"Complete"

.

.

Sehun x Luhan

And OC(s)

T+ or M

Chaptered

.

AU. Family. Romance. Drama.

lil Hurt/Comfort

Genderswitch. DLDR!

.

Happy Reading!

.

.

PROLOG

Suatu hal yang pada awalnya hanya sesederhana ini. Mereka bertemu, kemudian saling mengenal. Salah satunya ingin mengikat hubungan pertemanan mereka menjadi lebih. Tapi, suatu permohonan datang menghampiri pemikiran yang gunda, yang mencegat di satu pilihan tersulit.

Ketika, salah seorang di antara mereka harus memilih. Mengutamakan perasaan cinta atau perasaan prihatin.

Mana yang harus lebih dulu di utamakan?

Hingga pada akhirnya, ketidakberdayaan perasaan lebih mengambil alih segalanya. Menjadikan cinta itu sebagai pengorbanan, bahkan sampai detik ini perasaan cinta itu belum dapat terbalaskan.

Sampai akhirnya, penyesalan datang di akhir. Apakah semua rasa ini hanya bertahan sampai disini saja?

Semakin lama, semakin mencari. Dan, akhirnya mereka kembali bertemu. Di saat itulah seorang di antara mereka, yang menyimpan perasaan terpendam itu. Ingin mengutarakan semua kejujurannya selama ini.

Tentang cintanya. Tentang hatinya yang sesungguhnya.

Namun, semua itu tak berjalan sesuai rencana.

Setidaknya, ada rahasia besar yang selama ini di simpan rapat-rapat. Rahasia yang hanya beberapa pihak yang mengetahuinya. Kedua pihak yang telah tiada, dan kedua pihak yang masih bersedia bungkam selama ini.

Sehingga, Ia sendiri harus mencari. Jawaban apa yang tersirat dari rahasia besar itu. Jika Ia ingin, cintanya benar-benar terbalaskan dari orang yang tepat.

.

.

.

Chapter 01

.

.

.

"Daddy."

Sebuah panggilan yang mengalihkan seluruh perhatian Sehun dari perkerjaannya yang tengah memasak di pantry mansion mewah mereka. Saat ini, Sehun tengah memotong beragam macam sayuran menjadi bagian yang kecil-kecil untuk di masukkan kedalam kuah kaldu ayam yang telah menciptakan buih meletup- letup di dalam panci.

"Oh, Sayang? Sudah bangun, hm?." Sehun tersenyum pada sosok mungil cantik dan menggemaskan yang tengah mengucek matanya lesu.

Gadis kecil itu masih dalam mode kantuknya. Terlihat dari cara bibir kecilnya yang menguap lebar. Membuat mata sayunya menyipit dan sedikit mengeluarkan air mata di sudutnya. Rambut coklat bergelombangnya acak-acakkan, tapi yang Sehun lihat bukanlah sosok gadis mungil yang berantakan.

Melainkan sosok gadis mungil yang sangat manis dan manja.

Sehun bersimpuh di lantai marmer yang dingin. Sedangkan satu tangannya yang bersih mengusap sayang puncak kepala si manis. Tak lupa, Ia memberikan kecupan selamat pagi di kedua pipi gembil gadis cantiknya.

Hal rutin yang tak pernah Sehun lupakan selama gadis ini telah ada di dunianya.

"Daddy, memasak ya?." Mata sayunya lebih terang sekarang. Berbinar ketika indra penciumannya menangkap aroma lezat menggiurkan yang menjadikan perut kecilnya bergejolak karena lapar.

Sehun menggendong gadis kecil itu dengan satu tangan kekarnya. Sedangkan tangan yang lain sedang sibuk mengaduk sup ayam lezat buatannya yang sebentar lagi akan matang di dalam panci kecil itu.

"Wah! Sup ayam!" pekik riang si kecil.

"Haera suka sup ayam kan?." Tanya Sehun riang. Ia tidak merasa berat sama sekali ketika harus menggendong Haera, putri kecilnya yang saat ini baru saja memasuki usia empat tahun.

"Eung! Haera paling suka sup ayam buatan, Daddy. Rasanya enak, ayamnya juga banyak." Gadis itu berceloteh senang.

Sehun terkekeh mendengar penuturan polosnya. Ia mematikan kompor, dan menatap Haera penuh kasih sayang yang berlimpah.

"Memang, sup ayam buatan bibi Jung tidak enak? Hm?."

"Enak 'sih. Tapi, Dad. Sup buatan bibi tidak terlalu banyak ayamnya! Lebih banyak wortel dan kentang. Haera tidak suka kentang!." Bibir ranumnya cemberut. Dahinya mengernyit tak suka. Seolah sup buatan bibi-nya –pengasuh Haera, benar-benar membuatnya jengkel.

Sehun tertawa lebih keras kali ini. Ia membawa Haera untuk duduk di kursi mungilnya. Gadis kecilnya ini, bagaimana bisa Ia membandingkan masakan buatan bibi Jung yang selalu bergizi dan nikmat dengan masakan buatan daddynya yang terkadang tak semuanya berakhir baik.

Tapi, setidaknya Sehun bangga bahwa Haera memilih masakannya.

"Kata Bibi Jung, sup buatan daddy terlalu asin, Haera. Apa benar?." Sehun menuangkan sup ayam buatannya kedalam mangkuk kecil, yang tentu saja lebih banyak ayamnya untuk Haera. Dan memberikannya pada gadis kecilnya, dengan satu mangkuk nasi penuh juga satu gelas susu hangat untuknya.

Sehun akan mengusakan apapun supaya Haera selalu tumbuh dengan sehat dan badan yang lebih gembil.

