Disclaimer : Naruto and all the characters mentioned in the story they're all belongs to Masashi Kishimoto. I do not take any financial benefits from this.
Gigglewater
Alunan musik lembut tidak membuatnya rileks, jemarinya mengetuk meja dari batu granit kesal saat bibirnya menyesap paksa minuman beralkohol dingin dari dalam gelasnya.
Entah sudah berapa lama dia berada dalam bar yang berjarak 4 blok dari apartemennya, dia tidak tahu. Lebih tepatnya tidak peduli, karena keputusan yang telah diambilnya malam ini bukan tanpa sebab.
Dia membenci pria itu, sangat membencinya hingga rasanya tidak ingin lagi kembali ke rumah mereka. Pria pirang yang selalu tersenyum padanya, palsu. Terlihat peduli padanya, juga palsu, kalimat cinta yang diucapkan pada saat ketika isi kepalanya penuh oleh sosok itu, mungkin itu juga palsu.
Semua hanya akting, dan itu terasa sangat menyakitkan.
Sekarang hanya bisa menyesali hal yang seharusnya tidak dia lakukan. Bertahun-tahun menjalin hubungan dengan sosok yang sama, membawa sosok itu ke dalam hidupnya, memperlihatkan sisi gelap dirinya, menyerahkan hati juga tubuhnya, dan apa yang dia dapatkan sekarang?
Kekecewaan.
Hanya kekecewaan, dan itu membuatnya gila. Rasa sakit yang tidak tertahankan terasa di seluruh tubuhnya, semakin banyak dia menenggak minuman dari gelasnya, terasa semakin sulit untuk menahan cairan yang ingin menetes dari sudut matanya.
Dia membenci ini, dia membenci untuk menyadari jika jauh di lubuk hatinya dia tidak ingin diperlakukan seperti ini. Hatinya masih mencintai pria itu, tetapi kepalanya berkata 'harus membenci'. Hatinya masih menginginkan pria itu, tetapi kepalanya berkata 'tinggalkan saja'. Hatinya masih menginginkan mereka untuk kembali bersama, tetapi kepalanya berkata 'setelah diperlakukan seperti itu?'.
Kenapa harus dia yang merasa seperti ini sedangkan sosok itu terlihat bahkan tidak peduli, seharusnya dia tahu mungkin memang sejak awal sosok itu tidak pernah mencintainya.
Memang tidak pernah ada cinta dari sosok itu untuk dirinya.
"Brengsek," dia bergumam pelan.
Menunduk dalam, kedua lengannya diletakkan di atas meja, sengaja digunakan untuk menyembunyikan cairan yang mulai menetes membasahi pipinya.
Luapan emosi yang begitu besar tidak sanggup ditahannya, untuk malam ini saja, dia tidak akan peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia akan menangis dan terus menangis, hingga tubuhnya lelah, dan kesadarannya perlahan menghilang karena mengantuk.
Bahkan saat adanya sosok lain yang memerhatikannya diam dari sudut ruangan, dia sudah tertidur lelap.
Sosok yang melangkah pelan menghampirinya, menghela napas saat duduk di sebelahnya, lalu menyentuh lembut pipinya yang basah, mengusap cairan hangat dari wajahnya.
"Kau selalu seperti ini," sosok itu berkata pelan. "Sasuke sudah kubilang alkohol bukan temanmu."
"Alkohol membuatmu memikirkan hal yang tidak penting." Sosok itu kembali menghela napas. "Sudah kukatakan padamu, aku tidak bisa pulang saat makan malam karena pekerjaanku menumpuk. Aku tahu kau kesal, tetapi caramu yang meminum habis persediaan alkohol di rumah itu salah, kau mabuk, dan lihat keadaan sekarang? Kau masih mampu pergi ke bar ini untuk minum setelah menghabiskan beberapa botol penuh?" ada jeda sesaat, "kau bukan peminum yang hebat Sasuke, kau akan mulai memikirkan hal-hal yang tidak penting lalu menangis saat mabuk. Harus berapa kali dalam setahun aku harus melakukan hal ini, huh?"
Sosok itu bersandar pada punggung kursi, memijit keningnya pelan, lalu untuk kesekian kalinya menghela napas.
"Kau tahu apa yang lebih buruk lagi, Sasuke?" sosok itu berkata sambil menarik tubuh lemas tidak berdaya kekasihnya ke dalam pelukan, "besok pagi kau akan bangun, memberikanku ciuman, lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi ..., tanpa mengingat satu pun kejadian dari malam ini. Sekarang ayo kita pulang."
.
End