The Fox's Bride

Arc 5 : Embun di ufuk fajar

Summary : Dia dikhianati. Pedang yang dia angkat demi membela beralih menghunus. Dan ketika takdir berpihak padanya, kekacauan terjadi. Dendam menjadi musuh abadi.

.

.

.

.

.

.

.

Rate : T

Genre : Drama, Historical, Fantasy, Suspense, Tragedy, Hurt/Comfort

Pair : [Naruto U. Hinata H] Sasuke U

.

.

Naruto milik Kishimoto Masashi-sensei

.

.

.

Mito, Hitachi tahun 1847

Di bawah cahaya purnama, lilin-lilin dan senandung nyanyian dikumandangkan. Memperingati dewasanya sang penerus Tokugawa, setelah wafatnya Shogun ke-13, Tokugawa Iesada.

Dia masih berusia sepuluh tahun, ketika upacara pendewasaan dilakukan. Meski dijuluki sebagai seorang yang kritis, dan dielu-elukan akan menyandang gelar Shogun selanjutnya, pada kenyataannya yang berhak lah yang berada di puncak.

Dia, Tokugawa Yoshinobu, hanya bisa diam ketika malam itu, di acara bahagianya, sang pimpinan tertinggi dari klan mengumumkan kandidat Shogun Tokugawa ke-14.

Pria berambut putih itu mengangkat arak, bersulang meramaikan kemenangan yang sangat tidak pada tempatnya. Namanya adalah Orochimaru, pria yang bergelar Ii Naosuke.

.

Musim gugur tahun 1859

Suara riuh membahana. Para pedagang dan pembeli bersorak histeris saat pengawal dari Domain Chosu melakukan aksi pemukulan pada seorang pemuda di pasar.

Bukannya melakukan perlawanan, pemuda yang memiliki rambut pirang panjang tersebut malah dengan seenaknya menyantap apel yang baru saja dia curi.

"Ada apa ini?" tanya seorang pria menghentikan pergerakan para pengawal.

"Yoshinobu-san?" sang pengawal ketakutan.

Tokugawa Yoshinobu, seorang kepala keluarga Tokugawa di Hitotsubashi yang harusnya menjadi tahanan rumah, sedang berdiri tepat di hadapan mereka.

"Dia penyusup!" seorang pengawal menunjuk ke arah pemuda tadi, yang tengah berdiri sambil memakan apel dengan santai.

"Dia mencurigakan," Yoshinobu mengernyit, lantas mendekat.

Pemuda itu mengenakan pakaian aneh yang sangat lusuh. Rambutnya berantakan, menutupi hampir setengah wajah.

"Siapa kau? Dan kenapa kau berada di sini?" tanyanya hampir seperti gertakan.

Pemuda itu terdiam sejenak. Memiringkan kepala, mengingat-ingat di mana tepatnya dia pernah mendengar suara serupa. Dan yang terjadi, sebuah ingatan mengalir secara acak, membuatnya nyaris terhuyung.

"Kau baik-baik saja?" Yoshinobu menahan berat badannya. Menyentak pemuda itu ke alam nyata.

Dia tersadar. Ini sudah ratusan tahun sejak dia tertidur di tanah Kamakura. Kaisar Tenno Fugaku sudah sangat lama mangkat, namun kini di depan matanya, kedua netranya melihat, beliau kembali. Dalam wujud serupa yang nyaris tidak dia kenali.

"Apa kita perlu membawanya untuk disidang?" tanya Yoshinobu.

"Aku bukan penyusup. Dan aku bukan pencuri."

"Bagaimana kau membuktikannya?" ujarnya, "Kau punya tanda pengenal?"

Pemuda itu baru mau buka suara saat Yoshinobu memotong pembicaraan, menyimpulkan secara sepihak bahwa dia akan membantu pemuda itu mencari keluarganya. Terdengar sangat tidak masuk akal, tetapi sangat efisien untuk membuat rombongan pengawal Domain Chosu mundur.

.

Seminggu sejak pertemuannya dengan pria mirip kaisar Fugaku bernama Tokugawa Yoshinobu tersebut. Yoshinobu membawanya ke sebuah gubuk di pinggir desa. Memberinya makan dan menanyakan banyak hal secara konstan. Hal yang mengingatkannya pada Sasuke muda. Dari pembicaraan sepihak itulah dia belajar tentang jaman ini; jaman Edo. Keshogunan masih berlaku, meski berada di tangan yang berbeda. Dan pemerintahan sudah berada di tangan Kaisar sebagaimana mestinya.

