Penumbra

A fanfic by Presiousca

.

.

.

Kris berdiri terpaku di pintu depan. Dia merasa linglung dan bingung dengan bersamaan.

Pria itu bahkan tak tahu harus bicara apa ketika Jongin dan Sehun terlihat keluar dari ruangan. Seharusnya mereka mengucap salam hangat karena sudah lama tak jumpa. Seharusnya, pertemuan mereka setelah sekian lama menjadi momen yang bahagia.

Seharusnya.

"Dia berada di tempat yang baik," Jongin berbisik sambil merangkulnya.

Kris menunduk penuh sesal kala itu ketika dirasakan, tangan Sehun menepuk-nepuk bahunya. Mereka seharusnya bisa berkumpul kembali dengan lengkap dan bahagia.

Namun sayang, kabar tewasnya model papan atas Korea sekaligus adik tingkat mereka, Cha Yonhee, telah membuat semuanya bertolak belakang.

Ditambah dengan fakta bahwa sahabatnya, Chanyeol beserta dengan Baekhyun masih berada di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif menambah keruh batinnya. Semua kemalangan ini benar-benar membuat Kris hancur. Terlebih hatinya hancur.

Bagaimana pun juga, Yonhee adalah cinta pertamanya di sekolah menengah pertama dan apa yang telah dia lakukan selama ini nyatanya tak mampu membuat wanita itu bahagia. Mungkin, dia melakukan semuanya dengan cara yang salah.

Niat baik juga tak selalu berbuah baik.

Pria itu menatap dari kejauhan, pada foto Yonhee yang berdiri menempel pada guci berisi abunya. Kris terpejam, menahan pedih di mata yang berbuah genangan.

"Kau mau menjenguk Chanyeol 'kan?" Sehun bertanya sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Sedikit banyak tahu bahwa Kris yang paling terpuruk sekarang diantara mereka.

Sahabatnya itu mengangguk dan langsung berbalik pergi. Melihat foto Yonhee lebih lama lagi hanya akan semakin membuatnya hancur. Bahkan sampai saat ini pun, Kris masih tak memiliki keberanian untuk berkata padanya secara langsung tentang semua hal.

Maaf, batinnya berdialog. Berharap agar Cha Yonhee di atas sana mendengar isi hatinya meskipun itu cukup mustahil.

Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk pergi menjenguk Chanyeol bersama-sama. Sehun yang mengemudikan mobil lebih banyak diam karena selain memang tabiatnya begitu, Kris sangat murung sekarang.

Jongin yang biasanya menyahut disela percakapan juga sibuk dengan ponsel, melakukan hal-hal kosong.

"Bagaimana Chanyeol?" tanya Kris memecah keheningan.

Jongin langsung meredupkan ponsel dan berdehem. "Luka tembak di rusuk, tepat di bawah bilik jantung. Kondisinya sekarat saat dibawa ke rumah sakit karena kehabisan darah. Semua orang pesimis kalau Chanyeol akan selamat."

Tak banyak yang bisa Kris lakukan selain mengusap wajahnya dengan kasar setelah mendengar kabar barusan.

"Dia masih koma," Sehun menambahkan.

"Dan Baekhyun?"

"Dia sudah sadar sejak kemarin. Hanya saja-" Jongin terhenti sebentar hanya untuk melihat Kris yang menoleh padanya dengan wajah super cemas. "Dia shock berat. Sejak kemarin Baekhyun tak mau bicara bahkan kepada polisi dan penyidik. Dia benar-benar terguncang."

.

e)(o

.

Setelah kabar bahwa model papan atas Cha Yonhee, resmi dinyatakan sebagai tersangka kasus percobaan pembunuhan menyebar, dunia hiburan dan bisnis Korea memanas.

Pasalnya korban yang merupakan penerus dari Proxima Group itu beserta dengan suaminya hampir meregang nyawa di tangan Yonhee jika saja polisi tak segera datang bersama ambulans.

Kala itu, Baekhyun ingat bahwa segera setelah Yonhee menelepon 911, wanita itu menangis sambil meminta maaf padanya. Pistol dengan sisa satu peluru juga sudah diacungkan ke dahinya ketika Yonhee tiba-tiba bangkit dan berlari pergi.

Baekhyun terlalu lemah untuk mencari pertolongan. Tangan dan kakinya diikat. Mulutnya dibekap. Baekhyun benar-benar sudah pasrah dan tiba-tiba Yonhee kembali dengan segelas teh di tangan.

"Aku tidak ingin kau melihatnya," ucap wanita itu sambil meminumkan teh dengan aroma pala untuknya.

Baekhyun meneguk minuman itu sambil menangis tersedu. Sesekali terbatuk namun Yonhee terus mencekokinya sampai habis.

"Baekhyun sunbae, aku minta maaf."

