Perjalanan ke Bandara terasa bagai tanpa akhir. Terlalu panjang dan lama, Hinata duduk mematung tanpa suara di samping Kakashi yang sedang mengemudi. Tangan Hinata mengepal begitu erat sehingga jari-jarinya terasa sakit. Matanya menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong.
Kakashi mendecih pelan, "kau tidak terlalu menyenangkan, nona Hinata."
"Tampaknya aku sudah kehilangan rasa humorku," jawab Hinata.
Kakashi menggeleng tidak setuju. "Kau tidak perlu bersedih karena liburanmu harus dipersingkat. Kami tidak mau kau terjebak terlalu lama di dalam sebuah ilusi, suatu saat kau akan berterimakasih untuk hal ini."
"Mungkin," jawab Hinata singkat. "Tapi maaf, aku sedang tidak ingin berterimakasih padamu—-pada kalian."
Kakashi mengangkat bahunya, "Kau tidak terlalu beruntung dengan pria, ya? Kau meninggalkan tunanganmu demi bersama kekasih barumu, tetapi kekasihmu menjadikanmu sebagai alat untuk pelampiasan balas dendamnya. Benar-benar situasi yang tidak menyenangkan sama sekali."
Ucapan Kakashi tidak memberikan efek apapun atas perasaan Hinata yang terlanjur remuk. Ia sudah tersakiti dengan teramat sangat, sehingga ia tidak mampu lagi merasakan perihnya luka kecil yang diberikan Kakashi.
"Kau terlalu banyak bicara, Kakashi. Apa keluarga Uzumaki membayarmu untuk berbicara sebanyak ini?"
Kakashi menatap Hinata sejenak, matanya tampak pekat dan misterius. "Ya, dan asal kau tahu, aku menyimpan rahasia keluarga Uzumaki dengan sangat baik. Aku bisa membantumu mendapatkan perlindungan hukum jika kau ingin menggugat mereka."
Hinata melemparkan tatapannya ke jalanan yang terlihat ramai. "Seperti yang kau pikirkan, aku ada disini karena kebodohanku. Jadi aku tidak mengharapkan apapun." Suara Hinata lemah dan kecil, hampir tak terdengar.
Kakashi menoleh sesaat untuk mengamati wajah Hinata dari samping. Ia tahu bahwa kejadian ini memberikan pukulan yang begitu kuat. Hinata seperti sebatang kayu yang dihempas badai, patah, luluh lantak dan tercabut hingga ke akarnya.
Secara tiba-tiba Kakashi menepikan mobilnya, meraih selembar tisu dari dashboard mobil dan mengulurkannya pada Hinata.
"Menangislah, aku tahu kejadian ini menyakitimu."
Hinata menatap Kakashi keheranan. "Apa aku terlihat seperti orang yang sedang menangis?" Hinata menunjuk wajahnya yang bersih dari tetesan air mata.
"Tidak. Jelas sekali tidak, tetapi kau sedang menahan tangisanmu, aku bisa melihat itu."
Hinata berusaha tertawa, dan hasilnya terdengar begitu sumbang.
"Kau membuang-buang waktu untuk memperhatikan hal yang tidak menjadi urusanmu."
"Seharusnya kau menangis setelah mengetahui sandiwara kekasihmu yang kejam," ucap Kakashi sambil melajukan mobilnya kembali.
"Aku tidak tahu dimana air mataku bersembunyi."
"Pasti sangat menyakitkan. Aku bisa mengganti jadwal penerbanganmu, Italia menyimpan tempat-tempat yang menarik. Gaara akan menemanimu memperpanjang waktu liburanmu disini, bagaimana, nona Hinata?"
Hinata memilih untuk bungkam beberapa saat. Bayangan liburan yang menyenangkan telah usai dari angan-angannya, sekarang Hinata hanya ingin kembali pulang. Ia akan memulai hidup baru, dan merencanakan masa depannya sekali lagi.
"Tawaran yang menyenangkan, tapi aku tidak tertarik berlama-lama disini," jawab Hinata tegas.
Kakashi tersenyum puas dibalik masker yang menutupi sebagian wajahnya. Sejak pertama kali melihat Hinata, ia sudah yakin bahwa perempuan ini tidak akan bisa disejajarkan dengan kekasih Naruto yang pernah ia temui.
