James dan Lily tidak heran dengan kelengketan Harry dan Tom. Tapi, Remus dan Sirius tidak demikian.
.
.
Friends
.::.
TMRHP
I don't own Harry Potter series.
.
.
Tom dan Harry, 5 tahun.
"Oh dear, lihat mereka, James!"
Lily menggeleng penuh afeksi, meraih lengan suaminya, dan menunjuk dua lelaki kecil berambut hitam yang berdiri berdampingan. Keimutan keduanya berhasil menangkap perhatian Lily, benar, tetapi yang membuatnya lebih ingin menjerit gemas adalah bagaimana keduanya tidak mau melepas jalinan tangan mereka. Tidak pernah mau, sejak mereka pertama kali melangkah ke dalam rumah Neville Longbottom untuk menghadiri pesta ulang tahunnya.
Yang membuat Lily tersenyum bangga adalah fakta bahwa putranya yang lucu, Harry, adalah yang pertama menginisiasi kontak itu. Lily melihat Harry menggenggam tangan Tom, dan dengan wajah penuh determinasi seorang anak kecil yang ngotot, dia berkata bak seorang pahlawan, "Jangan lepas tanganku, ya, biar kita tidak terpisah."
Tom Riddle yang biasa berkelit dari sentuhan-sentuhan penuh kasih sayang pun, entah mengapa, menurut saja hari itu. Barangkali dia memutuskan bahwa mencoba menghindari Harry adalah hal yang sia-sia. Atau barangkali, Harry telah cukup banyak menyentuhnya sehingga dia tidak lagi sekaku dulu. Apapun kasusnya, Lily hanya bisa berkata bahwa dia turut merasa senang menyaksikan perkembangan itu.
"Oh." Di sampingnya, James mengamati kedua anak lelaki itu dengan senyum kebapakan yang hangat. "Well, baguslah. Setidaknya, Harry tidak akan rewel dan meminta pulang lebih awal."
.::.
Tom dan Harry, 9 tahun.
"Uhh. James?"
Remus Lupin menggoyang-goyangkan segelas wine merahnya dengan canggung. Hari itu, dia memutuskan untuk mengujungi James dan keluarganya sambil berharap kalau dia bisa merasakan masakan hebat Lily lagi. Skenario yang Remus bayangkan adalah mengobrol lama dan panjang dengan James bersama sebotol alkohol, mengamati Harry yang sedang bermain, dan diajak untuk ikut makan malam di kediaman mereka.
Hanya saja, Remus tidak pernah mengira bahwa dia akan melihat… ini.
Beberapa menit yang lalu, Remus baru saja selesai menuang wine-nya untuk yang kedua kali ketika sosok Harry kecil tampak berlari dari dapur, melintas menuju pintu depan rumah untuk menghampiri sesosok anak kecil yang belum pernah Remus lihat sebelumnya. Dan dengan sebuah teriakan, "Tom!" yang cukup kencang, Harry menerjang anak itu dengan sebuah pelukan erat.
Pikiran pertama Remus adalah, oh, baguslah, Harry mendapat teman akrab baru.
Tetapi pelukan mereka tidak berhenti di situ. Harry, yang masih tertawa-tawa, justru mengeratkan lengannya di sekitar tubuh anak bernama Tom itu. Dan seakan mereka masih belum memberi cukup kejutan untuk Remus, Harry mendongakkan wajahnya kepada Tom dengan sebuah cengiran, lalu menempelkan ujung hidungnya pada hidung Tom.
Remus hampir menjatuhkan gelasnya.
Dia menunggu lima menit. Keduanya belum saling melepas pelukan.
James meneguk habis minumannya dan meletakkan gelasnya di atas meja. "Ada apa, Moony?"
Ragu-ragu, Remus melirik dua anak lelaki itu dari sudut matanya—mereka masih berpelukan—dan ragu-ragu, dia menunjuk keduanya dengan dagu. "Apa mereka selalu… begitu?"
"Siapa? Harry dan Tom?" James terkekeh. "Ah… Berteman dekat, mereka itu. Kau tak tahu seberapa lengketnya mereka. Ini belum ada apa-apanya."
Sekarang, Harry dan Tom berpindah menuju halaman depan. Sambil bergandengan tangan.
James menggeleng. "Mereka tidak bisa dipisah. Tom tidak masalah, tapi Harry… yah, kau tahu bagaimana dia kalau sedang mengamuk."
"Ribut? Seperti ayahnya?" usul Remus.
"Hei, apa maksudmu?" James tergelak. "Tentu saja aku lebih parah dari Harry. Paling tidak, Harry lebih kalem jika dia dekat dengan Tom." Jemari James mengetuk-ngetuk meja selagi dia menoleh kepada Remus. "Memangnya ada apa, Moony, tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Oh, tidak. Mungkin aku… hanya kaget. Harry sudah bertambah besar, dan sekarang dia punya teman baru. Mungkinkah dia sudah lupa dengan Paman Remus?" Remus tertawa dan menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. "Waktu sudah mengubah banyak hal."
"Mengubah banyak hal, memang," James setuju. "Ngomong-ngomong, kau benar. Aku harus mengingatkan Harry kalau dia bahkan belum menunjukkan dirinya padamu. Dasar bocah satu itu… Selalu lupa semuanya kalau sudah ada Tom…"
.::.
Tom dan Harry, 13 tahun.
"Jadi, kalian sama-sama sekolah di Hogwarts?"