Yoshinobu datang di siang hari dan kembali petang. Setiap bertemu, ada saja luka yang terdapat di tubuhnya. Meski tidak diberitahu, dia tahu luka apa itu.

"Naruto. Namaku Naruto." Ujarnya setelah seminggu lebih diam.

"Jadi, Naruto ini apa? Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?" Yoshinobu memberi jeda, "Kau ... bukan penduduk sini. Jadi, katakan ... apa maumu?"

Naruto tercekat. Dia tidak tahu kalau dibalik ocehan Yoshinobu, pria itu tahu banyak.

"Aku tidak bisa memberitahu. Yang bisa aku katakan hanyalah, aku berada di sini karena haus dan kelaparan."

"Aku tahu. Hawa keberadaanmu sudah mengatakannya," pria itu tersenyum, "Yang ingin aku tahu, siapa yang ingin kau bunuh?"

"Apa?"

Naruto sama sekali gagal paham. Seingatnya dia tertidur di tanah Kamakura, dan ketika bangun sudah berhadapan dengan Yoshinobu. Satu-satunya yang dia ingat adalah rasa lapar yang melilit, haus yang mencekik dan darahnya yang berdesir. Dan perkataan Yoshinobu menamparnya, memberitahu secara jelas bahwa dia haus akan darah.

"Jadilah pengikutku! Maka kau bisa mencari jawaban dari rasa hausmu. Dan aku akan berada di sampingmu sampai saat itu."

Naruto membelalak. Dengan satu gerakan tidak terduga, sang mantan Taishogun itu kemudian berlutut, "Dengan segala hormat!"

.

Kediaman Yoshinobu

Naruto dibawa pulang sebagai ajudan oleh Yoshinobu. Tempat kediaman di mana tidak ada seorang pun klan Tokugawa yang menginjakkan kaki. Hanya seorang pengurus rumah yang sudah tidak lagi muda.

Yoshinobu berpesan, Naruto tidak boleh ke mana-mana sampai dia mengizinkan. Dikatakan dengan nada sangat halus, sambil menepuk bahu Naruto pelan.

Hari-hari berlalu cepat. Naruto mulai mengerti orang seperti apa Yoshinobu itu. Pemikirannya setara dengan kaisar. Kritis, dan tidak memikirkan diri sendiri. Sosok kepala keluarga yang tangguh. Pembawaan Yoshinobu selalu tenang, penuh senyum dan ramah. Namun, Naruto tahu, bahwa senyum yang Yoshinobu ukir hanyalah sebuah kedok belaka. Karena nyatanya pria itu memiliki sesuatu yang tidak berani Naruto raba.

Sang mantan Taishogun tidak tahu, tidak ingin mencari tahu pula hingga suatu malam, dia melihat seorang berpakaian hitam mengetuk gerbang. Pengurus rumah yang dia ketahui bernama Tanaka, mengusap wajah gelisah. Pasalnya Tanaka dipesan oleh Yoshinobu untuk tidak memberitahu Naruto pasal apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Namun, Naruto sudah tahu tanpa perlu Tanaka beritahu.

Kediaman yang sepi merupakan sebuah keganjilan. Kunjungan Yoshinobu yang terkesan sangat singkat, membuat Naruto paham bahwa pria itu adalah tahanan. Singkatnya, klan Tokugawa membatasi gerak Yoshinobu entah atas dasar apa. Terlebih pria itu telah mengambil langkah ekstrem dengan menjadikannya ajudan.

Pria itu terlalu percaya diri. Naruto bisa saja mengkhianati atau mungkin membunuhnya. Namun Yoshinobu tidak pernah takut. Bahkan pria itu pernah mengatakan, "Aku akan dengan senang hati mati di tanganmu setelah aku berhasil memberikan pemerintahan pada Kaisar."

Ambigu. Yoshinobu mengatakan dan bertindak seolah-olah Kaisar putranya, wajib dilindungi.

Maka malam itu juga, dia bertolak dari rumah pengasingan menuju kediaman utama klan Tokugawa.

.

Angin berembus kencang. Semilirnya menelusuk pori-pori hingga menembus tulang. Terasa dingin dan ngilu. Malam dingin tanpa adanya cahaya bulan. Salju mulai turun di sepanjang jalan. Sejak tadi kakinya terus menapak, tanpa lelah. Dia harus tahu apa motif Yoshinobu. Tujuan dan ambisi pria itu.

