hal itu membuat jantungku naik ke tenggorokkan.

"Um.." Aku balas memeluknya, tak habis pikir mengapa ia berterima kasih. Nyonya Park tersenyum, matanya berbinar, dan mencium pipiku. Oh my... apa yang sudah aku lakukan?

"Aku akan membuat teh," katanya, suaranya serak karena air mata yang tak menetes.

Aku menghampiri Chanyeol yang sekarang berdiri, menatap keluar melewati jendela.

"Hai," Aku menggumam.

"Hai." Ia menaruh tangannya disekeliling pinggangku, menarikku kearahnya, dan aku memasukan tanganku ke dalam kantung celana jeansnya. Kami menatap hujan. "Merasa lebih baik?" Aku mengangguk.

"Baik."

"Kau tahu bagaimana membuat ruangan menjadi tenang."

"Aku melakukan itu setiap saat," katanya dan ia tersenyum lebar padaku.

"Di tempat kerja, ya, tapi tidak disini."

"Benar, tidak disini."

"Tak ada yang pernah mendengarmu bernyanyi? Sekalipun?"

"Sepertinya tidak," katanya. "Kita pergi sekarang?"

Aku menatapnya, mencoba menebak moodnya. Matanya lembut dan hangat dan sedikit senang. Aku memutuskan untuk mengganti topik.

"Kau akan menampar pantatku?" aku berbisik, dan tiba-tiba ada kupu-kupu di perutku. Mungkin inilah yang aku butuhkan...inilah yang aku rindukan.

Ia menatapku, matanya semakin gelap.

"Aku tak ingin menyakitimu, tapi aku senang bermain."

Aku menatap gugup ke sekeliling ruangan, tapi kami jauh dari pendengaran.

"Hanya jika kau nakal, Mrs. Park." Ia merunduk dan menggumam di terlingaku.

Bagaimana ia bisa memberikan efek janji yang sensual kedalam enam kata sederhana?

"Akan kulihat apa yang bisa aku lakukan." Aku tersenyum lebar.

Setelah kami berpamitan, kami berjalan kearah mobil.

"Ini." Chanyeol melemparkan kunci R8 padaku. "Jangan dirusak" –tambahnya dengan serius— "atau akan akan sangat marah."

Mulutku menjadi kering. Ia membiarkanku mengemudikan mobilnya? Dewi batinku melompat dalam balutan sarung tangan kulit mengemudinya dan sepatu flat. Oh ya! teriaknya.

"Apa kau yakin?" aku bertanya, terpaku.

"Ya, sebelum aku berubah pikiran."

Aku rasa aku tak pernah tersenyum selebar ini. Ia memutar matanya dan membuka pintu pengemudi sehingga aku bisa masuk. Aku menyalakan mesinnya bahkan sebelum ia duduk di kursi penumpang, dan ia masuk dengan cepat.

"Tak sabar, Mrs. Park?" tanyanya dengan senyuman kecut.

"Sangat."

Perlahan, aku menjalankan mobilnya dan membelokannya ke jalan. Aku berusaha untuk tidak membuatnya mogok, mengejutkan diriku sendiri. Boy, koplingnya sensitif. Dengan hari-hati menjalankan mobil, aku melirik ke spion dalam dan melihat Sawyer dan Ryan naik ke dalam Audi SUV. Aku tak tahu para pengawal itu mengikuti kita ke sini. Aku berhenti sebelum aku masuk ke jalan utama.

"Kau yakin soal ini?"

"Ya," kata Chanyeol mengatakannya dengan tegang, membuatku berpikir ia tak yakin soal ini. Oh, Fifty-ku yang malang. Aku ingin menertawai dirinya dan diriku sendiri karena aku merasa gugup dan bersemangat. Sebagian kecil dari diriku ingin agar Sawyer dan Ryan tertinggal jauh dibelakang hanya untuk bersenang-senang. Aku melihat lalu lintasnya kemudian membawa R8 masuk ke jalan. Chanyeol duduk dengan tegang dan aku tak bisa menahan diri. Jalanan sepi. Aku menginjak pedal gas dan kami meluncur maju dengan cepat.

"Whoa! Baekhyun!" teriak Chanyeol. "Pelan - kau akan membunuh kita berdua." Aku dengan segera menurunkan kecepatan. Wow, mobil ini bisa ngebut! "Maaf," aku menggumam, mencoba untuk terdengar menyesal tapi gagal total. Chanyeol tersenyum lebar padaku, untuk menyembunyikan rasa leganya, ku pikir.

"Well, itu terhitung sebagai tindakan nakal," katanya dengan biasa dan aku melambatkan mobil. Aku menatap di kaca spion dalam. Tak ada tanda-tanda Audi, hanya sebuah mobil gelap dengan kaca yang juga gelap mengikuti dibelakang kami. Kupikir Sawyer dan Ryan bingung, panik untuk mengejar kami, dan untuk alasan tertentu ini membuatku senang. Tapi karena tak ingin membuat suamiku terkena serangan jantung, kuputuskan untuk menjaga sikap dan mengemudi dengan pelan dan percaya diri kearah jembatan 520.