Segera setelah itu, kepala Baekhyun terasa sangat pusing dan ia pun tak sadarkan diri. Semuanya gelap, tenang dan yang terakhir kali Baekhyun dengar hanyalah suara tembakan yang entah meluncur kemana.

DORR!

Semua itu berlalu dalam gelap. Baekhyun bahkan tak mampu merasakan apa pun dalam waktu yang lama hingga terbangunlah dia di dalam kamar rawatnya. Saat itu ada Yoona, sang Ibu yang tertidur di sofa dengan wajah lelah.

Baekhyun mengangkat kedua tangannya yang ditancapi selang infus untuk merabai perut.

Tangisnya pecah ketika dirasa perut buncitnya masih terasa keras. Syukurlah, bayinya masih ada di dalam sana.

"Dokter bilang kondisimu dan cucu Ibu sudah stabil."

"Baekhyun, Ibu senang kau akan segera sembuh."

"Kita bisa pulang, nak."

"Ayah sangat bersyukur karena kalian berdua selamat."

Dari sekian banyak kabar, nama Chanyeol tak kunjung disebut. Baekhyun menangis dalam tidurnya karena tak ada seorang pun yang menyebutkan nama Chanyeol atau bagaimana kabarnya. Itu membuatnya semakin takut.

Hanya setelah dia bersikeras menanyakan kabar sang suami, Baekhyun baru diberi tahu bahwa Chanyeol mengalami koma.

Dia hancur.

Tepat lima hari setelah insiden penembakan itu, Baekhyun baru diperbolehkan memasuki ruang rawat Chanyeol. Selang medis menembus kulit suaminya di berbagai titik.

Alat bantu pernafasan, suara mesin pendeteksi detak jantung, dan semua wajah iba yang sedang menatapnya, membuat Baekhyun makin terpuruk dalam sedih.

Suaminya yang malang itu tertidur dan tak tahu bagaimana caranya bangun.

Baekhyun membungkuk untuk menjangkau telinga Chanyeol lalu berbisik, "kita akan baik-baik saja."

Satu tetes, dua tetes meluncur jatuh pipi. Ayah dan Ibu mertuanya juga ada di sana, sedang berbincang dengan Kris, Sehun dan Jongin yang datang membesuk.

"Hey..." suara berat Kris menyahut dengan pelan. Pria itu juga meraih bahunya untuk diusap. "Chanyeol pasti kembali," ucapnya.

Baekhyun berbalik. Wajahnya terlihat bukan main kacau. "Darahnya memenuhi lantai kamar kami," ucapnya parau. "Aku pikir aku tidak akan bisa melihatnya lagi."

"Itu pasti sangat mengerikan, aku tahu," Jongin menimpali.

"Kau tidak mengerti..."

Sehun menunduk, menghindari tatapan kesakitan Baekhyun. Jongin dan Kris juga memutuskan untuk diam karena Baekhyun masih terguncang dan belum bisa diajak berbincang dengan baik.

Itu wajar terjadi ketika kau melihat suamimu meregang nyawa dengan mata kepalamu sendiri.

"Jika kau menginginkan sesuatu, jangan segan memanggilku, Jongin atau Sehun." Tawar Kris sambil berjalan keluar dari ruangan.

Baekhyun tersengal disela nafasnya yang berat. Andai saja Kris bisa mewujudkan keinginannya seperti yang dia tawarkan, Baekhyun tak mungkin se-sesak ini dadanya.

Aku hanya ingin agar Chanyeol segera bangun.

.

e)(o

.

Sehari, dua hari berlalu dengan sama. Seminggu, dua minggu juga tak ada bedanya.

Chanyeol masih koma, dan kehamilan Baekhyun kian hari kian menua. Meskipun begitu, keduanya masih selalu dan akan tetap menghabiskan hari-hari mereka bersama dalam senang maupun susah.

Seperti sumpah mereka saat keduanya berdiri di altar.

"Selamat siang. Tidak merindukanku?" sapa Baekhyun sambil mencium dahi Chanyeol si tukang tidur.

Jujur saja, lelaki itu belum terlalu mendapatkan semangat hidupnya kembali karena Chanyeol tak kunjung memberikan tanda kemajuan. Hidupnya sedikit banyak tak tertata. Desas-desus disana-sini tentang hubungan Yonhee-Chanyeol juga membuat segalanya semakin berat.

Baekhyun bahkan masih belum sempat menjenguk keluarga asisten rumah tangga dan penjaga rumahnya yang ikut meninggal karena insiden penembakan kala itu.

Nancy dan Pak Gong yang malang.

"Aku lihat usia kandunganmu sudah tua, Nak. Apa pinggangmu tidak sakit?"