Gerbang setinggi 2 m berada di depan mata. Tembok tak kalah tinggi membentang dari ujung hingga ujung kediaman Tokugawa. Berdiri kokoh layaknya sebuah benteng pertahanan.

Hening.

Kediaman sebesar itu tidak memiliki suara riuh seperti rumah Shogun pada umumnya.

Dua detik berlalu, Naruto pun mendengar sebuah suara benda pecah, diiringi suara lecut cambuk.

"Jangan pernah bermimpi! Kau ... hanya anak angkat. Tidak pantas menjadi Shogun. Harusnya ... Iesada-sama tahu, tetapi beliau tetap bersikeras,"

Dan ... lihatlah! Beliau mendapat karma atas penyimpangannya terhadap takdir."

Suara seseorang terdengar meninggi, penuh hinaan.

"Mulai saat ini, gelarmu sebagai kepala keluarga, aku lepas. Dan kau akan berada di pengasingan sampai batas waktu yang aku tentukan!"

Yoshinobu diikat, diseret oleh anak buah Ii Naosuke untuk diasingkan. Pria berambut putih itu berpendapat, keberadaan Yoshinobu terlalu berbahaya karena memiliki potensi luar biasa yang selalu berkembang setiap harinya. Shogun pilihannya tidak boleh runtuh.

.

Tanah pengasingan, Osaka tahun 1860

Yoshinobu baru saja pulang dari ladang ketika Tanaka menyongsong dengan tergopoh-gopoh.

"Dia kembali! Pria aneh itu kembali!" Tanaka berteriak sambil memijit lutut yang terasa kebas.

Yoshinobu tahu bahwa akan ada hari di mana rencananya berjalan. Pria yang dia angkat sebagai ajudan dan menghilang selama hampir setengah tahun, kembali dengan segala perubahan luar biasa.

Rambut pria itu dipotong cepak, memperlihatkan kilauan netra sebiru samudra yang baru pertama Yoshinobu lihat. Garis rahangnya tegas dan semua yang tampak di wajahnya terkesan pas. Sangat rupawan.

"Aku akan memulai pergerakan dan Anda harus siap dinobatkan sebagai kepala keluarga kembali!" ucapnya ambigu.

Yoshinobu tidak tahu apa yang sebenarnya Naruto pikirkan, tetapi selang sepuluh hari setelah deklarasi tersebut, Yoshinobu mendapat kabar bahwa Ii Naosuke terbunuh oleh pembunuh gelap dengan luka tusukan yang mengaga lebar di dada.

Dia tidak ingin percaya, tetapi dia dipaksa percaya. Karena dialah yang menggantung harapan, membuat janji pada makhluk yang tidak pasti asal-usulnya.

.

Setelah wafatnya Ii Naosuke, Yoshinobu diangkat kembali menjadi kepala keluarga bersamaan dengan dicalonkan sebagai pengawal Shogun. Namun jabatan tersebut baru resmi diterima pada tahun 1862. Dua tahun yang sangat cepat mendaki puncak dengan Naruto yang mengurus dunia bawah.

Pada tahun 1866, Yoshinobu mendapat gelar Shogun Tokugawa ke-15, menggantikan Tokugawa Iemoci yang telah wafat.

Keshogunaan Tokugawa berkembang dan berdiri dengan kuat di bawah kekuasaan Yoshinobu. Meski demikian, tak ada seseorang yang tahu bahwa penopang Tokugawa adalah sang budak Keshogunan di jaman Kamakura. Mantan Taishogun yang berjuluk Taishogun berekor sembilan.

Naruto menghadap. Dia baru saja melakukan perjalanan, menyelidiki apa yang menjadi kekhawatiran Yoshinobu.

"Jadi begitu. Mereka berusaha memberontak." Yoshinobu menanggapi santai sambil menggerakkan bidak Shogi.

Naruto mengambil giliran, ikut menggerakkan bidaknya. Menatap Yoshinobu dengan pandangan ingin tahu.

"Anda bisa saja dipaksa mengundurkan diri."

"Jika itu demi kaisar, maka akan aku lakukan."

"Apa Anda pikir mereka akan puas hanya dengan itu? Anda pasti tahu, bukan?"