Haera menatap senang pada makanan yang telah diberikan sang Ayah untuknya. Bibirnya mengecap tak sabar. Sehun baru ingin mengambil sendok untuk gadisnya. Namun, Haera langsung menolaknya dengan senyum.

"Daddy, Haera ingin makan sendiri."

"Yakin? Ini sup, Sayang. Kuahnya panas, biar daddy yang menyuapi Haera. Oke?."

"E-um. Tidak, Dad! Bibi Jung bilang, kalau Haera sudah harus belajar makan sendiri. Dan, Haera ingin mencobanya, Dad."

"Kau yakin, Sayang?." Sehun menatapnya ragu, sebersit ada rasa khawatir.

Bagaimana jika kuah panas dari supnya menyentuh kulit putrinya nanti? Haera bisa saja menjatuhkan sendoknya jika Ia tidak pandai.

Walau Sehun tahu, bahwa gadis kecilnya adalah anak yang cerdas. Terbukti dari cara biacaranya yang semakin fasih, dan tak lagi cadel seperti awal di umurnya yang masih tiga tahun dulu.

Haera mengangguk dengan yakin. Ia memohon dengan mata kecoklatannya yang membulat.

Sehun menghela nafas pasrah dan mengangguk. Membiarkannya kali ini.

"Tapi tetap harus hati-hati, Oke?."

"Ayey! Kapten!." Haera membuat gerakan hormat yang lucu dengan mata beningnya yang tersenyum menyipit.

Eyesmilenya membuat Sehun teringat pada seseorang.

Tangan kecilnya yang cukup berisi, mengambil sendok dengan cembungnya yang besar. Mengambil sup ayamnya dengan hati-hati.

"Daddy! Bagaimana? Apa Haera sudah besar? Haera sudah bisa memegang sendok sendiri hehehe, " Haera menatap sang Ayah yang duduk di sampingnya dengan berbinar. Tawanya berderai ringan.

Sehun menatapnya penuh haru. Selama ini, Sehun tak pernah lupa untuk memperhatikan bagaimana perkembangan dari tumbuh kembang putrinya. Dari Ia lahir, sampai sebesar ini. Sehun selalu memperhatikannya meski jadwal kesibukannya di kantor benar-benar menyita segala waktunya.

Tapi, sebisa mungkin Sehun tak akan menyianyiakan waktunya untuk memperhatikan Haera.

Termasuk saat ini, ketika Ia menyaksikannya langsung bahwa putrinya benar-benar telah berkembang dengan baik. Walau baru memegang sebuah sendok, Sehun sudah sangat bangga padanya.

"Putri Daddy benar-benar pintar! Sekarang, tiup kuah supnya pelan-pelan, lalu coba rasakan bagaimana rasa dari supnya, Sayang. Daddy menunggu nilai seratus dari Haera."

Haera mengangguk semangat. Ia melalukan apa yang seperti sang Ayah katakan padanya barusan. Meniup-niup kuah supnya dengan pelan sebanyak tiga kali, lalu mencicipi kuah itu kedalam mulutnya.

Mata Haera terpejam ketika merasakannya. Membuat Sehun menatapnya semakin penasaran. Selama ini, Haera selalu bilang jika sup buatannya enak. Meski bibi jung mengatakan jika kuahnya terlalu asin dan sebagainya.

Terlalu asin juga tak baik untuk kesehatan Haera. Jadi, Sehun berharap kali ini supnya benar-benar pas dan enak.

Mata Haera terbuka, Ia menatap sang Ayah dengan berkedip-kedip. Tapi sedetik kemudian, Ia tersenyum sangat bahagia. Membuat gerakan tangan dengan mengacungkan jempol mungilnya di hadapan Sehun yang terperangah melihatnya.

"Enak sekali, Daddy! Daddy hebat." Pekiknya kelewat riang dengan tawa kecil. Membuat wajah bayinya semakin terlihat menggemaskan.

Membuat Sehun menghela nafas bangga lewat bibirnya.

"Kalau begitu, Haera harus makan yang banyak. Arra?."

"Arra, Dad."

Begitu saja kesederhaan mereka di minggu pagi ini. Hal yang selalu membuat Sehun merasa begitu bahagia. Ini adalah weekendnya yang berharga untuk Sehun. Karena di setiap akhir pekannya, Ia akan menghabiskan semua waktunya hanya kepada Haera.

Adanya Haera sangat berarti baginya. Ia lah alasan Sehun masih bertahan sampai saat ini.

Bertahan untuk kesediaannya yang harus merelakan semua impian indahnya di masa lalu. Merelakan masa depan yang seharusnya sudah Ia raih bersama seseorang yang dulu Ia cintai. Tapi, Sehun tak menyesal.

Haera, tidak pernah bisa membuat Sehun menyesali keputusannya.

Meski sampai detik ini, Ia juga merindukan sosok itu.

Bagaimana kabarnya setelah sepuluh tahun mereka tidak pernah bertemu lagi?

.


Complete


.

Sehun bukanlah seorang pria mapan yang single parent. Ia punya istri yang begitu cantik. Sosok wanita dengan kepribadian lembut dan sangat manja. Tapi, juga rentan.

Wanita yang telah menemaninya sebagai teman hidup sejak pernikahan usia muda mereka yang terjadi beberapa tahun silam. Wanita yang juga telah berjasa, menghadirkan Oh Haera untuknya, untuk mereka.

Mendapatkan anugrah seorang putri yang cantik jelita bukanlah perkara yang mudah. Sehun dan istrinya –Kang Hanna, mereka berdua sudah melewati begitu banyak rintangan dan permasalahan pelik yang terjadi di masa lalu.