Bibi Yoo yang suaminya dirawat di ruangan yang sama dengan Chanyeol, pagi ini kembali dengan sekeranjang kue beras. Wanita tua itu dengan ramah selalu mengajak bicara Baekhyun yang tak pernah absen menemani Chanyeol dari hari ke hari.

Sekarang mereka berdua berteman dengan baik. Berbagi cerita dan pengalaman sudah jadi rutinitas bersama. Baekhyun senang, setidaknya dia memiliki satu orang yang bisa dia ajak bicara dengan bebas.

"Sedikit. Tapi aku baik-baik saja, Bibi," jawab Baekhyun sambil tersenyum manis.

"Mau Bibi pijat?" Bibi Yoo berdiri dari kursinya, dengan sungguh-sungguh ingin memijat jika saja Baekhyun tak buru-buru menggeleng.

"Tidak-tidak! Tidak perlu, Bibi. Terima kasih."

Bibi Yoo kembali ke kursinya untuk membilas leher sang suami yang juga masih tertidur. Pria tua itu juga mengalami koma pasca operasi pemasangan alat pacu jantung yang sayangnya, berjalan kurang lancar.

Terhitung sudah sebulan lamanya mereka berempat selalu bertemu di ruangan yang sama, dan entah sampai kapan akan begitu.

"Suamimu bagaimana?"

Baekhyun menggeleng. "Tadi pagi aku memberitahu apa jenis kelamin bayi kami. Aku pikir dia akan terkejut sampai bangun, tapi dia masih saja tertidur."

Kemarin malam, dia dan Ibu mertuanya pergi ke rumah sakit untuk melakukan USG. Baekhyun ingin tahu apa jenis kelamin bayinya dan Chanyeol mengingat usia kandungannya sudah jalan enam bulan.

Awalnya, Baekhyun ingin melakukan pemeriksaan ini dengan Chanyeol namun apa daya...suaminya itu tak kunjung bangun.

Satu momen penting yang seharusnya dia lewati bersama Chanyeol, hilang sudah. Baekhyun merenung sambil mengusap kelopak mata suaminya yang sudah lama sekali tak membuka.

Mengapa harus begini?

"Makanlah," Bibi Yoo tiba-tiba datang dan menyodorkan sebuah kue beras berisi kacang merah. "Untuk ukuran seseorang yang hamil, uri Baekhyunee sangat kurus."

Wanita berusia kisaran lima puluh tahun lebih itu tersenyum sampai keriput di ujung matanya melekuk dalam. Baekhyun pun memakan kue beras itu dengan perasaan trenyuh.

"Chanyeolie, kau harus segera bangun agar bisa menyapa Bibi dan Paman Yoo. Mereka sangat baik pada kami," Baekhyun membatin sambil mengusap perut buncitnya.

.

e)(o

.

Memasuki usia kandungan ke delapan bulan, Baekhyun pikir tidak ada salahnya menerima ajakan Hyesun, Ibu mertuanya, untuk berbelanja kebutuhan bayi.

Chanyeol, masih belum bangun seperti biasa.

Dia masih sangat betah tidur di tempat tidurnya yang menyebalkan itu dan Baekhyun pikir terus menerus meratapi nasib bukanlah hal yang benar. Hidup terus berjalan meskipun dia dan Chanyeol masih tertahan di titik yang sama.

Ditambah, kurang dari dua bulan lagi bayi mereka akan lahir dan Baekhyun sudah mempersiapkan mentalnya untuk melahirkan tanpa dampingan Chanyeol.

Membayangkannya saja sudah berat, tapi Baekhyun yakin dia bisa. Lelaki malang itu kini sudah terbangun dari jatuhnya. Berdiri sendiri dan telah tumbuh menjadi lelaki yang kuat dan mandiri.

"Uu yang ini lucu sekali! Lihat gambarnya!" Hyesun mengangkat sebuah setelan berwarna kuning bergambar Pikachu.

Wanita yang sebentar lagi akan menjadi seorang nenek itu tampak sangat bersemangat dalam hal ini. Berbeda dengan Baekhyun yang masih setengah hati.

"Ibu, aku pikir kita jangan membeli terlalu banyak dulu."

Hyesun kaget. "Eh? Kenapa memangnya?" tanyanya sambil memasukkan setelan Pikachu barusan ke troli belanjaan.

Baekhyun menatap tumpukan sepatu, peralatan mandi, perlak dan pakaian bayi yang sudah menggunung di troli.

Seharusnya Chanyeol yang mendorong kereta belanja mereka hari ini. Seharusnya mereka bisa menentukan barang-barang yang akan Baby pakai untuk mandi dan minum.

Seharusnya.

"Aku ingin...membeli beberapa barang dengan Chanyeol."

Hyesun otomatis tertegun, "oh Baekhyun sayang, kau tentu bisa membeli apa pun besok setelah Chanyeol sembuh."