Sebelum Hinata melangkah memasuki lobi bandara, Kakashi kembali menawarkan sebungkus tisu kepadanya.
"Aku tahu kau akan menangis dalam kesendirianmu, jika saat itu terjadi kau harus mengingat bahwa kau tak perlu menyalahkan diri sendiri. Kau hanyalah korban dari dendam yang tak bertuan."
Hinata menerima bungkusan tisu itu dengan mata yang mulai berkabut. Kakashi benar, menangis dalam kesendirian jauh lebih melegakan dibandingkan harus ditemani oleh orang yang tidak memahami arti kesedihannya.
"Jaga dirimu baik-baik, kurasa kita akan bertemu kembali."
Ketika Kakashi telah menjauh dari pandangannya, saat itulah Hinata membiarkan tetesan-tetesan hangat membasahi pipinya yang dingin. Hinata tahu bahwa saat ini ia sedang menangis, ia terluka lebih dari sekedar patah hati.
Hinata bisa melihat di hatinya telah tumbuh pohon nestapa dengan daun-daun kesedihan yang rimbun. Akarnya tumbuh semakin dalam jika ia berusaha untuk melawan, batangnya semakin kokoh ketika ia menyiraminya dengan air mata. Hinata tidak ingin menebang pohon itu sebelum waktunya tepat, sampai akhirnya pohon itu sendiri yang rubuh.
Hinata tidak perlu menulis puisi sedih untuk memberitahukan banyak orang bahwa dirinya sedang berduka. Hinata cukup menyimpan segala duka itu sendirian, hingga suatu saat nanti ia bersiap untuk merelakan.
"Kau tampak buruk sekali," komentar Ino dengan jujur.
"Terimakasih atas dukungannya," ucap Hinata dengan wajah cemberut.
Ino mengamati Hinata yang kuyu dan kurus, seakan seluruh warna kegembiraan telah jauh meninggalkannya.
"Aku serius," ucap Ino sambil menuang teh ke cangkir dan menyerahkannya pada Hinata. "Sejak pulang dari Italia kau tampak kehilangan pegangan hidup, lihatlah badanmu yang hampir menyerupai lidi. Makan siangmu tadi sangat sedikit—dan ini bukan yang pertama kalinya. Jika berat badanmu semakin turun, lama-lama kau bisa menghilang sama sekali."
"Aku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir sejauh itu."
"Jangan kira aku tidak melihat kegelisahanmu, kau mondar-mandir di kamarmu setiap malam saat kau seharusnya tidur."
Hinata menatap Ino dengan pandangan cemas. "Maaf jika aku mengganggumu, mungkin sudah waktunya aku mencari tempat tinggal baru."
"Bukan itu maksudku," ucap Ino sabar. "Aku suka kau tinggal disini, aku punya teman dan bisa mengawasi kelakuan anehmu. Tapi aku penasaran apa yang telah menyebabkan kau bersikap seperti itu."
Hinata menatap teh di dalam cangkir yang diberikan Ino. Ia bisa mencium aroma manis yang menghangatkan.
"Hanya masalah pekerjaan yang menuntutku untuk lebih professional. Ada begitu banyak pesanan yang masuk, hanya ada Miya yang menanganinya sendiri."
Ino menatap raut wajah Hinata yang terlihat menyembunyikan sesuatu. Sepanjang persahabatan mereka, Ino memahami Hinata seperti ia memahami dirinya sendiri. Hinata sama sekali tidak ahli dalam berbohong dan menutupi sesuatu.
"Lantas apa yang membuatmu tampak begitu sedih dan hancur? Apa kau sedang merindukan Toneri?"
Hinata menggeleng cepat, "tidak..."
"Aku memang tidak pernah menganggap bahwa kalian adalah pasangan yang serasi, akan tetapi semenjak kau pulang dari Italia aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku yang telah mendorongmu melakukan sesuatu yang kini kau sesali?"
Hinata memaksakan senyuman. "Kau tidak mendorongku, aku yang terjun sendiri. Toneri tidak sebaik yang aku kira, dan aku sama sekali tidak merindukan dia ada disini. Titik."
Mata biru Ino melebar, otak cerdasnya menangkap bahwa ia telah ketinggalan beberapa episode penting dari kisah cinta sahabatnya ini.