Pada awalnya, Sehun tak pernah mempermasalahkan pun jika Hanna tak bisa memberinya keturunan. Mengingat kondisi sang istri yang cukup lemah kala itu, mereka sering kali mengalami kegagalan hanya untuk melahirkan satu malaikat kecil.

Hanna telah mengalami banyak sekali rasa sakit. Termasuk tiga kali keguguran di usia kandungan yang baru menginjak sekitar tujuh minggu. Bukan karena Ia terjatuh atau apapun. Semua sebabnya adalah tentang rahimnya yang tak cukup kuat.

Meski sudah beberapa kali melakukan terapi untuk mencoba menguatkan rahimnya, namun hasilnya tetap sama. Hanna tak seperti wanita bersuami kebanyakan yang bisa mendapatkan keturunan dengan mudah.

Kemudian, mereka akhirnya menyepakati suatu keputusan sulit yang dokter sarankan. Yang menguras segala tekanan batin dan mental.

Kegigihan Hanna yang ingin memiliki seorang bayi juga menjadi beban sangat berat untuk Sehun dulunya. Sehun tak masalah jika pun mereka tak akan memiliki anak. Mereka bisa mengadopsi bayi lucu dari panti asuhan. Biarpun begitu, Sehun akan menyayanginya setulus jiwa seperti anak kandung mereka sendiri.

Secara medis, Sehun terbukti sangat sehat. Baik dari segi kesehatan di dalam dirinya, maupun raganya. Namun, Hanna tidak. Selain karena Ia memiliki kondisi kandungan yang lemah, wanita itu juga mempunyai riwayat penyakit jantung.

Hal yang selalu membuat Sehun akan mengalah. Menerima segala kehendak Hanna meski Ia harus menyesali semua itu di kemudian hari.

Tapi untuk keputusan menghadirkan Haera ke dunia. Sehun tidak pernah menyesalinya sedikit pun.

"Daddy, kita akan bertemu dengan mommy kan?." Haera bertanya antusias. Gadis manis ini sudah di dandani dengan begitu menggemaskan oleh salah satu maid.

Surai panjang bergelombangnya yang berwarna coklat muda, di kepang menjadi dua bagian di sisi kiri dan kanan. Ada jepit berbentuk bunga juga yang tersemat di atas kepalanya. Poninya yang panjang juga di sematkan bersama jepitnya.

"Tentu, Sayang. Kita akan mengunjungi mommy lagi. Haera rindu mommy ya? Hum?." Sehun bersimpuh di depan putri kecilnya yang tengah berdiri penuh senyum. Puncak kepala gadis kecil itu Sehun usap dengan lembut.

"Eung," Haera mengangguk dua kali, "Haera sangat ingin memeluk mommy." Gumamnya dengan bibir melengkung ke bawah.

Membentuk suatu ekspresi sedih bercampur rindu yang tercermin jelas di dalam matanya. Sehun menatap mata bening kecoklatan itu. Ia akan selalu mendapatkan ketenangan di setiap kali menatap mata Haera yang berkilauan.

Meski Sehun tak mengerti, bahwa itu bukan-lah bagian dari dirinya ataupun bagian dari Hanna, istrinya.

"Jangan sedih, Oke." Sehun mengecup puncak kepala kecil Haera dan berdiri, mengangkat tubuh ringkih putri kecilnya dalam gendongan kuat, "Jjah. Ayo kita ke rumah sakit untuk bertemu dengan mommy." Serunya semangat. Mendatangkan pekikan ceria di bibir kecil putrinya.

Kemudian Sehun melangkah ringan menuju pintu utama dengan semua tatapan mata para maid yang tertuju ke arah mereka.

"Asyik! Bertemu mommy. Bertemu mommy." Katanya dengan nada yang dilantunkan seperti bernyanyi di tengah kebahagiaan dan kerinduan membuncah di dalam dirinya.

Haera memeluk leher sang Ayah erat-erat, menghadiahkan kecupan basah menyenangkan di pipi kanannya.

Sehun tertawa gemas untuk hadiah kecil itu. Ia mendudukkan Haera dengan hati-hati di dalam mobil dengan sabuk pengaman yang mengunci kuat di tempat duduknya.

Pun Ia juga mendudukkan dirinya di kursi kemudi. Dengan Haera di sebelahnya, yang tengah melambai ceria untuk berpamitan kepada para maid. Sehun menjalankan mobilnya dengan perlahan. Membelah jalanan kota yang ramai untuk sampai di salah satu rumah sakit ternama Negara ini.

Tempat dimana istrinya di rawat disana.

.

.

Aroma ini sudah begitu familiar untuk Sehun. Tajam dan menusuk. Obat-obatan dan alkohol seperti telah membaur di setiap tempat. Sehun menatap sebuah pintu kamar VVIP yang bertuliskan angka 201 di depannya.

Ruang perawatan di depannya ini sudah seperti menjadi rumah kedua untuknya, untuk Haera lebihnya.

"Ayo buka pintunya, Dad." Haera berseru gemas.

Menghela nafas ringan, Sehun menggenggam knop pintu besi itu kemudian membukanya perlahan. Mendorong pintu itu hingga kedatangan mereka langsung di sambut oleh aroma menyengat yang semakin menusuk di paru-paru.

Aroma yang dulunya membuat Sehun sering kali pusing, namun sekarang Ia sudah terbiasa menerimanya.

Haera berlari dengan kaki kecilnya. Menuju ranjang besar sang Ibu yang terbaring lemah tak berdaya disana. Kaki kecil Haera bersusah payah untuk naik ke atas kursi. Ia mengerahkan seluruh energi kecilnya, hingga pantatnya mendarat begitu nyaman di atas kursi itu.