Tiba-tiba, Chanyeol menyumpah dan kesulitan untuk mengeluarkan BlackBerry-nya dari kantong jeansnya.

"Apa?" bentaknya marah pada siapapun yang berada di ujung telpon. "Tidak." katanya dan melirik kebelakang kami. "Ya. Dia."

Aku dengan cepat melirik spion, tapi tak melihat hal aneh, hanya beberapa mobil dibelakang kami.

SUV di belakang empat mobil, dan kami bergerak dalam kecepatan sama.

"Aku mengerti." Chanyeol mendesah panjang dan keras dan menggosok dahinya dengan jarinya, tensi terpancar dari dalam dirinya. Ada sesuatu yang salah.

"Ya...Aku tak tahu." Ia melirikku dan menurunkan telepon dari telinganya. "Kita baik-baik saja. Tetap mengemudi," katanya tenang, tersenyum padaku, tapi senyuman itu tak menyentuh matanya. Sial!

Adrenalinku mulai meningkat. Ia mengangkat telepon lagi.

"Okay di 520. Sesaat setelah kami sampai... Ya.. Pasti."

Ia menaruh teleponnya ke tempat speaker, memasangnya di hands-free.

"Apa yang terjadi, Chanyeol?"

"Perhatikan jalan, sayang," katanya lembut.

Aku bergerak ke arah 520. Saat aku melirik Chanyeol, ia menatap lurus kedepan.

"Aku tak ingin kau panik," katanya tenang. "Tapi segera setelah kita masuk ke jalan 520, aku ingin kau menginjak gas lebih dalam. Kita sedang diikuti."

~o00o~

Diikuti! Sial. Jantungku naik ke mulut, berdetak kencang, kulit kepalaku serasa ditusuk-tusuk dan tenggorokanku kering karena panik. Diikuti oleh siapa? Mataku melihat ke kaca spion dan, tentu saja, mobil gelap yang aku lihat sebelumnya masih berada dibelakang kami. Brengsek! Apakah mobil itu? Aku melirik kearah kaca depan yang gelap untuk melihat siapa yang mengemudi, tapi tak terlihat apapun.

"Alihkan matamu ke jalan, sayang," kata Chanyeol lembut, tidak dalam nada garang yang biasa ia keluarkan untuk mengomentari caraku mengemudi.

Kontrol emosimu! Aku secara mental menampar diriku sendiri untuk menahan rasa takut yang membanjiriku. Apakah siapapun yang mengikuti kami bersenjata? Bersenjata dan mengejar Chanyeol!

Sial! Aku merasa sangat mual.

"Bagaimana kau tahu kita sedang diikuti?" Suaraku desahan, cicitan, bisikan. "Mobil di belakang kita memakai plat mobil palsu." Bagaimana dia bisa tahu hal itu?

Aku memberi sinyal saat kami sampai di 520 dari jalan masuk tol. Sudah sore, dan meskipun hujan sudah reda, jalan masih basah. Untungnya, lalu lintas sepi.

Suara Siwon menggema di kepalaku, terdengar salah satu nasihat dari sekian banyak pertahanan diri yang pernah ia ajarkan. "Paniklah yang akan membunuhmu atau membuatmu terluka parah." Aku menghela nafas dalam-dalam, mencoba membuat nafasku kembali terkontrol. Siapapun yang mengikuti kami, mengejar Chanyeol. Saat aku mengambil nafas dalam-dalam, pikiranku mulai jernih dan perutku mulai tenang. Aku harus menjaga Chanyeol agar tetap aman. Aku ingin mengemudikan mobil ini, dan aku ingin mengemudikannya dengan cepat. Well, ini lah kesempatanku. Aku mencengkram roda kemudi dan melakukan lirikan terakhir ke arah spion. Pengejar itu dekat dengan kami.

Aku menurunkan kecepatan, mengabaikan kepanikan Chanyeol yang tiba-tiba muncul, dan saatnya aku masuk ke 520 jadi Pengejar kami juga harus menurunkan kecepatan dan berhenti untuk menunggu jarak lalu lintas. Aku menurunkan gigi dan menaikkan kecepatan. R8 meluncur maju, melemparkan kami berdua ke sandaran kursi. Jarum speedometer naik menunjuk ke angka tujuh puluh lima mil per jam.

"Pertahankan, sayang," kata Chanyeol tenang, meskipun aku tahu perasaannya campur aduk. Aku meliuk-liuk diantara dua jalur lalu lintas seperti sebuah black counter di game checkers, secara efektif melewati mobil dan truk. Kami sangat dekat dengan danau di bawah jembatan ini, seperti halnya kami sedang mengemudi diatas air. Chanyeol menautkan kedua tangannya diatas pangkuannya, menahannya diam sebisanya, dan sedikit terpikir olehku, aku berpikir bahwa ia sedang melakukan itu agar ia tidak menggangguku.

"Gadis pintar," bisiknya dalam ketegangan. Ia melirik kebelakang. "Aku tak bisa melihat mereka."