"Naruto, demi memulai perubahan tentu harus ada pengorbanan. Dan aku akan dengan senang hati melakukannya, tentu dengan catatan," ujarnya memberi jeda, "Aku hanya akan diam jika mereka menggunakan cara jujur. Dan aku akan memulai perang jika prasangkaku salah."

"Jadi jangan sampai terbunuh!"

.

9 November 1867

Naruto tidak percaya bahwa setelah apa yang dia lakukan, Yoshinobu benar-benar mengundurkan diri. Pria itu pindah dari Kyoto ke Osaka tanpa memberitahu dirinya.

Domain Chosu adalah salah satu yang merasa senang. Kepergian Yoshinobu dari tanah Kyoto mendinginkan suasana di istana kekaisaran.

Seperti saat ini. Keadaan suka cita menghiasi aula pertemuan. Kaisar muda; Tenno Meiji duduk di singgasana. Mengamati wajah-wajah penuh syukur. Jika dipikir kembali, kehilangan Yoshinobu akan menyebabkan kekosongan tertinggi pada pemerintahan. Belum ada Shogun yang bisa menandinginya dalam hal siasat dan pemerintahan. Jika ada yang kurang, maka itu adalah kekuatan fisik. Yoshinobu tidak sekuat Mito Hiashi yang kini telah menjadi kepala keluarga dengan nama baru; Mito Takachika.

.

Mito Takachika atau Hiashi pulang setelah perayaan kecil di istana kekaisaran.

Hiashi menginjakkan kaki ketika sang putri berada di halaman depan, sedang bermain salju dengan rubah kecil.

Gadis itu berambut gelap, panjang. Memiliki wajah putih dengan hidung kecil mancung yang pas di wajah. Mengenakan Kimono hitam bermotif bunga teratai. Anehnya, kedua matanya ditutup oleh secarik kain berwarna kuning.

Merasakan kehadiran sang ayah, dia pun berlari menyongsong diikuti rubah kecil peliharaannya.

"Bagaimana kabarmu hari ini, Hinata?" Hiashi mengusap rambutnya lembut.

"Baik, Ayah." Jawabnya sopan.

"Kalau begitu, baguslah. Semoga Dewa selalu memberkatimu, Nak!"

Hiashi melangkah masuk dengan sebuah senyum getir.

.

Dia memang sudah tak lagi muda. Usianya lebih dari cukup untuk dipinang sebagai seorang istri. Dia juga cantik, bertutur kata halus dan menjunjung tinggi norma. Secara keseluruhan, dialah gadis yang paling diidamkan kaum pria. Namun kenyataannya, dia hanya bisa menggantungkan harapan. Berdoa dan bersabar. Percaya bahwa memang ada pria yang ditakdirkan bersamanya. Dia bahkan tidak peduli dengan rupa, harta atau Tahta seperti yang sang ayah elu-elukan. Karena sejauh ini, pria dengan segala kriteria tersebut tidak ada yang mau meminangnya.

"Apa kurangnya putriku?!" Hiashi menggebrak meja, meremas surat balasan atas lamaran yang dia ajukan.

"Mungkin, belum ada yang siap untuk meminang putri dari Domain Chosu, Ketua."

"Belum siap? Tidakkah itu hanya alasan? Apa putriku semenakutkan itu?!" Hiashi kalap, mata Ametisnya melebar diiringi deru napas yang memburu.

"Anda hanya perlu menunggu, bukan? Pengelana itu mengatakan, akan datang seorang pemuda dengan samudra dan matahari di kedua tangannya."

Omong kosong!

Hinata sudah sering mendengar, dan dia sudah lebih dari sabar untuk percaya. Jangankan pemuda sehebat itu, budak terendah dari Domain lain pun menolaknya.

Dia tersenyum getir, menahan isak tangis yang sejak tadi melilit kerongkongan. Terasa pahit dan sakit. Jika boleh memilih, dia juga tidak ingin memiliki kutukan itu.

Gadis itu undur diri, menjauh sepelan mungkin. Menggiring rubah kecilnya yang masih menggoyangkan ekor di depan pavilium utama. Tampaknya rubah kecil berbulu oranye keemasan tersebut, mengerti.

"Boruto ... kemarilah!" bujuknya.

.

Sepuluh tahun lalu, kejadian itu tepatnya terjadi. Di usia yang ke sembilan tahun, Domain Chosu terguncang.