"Mommy, Haera menepati janji lagi kan?" tangan mungilnya mengambil telapak tangan pucat sang Ibu yang terpasang selang infus disana. Kedua tangan kecil Haera hanya mampu menggenggam satu tangan Ibunya saja.

"Mommy," kemudian Ia mengecup sayang pergelangan tangan sang Ibu yang sangat di cintainya. "Haera rindu, Mommy." Bibir kecilnya bergetar, mata bening kecoklatannya mulai basah oleh tangis yang sebentar lagi akan luruh dari sana.

Sehun tidak bisa berbuat banyak. Setiap moment ini terjadi sebenarnya sungguh membuat hatinya sesak. Kalau saja Sehun bisa, Ia ingin agar Haera tak perlu terlalu sering untuk bertemu dengan Hanna.

Tangis Haera adalah kelemahan utama untuk Sehun. Ini akan menjadi perasaan sakit yang menyesakkan hatinya. Meski sang istri terbaring tak berdaya di atas ranjangnya, namun itu tak cukup untuk membuatnya merasa sesakit ketika Ia mendapati putrinya terisak pelan.

"Ssst, Mommy tidak suka kalau Haera cengeng. Jangan menangis lagi, Sayang." Sehun berdiri tepat di sisi Haera, membawa kepala kecil yang tertunduk sedih itu untuk masuk dalam pelukan hangatnya.

Sehun mengusap punggung kecil bergetar putrinya, mencoba untuk menenangkannya.

"Hiks, Dad. Haera rindu, Mommy." Ujarnya dengan suara serak yang terdengar cukup menyakitkan di telinga Sehun.

"Tentu, Mommy pasti juga rindu Haera." Sehun mengecup puncak kepala putri kecilnya, melepaskan pelukan Haera dengan perlahan, "Jangan menangis, oke? Daddy tidak suka kalau melihat Haera sedih." Dengan senyum penuh cinta, Sehun menghapus lembut linangan airmata putrinya.

Kedua mata beningnya Sehun kecup satu-satu. Haera mengangguk kecil dan menghentikan tangisnya meski tubuhnya masih sesenggukkan.

Kembali, Sehun membawa Haera dalam dekap. Tangannya tiada henti memberi usapan di punggungnya. Sehun memandangi sosok istrinya dengan rasa prihatin. Di genggamnya tangan sang istri yang tadinya di kecup oleh putrinya.

Meski sejujurnya, Sehun tidak terlalu mencintai Hanna. Tetapi Ia tetap menyayangi wanita ini. Istrinya yang telah berjasa menghadirkan Haera untuknya. Kenyataannya, Hanna lah yang telah menemani hidupnya selama ini. Bahkan, sejak lama sekali.

Sehun telah memahami Hanna melebihi wanita itu mengenal dirinya sendiri. Ia menikahi wanita ini bukan tanpa sebab, dan biarlah alasan itu menjadi kenangan lalu yang tak perlu di ungkitnya kembali.

Sehun menggenggam pergelangan tangan istrinya. Terkejut ketika jemarinya tak sengaja merasakan denyut nadi sang istri yang terlampau samar. Kemudian, suara bising dari mesin EKG membuat atensinya beralih untuk sekedar melihat garis hitam memanjang yang bergerak naik-turun sangat lambat disana, dan menyadari jika sesuatu yang tidak baik sedang terjadi pada Hanna.

Sehun di landa kecemasan hebat. Matanya bergerak gelisah, dan Ia mendekap Haera lebih erat. Tangannya yang lain mencari tombol darurat di dekat ranjang istrinya dan saat menemukannya, Ia menekan tombol itu brutal.

Berharap bala bantuan akan segera datang.

"Dad," Haera meremat gusar kemeja sang Ayah, Ia mendongak dan menatap kalut pada rasa cemas Ayahnya yang terlihat jelas di wajah tampannya itu.

Kemudian, sebelum Sehun sempat mendengar panggilan kecil itu. Pintu kemudian terbuka lebar dengan mendatangkan beberapa dokter kepercayaan yang telah merawat Hanna selama ini.

"Tuan Sehun—"

"Kumohon, tolong selamatkan nyawa istriku." Sehun memotong perkataan sang dokter. Dengan cepat, semua dokter mengangguk dan mulai berbagi tugas untuk menjalankan misi penyelematan mereka.

Segala macam alat kedokteran semakin banyak mengerubungi di tubuh Hanna. Matanya terlalu terpejam erat untuk menyadari jika suami dan anaknya tengah ketakutan saat ini.

Sehun tidak bisa membawa Haera pada situasi semencekam ini. Udara rasanya begitu menipis hingga nafasnya begitu susah Ia dapatkan. Di landa kecemasan yang meningkat, Sehun tidak bisa berbohong jika apa yang di takutinya bisa saja terjadi.

Lelaki itu membawa diri dan Haera yang Ia gendong erat-erat untuk keluar dari ruangan ini. Seolah tahu apa yang akan menimpa sang Ibu, Haera tiada henti berteriak keras dengan tangan yang mencoba menggapai-gapai Ibunya.

Gadis kecil itu berteriak dalam tangis hebat. Meminta sang Ayah untuk menurunkannya dengan kedua kaki yang menghentak udara dengan gelisah. Tapi Sehun tak akan membiarkan Haera turun sedetik pun.

Ia lebih memilih untuk duduk di kursi panjang yang berada di koridor rumah sakit. Dengan Haera yang sesenggukkan lebih parah.

"Daddy! Haera mau melihat Mommy, Dad! Mau turun! Turun." Ia tidak menyerah untuk memberontak dalam pelukan kalut sang Ayah.