"Aku tahu...aku hanya-" Baekhyun menelan ucapannya ketika dirasa, air mata kembali menggenang di pelupuk. "Ini sudah berbulan-bulan lamanya dan dia masih tetap seperti itu. Ibu, aku takut Chanyeol-"

Tiba-tiba ponsel di saku hoodie-nya bergetar oleh panggilan masuk. Lelaki itu mendapati bahwa nama Sehun lah terpampang di layar.

Baekhyun berdehem sebelum mengangkat telepon dan belum sempat dia mengucap salam, Sehun sudah memberitahukan kabar yang membuat jantungnya seperti mau berhenti.

Baekhyun membatalkan semua belanjaannya.

Dia bilang mereka harus segera kembali ke rumah sakit.

Hyesun bertanya kenapa?

Baekhyun tak menjawab...

Dia hanya terus berkata bahwa mereka harus segera bergegas ke rumah sakit.

Hyesun bertanya lagi, memangnya kenapa?

Baekhyun tersenyum pada Ibu mertuanya itu sambil mengulangi ucapan Sehun yang tadi diucapkan melalui telepon.

"Chanyeol sudah sadar."

Tentu saja kalimat itu terdengar seperti tombol pemacu. Hyesun juga langsung menelepon suaminya untuk memberi kabar bahwa putra mereka sudah sadar. Dengan tergesa keduanya mencegat taksi untuk berkendara kembali ke rumah sakit.

Dan rupanya, semua orang sudah berkumpul di sana, di dalam ruang rawat Chanyeol.

Baekhyun melangkah masuk dengan pelan. Bibi Yoo tampak tersenyum padanya dengan mata berkaca. Teman-temannya dan Chanyeol yang awalnya berkumpul mengerumuni suaminya itu, perlahan memecah diri untuk memberi Baekhyun jalan.

Tatapan mereka bertemu dalam haru. Baekhyun menggigit bibir menahan diri untuk tidak menangis. Dia ingin tersenyum untuk menyambut kembalinya Chanyeol dari tidur lama.

"Hai..." bisiknya dengan suara bergetar.

Baekhyun duduk di pinggir tempat tidur suaminya, merangkum wajah Chanyeol yang jauh lebih tirus dari dulu. "Aku..."

Rasa bahagia dan syukur yang kini membumbung di dada rupanya tak mampu lagi ditahan. Baekhyun buru-buru memeluk Chanyeol-nya dengan erat. Mencium dan berbisik di telinga pria itu tentang seberapa bahagia dirinya sekarang.

Seluruh orang yang ada di dalam ruangan ikut tenggelam dalam suasana haru. Satu persatu berjalan keluar untuk memberi ruang bagi sepasang sejoli ini untuk bercengkerama setelah sekian lama.

"Aku sangat merindukanmu...aku sangat merindukanmu," bisik Baekhyun berulang-ulang sambil menciumi wajah pucat Chanyeol yang dengan perlahan mendapatkan warnanya kembali. "Kau tidak tahu betapa bahagianya aku."

Chanyeol terpejam sambil mengangguk lemah. Pria itu belum bisa bereaksi banyak tapi itu saja sudah sangat cukup bagi Baekhyun. Sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tenang dan lega.

"Aku sangat bahagia sampai dadaku sesak. Aku mencintaimu."

Baekhyun menyaksikan bagaimana bibir Chanyeol dengan susah payah bergerak perlahan. "A-ku...ju-ga."

Si mungil tersenyum sambil balas mengangguk. Hari itu, semua beban dan letih di pundaknya sirna sudah hanya dengan melihat mata Chanyeol yang kini sudah bisa balas menatapnya.

.

e)(o

.

"Kau sangat keren!" Baekhyun berteriak dari pinggir kolam renang selagi Chanyeol melakukan terapi.

Suaminya di tengah kolam, membalas dengan senyum jenaka sampai giginya terlihat berjajar penuh.

Dokter bilang setelah Chanyeol sadar dari koma, dia harus melewati masa pelatihan untuk mengembalikan fungsi motorik tubuhnya.

Koma selama kurang lebih lima bulan membuat otot di tubuh Chanyeol menjadi susah digunakan. Dia tidak bisa bergerak, berdiri, berjalan, berbicara dan lain-lain. Baekhyun tak masalah dengan itu. Dia dengan sabar menemani Chanyeol melakukan rangkaian terapinya.

Hingga kini, lewat sebulan sejak Chanyeol sadar, pria itu sudah bisa melakukan banyak hal.

Bicaranya sudah lancar, jalannya sudah membaik. Hanya saja, kedua tangannya masih belum benar berfungsi terutama di jari jemari. Sekali lagi, Baekhyun bilang tak masalah tentang seberapa lama masa pemulihannya.