Di suatu malam, ketika hanya ada keheningan dan suara bisik angin, ketika mata-mata lelah sedang dalam lindungan mimpi, gadis itu bergerak gelisah. Dalam tidurnya, dia melihat kejadian tragis terjadi. Anak panah disertai api dan racun, melesit serempak. Menghunjam tubuh-tubuh yang harusnya merayakan kemenangan. Tanah jaya berubah menjadi lautan darah. Ibu pertiwi berkhianat. Membunuh pahlawan yang baru saja pulang dari medan perang.

Dengan bermandikan keringat, dia terbangun, membelalak. Kedua mata yang harusnya serupa, berubah menjadi dua warna; Ametis dan keemasan. Mata serupa dengan milik sang kekasih di masa lampau.

Mata keemasan tersebut menyorot tajam, membawa kilasan-kilasan mengerikan masa lalu. Bising mata pedang yang bergesekan dengan cakar, suara auman dan desis nafsu sarat akan haus darah, turut dia dengar. Menyiksa. Bahkan rasa sakit di dalam penglihatannya, ikut menyakiti. Dadanya sesak. Sekujur tubuhnya ngilu. Dan yang dia bisa hanya berteriak, melempar apa pun yang dia gapai, histeris.

Awalnya, Hiashi masih bisa menangkan. Namun setiap malam, keadaan Hinata semakin memprihatinkan.

Hiashi dan para pengawal sampai terluka. Hinata histeris, mencakar siapa saja yang berusaha mendekat. Menggeram seperti sosok binatang. Tidak punya pilihan lain, Hinata terpaksa dilukai agar bisa ditenangkan. Gadis itu diikat, dikurung di dalam kamar sampai ada solusi.

Tabib sudah Hiashi datangkan, tetapi tak ada satu pun yang mengetahui penyakit sang putri. Bahkan cenayang dari segala penjuru. Hingga, pada suatu hari di musim semi, seorang pengelana datang meminta makan. Seorang pria paruh baya berambut putih, mengenakan pakaian lusuh dan memakai caping. Di dalam karung goni yang dijadikan tas, dia membawa seekor bayi rubah berbulu oranye.

"Sungguh berkah tiada tara untuk Anda jika Anda bersedia menyisihkan sedikit rezeki Anda pada saya," pintanya di depan gerbang kediaman Mito. Mendongak, menatap Hiashi yang berada di atas kuda, hendak bepergian.

Hiashi lantas meminta pelayan memberinya makan, lengkap dengan lauk pauk dan uang.

"Jika di suatu hari Anda berperang, pastilah tidak banyak korban dari pihak Anda. Karena Dewa akan selalu memberkati di setiap langkah Anda."

Hiashi tersenyum samar.

"Apa gerangan yang merisaukan Anda, sehingga membuat senyum yang luput dari pandangan?"

Hiashi terkesiap. Menatap sang pengelana, penasaran. Pasalnya tidak ada orang yang berani menegur sang kepala keluarga Mito kecuali tetua dari pihak Chosu.

"Siapa Anda berani berucap demikian padaku?!" bentaknya.

"Wahai Chosu yang agung! Mana berani saya berucap jika tidak sedang memikirkan Anda? Anda adalah penopang keluarga, sosok gagah berani landasan kekaisaran. Akan sangat sedih saya jika tidak dapat membantu Anda."

"Membantu? Bagaimana kau bisa membantu dengan keadaan seperti itu?" ucap Hiashi

"Di dunia ini, ada berbagai macam bantuan. Saya memang tidak punya harta, tetapi saya punya ini untuk Anda," ucapnya menyerahkan seutas kain pengikat berwarna kuning.

Hiashi mengernyit.

"Jika Anda melihat sesuatu yang tidak seharusnya lewat penglihatan Anda, kain ini bisa digunakan untuk melindungi penglihatan tersebut," ucapnya ambigu, "Dan ... jika Anda ingin menyembuhkannya, maka jika ada niat baik dari pemuda yang membawa samudra dan matahari di kedua tangannya, janganlah engkau menolaknya!" sang pengelana merogoh tasnya, menyerahkan bayi rubah yang masih terpejam.

"Ini hadiah dari saya untuk Anda, rawatlah dan dia akan setia dengan Anda dan keturunan Anda. Saya berjanji!"

Sang pengelana undur diri, berjalan menjauh hingga luput dari pandangan.