Wajah sendu Hinata memperlihatkan dengan jelas bahwa ia sedang berduka di dalam dirinya sendiri. Bagaimanapun, Ino tidak ingin memaksa Hinata untuk menceritakan semuanya. Akan selalu ada waktu yang tepat untuk membuka tabir rahasia yang kini tengah Hinata nikmati dalam kesendiriannya.
"Apa yang bisa kubantu? Setidaknya aku harus tahu apa yang akan kulakukan untuk membuatmu kembali seperti sedia kala," ucap Ino dengan nada prihatin yang sangat kental.
Hinata menggeleng. "Tidak ada. Kau mengizinkanku tinggal disini saja aku sudah bersyukur. Dan terimakasih untuk tidak terlalu banyak bertanya, kau benar-benar pengertian. Jika nanti apartemenku telah terjual, aku akan segera pindah."
Hinata menjerit pilu di dalam hatinya, bagaimana ia bisa mengakui kepada orang lain tentang ketololan dan kebodohan yang telah dilakukannya? Seringkali Hinata terjaga di tengah malam dan mendapati dirinya menangis pilu.
Sudah hampir enam minggu semenjak kepulangannya dari Italia dan Hinata tidak bisa menempatkan pengkhianatan Naruto di masa lalu—di tempat yang seharusnya—atau menghilangkan raut wajah pria itu dari alam bawah sadarnya. Terkadang Hinata berpikir bahwa apa yang kini dilakukannya adalah sebuah kebodohan yang baru.
Hinata telah memindahkan butiknya ke wilayah baru di Prefektur Chiba. Beberapa calon pembeli telah menghubungi Hinata untuk negoisasi penjualan apartemen miliknya, akan tetapi belum ada satupun yang sesuai dengan harga jual yang Hinata tetapkan.
Dalam kesedihan yang tak kunjung usai, Hinata berpikir bahwa segala kerepotan untuk menghilangkan jejak ini sebenarnya tidak diperlukan. Naruto sama sekali tidak memiliki masalah dalam hal melupakan keberadaannya. Hinata hanyalah sosok yang hadir sebagai pemeran figuran di dalam hidupnya yang bertabur kemegahan.
Setiap kali Hinata terbangun, ia mendapati dirinya berada dalam kelelahan luar biasa dan menyakitkan, sampai ia berpikir untuk memesan tempat di pemakaman terdekat. Hinata merasa ia harus menarik garis batas dengan masa lalu dan meneruskan hidupnya.
Siang ini Toneri menemui Hinata yang sedang sibuk di butik baru miliknya. Saat pertama kali bertatap muka, Hinata tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak marah. Segala kekacauan yang menjadikan Hinata sebagai korban dari pelampiasan dendam ini dimulai dari Toneri. Seharusnya Toneri yang bertanggung jawab atas kesalahan masa lalunya, bukan Hinata.
"Tenanglah," ucap Toneri sambil menyodorkan sebotol air mineral.
Hinata menatap Toneri dengan pandangan penuh luka. Sebagian jiwanya telah direnggut paksa oleh sebuah dendam yang dilumuri pengkhianatan. Hinata tidak hanya marah, tetapi juga benci pada Toneri yang tidak berbuat apa-apa. Seakan laki-laki itu menutup mata atas segala kehancuran Hinata saat ini.
"Semuanya sudah jelas, dan aku tidak butuh pembenaran darimu," ucap Hinata serak.
"Kau harus mendengarkan semuanya, Hinata. Karena kau tidak akan paham bagaimana cara bersikap jika hanya melihat pada satu sisi."
"Kau menghamili Karin dan menolak untuk bertanggung jawab, bagian mana yang ingin kau sangkal?" desis Hinata pelan, penuh kemarahan.
"Percayakah kau jika kukatakan bahwa aku sama sekali tidak pernah menghamili Karin?"
Mata Hinata membola seakan tidak percaya.
"Jangan menyangkal fakta dengan cara yang berlebihan," ucap Hinata geram.
"Itu benar-benar tuduhan yang kejam," ucap Toneri putus asa. "Hinata, dengarkan aku bicara, setelah itu kau boleh membenciku sebanyak yang kau mau."