"Kami tepat dibelakang unsub, Mr. Park." Suara Sawyer terdengar melalui speaker. "Mobil itu mencoba mengejar anda, sir. Kami akan mencoba dan bergerak kesampingnya, memposisikan kami diantara mobil anda dan si Pengejar."

Unsub? Apa maksud dari kata itu?

"Bagus. Mrs. Park melakukannya dengan baik. Pada saat ini, lalu lintas cenderung lengang - dan dari apa yang aku lihat - kami akan keluar dari jembatan beberapa menit lagi."

"Sir."

Kami melewati menara kontrol jembatan, dan aku tahu kami masih setengah perjalanan menuju Danau Washington. Saat aku melihat kecepatanku, aku masih berada di tujuh puluh lima.

"Kau melakukannya dengan sangat baik, Baekhyun," Chanyeol menggumam lagi saat ia menatap kebelakang R8. Untuk sesaat, nadanya mengingatkanku akan pengalaman pertama kami di ruang bermainnya saat ia dengan sabar mengajariku melewati skenario pertama kami. Pikiran itu mengganggu, dan aku menghapusnya dengan segera.

"Kemana aku harus mengemudi?" Aku bertanya, lebih tenang. Aku dapat merasakan mobil ini sekarang. Ada perasaan menyenangkan mengemudikannya, sangat tenang dan mudah dioperasikan sulit percaya seberapa cepat kami meluncur dijalan. Mengemudi dengan kecepatan ini di mobil ini sangat mudah.

"Mrs. Park, arahkan ke I-5 dan kemudian ke selatan. Kami ingin lihat apakah si Pengejar mengikutimu sampai sana," suara Sawyer terdengar dari speaker. Lampu lalu lintas di jembatan berwarna hijau - terima kasih Tuhan - dan aku melaju kearahnya.

Aku melirik gugup ke arah Chanyeol, dan ia tersenyum meyakinkan. Kemudian wajahnya cemberut.

"Sial!" umpatnya pelan.

Ada deretan mobil didepan saat kami keluar dari jembatan, dan aku harus memelankan laju mobil. Melirik waspada ke spion sekali lagi, aku pikir aku melihat mobil pengejar.

"Sepuluh atau lebih mobil di belakang?"

"Yeah, aku melihatnya," kata Chanyeol, melirik lewat kaca spion. "Aku bertanya-tanya siapa orang brengsek yang ada di dalam?"

"Aku juga. Apakah kita tahu siapa yang di dalam? pria?" Aku berkata kearah BlackBerry.

"Tidak, Mrs. Park. Bisa jadi pria atau wanita. Kacanya terlalu gelap."

"Seorang wanita?" kata Chanyeol.

Aku mengangkat bahuku. "Mrs. Robinson-mu?" Aku menebak, tak mengalihkan pandanganku dari jalan.

Chanyeol tegang dan mengambil BlackBerry dari tempatnya. "Dia bukan Mrs. Robinson-ku," raungnya. "Aku belum bicara lagi dengannya sejak hari ulang tahunku. Dan Elena takkan melakukan ini. Ini bukan gayanya."

"Leila?"

"Dia di Connecticut dengan orang tuanya. Aku kan sudah bilang."

"Kau yakin?"

Ia terdiam. "Tidak. Tapi jika dia melarikan diri, aku yakin keluarganya akan memberitahu Flynn. Mari bicarakan hal ini saat kita berada di rumah. Berkonsentrasilah akan apa yang kau lakukan."

"Tapi mungkin saja itu hanya mobil orang yang tidak kita kenal."

"Aku tak akan mengambil resiko apapun. Tidak saat kau berada di dekatku," bentaknya. Ia mengembalikan BlackBerry itu jadi kami tersambung kembali dengan tim keamanan.

Oh sial. Aku tak mau membuat Chanyeol bingung sekarang... mungkin nanti. Aku menahan lidahku. Untungnya, lalu lintas lebih lengang sedikit. Aku bisa menaikkan kecepatanku melewati persimpangan Mountlake menuju I-5, meliuk diantara mobil lain.

"Bagaimana jika kita diberhentikan polisi?" aku bertanya.

"Itu akan menjadi hal bagus."

"Tidak untuk surat izin mengemudiku."

"Jangan khawatir soal itu," katanya. Anehnya, aku mendengar secercah humor di suaranya.

Aku menekan pedal gas lagi, dan kembali ke angka tujuh puluh lima. Boy, mobil ini sangat hebat. Aku menyukainya - dia sangat mudah dikendalikan. Aku mencapai kecepatan delapan puluh lima. Kupikir aku tak pernah mengemudi secepat ini sebelumnya. Aku sangat beruntung bila Beetle-ku bisa mencapai lima puluh mil per jam.

"Ia melewati lampu lalu lintas dan menaikkan kecepatan." Suara Sawyer tenang dan informatif. "Ia berada di kecepatan sembilan puluh."

Sial! Lebih cepat! Aku menekan pedal gas dan mobil meraung menuju sembilan puluh lima mil per jam saat kami melewati persimpangan I-5.

"Pertahankan, Baekhyun," gumam Chanyeol.