Hiashi tepekur. Di kedua tangannya adalah jawaban atas kegelisahannya. Putrinya yang menderita penyakit aneh, tertolong. Maka hari itu, dia membatalkan niatnya untuk pergi. Tergopoh-gopoh menemui sang putri.

Hinata yang semula gelisah, mendadak tenang. Gadis itu menangis, menyesal telah melukai sang ayah di saat kesadarannya hanya setengah.

Dan sejak hari itu, Hinata menutup penglihatannya. Menunggu sang pengantin yang akan menyembuhkan dan membawanya ke sisi hangat matahari dan indahnya samudra dengan ditemani sang rubah.

.

Musim dingin, Februari 1868

Perang pecah. Terjadi bentrok antara Domain Satsuma dan Chosu dengan pihak Yoshinobu di depan gerbang masuk kota Kyoto. Pasalnya, Yoshinobu dilarang memasuki Kyoto atas dekret kaisar yang menyatakan pelucutan senjata, pencabutan semua gelar dan hak kepemilikan atas tanah pada dirinya. Namun, hal tersebut tidak terbukti benar. Dan menjadi awal dari Perang Boshin.

Kedua pihak saling adu senjata. Sama kuat dan adidaya, tidak mau kalah. Hanya tingkat moral yang berbeda, membuat pihak Yoshinobu jatuh saat melihat panji-panji kekaisaran dikibarkan oleh pasukan Satsuma dan Chosu.

Perang tiga hari tiga malam pun tak terelakkan. Satsuma dan Chosu mengirimkan pasukan untuk menyerang tempat peristirahatan pasukan Yoshinobu.

Naruto memimpin pasukan, berdiri di atas kuda hitam yang bergerak lincah. Mengibaskan pedangnya seperti sebuah permainan. Dalam satu lintasan, banyak musuh yang berhasil dia jatuhkan.

Dia hampir berhasil membawa kemenangan, hingga sang pemimpin Chosu maju ke garis depan. Berteriak lantang, mengibarkan panji-panji dan membawa pedang.

Yuan Hiashi kembali dalam wujud pimpinan Chosu. Membantai dan memukul mundur pasukan Yoshinobu. Harusnya, Naruto melawan. Menusukkan pedangnya untuk membunuh musuh. Namun jangankan pedang, seujung jarinya pun tidak bisa digerakkan. Bayangan rasa bersalah masa lalu menghantui, mematikan seluruh saraf dan akalnya. Dan yang terjadi, pihak Yoshinobu kalah dan terpaksa mundur.

.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" Yoshinobu menatap kecewa pada sang ajudan yang sedari tadi berlutut tanpa bergeming sedikit pun.

"Naruto," panggilnya lembut. Namun, sang mantan Taishogun itu tidak bergerak. Tidak juga membuka bibirnya.

Naruto tahu dia salah. Satu detik yang dia lewatkan menyebabkan ratusan nyawa melayang.

"Apa yang harus aku lakukan kalau kau hanya diam?" Yoshinobu mengiba, "Aku mohon ... katakan sesuatu."

Lima menit lengang.

Naruto memejamkan mata sejenak, memilah perasaan satu per satu.

"Berikan aku waktu!" ucapnya tegas.

Yoshinobu merasa salah dengar. Belum pernah Naruto mundur dari apa yang sedang dia kerjakan.

"Anda hanya harus menemui Kaisar, bukan?" tanyanya menatap Yoshinobu dengan teguh.

"Hanya tiga hari. Lakukan apa pun dan kembali setelah tiga hari!" jawab Yoshinobu. Meninggalkan Naruto sendirian di ruangannya.

Naruto meremas pedangnya. Geram dengan diri sendiri.

Semuanya harus dia pastikan. Jika Yuan Hiashi terlahir kembali, maka kemungkinan besar kekasihnya pun kembali. Menanti untuk dibawa pulang. Sungguh, tak kuasa batinnya menahan rindu.

Jadi hari itu juga, dia keluar markas dan menyelinap ke tanah Domain Chosu.

.

Di suatu malam yang dingin, ketika bulan tertutup oleh awan, dia datang. Sambil bersembunyi di balik pohon, kedua netra birunya bergerak gelisah. Takut jika praduganya salah, dan khawatir jika benar adanya. Perasaannya masih sama, bahkan jauh lebih dalam, tetapi waktu tidak demikian. Bisa jadi, kekasih hatinya sudah menjadi milik orang lain.