Mereka bertatapan dengan pandangan yang saling terluka. Hinata terluka karena sikap pengecut Toneri, sementara Toneri terluka melihat Hinata disakiti.
Toneri memulai pembicaraan dengan raut wajah yang berkabut sendu.
"Jujur saja, aku memang mengenal Karin ketika di London dulu. Tapi hubungan kami tidak lebih dari teman. Aku pernah berjanji padanya akan menemaninya dalam suka maupun duka. Kau tahu, dia adalah perempuan manja yang terlalu banyak menuntut. Saat mengetahui dirinya hamil—entah anak siapa—maka ia meminta aku untuk menikah dengannya. Jelas saja aku menolak, selain karena dia yang tidak pernah menarik perhatianku, aku masih punya keinginan untuk mengembangkan karirku—terlebih lagi aku tidak sudi menjadi pelariannya.
"Aku memutuskan kembali ke Jepang tanpa pernah tahu bahwa Karin akan berbuat nekat, dia menyusulku kesini dan tetap memaksaku untuk menikah. Dia menagih janjiku untuk menemaninya dalam suka dan duka. Aku menolak dan memintanya kembali pulang ke London. Beberapa waktu kemudian aku mendapat kabar bahwa Karin melakukan upaya bunuh diri yang membuatnya kehilangan janin itu.
"Aku tidak pernah berpikir bahwa Karin menyimpan dendamnya, hingga Naruto datang dan menyerangku dari segi hukum dan finansial. Saat itu aku datang ke apartemenmu untuk mengatakan bahwa aku telah kehilangan banyak uangku, bahkan tabungan yang telah kusiapkan untuk pernikahan kita.
"Tapi kau disana sedang bercumbu dengan Naruto, aku marah Hinata. Aku membenci diriku sendiri saat tahu bahwa Naruto telah menyentuhmu terlalu jauh—melewati apa yang belum pernah kulakukan padamu." Mata Toneri memerah dengan kesedihan yang menggantung di wajahnya yang kaku. Ada genangan yang ia tahan agar tidak jatuh mengalir.
Seakan dunia sedang mengejeknya, Hinata menatap Toneri dengan rasa bersalah yang lebih menyakitkan dari sebelumnya.
"Aku turut menyesal saat tahu dia membawamu ke Italia, tanpa kau jelaskan aku bisa menebak apa yang telah terjadi padamu disana," ucap Toneri sambil menatap Hinata sepenuhnya.
Hinata merasakan udara di sekitarnya menyempit dan bendungan air matanya jebol seketika. Tangis Hinata pecah, tidak sanggup untuk dibendung lagi. Toneri meraih tangan Hinata, menggenggamnya dengan erat.
"Maafkan aku Hinata. Seharusnya aku tetap berada disampingmu dan mencegah laki-laki lain masuk kedalam hubungan kita. Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu..."
Hinata menunduk, bahunya terguncang dengan isakan yang tak tertahan. Toneri bangkit dan memeluk Hinata, meletakkan dagunya di puncak kepala perempuan itu dengan air matanya yang ikut turun.
Masih sanggupkah Hinata memberikan maaf untuk semua yang telah terjadi?
Hinata mencoba mencari jawaban di dalam kepalanya, diantara isak tangis yang tak kunjung reda. Apa yang harus dilakukannya untuk bangkit dari segala kehancuran ini?
Harta dan kekuasaan telah mempecundangi mereka sedemikian rupa, hingga ketulusan dalam bentuk apapun tertutupi oleh kabut dendam.
Hinata keluar dari apartemen Ino sambil mencari-cari kaca mata hitam di dalam tasnya. Hiruk pikuk lalu lintas terasa memekakkan, ditambah cuaca terik musim panas yang membuat gerah. Hinata tidak mempedulikan semua itu, ia larut dalam dunianya sendiri.
Setelah memakai kaca mata hitamnya, Hinata melirik arloji untuk memastikan waktu. Hinata harus kembali ke apartemen lamanya untuk mengambil beberapa barang pribadi miliknya sebelum pemilik baru apartemen itu datang. Hinata juga telah memutuskan untuk kembali tinggal di Mansion Hyuuga bersama ibunya. Hinata masih mengingat bagaimana raut wajah sendu ibunya ketika ia menceritakan alasan pembatalan pernikahannya dengan Toneri. Ibunya kecewa, tetapi tetap menerima apapun keputusan Hinata dan menyarankan agar Hinata kembali tinggal di mansion Hyuuga.