Aku menurunkan kecepatan saat kami masuk ke I-5. Jalan antar negara bagian cukup lengang, dan aku bisa melewati jalan bebas hambatan dalam beberapa detik. Saat aku menurunkan kakiku, R8 yang anggun melesat maju, dan kami membelah jalan, mobil lain menyingkir dan membiarkan kami lewat.

Aku tak takut, aku mungkin sangat menikmati ini. "Ia berada di kecepatan seratus mil perjam, sir."

"Tetap ikuti dia, Luke," Chanyeol membentak Sawyer.

Luke?

Sebuah truk tiba-tiba masuk ke jalur cepat - Sial! - dan aku harus menginjak pedal rem. "Dasar idiot!" Chanyeol menyumpah pada pengemudinya saat kami terlempar dari kursi. Aku bersyukur akan sabuk pengaman kami.

"Lewati truk itu, sayang," desis Chanyeol dari sela-sela giginya. Aku melihat kaca spion dan memotong tiga jalur. Kami melewati mobil yang lebih pelan dan kemudian kembali ke jalur cepat. "Gerakan bagus, Mrs. Park," gumam Chanyeol kagum. "Dimana polisi saat kau membutuhkan mereka?"

"Aku tak mau kena tilang, Chanyeol," aku menggumam, berkonsentrasi pada jalan di depan kami. "Pernahkah kau mendapat surat tilang saat mengemudikan mobil ini?"

"Tidak," katanya, tapi aku melirik cepat padanya, aku bisa melihat senyumannya.

"Pernahkan kau dihentikan?"

"Ya."

"Oh."

"Pesona, Mrs. Park. Semua tergantung pesona. Sekarang konsentrasi. Dimana si pengejar, Sawyer?"

"Ia baru saja mencapai kecepatan seratus sepuluh, sir." kata Sawyer.

Brengsek! Jantungku kembali meloncat ke mulutku. Bisakan aku mengemudi lebih cepat lagi? Aku menurunkan kakiku ke pedal gas sekali lagi dan melesat melewati lalu lintas.

"Nyalakan lampu depan," perintah Chanyeol saat sebuah Ford Mustang tak mau berpindah.

"Tapi itu akan membuatku menjadi seorang brengsek."

"Maka jadilah!" bentaknya.

Astaga. Oke! "Um, dimana lampu depan?"

"Indikatornya. Tarik itu kearahmu."

Aku melakukannya, dan Mustang itu bergerak ke samping meskipun si pengemudi sempat melayangkan jarinya padaku dalam sikap yang sangat—tidak—sopan. Aku bergerak melewatinya. "Dia brengsek," kata Chanyeol dengan nafasnya, kemudian menggonggong padaku, "keluar lewat Stewart."

Ya, sir!

"Kami mengambil pintu keluar jalan Stewart," kata Chanyeol ke Sawyer.

"Langsung ke Escala, sir."

Aku memelan, melihat kaca, sinyal, kemudian bergerak melewati empat jalur dari jalan bebas hambatan dan turun ke jalanan. Masuk ke jalan Stewart, kami bergerak ke selatan. Jalanan lengang, dengan beberapa kendaraan. Dimana semua orang?

"Kita sangat beruntung dengan lalu lintas hari ini. Tapi itu berarti si Pengejar juga beruntung. Jangan menurunkan kecepatan, Baek. Bawa kita kerumah."

"Aku tak bisa ingat arahnya," aku berkata, panik saat menyadari fakta bahwa si Pengejar masih mengikuti kami.

"Ke arah selatan di Stewart. Tetap jalan sampai aku berkata kapan kau harus berhenti." Chanyeol terdengar gugup lagi. Aku melewati tiga blok tapi lampu lalu lintas berubah kuning di Yale Avenue. "Lewati itu, Baekhyun," teriak Chanyeol. Aku menekan keras pedal gas, melemparkan kami kebelakang kursi, menerobos lampu merah.

"Ia masuk ke Stewart," kata Sawyer.

"Tetap ikuti dia, Luke."

"Luke?"

"Itu namanya."

Lirikan cepat dan aku bisa melihat Chanyeol menatapku seakan-akan aku gila. "Perhatikan jalan!" bentaknya.

Aku mengabaikan nadanya. "Luke Sawyer."

"Ya!" Ia terdengar lelah.

"Ah." Bagaimana bisa aku tak mengetahuinya? Pria itu sudah mengikutiku ke tempat kerja selama enam minggu belakangan ini, dan aku bahkan tak tahu nama depannya.

"Itu saya, ma'am." kata Sawyer, mengejutkanku, meskipun ia berbicara dengan nada yang tenang, suara monoton yang selalu ia gunakan. "Unsub itu bergerak melewati Stewart, sir. Dia benar-benar menaikkan kecepatannya."

"Ayo, Baekhyun. Kurangi ngobrolnya," erang Chanyeol.

"Kami berhenti di lampu lalu lintas pertama di Stewart." Sawyer memberi informasi.