"Daddy! Turunkan Haera, Hiks. . . Hiks. . ." tangan kecilnya memukul bahu sang Ayah dengan lemah.

Sehun menggeleng. Ia terus mencium puncak kepala putrinya dengan bertubi-tubi. Punggung Haera pun tak luput dari belaian ketenangan Sehun. Meski Haera masih mencoba untuk memukul tak berarti punggung Ayahnya, dan kemudian gadis kecil itu menyerah.

Ia memeluk Ayahnya takut, penuh erat, penuh rasa khawatir. Meraung dalam tangis seorang anak kecil yang keras. Membuat dada Sehun semakin sakit mendengarnya.

Ia tidak pernah bisa bertahan kuat untuk mendengar tangis pilu sang anak. Dengan kondisi batin yang sama tertekannya, Sehun pun ikut menjatuhkan airmata di bahu kecil putrinya yang berguncang itu.

Ia berharap, masih ada nyawa yang bisa di selamatkan dari Hanna.

Beberapa menit berlalu dengan cepat. Sehun masih dalam memeluk Haera yang terus menangis ketika pintu ruangan istrinya di rawat telah di buka oleh salah seorang dokter.

Bahu Sehun di tepuk dua kali dengan lemah. Membuat lelaki itu mengangkat kepalanya tanpa daya. Ketika mata sayunya berhadapan dengan mata sang dokter yang tak memberi pengharapan apa-apa. Sehun menyadari jika semuanya telah tak bisa lagi diselamatkan.

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin." Dokter itu menggeleng lemah, "Maafkan kami yang tidak bisa menyelamatkan nyawa istrimu, Sehun. Jantungnya benar-benar telah berhenti berdetak." Ucap dokter itu penuh nada menyesal dan berbelasungkawa. Kepalanya pun jatuh tertunduk.

Sehun tak berbicara. Ia hanya bergeming. Mengandalkan sisa tenaga yang belum terkuras untuk mendekap lebih erat putrinya.

Sehun kehilangannya. Satu sosok yang berharga untuknya. Nyawa dan raga sang istri, yang tak bisa di gapai kembali walau itu untuk sekedar memeluknya. Untuk yang terakhir kalinya.

Bukan Sehun yang lebih kehilangan sosok Hanna. Tetapi, Haera.

.


Complete


.

Tiga Bulan Kemudian.

Setelah kematian Hanna. Sehun menjadi lebih protective untuk urusan apapun yang berkaitan dengan Haera. Setiap hari, Ia akan mengusahakan sebisa mungkin untuk pulang lebih awal dari waktu pulang kerja yang biasanya. Hanya demi membagi waktu kebersamaan yang cukup agar Haera tidak terlalu merasa kesepian.

Sehun merupakan seorang direktur perusahaan besar. Mengurusi segala tanggung jawab sebagai pimpinan tertinggi bukanlah perkara mudah. Banyak kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya di tangan Sehun.

Beban semakin memperberat pundaknya. Sehun harus puas untuk mengurus Haera seorang diri. Meski ada beberapa maid, dan Haera punya pengasuh pribadi sejak lahir. Namun tetap saja, sebanyaknya bagian untuk merawat Haera adalah tanggung jawabnya.

Sejujurnya, masalah protective Sehun terhadap Haera semakin menjadi mana kala sahabatnya yang berprofesi sebagai seorang dokter, yang bernama Kim Jongin memberinya suatu informasi. Yang berhasil memperkeruh rasa ketakutan Sehun saat itu juga.

'Sehun, jika Hanna memiliki riwayat penyakit jantung koroner. Maka tidak mungkin jika Haera bisa saja memiliki penyakit yang sama. Mengingat penyakit jantung bawaan cukup akurat untuk seorang anak yang Ibunya mengidap penyakit tersebut.'

Sehun terkejut mengetahui fakta mencengangkan itu. Jongin memberitahunya sewaktu sahabatnya itu datang untuk menghadiri acara pemakaman Hanna yang dilakukan dengan secara terhormat dan tertutup.

'Apalagi, Hanna sudah mengidap penyakit itu. Bahkan sebelum kalian resmi menikah.'

Sehun tidak bisa menyembunyikan lagi rasa takutnya. Ia tidak ingin kehilangan Haera, tidak pernah ingin. Bahkan, Sehun akan melakukan apa saja asal putri tercintanya itu selalu dalam keadaan sehat. Meski Sehun harus mati sekalipun demi anaknya.

Semua yang Ia miliki sebagai harta dan tahta, tak akan sebanding dengan seberapa berharganya Haera untuk kelangsungan kehidupan Sehun. Haera adalah segala-galanya untuknya.

Kemudian, usulan dari Jongin seperti membawa secercah harapan untuknya. Meski Haera terlihat baik-baik saja, bahkan sejak lahir sekalipun. Jongin tetap menyarankan kepadanya untuk mulai melakukan medical check-up rutin mengenai kondisi kesehatan dan tumbuh kembang Haera.

'Tapi, kita tidak bisa memastikannya begitu saja jika Haera belum di check-up. Kita semua berharap jika Haera tidak memiliki penyakit turunan itu, sobat. Gadis kecilmu masih bisa di selamatkan. Kau hanya perlu membawanya untuk rutin menemui dokter anak khusus spesialis jantung. Dan, aku tahu dokter yang tepat untuk putrimu.'

Sehun langsung menyetujuinya.

Sesuai dengan saran sang sahabat. Tanpa menunda lagi, semenjak tiga bulan belakangan ini Sehun selalu menempatkan Haera untuk melakukan medical check-up rutin mengenai kondisi kesehatannya. Setidaknya, dalam sebulan Haera harus menemui dokter pribadinya dua kali.