Saat kembali menjejakkan kaki di ruangan apartemen lamanya, Hinata tiba-tiba merasa galau dan kacau. Selama bertahun-tahun tempat ini telah menjadi ruang pribadinya, tetapi kini tempat ini hanya bercerita tentang Naruto. Miris sekali.
Toneri telah menghabiskan lebih banyak waktu bersama Hinata di tempat ini, tetapi tidak meninggalkan kenangan yang berarti dibanding kehadiran singkat Naruto yang hanya beberapa saat.
Naruto seolah ada dimana-mana, menguasai seluruh sudut ruangan dengan bayangannya. Hinata bisa menemukan kembali dirinya di dalam pelukan Naruto di dapur, berciuman di balkon, mandi di kamar mandi yang sama, dan tentu saja bercinta dengan panas di ranjang kamarnya.
Tanpa bersusah payah, Naruto telah membuat dirinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup Hinata. Naruto juga menjadi hal utama dalam perjalanan kebahagaiaan dan kesakitan Hinata. Tentu saja, semua itu membuat Hinata semakin merasakan perih yang tak tertahankan.
Hinata mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum air mata itu kembali turun. Kehidupan dan kebahagiaan yang pernah ia angankan berbeda dengan kenyataan yang kini membentang luas di depan matanya. Hinata berpikir bahwa ia harus menerima semua ini dengan sikap yang dewasa dan bijaksana, karena apapun yang terjadi di dalam hidupnya akan selalu meninggalkan sebuah pelajaran berharga.
Hinata mengemas barang-barang yang diperlukannya dengan cepat dan cermat. Beberapa box kardus yang berisi barang pribadinya sudah tersusun rapi di dinding dekat pintu. Hinata baru saja selesai meletakkan kardus berisi alat tulis saat bel apartemennya berbunyi. Hinata berpikir bahwa itu mungkin kurir yang diminta Ino untuk membawa barang-barangnya.
Hinata mengatur wajahnya yang kelelahan agar tampak tenang dan membuka pintu dengan cepat. Saat menyadari sosok yang kini berhadapan dengannya, waktu terasa membeku saat itu juga. Senyum ramah yang telah ia persiapkan menghilang tanpa bekas, batinnya menjerit kaget dengan histeris.
"Selamat siang," sapa Naruto dengan santai.
Suara Naruto terdengar tidak asing, masih dengan nada serak dan berat. Suara itu segera membangkitkan Hinata dari keterpanaannya. Hinata meraih pintu dan bermaksud membantingnya di depan Naruto. Namun pria itu terlalu cepat dan kuat, tangan kekar itu menahan daun pintu dan membuat usaha Hinata terlihat sia-sia.
Naruto berjalan masuk dan melewati Hinata dengan santai. "Sekarang kau boleh menutup pintu," ucapnya.
Hinata menarik napas sejenak, menunjukkan kemarahannya sama saja dengan memberikan kesempatan pria itu untuk semakin merasa puas. Hinata mengingatkan dirinya berkali-kali agar tidak kembali terjerat pesona seorang Uzumaki Naruto. Pria itu sudah menyakitinya terlalu dalam dan kini kembali lagi dengan maksud yang sama.
"Kupikir kita telah sepakat untuk tidak saling bertemu lagi," ucap Hinata tegas.
"Tentu saja aku masih ingat," jawab Naruto santai. Mata birunya menatap Hinata dengan binar-binar indah yang mengirimkan luka.
"Dan kau juga tidak lupa bahwa kau dan aku sudah berakhir."
Naruto mengangguk pelan, "dan kau mengatakan bahwa tidak ada yang kita mulai, bukan?"
Hinata menahan gejolak di dalam dadanya yang meminta untuk melemparkan vas bunga ke wajah rupawan Naruto yang tampak sedang mengejek dirinya.
"Untuk apa kau kemari?" tanya Hinata kemudian.
"Untuk bicara denganmu, sayang."
Hinata mematung sejenak. Tidak ada yang perlu ia bantah dari pria superior seperti Naruto. Menolak atau menyerah hasilnya akan sama saja, dan Hinata benci mengakui jika kelemahannya selalu membuatnya kalah.