"Baekhyun - cepat - masuk ke sana," teriak Chanyeol, menunjuk kearah lapangan parkir di selatan Boren Avenue. Aku berbelok, roda berdecit protes saat aku berbelok masuk ke parkiran yang penuh. "Jalan ke sekeliling. Cepat." perintah Chanyeol. Aku mengemudi secepat aku bisa ke belakang, menjauh dari pandangan jalan. "Di sana." Chanyeol menunjuk ke ruang kosong.

Sial! Dia ingin aku memarkirnya. Sialan!

"Lakukanlah," katanya. Jadi aku melakukannya...dengan sempurna. Mungkin satu-satunya usahaku memarkir dengan sempurna.

"Kami bersembunyi di lapangan parkir antara Stewart dan Boren," kata Chanyeol pada BlackBerry.

"Oke, sir." Sawyer terdengar kesal. "Tetap dimana anda berada; kami akan mengikuti unsub."

Chanyeol berbalik padaku, matanya mencari wajahku. "Kau baik-baik saja?"

"Tentu," Aku berbisik.

Chanyeol menyeringai. "Siapa pun yang mengemudi si Pengejar tak bisa mendengar kita, kau tahu." Dan aku tertawa.

"Kami melewati Stewart dan Boren sekarang, sir. Aku bisa melihat parkirannya. Ia bergerak melewati anda, sir."

Kami berdua lemas pada saat yang bersamaan dalam kelegaan.

"Bagus sekali, Mrs. Park. Cara mengemudi yang bagus." Chanyeol dengan lembut mengelus wajahku dengan ujung jemarinya, dan aku terkejut akan sentuhan itu, menghirupnya dalam-dalam. Aku tak habis pikir mengapa aku menahan nafasku.

"Apakah ini berarti kau akan berhenti mengeluhkan cara mengemudiku?" Aku bertanya. Ia tertawa - tawa keras yang sarkastik.

"Aku tak akan terlalu jauh saat mengatakan itu."

"Terima kasih untuk mengizinkanku mengemudikan mobilmu. Dibawah kondisi seperti itu pula." Aku mencoba untuk meringankan suaraku.

"Mungkin sekarang aku yang harus mengemudi."

"Sejujurnya, aku rasa aku tak akan bisa bergerak dan membiarkanmu duduk disini. Kakiku terasa seperti Jelly." Tiba-tiba aku menggigil dan bergetar.

"Itu adrenalin, sayang," katanya. "Kau melakukannya dengan luar biasa, seperti biasanya. Kau mengejutkanku, Baekhyun. Kau tak pernah mengecewakanmu." Ia menyentuh pipiku lembut dengan belakang tangannya, wajahnya penuh dengan cinta, ketakutan, penyesalan - begitu banyak emosi di satu waktu - dan kata-katanya adalah sumber kehancuranku. Meluap, isakan aneh keluar dari tenggorokanku, dan aku mulai menangis.

"Tidak, sayang, tidak. Kumohon jangan menangis." Ia menggapai dan, meskipun ruangan ini sempit, ia menarikku melewati rem tangan untuk membawaku ke pangkuannya. Ia mengelus rambutku, mencium mataku, kemudian pipiku, dan aku melilitkan tanganku di sekitarnya dan terisak pelan di lehernya. Ia mengubur hidungnya di rambutku dan mendekapku, memelukku erat dan kami duduk, tak ada salah satu dari kami berbicara, hanya memeluk satu sama lain.

Suara Sawyer mengejutkan kami. "Unsub memelankan lajunya di luar Escala. Ia berbelok."

"Ikuti dia," bentak Chanyeol.

Aku mengelap hidungku dengan belakang tanganku dan menghirup nafas dalam-dalam.

"Gunakan kemejaku." Chanyeol mencium keningku.

"Maaf," Aku menggumam, malu akan tangisku.

"Untuk apa? Tak perlu minta maaf."

Aku mengelap hidungku lagi. Ia mengangkat daguku dan menanamkan ciuman lembut di bibirku. "Bibirmu begitu lembut saat kau menangis, gadisku yang cantik dan pemberani," bisiknya.

"Cium aku lagi."

Chanyeol terdiam, satu tangannya di punggungku, satunya lagi di pinggangku.

"Cium aku," aku mendesah, dan melihat bibirnya terbuka saat ia menghirup dalam. Condong ke arahku, ia mengambil BlackBerry-nya, dan melemparkannya ke kursi pengemudi disamping kakiku. Kemudian mulutnya di mulutku saat ia menggerakkan tangan kanannya ke rambutku, menahanku tetap ditempat, dan menaikkan tangan kirinya untuk memegang wajahku. Lidahnya menginvasi mulutku, dan aku menerimanya. Adrenalin berubah menjadi gairah keseluruh tubuhku. Aku memegang wajahnya, menggerakkan jemariku ke cambangnya, merasakannya. Ia mengerang akan responku, rendah dan dalam di tenggorokannya, dan perutku mengencang keras dengan gairah. Tangannya bergerak turun ke tubuhku, melewati payudaraku, pinggangku, dan turun ke pantatku. Aku bergerak sedikit.

"Ah!" katanya dan melepaskan diri dariku, kehabisan nafas.