Toh menunggu Chanyeol untuk pulih itu jauh lebih menyenangkan ketimbang menunggu Chanyeol untuk bangun.

"Kau pulih dengan cepat. Aku sangat bangga padamu," Baekhyun memberikan handuk kepada suaminya setelah pria itu beranjak dari kolam.

Terapis mereka bilang perkembangan Chanyeol sangatlah pesat. Mungkin dia memiliki motivasi yang kuat pula jadi masa penyembuhan tak akan memakan waktu lama. Semoga.

"Tanganku masih belum pulih betul, padahal aku sangat ingin memelukmu," rajuk Chanyeol sambil mencondongkan tubuhnya kepada si mungil.

"Tidak mau. Kau basah!" tolak Baekhyun sambil menggeleng.

Tak mendapatkan pelukan, Chanyeol langsung membungkuk untuk menempelkan telinganya ke perut buncit Baekhyun. Usia Baby sudah jalan sembilan bulan sekarang. Dia sangat gemar menendang dan melakukan atraksi akrobatik di dalam perut.

Baekhyun kadang mengeluh tak bisa tidur karena ulahnya yang terlalu aktif itu. Namun tetap saja, dia melewatinya dengan penuh syukur.

"Hei, Superbaby, sedang apa di dalam?" sapa Chanyeol sambil menunggu si jabang bayi merespons dengan tendangan, seperti biasa.

Lewat beberapa saat menunggu, Chanyeol tak mendapatkan apa yang dia harapkan.

"Ada yang sedang sibuk sepertinya?"

Baekhyun terkikik geli mendengar kekecewaan Chanyeol barusan.

"Hallo? Daddy calling. Tuut...tuut..." panggilan kedua kembali diluncurkan.

Chanyeol masih menunggu sambil terus menempelkan pipinya ke perut Baekhyun. Namun masih tak ada respons. Chanyeol merengut sebal. Jurus terakhir yang terlintas di benak sepertinya harus dia luncurkan sekarang.

"Halo, Pizza Hut?"

Tiba-tiba tendangan yang Chanyeol harapkan datang. Baekhyun ikut terkaget dan lanjut tertawa geli.

Chanyeol menggeleng gemas. "ternyata kamu ini tukang makan seperti seseorang." Ejeknya sambil melirik Baekhyun.

"Biar saja! Dia 'kan memang anakku." Ujar Baekhyun dengan jahilnya.

Kembali bahagia.

Chanyeol menemukan kalimat itu sebagai penggambaran kehidupannya dengan Baekhyun sekarang. Mereka telah melewati masa sulit bersama setelah banyak halangan yang terlewat. Insiden penembakan itu salah satunya, yang terbesar dan tersakit.

Pria itu sadar bahwa Baekhyun bahkan tak mau atau mungkin belum mengungkit kejadian itu lagi. Mungkin karena trauma atau karena dia lupa? Mungkin keduanya.

Tapi, Chanyeol sadar bahwa Baekhyun harus tahu mengapa mereka bisa mengalami kejadian buruk itu. Semua ini, mungkin bukan sepenuhnya salah Cha Yonhee. Dia dan teman-temannya mungkin yang telah membentuk tragedi ini sejak awal dengan tidak sengaja.

Baekhyun harus tahu.

"Baekhyun...ada yang harus aku ceritakan padamu."

Si mungil menoleh dengan wajah tak terbaca. Sepertinya dia sudah tahu tentang apa yang Chanyeol ceritakan dan benar saja, kata pertama yang suaminya ucapkan setelah itu adalah nama Cha Yonhee.

Kisah itu terucap dengan begitu saja, dimulai sejak wanita itu ditemukan pingsan di kamar mandi sekolah sampai pertemuan terakhir mereka di Jeju. Chanyeol menceritakannya tanpa kecuali hingga pada pertengkaran hebatnya dengan Yonhee di hari dimana Baekhyun mengalami pendarahan.

Semuanya Chanyeol ungkapkan tanpa kurang maupun lebih. Baekhyun menatapnya sedih.

"Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Ku pikir, itu tidak terlalu penting toh semuanya terjadi di masa lalu, Baekhyun."

Yang lebih mungil mengusap perutnya dengan pelan sambil berpikir. "Itu berarti kau belum pernah mengatakan selamat tinggal?"

Chanyeol menggeleng dengan wajah penuh sesal.

Benar. Semua ini tak sepenuhnya salah Yonhee. Wanita itu jatuh hati seperti manusia biasa namun Chanyeol dengan cerobohnya pergi tanpa memberinya kejelasan. Baekhyun mengerti bahwa kebanyakan wanita memiliki hati yang sensitif.

Chanyeol mungkin sudah menyentuh hati Yonhee terlalu dalam. Dan yang pasti, Chanyeol juga sudah melukai perasaan wanita itu terlalu dalam. Baekhyun mengerti.