Penolakan Haera adalah yang pertama Sehun dapati kala itu. Dengan usia yang masih bisa dikatakan balita, Ia tentu memiliki perasaan ketakutan yang lebih kuat melebihi orang dewasa pada umumnya.

Haera hanya masih terlalu kecil untuk berurusan dengan hal-hal yang berbau rumah sakit. Di usianya yang masih empat tahun, seharusnya yang Ia dapatkan adalah perhatian dan kasih sayang yang lebih dari orangtuanya.

Banyak belajar untuk hal-hal baru demi persiapan masa sekolahnya kelak, bukan dengan dua minggu sekali bolak-balik mengunjungi dokter anak. Dan diperkenalkan dengan alat-alat asing yang dulu sempat tak bisa menyelamatkan nyawa Ibunya.

Dokter dan rumah sakit seolah menjadi rasa trauma sendiri bagi Haera. Menangis selama tiga hari tanpa henti, Ia pikir sang Ayah akan membatalkan niatnya.

Namun, ada di suatu malam ketika Ia ingin mengunjungi Ayahnya di kamar orangtuanya, Haera membuka pintu dengan hening. Termenung saat mata beningnya melihat Ayahnya yang tertuduk lemas di meja kerja dan dalam tangis diam.

Haera kecil langsung paham, jika Ia tak boleh membuat sang Ayah sedih.

Sehun akan mengantar Haera dan bibi Jung –pengasuhnya, untuk ke rumah sakit setiap senin. Meski sang anak ingin Sehun yang menemaninya langsung, namun Sehun tak memiliki pilihan jika tanggung jawabnya sebagai seorang direktur tak bisa Ia abaikan begitu saja.

Seharusnya selalu begitu, namun hari ini Ia mengesampingkan pekerjaannya. Memilih untuk menemani Haera tanpa Bibi Jung, dan membiarkan asisten pribadinya yang mengambil alih perusahaan dalam satu hari.

Sehun hanya perlu memantau dari ponselnya.

Suatu hal mengusiknya belakangan ini. Haera tidak pernah lagi merasa ketakutan ketika Ia akan melakukan check-up. Pada awalnya Iya, namun setelah pulang darisana Sehun harus puas mendapati putrinya tersenyum sepanjang hari.

Entah apa yang membuat wajah putrinya tampak seperti mendapat kebahagiaannya kembali, setelah masa berkabung menyedihkan karena kepergian sang Ibu. Namun yang pasti, Sehun sangat bersyukur melihatnya.

Sehun hanya merasa penasaran. Sebelumnya Haera pernah bercerita, jika Ia senang sang Ayah ternyata mempertemukannya dengan dokter cantik dan baik hati. Dokter yang tak pernah Sehun temui sebelumnya, Ia hanya mengikuti saran Jongin untuk menjadikan dokter itu sebagai dokter pribadi Haera.

Itulah mengapa alasannya Sehun datang kemari. Kembali berkunjung ke tempat rumah sakit yang sudah biasa Ia datangi sedari dulu. Mengikuti rasa penasaran, dan ingin memastikan.

Mengapa putrinya bisa sebegitu antusias untuk bertemu sang dokter.

"Dad, ayo cepat! Haera ingin bertemu Ibu dokter!" Haera berkecak pinggang dengan bibir mengerucut kesal ketika melihat sang Ayah yang terlihat berjalan santai di belakangnya.

Sehun melihat papan nama besar di atasnya. Bangsal pelangi –gumamnya dalam hati. Ia sudah berada di lorong yang mana di sisi kanan dan kirinya terdapat kamar-kamar khusus dimana anak-anak yang sakit di rawat disini.

Para dokter dan perawat yang sudah tak asing lagi dengannya dan Haera pun tak lupa menyapanya dengan sopan. Sehun juga membalas sapaan mereka dengan ramah.

"Dad! Ayo!" Haera merengek dan menarik ujung jemari telunjuk sang Ayah gemas. Seolah Ia bisa membawa tubuh besar sang Ayah dengan kekutaannya yang kecil.

Sehun terkikik geli. Ia mengait jemari kecil putrinya dalam genggaman erat. Di depan mereka sudah ada lorong yang terpisah. Sehun dan Haera terus berjalan ke depan untuk menuju ke banyak ruangan khusus tempat dokter-dokter anak berada.

Sehun tak begitu tahu siapa nama lengkap dari dokter pribadi anaknya. Jongin hanya memberinya informasi mengenai inisial dari dokter itu. Ia melihat ke setiap pintu kaca tebal putih yang terlihat seperti berembun di sisi kanan-kirinya. Mengamati satu per satu papan nama disana.

Haera sudah sangat hapal dimana ruang tempat sang Ibu dokter cantiknya berada. Ia berhenti ketika sang Ayah masih kebingungan mencari-cari.

"Daddy. Ini ruangan Bu dokter." Haera mendongak, dan menunjuk pintu di depannya dengan telunjuk mungil. Bibirnya juga tersenyum cerah.

Sehun mengamati lagi papan nama di pintu yang berada tepat di depan mereka. Inisialnya sama persis seperti apa yang Jongin katakan.

Sehun mengangguk dengan senyum tipis, dan mengetuk pintu kaca secara perlahan tiga kali.

Tok Tok Tok

"Silahkan masuk." Sebuah sahutan suara lembut yang terdengar sedikit manja mengalun di telinga Sehun.

Untuk sesaat, Sehun tertegun mendengarnya.

Seolah ada hantaman besar yang menerjang di dalam tubuhnya, Sehun tersentak. Hal yang tak pernah Ia rasakan sejak lama kembali menyapa jantungnya. Sehun berdebar tak karuan hanya dengan mendengar sebuah sahutan yang Ia rasa tak asing.