"Apa?" Aku menggumam di bibirnya.

"Baekhyun, kita di lapangan parkir di Seattle."

"Jadi?"

"Well, sekarang aku ingin bercinta denganmu, dan kau bergerak diatasku... ini sangat tidak nyaman." Hasratku terpilin tak terkendali saat mendengar kata-katanya, mengencang seluruh ototku di bawah pinggang sekali lagi.

"Kalau begitu bercintalah denganku." Aku mencium pinggir bibirnya. Aku menginginkannya. Sekarang. Kejar-kejaran mobil tadi begitu menegangkan. Terlalu menyenangkan. Menegangkan... dan ketakutanku sudah menaikkan libidoku. Ia maju untuk menatapku, matanya gelap dan penuh nafsu.

"Disini?" Suaranya parau.

Mulutku kering. Bagaimana bisa dia menaikkan gairahku hanya dengan satu kata? "Ya. Aku menginginkanmu. Sekarang."

Ia memiringkan kepalanya ke satu sisi dan menatapku selama beberapa saat. "Mrs. Park, betapa beraninya," bisiknya, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya. Tangannya mengencang di rambut ditengkukku, menahanku tetap ditempat, dan mulutnya ada di mulutku lagi, kali ini lebih kuat. Tangannya yang lain turun ke tubuhku, melewati punggung dan turun ke tengah pahaku. Jemariku menggenggam rambutnya.

"Aku bersyukur kau mengenakan rok," gumamnya saat ia menyelipkan tangannya dibawah rok bercorak biru putihku untuk menyentuh pahaku. Aku menggeliat sekali lagi di pangkuannya dan udara lewat disela giginya.

"Tetap diam," erangnya. Ia menangkup kemaluanku dengan tangannya, dan dengan cepat aku terdiam. Jempolnya menyapu klitorisku, dan nafasku tertahan di tenggorokan saat kenikmatan menyentak layaknya listrik di dalam, dalam, dalam tubuhku.

"Diam," bisiknya. Ia menciumku sekali lagi saat jempolnya berputar dengan lembut disekitarku diatas renda celana dalamku yang mahal. Dengan pelan ia menyelipkan dua jemarinya melewati celanaku dan masuk ke dalam tubuhku. Aku mengerang dan menekankan pinggulku kearah tangannya.

"Kumohon," aku berbisik.

"Oh, Mrs. Park. Kau sangat siap," katanya, memainkan jarinya masuk dan keluar, menyiksaku pelan. "Apakah kejar-kejaran mobil membuatmu bergairah?"

"Kau membuatku bergairah."

Ia tersenyum licik dan melepaskan jemarinya secara tiba-tiba, meninggalkanku menginginkannya. Ia menaruh tangannya di bawah lututku dan, membuatku terkejut, ia mengangkatku dan memutarku untuk menhadap ke kaca depan mobil.

"Taruh kakimu di kedua sisi kakiku," perintahnya, merapatkan kedua kakinya. Aku melakukan apa yang ia perintahkan, menaruh kakiku di lantai menghapit kedua kakinya. Ia menjalarkan tangannya turun ke pahaku, kemudian kembali, menarik ke atas rokku.

"Tangan di lututku, sayang. Bersandar maju. Naikkan dua bokong indah itu ke udara. Hati-hati kepalamu."

Sial! Kami benar-benar akan melakukan ini, di lapangan parkir umum. Aku dengan cepat menyisir area didepan kami dan tidak melihat seorangpun, tapi merasakan sensasi unik di seluruh tubuhku. Aku di parkiran umum! Ini sangat panas! Chanyeol bergerak dibawahku, dan aku mendengar suara sretingnya. Meletakkan satu tangan disekitar pinggangku dan tangan lainnya menyentakkan celana rendaku ke samping, ia menurunkanku dengan satu gerakan.

"Ah!" Aku berteriak, turun ke bawah dirinya, dan nafasnya berdesis melewati giginya. Tangannya bergerak ke leherku kemudian ia memegang daguku. Tangannya di leherku, menarikku kebelakang dan memiringkan kepalaku ke satu sisi jadi ia bisa mencium leherku. Tangannya yang lain memegangi pinggulku dan bersama-sama kami mulai bergerak.

Aku naik turun dengan kakiku, dan ia menanamkan dirinya ke dalam diriku - masuk dan keluar. Sensasinya... Aku mengerang keras. Dengan posisi ini terasa sangat dalam. Tangan kananku memegang rem tangan, tangan kiriku berpegangan pada pintu. Giginya berada telingaku dan ia menggigit - rasanya hampir menyakitkan. Ia melesak lagi dan lagi ke dalam tubuhku. Aku bangkit dan turun, dan kami menyeimbangkan ritme, ia menggerakkan tangannya ke bawah rokku ke arah pusat kemaluanku, dan jarinya dengan lembut menggoda klitorisku dari atas celana dalamku.

"Ah!"

"Ayo. Cepat," ia bernafas di telingaku melewati giginya, tangannya masih melingkar di leherku. "Kita harus cepat, Baekhyun." Dan ia menaikkan tekanan jarinya di kemaluanku.