Meskipun sudah terlambat, Cha Yonhee berhak mendapatkan permintaan maaf yang layak. Semua wanita di dunia ini berhak diperlakukan dengan layak dan tulus bahkan setelah apa yang mereka lewati.

"Mintalah maaf dan ucapkan selamat tinggal dengan layak, Chanyeol," titah Baekhyun sambil memijat tengkuknya.

Jadilah sore itu, Chanyeol meminta Kris, Sehun dan Jongin untuk berkumpul. Mereka menempuh perjalanan sekitar satu jam untuk mencapai pantai Yondae, pantai dimana abu Yonhee ditebarkan.

Matahari terbenam di ujung sana menjadi saksi ketika Jongin jadi yang pertama menghanyutkan kelopak bunga mawar di pesisir pantai. "Maaf karena sudah membuatmu hidup dengan situasi yang sulit. Aku sungguh minta maaf."

Lelaki bermarga Kim itu kembali ke daratan dengan Sehun yang menyusul ke melangkah ke pantai. "Maafkan aku, Yonhee-ya. Aku hanya bermaksud membuatmu bahagia. Aku menyesal." mawar putih di genggaman tangannya dilepaskan ke ombak.

Chanyeol melangkah sampai ombak hampir mencapai lutut. Pria itu membungkuk selama beberapa saat lalu kembali menatap matahari terbenam seolah dia adalah Cha Yonhee. "Aku tidak melanjutkan sekolahku di Ceongshim, aku minta maaf. Aku tidak pernah menghubungimu lagi setelah itu, aku minta maaf. Aku...tidak mengucapkan selamat tinggal padamu, aku minta maaf. Maaf karena tidak sempat mengucapkannya selagi kau masih disini. Semoga di kehidupan selanjutnya, kau selalu bahagia, Yonhee-ya."

Dan giliran terakhir jatuh pada Kris.

Pria itu melangkah sampai pahanya terhempas ombak, lebih dalam dari yang lain. Matanya yang berkaca-kaca pun memantulkan cahaya kemerahan matahari terbenam. "Aku menyukaimu. Aku yang merencanakan semuanya karena aku tidak ingin kau menyakiti dirimu sendiri lagi. Kau adalah cinta pertamaku. Itulah sebab kenapa aku ingin kau terus hidup," ucapnya dengan lirih. "Maafkan aku."

Entah sudah ke berapa kalinya Kris menangis penuh sesal begini sejak kepergian Cha Yonhee. Entah sudah berapa banyak.

"Sudah saatnya pulang," ajak Chanyeol sambil menepuk bahu Kris.

Pria itu terlihat sesenggukan dan Chanyeol yang sudah mengerti tentang perasaan terpendam sahabatnya itu mencoba menenangkannya. Sehun dan Jongin juga datang untuk merangkul temannya yang tengah terpuruk itu.

Penyesalan Kris yang teramat berat terasa menahan kaki untuk melangkah. Ada banyak hal yang ingin dia sampaikan pada wanita itu. Banyak sekali. Namun semuanya sudahlah sangat terlambat.

"Maakan aku."

Dan selalu saja, hanya kalimat itu yang mampu Kris ucapkan.

.

e)(o

.

Empat tahun kemudian...

Blitz kamera menyorot ke wajah mungil lelaki yang duduk di panggung itu. Di sampingnya juga telah duduk seorang pembawa acara terkenal yang dulu sering Baekhyun lihat memandu banyak talk show.

Sekarang, mereka berdua bahkan bisa duduk di sofa yang sama dengan dirinya sebagai bintang tamu. Sebuah pencapaian yang luar biasa.

"Baekhyun ssi, aku dengar bukumu diangkat dari kisah nyata, apa itu benar?"

"Ya, kurang lebih. Aku tidak benar-benar ada di kisah itu tapi aku kenal narasumbernya. Beberapa dari mereka bahkan berpartisipasi langsung dalam melakukan editing," jawab Baekhyun sambil membenarkan kacamata yang bertengger di hidung.

Kris dan Sehun yang datang untuk mendukungnya kala itu langsung melambaikan tangan dari kursi paling belakang. Baekhyun tersenyum geli mengingat perjuangan mereka ketika proses editing dilakukan. Semuanya berjalan sangat alot.

"Mereka benar-benar banyak membantu dalam pembuatan buku ini."

Wajah-wajah penasaran para wartawan di hadapannya kini terlihat sangat menggugah seleranya. Tak disangka, acara perilisan buku barunya yang bertajuk Penumbra itu diminati banyak orang dan wartawan dari berbagai media.

Baekhyun, jujur saja merasa sangat bangga.

"Bisa kau ceritakan sedikit tentang isi bukumu ini? Wow, covernya bagus." tanya sang pembawa acara sambil memperhatikan sampul bukunya yang bergambar gerhana bulan.