Ketermenungannya rupanya membuat putrinya berdecak kesal dan membuka pintu lebih dulu sebelum Sehun sempat menggenggam ganggang pintu itu.

"Bu dokter!." Teriak Haera riang. Ia hanya membuka pintu sedikit dan langsung masuk ke dalam. Meninggalkan Sehun.

"Oh?! Haera." Sehun bisa mendengar suara itu lagi yang memanggil nama putrinya. "Kau datang bersama Bibi Jung? Kenapa tidak di ajak masuk juga, Cantik."

"Tidak, Bu dokter. Haera bukan datang bersama Bibi."

"Lalu? Sama siapa?."

Haera menengok ke belakang ketika Ia mendengar suara pintu terbuka. Bibir ranumnya secara sempurna terangkat hingga membentuk garis lengkungan senyum yang manis.

"Tapi bersama, Daddy."

Sehun melihatnya. Lelaki itu berdiri di ambang pintu dengan raut wajah yang sangat sulit di artikan. Matanya menatap tajam dan lurus terhadap sosok seorang dokter muda wanita yang bersimpuh di depan putrinya.

Wanita itu berdiri. Ia memiliki perawakan yang cukup tinggi dan langsing. Surainya panjang bergelombang dengan warna coklat keemasan berkilauan. Ada poni sebatas alis yang membingkai di wajah cantiknya. Mata bening kecoklatan yang memiliki tatapan indah selayaknya tatapan rusa betina itu, menatap tepat ke dalam mata Sehun.

Sehun menahan nafas tanpa sadar.

"Selamat pagi, Tuan Oh." Tubuhnya membungkuk sopan, "Saya pikir, Saya tidak akan bertemu dengan Anda. Karena, Haera selalu datang kemari bersama pengasuhnya." Satu senyum manis diberikan kepada Sehun.

Sehun membuang nafas dan melangkahkan kakinya dengan tegas. Wajahnya terlihat dingin, tanpa ekspresi sama sekali. Ia bahkan tak membalas sapaan hangat sang dokter.

Mata Haera terlihat kalut, Ia tak pernah melihat sang Ayah seperti ini sebelumnya. Membuat Haera tanpa sadar beringsut mundur, tubuh mungilnya bersembunyi di balik tubuh dokter cantiknya.

"Dad. . ." lirih Haera ketakutan.

Sehun berhenti, berjarak tepat dua langkah di depan sang dokter yang masih saja memberinya senyuman ramah. Ia melirik sekilas pada Haera yang menyembunyikan wajahnya di balik jas putih sang dokter. Namun, kemudian matanya kembali tertuju pada mata rusa itu.

Sang dokter menjulurkan tangan kanannya di hadapan Sehun.

"Perkenalkan. Nama saya, Luhan. Saya adalah dokter pribadi putri Anda selama ini. Sungguh suatu kehormatan bagi Saya ketika Anda akan datang untuk menemani Haera melakukan medical Check-up rutinnya."

Sehun menatapnya dengan nanar. Untuk sesaat, Ia menghembuskan nafasnya. Dengan senyum kecil, Ia mengambil uluran jabat tangan itu, dan juga memperkenalkan balik dirinya.

"Oh Sehun. Ayahnya, Oh Haera."

Sehun tak perlu tahu bahwa sesungguhnya Luhan terperanjat di dalam diri. Ia mencoba untuk tetap bersikap wajar, meski hatinya sendiri berdebar tak karuan. Tanpa sadar, Luhan menggenggam erat jemari Haera yang sejak tadi mengait di tangan kirinya.

"Baiklah, Tuan Oh. Mohon maaf, sepertinya Anda telah membuat putri Anda merasa ketakutan." Luhan melirik Haera di balik punggungnya.

Sehun menatap putrinya, Ia telah kembali dalam tatapan hangatnya seperti biasa. Tangannya terulur untuk mengambil Haera, meski cukup ragu tapi Haera menerima uluran tangan dari sang Ayah.

Lelaki itu bersimpuh dengan lutut menyentuh lantai. Ia mengusap puncak kepala putrinya dengan sayang.

"Maafkan Daddy jika Daddy telah menakuti Haera, Hm?." Sehun mengecup keningnya penuh kasih.

Haera mengangguk dua kali. Ia tersenyum ketika sang Ayah mencubit lembut pipinya. Memasukkan tubuh kecilnya dalam dekap erat, yang selalu berhasil memberinya ketenangan dan kehangatan.

Sehun membalas pelukan kecil itu. Sesaat, Ia memejamkan matanya untuk menikmati aroma bayi yang mengguar lembut dari tubuh putrinya.

Luhan menatap pemandangan hangat itu dengan sorot sendu. Tenggorokkannya terasa kering. Tubuhnya di sapa dengan rasa menyesakkan yang entah kenapa datang tiba-tiba.

Ia tidak mengerti akan respons tubuhnya yang terbilang aneh. Demi menghalau rasa tak nyaman di dirinya, Luhan berbalik untuk kembali ke meja kerjanya. Di saat yang bersamaan Sehun dan Haera juga telah duduk di kursi yang terletak berhadapan langsung dengan meja Luhan.

"Sebelum itu, bolehkah jika aku memanggilmu hanya dengan, Luhan? Kurasa aku tak perlu suatu keformalitasan untuk berhadapan langsung dengan dokter pribadi anak ku."

Senyum tipis Luhan berikan sebagai tanggapannya.

"Tapi, Anda adalah orang yang berpengaruh disini."