"Ah!" Aku merasakan kenikmatan yang familiar mulai terbangun, membuncah dalam dan tebal di tubuhku.

"Ayo, sayang," ia mengerang di telingaku. "Aku ingin mendengarmu."

Aku merintih lagi, dan aku merasakan semua sensasi, mataku tertutup rapat. Suaranya ditelingaku, nafasnya di leherku, kenikmatan yang ia berikan dengan jemarinya dan dimana ia melesak masuk ke dalam tubuhku, dan aku tersesat. Tubuhku mengambil alih, mencari pelepasan.

"Ya," Chanyeol mendesis di telingaku dan aku membuka mataku perlahan, menatap liar ke arah langit - langit R8, dan aku meremas lagi saat aku datang di sekelilingnya.

"Oh, Baekhyun," ia menggumam, dan melingkarkan tangannya di sekitarku untuk melesakkan miliknya sekali lagi dan diam saat ia klimaks di dalam tubuhku.

Ia menyapukan hidungnya di rahangku dan dengan lembut menciumi leher, pipi, keningku saat aku bersandar padanya, kepalaku tergeletak lemah di lehernya.

"Tensi sudah terlampiaskan, Mrs. Park?" Chanyeol menutup giginya di sekitar telingaku lagi dan mengigit. Tubuhku lemas, sangat lelah, dan aku mengumam. Aku merasakan senyumannya. "Sangat terbantu dengan keberadaanku," tambahnya, menggeserku dari pangkuannya. "Kehilangan suaramu?"

"Ya," aku menggumam.

"Well, bukankah kau makhluk binal? Aku tak habis pikir kau seorang eksibisionis."

Aku duduk dengan cepat, tegang. Ia menegang. "Tak ada yang menonton, kan?" Aku melirik gugup ke sekitar parkiran.

"Apa kau pikir aku akan membiarkan siapapun menonton istriku orgasme?" Ia mengelus punggungku mencoba meyakinkan, tapi nada dalam suarnya membuatku merinding. Aku berbalik padanya dan tersenyum nakal.

"Seks di mobil!" Aku mengklaim.

Ia menyengir dan menaruh rambut ke belakang telingaku. "Ayo pulang. Aku akan mengemudi." Ia membuka pintu untuk membiarkanku turun dari pangkuannya dan keluar ke lapangan parkir. Saat aku melihat kebawah ia dengan cepat membenahi celananya. Ia mengikutiku keluar dan kemudian membuka pintu untukku naik. Bergerak ke sisi pengemudi, ia naik di sampingku, mengambil BlackBerry-nya, dan menelpon.

"Dimana Sawyer?" bentaknya. "Dan si Pengejar? Bagaimana bisa Sawyer tidak bersamamu?" Ia mendengarkan dengan intens pada Ryan, kupikir.

"Wanita itu?" dia terkejut. "Tetap ikuti dia." Chanyeol menutup dan menatapku.

Wanita itu! Si pengemudi mobil? Apakah itu - Elena? Leila?

"Pengemudi mobil itu wanita?"

"Seperti itu kelihatannya," katanya pelan. Bibirnya membentuk garis lurus yang marah. "Mari pulang," gerutunya. Ia menyalakan R8 dengan erangan dan mundur pelan keluar lapangan parkir.

"Dimana, er.. unsub? Lagipula apa maksud dari kata unsub? Terdengar sangat BDSM." Chanyeol tersenyum ringan saat ia menjalankan mobil keluar dan kembali ke jalan Stewart.

"Itu singkatan dari Unknown Subject (Subjek tak dikenal). Ryan mantan FBI."

"Mantan FBI?"

"Jangan bertanya." Chanyeol menggelengkan kepalanya. Jelas ia sedang dalam renungan.

"Well, dimana unsub wanita itu?"

"Di I-5 menuju selatan." Ia melirikku, matanya suram.

Astaga - dari bergairah menjadi tenang menjadi gugup dalam beberapa saat. Aku mengulurkan lenganku dan mengelus pahanya, menjalankan jemariku dengan malas di bagian dalam pahanya, berharap dapat menaikkan moodnya. Ia melepaskan tangannya dari kemudi dan menghentikan pergerakan tanganku.

"Tidak," katanya. "Kita sudah sejauh ini. Kau tak akan mau kita mendapat kecelakaan beberapa blok dari rumah." Ia mengangkat tanganku ke bibirnya dan memberikan kecupan dingin di jari tengahku. Dingin, tenang, berwibawa... Fifty-ku. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa saat ia membuatku merasa seperti seorang anak nakal. Aku menarik tanganku dan duduk diam selama beberapa saat.

"Wanita?"

"Sepertinya begitu." Ia mendesah, berbelok kearah garasi bawah tanah Escala, dan menekan kode akses di komputer keamanan. Pintu gerbang terbuka dan mobil kami masuk, ia memarkirkan R8 di lapangan parkir pribadinya.

"Aku sangat suka mobil ini," aku menggumam.