Sambil mengerucutkan bibir, sang penulis mengangkat buku barunya untuk dipamerkan. "Kalian bisa langsung membacanya disini."

Beberapa dari para wartawan tertawa menanggapi jawaban Baekhyun yang meminta untuk membaca bukunya saja. Kris dan Sehun di belakang sana terlihat menepuk jidat dengan kompak.

"Lalu kenapa judulnya Penumbra? Padahal bukumu bukan tentang astronomi."

Pertanyaan yang masuk akal.

"Karena aku menggambarkan kesedihan sebagai sesuatu yang ada tapi tidak terlihat. Banyak orang bersikap seolah semua hal baik-baik saja tapi di dalam, mereka memendam beban mereka sendiri. Aku hanya ingin agar, kita bisa lebih memedulikan perasaan orang-orang di sekitar kita."

Baekhyun pikir jawabannya sudah mewakili apa yang ingin dia sampaikan melalui buku barunya ini. Tentang bagaimana manusia sekarang terlalu acuh dengan perasaan orang lain dan berlaku sesuka hati mereka.

Baekhyun pikir, jawabannya sudah mewakili kisah apa yang ingin dia ceritakan di dalam bukunya ini. "Di masa depan, aku ingin agar semua orang bisa merasakan dicintai dan mencintai dengan tulus."

Tepuk tangan menyambut sesi penutupan perilisan buku barunya ini. Baekhyun tak bisa lebih bahagia dari apa pun karena kini, tulisan yang dia ketik mampu menyampaikan pesan yang bermakna. Bukan hanya sekadar cerita fiktif yang didasari imajinasi belaka.

Dia ingin, membagikan pesan kebaikan ini kepada semua orang yang membaca agar tak ada lagi sosok-sosok Cha Yonhee yang malang di masa depan. Karena pada dasarnya, siapa pun yang berhati layak mendapatkan cinta yang tulus dari sesama.

"Pappa!"

Suara teriakan yang sangat Baekhyun sukai itu terdengar melengking ketika dirinya berjalan ke halaman depan gedung. Adam, putra pertamanya dengan Chanyeol yang kini sudah berusia empat tahun itu berlari dengan masih mengenakan seragam sekolah.

"Hai, Iron Man!" Baekhyun berjongkok untuk menerima pelukan dari putra tampannya yang mendapat hampir seluruh wajah Chanyeol. Bahkan telinganya juga sama. "Apa itu di tangan Adam?"

Putra kecilnya itu lalu memperlihatkan sebuah origami pesawat berwarna biru kepada Baekhyun. "Pesawat jet untuk Pappa!"

BeST PapPA EveR! AdaM lOVE yOu :D

Baekhyun tak kuasa untuk menahan rasa harunya setelah membaca pesan yang Adam tulis di sayap pesawat itu. Putra kecilnya sudah besar...

"Ooh...terima kasih, Jagoan. Kau manis sekali," pujinya sambil mencium pipi Adam berkali-kali dengan gemas.

"I know..." balas putranya berlagak sombong.

Baekhyun mendengus tak percaya. "Siapa yang mengajari Adam begitu, hum?"

"Daddy!"

Yang disebut tiba-tiba terlihat melambai dari lapangan parkir.

Baekhyun seharusnya tahu kalau suaminya yang menyebalkan itu akan mengajari putranya ilmu yang aneh-aneh.

"Hei!" sapa Chanyeol sambil mencium pipi Baekhyun. "Apa semuanya lancar?"

Pria itu terlihat mengenakan pakaian santai hari ini. Chanyeol terpaksa melewatkan acara perilisan buku barunya karena hari ini Adam melakukan sesi pemotretan untuk majalah sekolah. Salah satu orang tua harus mendampingi dan Chanyeol harus mau melakukannya karena Baekhyun tidak bisa.

Yeah...Chanyeol mengambil cuti selama satu hari dari kantornya karena...kenapa tidak? Dia sudah menjabat sebagai CEO Proxima Group. Dia bisa melakukan banyak hal termasuk cuti mendadak.

Untung saja dia memiliki asisten seperti Jongin yang siap memback up-nya setiap saat.

"Ya. Banyak sekali wartawan yang datang. Aku terkejut. Mereka juga banyak bertanya."

"Itu menakjubkan! Suamiku sekarang adalah seorang selebriti dan aku jadi Daddy rumah tangga," jawab Chanyeol sambil menggandeng Baekhyun menuju mobil mereka.

"Kau berbakat menjadi apa pun. Terima kasih juga karena sudah menjemput Adam. Kau bertemu wali kelasnya 'kan?" Baekhyun memasang seatbelt sambil melirik Chanyeol di belakang.

Sedang sibuk dengan Adam yang sepertinya mulai mengantuk.

