Awalnya ini cuma iseng-iseng aja, tapi ya sudahlah.

Ceritanya agak klise dan kemampuan menulis saya udah agak turun, jadi mohon maaf.

Ini terinspirasi dari beberapa lagu dan juga ff yang pernah saya baca, jadinya campuradul kek bubur deh. Saya ga tau gimana keadaan fandom ini sekarang, tapi lagi mood pengen nulis soal HaliTau jadi kalau ga suka mohon pilih tombol back aja.

Warning : SoulmatesAU, sho-ai, HaliTau, a bit of Angst, OOC, typos, etc.

Disclaimer : Boboiboy punya Monsta, saya cuma minjem doang

Silakan dinikmati


Ada sesuatu yang spesial di dunia ini.

Jika saja Halilintar bisa memilih di dunia mana ia ingin di tempatkan, dia pasti tidak akan pernah memilih dunia dimana kehidupan cintamu sudah ditetapkan sejak kau dilahirkan.

Itu adalah sebuah peristiwa tak lazim yang sudah ada sejak puluhan abad yang lalu, hingga kini para ilmuwan masih meneliti sebab terjadinya fenomena ini. Suatu ikatan yang bisa menghubungkan seseorang dengan yang lain dalam keadaan tidak sadar maupun sadar. Semua orang menyebutnya sebagai Hubungan Soulmates.

Dunia dihebohkan dengan kelahiran bayi-bayi yang cacat secara serentak, seperti buta warna, detak jantung yang lemah, tak bisa merasakan apapun, dan lain sebagainya. Pada waktu itu, manusia mengira bahwa hal itu adalah sebuah bencana besar bagi umatnya, namun semua perkiraan itu berubah saat para generasi baru itu bertemu dengan jodoh mereka masing masing.

Semua kecacatan yang mereka derita sejak lahir itu langsung sembuh dan mereka bisa melanjutkan kehidupan mereka seperti orang-orang normal pada umumnya. Peristiwa itu berjalan terus menerus dan hal ini membawa kabar gembira diseluruh penjuru bumi. Dikabarkan bahwa dunia menjadi lebih 'damai' dan 'makmur', tingkat kejahatan dan pembunuhan pun ikut berkurang drastis.

Fenomena aneh ini masih ada sampai sekarang, Hubungan Soulmates bukanlah hal yang tak normal pada masa ini.

Halilintar tak mengerti apa yang membuat dirinya 'spesial' dibanding dengan orang lain. Hanya karena bentuk hubungan Soulmates-nya tidak diketahui dan para dokter menganggap ini merupakan sesuatu yang menarik. Memang benar semua yang ada pada dirinya normal, ia bisa melihat dengan benar, merasakan, mencium, dan yang lainnya. Tapi dokter tidak mendiagonisnya sebagai anak yang tak mempunyai soulmates, para ilmuwan bahkan tertarik dengan dirinya.

Sayang sekali, Halilintar bukan orang yang tertarik dengan yang namanya 'soulmates' itu.

Pada mulanya, orang tuanya sedikit khawatir namun mereka akhirnya membiarkan hal itu. Lagipula, kondisinya ini tidak membawa dampak negatif apapun bagi tubuh maupun jiwanya. Ia bisa meraih nilai bagus di sekolahnya dan terampil dalam seni bela diri, bagi orang tuanya itu sudah cukup. Mungkin mereka percaya bahwa Halilintar bisa mengatasi kondisinya sendiri dan tidak perlu dibantu siapapun.

Berkat kepintarannya yang cukup luar biasa itu, Halilintar bisa memasuki sekolah favorit tanpa harus mengikuti tes dan sebagainya. Alias diundang langsung dari pihak sekolah. Sekarang, Halilintar hanya perlu berusaha menjalani hidup barunya ini sekarang.

$o$

Dan dengan begitu, kehidupan SMA-nya pun dimulai.

Halilintar bukanlah orang yang begitu anti-sosial, tapi ia juga bukan orang yang mudah bergaul. Dia memiliki ego yang tinggi untuk menghampiri kumpulan murid yang berada di kelasnya ini, jadi pemuda itu lebih suka duduk di bangkunya sambil menatap keluar jendela. Ia sudah memastikan untuk menyebar aura membunuh di sekitarnya (yang bahkan sanggup untuk mengusir nyamuk), namun sepertinya masih ada orang juga yang tidak terpengaruh dan berani menghampirinya.

"Boleh aku duduk di sebelahmu?"

Pemuda beriris merah itu memalingkan pandangannya dari jendela dan mendongak untuk melihat wajah orang yang menganggunya. Ia mempunyai iris berwarna emas dengan senyuman yang ramah terukir di wajahnya. Halilintar kembali membuang pandangannya sambil mengatakan,"Terserah."