"Aku juga. Aku suka caramu mengemudikannya - dan bagaimana kau memutuskan untuk tidak merusaknya."

"Kau bisa membelikan satu untuk hadiah ulang tahunku," Aku menyengir padanya.

Mulut Chanyeol ternganga saat aku keluar dari mobil.

"Warna putih, kurasa," tambahku, merunduk dan tersenyum padanya.

Ia tersenyum. "Baekhyun Park, kau tak pernah berhenti membuatku kagum."

Aku menutup pintunya dan berjalan ke ujung mobil untuk menunggunya. Dengan anggun ia keluar, menatapku dengan pandangan itu... padangan yang memanggil sesuatu dalam tubuhku. Aku tahu pandangan itu dengan baik. Begitu ia sampai di depanku, ia membungkuk dan berbisik, "Kau suka mobil ini. Aku suka mobil ini. Aku bercinta denganmu di dalamnya... mungkin aku harus bercinta denganmu diatasnya."

Aku terkejut. Dan BMW silver mengkilat masuk ke garasi. Chanyeol menatapnya gugup, kemudian dengan sedikit kesal dan tersenyum padaku.

"Tapi sepertinya kita mendapat teman. Ayo." Ia menarik tanganku dan bergerak kearah elevator. Ia menekan tombol panggil dan saat kami menunggu, pengemudi mobil BMW bergabung dengan kami. Dia masih muda, berpakaian rapi, dengan rambut gelap dan panjang. Dia terlihat seperti bekerja di media.

"Hai," katanya, tersenyum hangat pada kami.

Chanyeol melingkarkan tangannya disekelilingku dan mengangguk sopan.

"Aku baru saja pindah. Apartemen nomor 16."

"Hello." Aku membalas senyumnya. Ia memiliki mata coklat yang baik dan lembut.

Elevator sampai dan kami masuk. Chanyeol melirih kearahku, ekspresinya sulit ditebak.

"Kau Chanyeol Park," tanya pria muda itu.

Chanyeol memberinya senyuman tegang.

"Noah Logan." Ia mengulurkan tangannya. Dengan enggan, Chanyeol menjabatnya. "Lantai berapa?" tanya Noah.

"Aku harus memasukkan kode."

"Oh."

"Penthouse."

"Oh." Noah tersenyum lebar. "Tentu saja." Ia menekan tombol untuk lantai delapan belas dan pintu menutup. "Mrs. Park, kukira."

"Ya." Aku memberinya senyuman sopan dan kami berjabat tangan. Noah bersemu merah saat ia menatapku terlalu lama. Aku meniru rona merahnya dan tangan Chanyeol mengencang di sekitarku.

"Kapan kau pindah?" tanyaku.

"Minggu lalu. Aku menyukai tempat ini."

Ada keheningan yang canggung sebelum elevator berhenti di lantai Noah.

"Senang bertemu kalian berdua," katanya terdengar lega dan melangkah pergi. Pintu tertutup dibelakangnya. Chanyeol memasukkan kode dan elevator bergerak lagi.

"Ia terlihat baik," aku menggumam. "Aku belum pernah bertemu tetangga sebelumnya."

Chanyeol memandang marah. "Aku lebih suka begitu."

"Itu karena kau seorang pertapa. Aku rasa ia juga senang."

"Seorang pertapa?"

"Pertapa. Terjebak dalam menara putih gadingmu," aku memberikan fakta. Bibir Chanyeol berkedut karena senang.

"Menara gading kita. Dan aku pikir kau punya nama tambahan untuk dimasukkan ke dalam daftar pengagummu, Mrs. Park."

Aku memutar mataku. "Chanyeol, kau pikir semua orang pengagumku."

"Apa kau baru saja memutar matamu padaku?"

Detak jantungku semakin cepat. "Tentu saja," aku berbisik, nafasku tertahan di tenggorokan.

Ia memiringkan kepalanya ke satu sisi, memakai ekspresinya yang membara, arogan, dan terhibur. "Apa yang harus kita lakukan akan hal itu?"

"Sesuatu yang kasar."

Ia berkedip untuk menyembunyikan keterkejutannya. "Kasar?"

"Kumohon."

"Kau ingin lagi?"

Aku mengangguk pelan. Pintu elevator terbuka dan kami sampai dirumah.

"Seberapa kasar?" ia bernafas, matanya menggelap.

Aku menatapnya, tidak berkata-kata. Ia menutup matanya selama beberapa saat, dan kemudian memegang tanganku dan menaikku ke serambi.

Saat kami melewati pintu, Sawyer berdiri di lorong, melihat kami berdua.

"Sawyer, aku ingin laporan satu jam dari sekarang," kata Chanyeol.

"Ya, sir." berbalik, Sawyer kembali ke kantor Taylor.

Kami punya satu jam! Chanyeol melirikku. "Kasar?" Aku mengangguk.

"Well, Mrs. Park, kau sedang beruntung. Aku melayani pesanan hari ini."

Tbc.

Jangan bingung kalau beda scene-nya dari di film ya.

Karena emang di buku aslinya diceritaiinnya seperti itu.

Happy Long Weekend! :*