"Yah, itu berlaku bagi mereka. Tapi tidak denganmu, Luhan." Sehun mengeraskan rahangnya, bagaimana nama Luhan terucap dari bibirnya dengan lancar menjadi suatu kesulitan tersendiri baginya.

Untuk seperkian detik, Luhan termenung. Menggigit bibir dalamnya saat namanya terdengar berbeda di ucapan Sehun barusan. Menahan rasa yang Ia pendam bukanlah hal mudah. Sehun jelas telah mengajaknya untuk keluar dari batas yang seharusnya sudah sejak lama mereka bentengi dengan kokoh.

Tapi, Luhan tidak bisa melakukannya. Mereka tidak boleh keluar dari jalur yang seharusnya. Semuanya tentu bukanlah hal yang sama lagi seperti dulu.

"Maafkan Saya, Tuan Oh. Saya tidak bisa." Luhan menggelengkan kepalanya.

Ia lebih memilih menatap Haera yang kebingungan di tempat duduknya. Melainkan harus membalas tatapan kecewa dari Sehun.

"Baiklah, Haera. Bagaimana kabarmu hari ini, Sayang?." Tanya Luhan dengan mimik ceria.

"Baik, Bu dokter. Oh, Iya! Haera sudah melakukan apa yang Ibu dokter katakan pada Haera minggu kemarin." Haera pun membalasnya tak kalah ceria dengan Luhan.

"Sungguh?! Berarti Haera sudah memulai untuk makan banyak sayur, benar?."

"Eung, tapi. . . tetap saja. Haera tidak suka kentang, Bu." Kepala kecilnya menggeleng mantap, "Rasanya tidak enak!." Ia berkata sambil menutup bibir kecilnya dengan dua tangan. Seolah hanya menyebutkan nama kentang saja bisa membuatnya merasa mual.

Luhan hanya bisa tersenyum samar. Mengusap puncak kepala Haera dengan lembut, "Tak apa. Yang penting, Sayur yang lain harus Haera makan, Oke?." Mata rusanya menatap Haera dengan hangat.

"Oke! Bu dokter."

Luhan tertawa gemas melihat tingkah lucu Haera. Gadis kecil itu juga sama tertawanya. Dengan kedua mata beningnya yang membentuk bulan sabit lucu, Luhan tahu jika caranya tertawa terlihat mirip dengan seseorang.

"Luhan. . ."

"Ah, pasti Anda ingin menanyakan laporan yang berisi tentang catatan medis kondisi Haera selama sebulan ini kan? Biar Saya ambilkan kalau begitu." Luhan siap beranjak dari tempat duduknya. Berniat ingin mengambil hasil laporan medis milik Haera di lemari yang berada di belakangnya.

Namun, Sehun mencegat tangannya dengan cepat.

"Luhan, aku—"

"Sehun-ssi, apa yang Anda lakukan?." Luhan menatap tak suka pada cara Sehun yang dengan lancang telah menyentuh tangannya. Ia mencoba untuk melepaskan pergelangan tangannya dari cekalan Sehun.

Tapi, Lelaki itu menahannya dengan semakin kuat menggenggam tangannya.

"Sehun-ssi, ini—"

"Berhentilah berpura-pura, Lu!" Ucap Sehun lantang dengan suara meninggi yang terdengar seperti bentakan.

Haera menatap sang Ayah kembali gusar. Sebenarnya, ada apa dengan sikap Ayahnya yang berbeda ini?

Luhan diam, Ia mengatupkan bibirnya rapat. Matanya hanya bisa menatap tanpa arti pada Sehun yang menahan emosi disana. Kemudian saat pergelangan tangannya telah kembali terbebaskan. Ia mendengar helaan nafas lelah itu dari bibir Sehun.

Sehun menatapnya lagi, kali ini dengan tatapan teduh bercampur sendu. Ia mengurangi kerutan di dahinya, dan mencoba bernafas tenang setelah berhasil mengontrol emosinya sendiri.

"Maafkan, aku. Tapi, kita benar-benar harus bicara, Luhan."

Mereka perlu bicara. Tentu. Pertemuan ini bukanlah sebuah akhir dari segalanya. Ini adalah awal yang sesungguhnya. Yang Luhan tahu, bahwa setelah ini Ia tidak bisa lagi bertahan pada rasa kepura-puraannya.

Namun.

Sanggupkah Ia untuk kembali berinteraksi sedekat dulu dengan Sehun?

.

.

.

.

.

.

.

.

To Be Countinue

..

..


29 May 2018


Hello. Readers—nim!

Sudah bilang mau hiatus, eh malah ngepublish FF baru. Siapa yang kemarin-kemarin udah nagih kapan ini akan publish? Sudah ya. Okey, sepertinya aku malah menambah satu hutang ff lagi ke kalian semua wkwk.

Jangan tipuk aku, mentang-mentang genrenya Hurt/Comfort entar malah pada gak mau baca lagi . Pengennya nunggu sampai tamat, nah kalau tamatnya ampe dua tahun? Gimana dong? /kenatampol.

Aku bawa FF family nih, seneng dong sama genre family. Ini ada sosok Haera, gadis manis yang ngegemesin. Kalo kalian yang follow Instagram aku, pasti udah tahu gimana sosok Haera ini di kehidupan nyata. \./

Mau di lanjut? Atau sudahi sampai disini? Udah berhasil buat penasaran belum? Maaf kalo ini terlihat seperti ff pasaran, tapi aku jamin punyaku enggak sepasaran yang kalian pikir wkwkwk.

Review? Favorit? Follow? Yes, Juseyoo. Kalo yang minatnya sedikit, aku pikir dua kali ah buat lanjut. /maksain.

Review yang banyak, ya! Aku tunggu. Thalanghae~~~~~

Big love, Thanks.