Orang itu terlihat puas setelah mendapatkan izin dan meletakkan tas berwarna kuningnya yang cukup besar itu di bangkunya."Namaku Gempa. Kamu?" sepertinya dia tak ada niat untuk berhenti menganggu Halilintar, membuat pemuda itu sedikit kesal.

"Halilintar."

Sebelum Gempa ingin membuka mulutnya lagi, Halilintar segera mengambil earphonenya dan menyumpal telinganya dengan itu. Ia tidak menghidupkan musik apapun, namun sepertinya itu berhasil untuk memberikan isyarat bahwa ia sedang tak ingin diganggu. Gempa hanya tersenyum tipis dan menanamkan dalam hati bahwa Halilintar adalah seseorang yang tertutup dan pendiam. Tapi ia bersyukur pemuda itu tidak mengusirnya tadi.

Di hari pertamanya, Halilintar berhasil mendapatkan satu teman.

"Jadi, apa hubungan soulmates kamu?"

Halilintar mengernyitkan dahinya, tanda bahwa ia tidak suka dengan topik pembicaraan itu. Namun karena kepalanya yang sedang tertunduk ke meja, Gempa tak bisa melihat itu sehingga ia hanya diam menanti jawaban.

"Nggak punya."jawabnya dengan enteng dan ketus sebelum lanjut memakan mie rebusnya. Gempa memiringkan kepalanya sedikit."Tak punya? Maksudnya kau tak punya soulmates?"tanya Gempa kembali, membuat Halilintar menggerutu pelan.

Ia meletakkan sendok dan garpunya di meja lalu menopang dagu, menatap Gempa dengan wajah dinginnya."Dokter bilang mereka nggak tahu apa hubungan soulmatesku, tapi aku memang punya. Jelas?" Entah kenapa Gempa terlihat sama sekali tidak terintimidasi dengan tatapan tajam yang Halilintar berikan. Ia justru mangut mangut tidak jelas, menyeruput es jeruknya miliknya.

"Begitu ya… Aku tak pernah tahu kalau ada yang begituan…" gumam Gempa, terdengar sendu."Pasti berat ya.."lanjutnya, tersentak ketika Halilintar menghempaskan tangannya sedikit kuat ke meja kayu itu.

"Dengar ya, aku nggak peduli dengan hal bodoh seperti itu. Lebih baik aku belajar dan mikirin masa depanku, heh, bahkan lebih baik jika aku tak punya soulmates." ucapnya dengan ketus, beranjak pergi dari tempat duduknya. Gempa buru-buru menghabiskan esnya dan segera mengejar pemuda itu.

"Jangan seperti itu, Halilintar. Tidak mempunyai soulmates itu sangat sakit rasanya, kau tahu.."

Halilintar langsung terdiam. Ia menoleh ke arah Gempa yang sedang menatap lantai dengan tatapan sedihnya itu, mengangkat wajahnya saat sadar Halilintar berhenti berjalan.

"…Apa kau tak punya…?" Gempa mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum konek dengan apa yang Halilintar maksud.

Ia tertawa pelan."Bukan, bukan! Tapi aku punya teman masa kecil yang tak punya soulmates, dia terlihat sedih setiap hari." Halilintar menatapnya sejenak sebelum mendecih pelan dan kembali melanjutkan langkahnya. Menyesal karena sudah merasa bersalah walau hanya beberapa detik.

$o$

Mau dilihat dari berbagai sisi pun, Halilintar tak bisa mengerti apa yang sungguh menarik dari soulmates itu.

Ia tak paham mengapa hampir semua orang membicarakan soulmates mereka. Mengatakan bahwa mereka penasaran dan semangat untuk mengetahui seperti apa partner cinta mereka nanti. Bahkan ada beberapa dari mereka yang mengaku sudah bertemu dengan pasangan hidup mereka itu, semuanya pasti serentak mengatakan bahwa mereka iri.

Hal seperti itulah yang tak bisa ia mengerti. Bukankah mereka sudah mendapat banyak cinta dan kasih sayang dari orang tua dan saudara mereka? Apa lagi yang mereka inginkan?

Tiap kali membayangkan bahwa suatu hari nanti dia akan bertemu pasangan hidupnya membuat Halilintar merinding. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa dirinya pun sedikit bersemangat. Memikirkan bahwa pasangan hidupnya ada di belahan dunia ini dan sedang menunggunya, klise memang tapi Halilintar tidak membenci itu. Mungkin jika dipikir lagi, Halilintar bisa sedikit mengerti alasan mereka.