"Wali kelas? Untuk apa?" tanya Chanyeol sambil memasangkan sabuk pengaman untuk putra mereka yang sudah setengah tertidur.

Baekhyun menatap suaminya dengan bingung. "Tentu saja untuk membahas klub sepak bola. Miss Hanbilang sekolah membuka pendaftaran untuk kelas junior."

Suaminya itu tak menjawab. Hanya duduk di belakang kemudi dan malah bersiul santai. Mesin mobil dihidupkan dan rumah mereka adalah tujuan selanjutnya. Chanyeol yang berlagak sibuk mengemudi itu bahkan tak mau balas menatap Baekhyun yang masih menunggu jawaban.

Sepertinya, pria yang sudah Baekhyun nikahi selama kurang lebih enam tahun ini tak menemui wali kelas Adam.

Baekhyun menarik nafas. "Park Chanyeol!?"

Yang dipanggil memejamkan matanya menahan gelora kemarahan Baekhyun. "Hey Honey, putra kita ingin jadi pilot, oke? Adam itu tidak suka sepak bola."

Baekhyun bersedekap dengan wajah tak percaya. Jika saja Adam sedang tak duduk di kursi belakang, pasti dia sudah berteriak-teriak kesal karena betapa sok tahunya Chanyeol ini.

Atau jangan-jangan dia memang tahu?

Jujur saja, Baekhyun iri setengah mati karena itu berarti putranya bercerita lebih banyak hal kepada Chanyeol ketimbang dirinya.

Chanyeol mengedikkan bahu. "Hehe putra kita lebih terbuka padaku. Jangan iri."

.

e)(o

.

Malam harinya, setelah mereka berdua menemani Adam mengerjakan tugas rumah.

Baekhyun yang duduk di tempat tidur itu masih sibuk memandangi origami pesawat yang Adam buat di sekolah. Pesan yang tertulis di sayap pesawat tak pernah gagal membuat bibir tipis itu tersenyum geli meskipun sudah dibaca berkali-kali.

"Apa itu yang membuat suamiku tersenyum sangat manis?" Chanyeol berjalan keluar dari kamar mandi mengenakan jubahnya.

Baekhyun lalu memperlihatkan pesawat buatan Adam dengan penuh rasa bangga. "Adam membuatnya untukku. Tulisannya bahkan terlihat lucu sekali."

"Coba lihat." Chanyeol mengambil pesawat itu lalu membolak-balikkannya. Bibirnya mencebik sombong. "Dia juga membuat satu untukku, tapi isi pesannya berbeda."

"Coba lihat!"

Pria itu berjalan untuk mengambil sesuatu dari dalam saku jaket yang tadi siang dia gunakan untuk menjemput Adam di sekolah. Benar saja, dari sana diambilnya sebuah origami pesawat yang bentuknya hampir sama dengan milik Baekhyun.

PAP, ADAM MAU PUNYA ADIK YANG BANYAK!

Baekhyun mengernyit setelah membaca pesan yang tertulis di sayap pesawat itu. "Chanyeol...ini 'kan tulisanmu sendiri."

Pria itu lalu duduk di sebelah Baekhyun sambil mengendus aroma rambut si mungil, "bukan...itu tulisan Adam."

"Ini tulisanmu!"

"Bukan~"

"Tulisanmu!"

"Oke, aku yang menulis tapi Adam yang mendikte," tukas Chanyeol sambil menciumi leher Baekhyun dengan agresif.

Yang lebih mungil mencoba mendorong wajah suaminya menjauh. "HuHU bOhoNg SekAli~"

Chanyeol yang memang telah memimpikan untuk menghabiskan malam ini dengan melakukan 'olahraga ranjang' itu dengan lancang melesakkan tangannya ke balik piama Baekhyun. Pria itu mengelus dada si mungil sambil sesekali memelintir sesuatu di dalam sana yang sebenarnya sangat ingin dia hisap.

"Mmh Chanyeol-" Baekhyun masih berusaha untuk menjauhkan tangan Chanyeol yang kini pindah merambati perut lalu turun ke balik celana piama.

Dengan sigap, tangan besar itu menggenggam sesuatu di bawah sana untuk dipijat dan dimainkan dengan seenaknya. "Ayo kita buatkan Adam adik yang banyak~"

"EHH! CHANYEOL!"

.

.

.

The End


Bacods:

Dari ehh jadi ahh. Bayangin aja sendiri yak. Udah jago kan kalean? Udah dong.

Beribu makasih buat yang baca dari awal ampe akhir, yang berenti di tengah-tengah, yang kecewa, yang seneng, yang haus yo yang haus mijon mijon.

Makasi yak. Till we meet again, wish u guys doing well. Yodah, salam dari anak moge yang kakinya jinjit! Bhay!