Sirius meraih sebuah kue kering yang dipanggang Lily dan memasukkannya ke dalam mulut. Di hadapannya, Harry dan Tom duduk berdampingan dengan buku-buku catatan tersebar di atas meja kaca di hadapan mereka. Keduanya sedang belajar—lebih tepatnya, Harry sedang mengerjakan PR, dan Tom sebagai yang lebih pintar diajak membantunya.
"Iya, Sirius, sudah berapa kali aku bilang?" Harry menggaruk kepalanya yang sudah terlampau berantakan. Sirius melihatnya mengacak rambut dengan frustrasi selama berkali-kali, gagal paham dengan soal fisika yang harus dihadapinya.
"Hei, tidak perlu sewot begitu, Nak. Aku cuma tanya." Sirius mengempaskan dirinya pada punggung sofa yang empuk. "Kau tidak usah serius-serius amat mengerjakannya. Rambutmu bakal ditumbuhi uban."
"Ugh, berisik, Sirius!" Harry mendelik sensi. Matanya memelototi buku pelajarannya dengan tatapan membunuh, seakan dia ingin sekali melemparkan buku itu ke perapian dan menyaksikannya sirna. "Apa pula ini… Tom, bagaimana kau mengerjakan yang ini?"
Tom, yang anehnya terlihat sabar, memajukan tubuhnya untuk melihat pertanyaan yang Harry maksud. Dia bahkan tidak perlu berpikir lebih dari satu menit untuk mengetahui jawabannya. "Ini mudah," katanya. Sirius ingin bersiul kagum. "Kau tinggal perlu menggunakan rumus yang tadi, lihat? Aku sudah bilang berkali-kali, kan? Setiap kau menemui persoalan, kau harus menganalisis setiap faktor yang diketahui. Dari situ, kau bisa berpikir lebih mudah—"
Sirius menyaksikan bagaimana si jenius Riddle itu menjelaskan bak seorang guru muda kepada Harry, yang wajah suramnya mulai sirna sedikit demi sedikit.
"Oh! Aku paham sekarang." Harry buru-buru mencoretkan beberapa hal ke dalam catatannya, lalu menoleh kepada Tom dengan sebuah seringai. "Terima kasih, Tom! Aku tidak tahu bagaimana nasib nilaiku jika tidak ada dirimu, sungguh."
Lalu, dengan begitu mudah, Harry mendekatkan wajahnya untuk mendaratkan sebuah kecupan keras di atas bibir Tom.
Sirius hampir tersedak kue yang baru ditelannya.
"Harry!" teriaknya dengan horor. "Apa yang kau lakukan kepada R-Riddle!?"
"Hah?" Harry mendongak dan menatap Sirius dengan kedipan panjang. "Tom?"
"K-Kau baru saja—menciumnya!" Sirius menunjuk Harry dan Tom secara bergantian. "Kalian baru saja berciuman! Kenapa kalian biasa-biasa saja!?"
"Sirius, kau berlebihan," gumam Harry asal. Usai memberikan satu tatapan datar kepada bapak baptisnya, Harry kembali menulis di buku catatannya dengan kalem. "Barusan itu hanya ciuman, bukan adegan pembunuhan sadis."
Sirius menganga.
"Hanya? Hanya!?"
Harry mengangkat bahu. "Tidak ada salahnya mencium teman, kan?"
Tidak ada salahnya, kata Harry? Sirius ingin menangis. Jelas ada banyak salahnya!
(Sementara itu, Tom berusaha menghindar dari perdebatan dengan berpura-pura membaca buku yang dibawanya.)
"Kau tidak boleh mencium temanmu sendiri!" Sirius melotot. "Sahabat macam apa yang mencium sahabatnya sendiri?"
"Memangnya kenapa?" Harry terdengar sedikit jengkel sekarang. "Kan aku tidak menafsui Tom atau semacamnya."
"Tapi… Tapi…"
Saat Sirius berpikir bahwa dirinya akan pingsan, dia diselamatkan dengan kehadiran Lily yang datang membawa senampan minuman dingin untuk mereka bertiga.
"Apa yang kalian ributkan kali ini, hm?" Lily meletakkan ketiga gelas dengan hati-hati. "Suara kalian terdengar sampai dapur."
"Lily!" Telunjuk Sirius mengarah pada Harry. "Harry mencium Riddle! Di bibir!"
Harapan Sirius adalah Lily akan ikut syok dan memarahi Harry, memberinya ceramah panjang tentang etika berteman yang benar.
Tapi, tidak.
Sirius tahu, semuanya harapannya pupus ketika ibu rumah tangga itu justru memasang senyuman penuh arti, alih-alih menunjukkan keterkejutan dan histeria seperti yang baru Sirius lakukan.
"Oh, itu sudah sering terjadi, Sirius," balas Lily dengan riang. "Mereka memang sudah lengket sekali sejak kecil. Iya, kan, Harry?"
Sering terjadi.
Sering.
Sirius mendadak ingin pulang dan meringkuk di dalam kamarnya sambil merenungi anak baptisnya yang gagal dibimbingnya ke jalan yang benar.
Mungkin, Sirius rasa, ini adalah balasan untuknya, karena dia sendiri sering bermain-main dengan perempuan di masa mudanya.
James, kenapa kau membiarkan anakmu jadi begini homo.
James, kenapa kau membiarkan Harry begitu homo (2).
Untuk sekarang, status fik ini complete dulu ya. Tapi saya masih punya beberapa stok ide buat fik ini, jadi kalau ada cerita tambahan, pasti saya tambah chapter baru.
Terima kasih sudah berkenan membaca dan meninggalkan review!