Sudah 1 bulan berlalu sejak ia bersekolah di tempat ini. Tidak banyak yang berani mendekatinya, tapi masih ada beberapa orang yang mau bergaul dengan Halilintar. Yah, mereka adalah teman-temannya Gempa. Ada Gopal si keturunan India berbadan gembul, si kembar Ice dan Blaze.

Mereka berempat sering sekali menyeret Halilintar kemanapun yang mereka mau, baik ketika ke kantin maupun setelah pulang sekolah. Ia sudah lelah memberikan ancaman agar jangan dekat-dekat dengan dirinya, tapi sepertinya mereka tidak memusingkan hal itu.

Gopal menyuruhnya untuk datang cepat hari ini dengan alasan ingin menyontek tugas fisika mereka (biasanya sih Gempa, tapi dia sudah tidak mau lagi) dengan imbalan akan meneraktirnya hari ini. Halilintar tidak keberatan karena tawarannya itu, lagipula tugasnya juga gampang pun. Yah, mungkin bagi dia.

Perempatan siku-siku langsung muncul di dahinya saat mendapati bahwa hanya dia seorang yang baru tiba di kelasnya. Halilintar menggerutu kesal dan melempar tasnya ke bangkunya sebelum memutuskan untuk menyapu ruangan kotor ini dimana semua sampah kertas berserakan di bawah meja. Jika saja kelas ini bersih, Halilintar pasti akan lebih memilih untuk tidur. Halilintar akan memberitahu Gempa (sang ketua kelas) bahwa tidak ada yang piket dengan benar kemarin. Sekalian untuk menghilangkan kejenuhannya di pagi hari ini.

Dengan kasar ia mengambil sapu di dalam lemari kelas dan mulai menyapu, tentu tidak lupa dengan menggerutu dan mengutuk Gopal. Ia akan meminta jatah lebih nanti.

Beberapa menit berlalu dan semua sampah sudah terkumpul di depan kelas. Halilintar meraih sekop dan mulai memasukkan sampah-sampah itu ke dalam tong sampah, semuanya berjalan dengan baik sebelum seseorang menabraknya hingga ia terjatuh ke lantai karena Halilintar tidak dalam kondisi siaganya.

"Ups! Maaf! Aku tak sengaja!" kata sebuah suara yang asing, Halilintar mendongakkan kepalanya dan bertemu dengan pemuda yang memakai jaket berwarna biru tua dan topi dengan motif mencolok yang menghadap ke samping. Ia segera mengambil buku yang sempat terjatuh di dekat Halilintar, senyumannya terlihat mengesalkan bagi pemuda beriris merah itu.

Ia segera berdiri dan menepuk debu yang ada di bajunya. Halilintar tak mengatakan apapun kecuali menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin, menyebarkan aura gelapnya. Pemuda itu tersentak pelan namun segera tertawa."Maaf, maaf! Aku tadi sedang membaca buku jadi tak melihatmu. Ngomong-ngomong, namaku Taufan." Halilintar hanya mendecih sebelum melanjutkan pekerjaannya, siapa juga yang menanyakan namanya.

"Heii! Aku bilang maaf! Apa kau semarah itu padaku? Jutek amat sih, kek nenek lampir.."rutuknya, membuat Halilintar seketika naik pitam. Ia melepaskan sapu di tangannya dan langsung menarik kerah baju pemuda itu.

"Kau ngajak berantem, hah?!" bentaknya dengan keras. Sudahlah Gopal belum menampakkan batang hidungnya, kelas yang begitu kotor, dan pemuda ini sudah mengetes kesabarannya.

Merasa hidupnya dalam bahaya, pemuda itu buru buru mengangkat tangannya.

"Canda, canda… Kau benar benar orang yang temperamental, ya?"

Halilintar menatapnya dengan tajam sebelum melepaskannya dengan kasar, membuat Taufan mundur beberapa langkah. Halilintar mengambil sapunya kembali dan segera membereskan pekerjaannya.

Taufan menatapnya dengan cemberut sejenak sebelum memutuskan untuk berlalu, padahal tadi ia hanya bermaksud mencari perhatiannya saja. Baru setengah perjalanan, dia kembali menoleh ke belakangnya.

"Oh ya, kau belum memberitahu namamu."

Pemuda beriris merah itu terdiam, melirik Taufan tanpa menggerakkan kepalanya.

"…Halilintar."

$o$

Taufan.