"Kau boleh saja bicara, aku tidak peduli," ucap Hinata tegas. "Karena aku tidak harus mendengarkanmu."
"Ah," sahut Naruto. "Kau harus mendengarkanku, apapun itu."
Hinata tersenyum mengejek, "Bicaralah kalau begitu, apa kau memerlukan podium, Tuan Uzumaki?"
Hinata mengabaikan kilatan marah yang terpancar dari kedua mata Naruto. Ia melanjutkan menyusun beberapa buku untuk dimasukkan kedalam kardus tanpa mempedulikan keberadaan Naruto disana.
"Kau lebih kurus."
Komentar pertama Naruto diabaikan oleh Hinata sepenuhnya. Hinata menggigit bibirnya dan menatap ke lantai dengan pandangan yang mengabur. Hinata membenci gerakan tangannya yang gemetar tanpa alasan yang jelas.
"Itu bukan sesuatu yang harus kau pusingkan," jawab Hinata, rasanya ia ingin menangis mendengar jawabannya yang terdengar ironis.
"Apa kau sakit?" tanya Naruto lagi.
"Tidak. Aku baik-baik saja." Hinata mengangkat dagu dan menatap Naruto tepat di matanya. "Jika kau kira aku akan merana atau bunuh diri—seperti sepupu bodohmu itu, maka kau salah, Uzumaki-san. Aku menjalani kehidupanku seperti biasa, apa itu memukul harga dirimu?"
Naruto menatap Hinata tanpa menyembunyikan perasaannya. "Lalu kenapa kau menjual apartemen ini dan memindahkan butikmu?"
Hinata mengangkat bahunya. "Aku tidak harus menjelasakan alasan-alasan dari setiap keputusanku kepada orang asing sepertimu." Hinata terdiam sejenak, "Apa hanya ini yang ingin kau ketahui? Kenapa kau tidak menyewa detektif untuk mengetahui alasan kepindahanku?"
"Sudah kulakukan semenjak kau meninggalkan Italia," jawab Naruto.
"Kalau begitu, kau tidak harus ada disini."
"Tentu saja aku harus berada disini, di dekatmu. Ada banyak hal yang ingin kujelaskan padamu." Naruto menahan napasnya sejenak. Tatapan Hinata yang dingin membuatnya semakin terbenam oleh dosa masa lalu yang mungkin saja tak akan dimaafkan oleh perempuan bermata sendu itu.
"Toneri sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Tentang Karin dan aksi balas dendammu yang benar-benar bodoh itu," ucap Hinata sambil berjalan menuju pintu.
"Untuk itu aku ada disini menemuimu."
Hinata bersikap cuek seolah tak mendengar apapun. Ia meletakkan kardus terakhir di tumpukan paling atas dan meraih tas yang ia gantungkan di belakang pintu.
"Tidak perlu berbicara terlalu banyak untuk menjelaskan apa yang telah kupahami," ucap Hinata sambil membuka pintu.
"Aku hanya ingin memohon pengampunanmu atas semua kesalahanku."
Hinata menghentikan langkah dan merasakan sesak yang luar biasa menghimpit dadanya.
"Setelah ini apa lagi? Apa kau ingin aku bersikap manis dan penurut seperti dulu?"
Naruto menggeleng lemah. Ia bisa melihat bahwa kesalahannya telah mencabut habis bunga-bunga impian yang menguatkan Hinata. Perempuan itu telah rapuh hingga mendekati rubuh, naruto tidak akan egois untuk kali ini. Ia terlalu bodoh untuk patuh akan perintah ibu tirinya tanpa mengetahui akar masalah yang sesungguhnya.
Naruto terlalu dibutakan oleh dendam dan ambisinya sendiri, sehingga ia menyakiti sebuah hati yang tidak bersalah sama sekali. Hinata telah membayar segala kebodohannya dengan cara yang teramat mahal.
"Aku hanya ingin kau memaafkanku."
Mereka bertatapan cukup lama, meresapi perasaan masing-masing dengan sebuah luka menganga yang entah kapan akan sembuh.
"Aku cukup puas dengan segala sandiwara dan omong kosongmu, Tuan Uzumaki."