Jika diingat-ingat, Halilintar pernah mendengar nama itu sebelumnya. Kalau tidak salah, waktu dia mengikuti kontes dance dengan teman-temannya (karena dia diminta gurunya) saat ia masih kelas 2 SMP. Halilintar memang tak terlalu berbakat dalam menari, tapi tubuhnya yang cukup lentur itu menjadi alasan bagi kelompoknya untuk mengikutkan dirinya.

Taufan adalah orang yang meraih juara 1 saat itu.

Halilintar tidak terlalu peduli dengan hasil lomba itu karena memang bukan passion dia, tapi dia masih ingat nama yang menduduki peringkat satu di seluruh provinsi itu.

Pertemuan pertama mereka secara langsung adalah hal yang tidak pernah Halilintar bayangkan. Ia tahu Taufan bukan berasal dari kota ini, jadi mengapa ia bisa sampai bersekolah di tempat ini? Namun yah, Halilintar tidak begitu peduli tentang hal itu.

Hal yang membuat dia sedikit tertarik dengan Taufan adalah bagaimana setiap hari mereka bertemu, ia tak segan untuk menjahilinya.

Seperti saat Halilintar meninggalkan sebentar makanannya dan berakhir memuncratkan semuanya karena sangat asin, atau saat Taufan membuatnya mengejar dia dan lari ke dalam kelas Halilintar dimana di pintu sudah disiapkan lakban pas di depan mukanya. Semenjak Taufan terus menganggunya, Halilintar mudah ringan tangan dan tak ragu untuk melakukan beberapa seni bela diri yang sudah ia pelajari selama ini pada pemuda itu.

Namun setelah semua itu, Taufan pasti selalu kembali dan meminta maaf padanya.

"Halilintar, kenapa kau sering memakai topi itu?"

Pemuda itu tersentak pelan, menghentikan kegiatan membaca buku IPS miliknya yang sangat tebal itu dan menurunkannya sedikit. Halilintar menoleh ke sampingnya, mendapati iris biru Taufan yang terlihat lebih besar dan penasaran. Ia menjadi kesal sendiri dan langsung memegang kepala pemuda itu dengan kuat.

"Alasanmu sendiri memakai topi ini apa?" tanya Halilintar kembali dengan ketus, menekankan pegangannya. Taufan mengerang namun tak menepis tangan pemuda itu dari kepalanya."Yah, kalau aku untuk gaya aja sih. Kalau kau?" jawabnya diselingi beberapa erangan. Halilintar menghelakan nafas dan kembali membaca buku pelajarannya.

Tentu saja sudah jelas bukan? Dia ingin melarikan diri dari tatapan orang-orang.

Taufan menggerutu karena tidak mendapat jawabannya, munculah sebuah ide jahil di dalam kepalanya. Dengan cepat ia rampas topi hitam milik Halilintar dan berlari sembari tertawa. Pemuda beriris merah itu langsung panik saat menyadari bahwa topinya diambil.

"K-kembalikan, Taufan!"

Halilintar langsung berlari ke tempat Taufan dan mencoba merebut kembali topi berharga miliknya. Namun karena Taufan sangat lincah, ia bisa dengan mudah menghindari setiap gapaian Halilintar."Coba aja kalau bisa!"ejek Taufan, geli melihat wajah panik Halilintar yang jarang ia lihat.

Berkat itu, ia berhasil menangkap pergelangan tangan Taufan. Halilintar langsung menarik kembali tangannya saat ia merasakan tusukan seperti jarum di seluruh telapak tangannya. Taufan pun ikut tersentak dan kaget, mengkonfirmasi bahwa ia juga ikut merasakannya.

"Ouch! Apa itu tadi?"tanyanya, terlihat syok. Halilintar hanya bisa mengangkat bahunya, juga tidak mengerti.

Mereka berdua terdiam sejenak, menatap satu sama lain dengan suasana yang sangat canggung. Halilintar bisa melihat mata Taufan yang terlihat berbeda dari biasanya namun ia tidak bisa mendeskripsikannya. Karena suasana yang semakin canggung, Halilintar segera menggunakan kesempatan ini untuk meraih topinya dan memakainya kembali.

Taufan akhirnya tersadar dari lamunannya dan segera tertawa."Pasti kita sama sama kesemutan." elaknya diikuti tawa ringan, Halilintar tidak merespon apapun. Walau kelihatannya Taufan tidak terlalu peduli, tapi Halilintar bisa menyadari ekspresi ganjil yang menunjukkan bahwa ia memang terganggu dengan apa yang barusan terjadi.

Mereka berdua tahu tidak satupun dari mereka yang kesemutan saat itu.


TBC

Ini ff iseng buat ngilangin stress, mungkin aja ditelantarin nanti haha

Kalau berkenan, mohon reviewnya. Toh, paling ga ada yang suka plot basi kek gini