Di tengah pencariannya, di antara kegelapan, sayup-sayup dia melihatnya. Sosok itu berdiri membelakangi. Rambutnya menjuntai hingga punggung. Kulitnya putih, dan senyumnya masih semanis dulu.

Naruto membekap mulut, setengah tidak percaya bahwa kekasihnya telah kembali. Tulang rusuknya menanti, "Putri ..."

"Boruto ... apa kau pikir aku akan bertemu dengannya? Dia yang menantiku?"

Naruto hampir menangis. Untuk kali pertama, dia mendengarnya. Suara lembut bagai kapas di musim semi itu adalah suara kekasihnya, Hinata-nya.

Boruto menggeram pelan, mengangguk kemudian meloncat dari dekapan Hinata.

"Shikigami?" Naruto membelalak. Terkejut dengan rubah kecil yang menyorotnya tajam dari bawah pohon.

"Boruto? Kau di sana?" Hinata berlari menyongsong si rubah. Mendongak demi melihat bayangan bermata biru.

Gadis itu tepekur, terpesona dengan indahnya samudra yang sayup-sayup tampak di bawah kegelapan matanya. Namun, belum sempat bibirnya terbuka, sosok itu sudah menghilang. Meninggalkan hawa dingin yang terasa kosong.

.

Naruto tidak habis pikir. Setelah lima ratus tahun, dia bertemu dengan sosok bukan manusia. Rubah kecil milik kekasihnya bukan sembarang rubah. Melainkan Shikigami penjaga yang jelas, memiliki hawa serupa dengan miliknya. Dan pertanyaannya, siapa gerangan pemilik rubah itu? Naruto jelas tidak akan melewatkan ini.

Jadi, hari berikutnya, sambil menyusun siasat, dia mulai mengintai kediaman Chosu. Mencari celah untuk menculik si rubah yang sayang, tidak ada. Rubah kecil itu tahu, atau mungkin sengaja berada di dekat Hinata hampir di setiap kesempatan. Menggoyangkan ekor, dan bermanja demi mendapat belai kasih sayang sang putri Hiashi.

Dan untuk kali pertama, sang mantan Taishogun tidak sengaja mematahkan ranting pohon. Geram.

.

Sejak malam itu, Hinata tidak bisa berhenti untuk memikirkannya; sosok hitam pemilik mata sebiru samudra. Angannya penasaran, ingin tahu apa maksud kedatangannya. Maka malam-malam berikutnya, dia mulai menunggu di tempat yang sama. Merasakan kehadiran yang begitu dekat tanpa bertatap muka.

Hinata tahu dia selalu datang. Satu hal yang entah mengapa terasa begitu menyenangkan. Namun, nyatanya hal itu tak membuat hatinya puas. Dia ingin mengenal sosok itu lebih. Dan malam ini dia beranikan diri untuk membuka suara.

"Apa Anda hanya akan diam di sana dengan perut lapar?" tanya Hinata pelan, nyaris seperti bergumam.

Naruto hampir tergelincir, pijakannya goyah. Telinganya tidak mungkin salah dengar. Hinata baru saja bicara padanya.

"Anda yang di sana, apa Anda tidak ingin turun untuk membantuku menghabiskan makanan ini?" ulangnya.

Naruto gundah. Belum pernah dia segelisah ini hanya untuk mendekat pada sang kekasih.

"Maafkan aku," bisiknya pelan.

"Untuk apa? Anda tidak berniat membunuhku, bukan?" Hinata terkekeh pelan.

"Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau."

Hinata lagi-lagi terkekeh.

"Anda tidak takut denganku? Aku bisa jadi pembunuh bayaran yang dikirim untuk membunuh Anda sekeluarga."

"Jika memang demikian, Anda pasti sudah melakukannya sejak kali pertama. Apa aku salah?"

Naruto tersenyum. Sungguh, begitu lembut dan mulia hati sang juwita.

"Anda tidak boleh begitu saja percaya dengan orang, Putri. Kebaikan hati Anda bisa jadi bumerang jika Anda tidak berhati-hati. Karena tidak semua orang yang berbicara baik adalah orang baik."

"Dan Anda salah satunya?"

"Bisa jadi."

"Baiklah, Tuan yang bukan orang baik. Maukah Anda membantuku menghabiskan Kesemek ini?"

Naruto terdiam sejenak. Suasana ini, percakapan ini, entah kenapa mengingatkannya dengan masa lalu. Saat dirinya jatuh cinta pada sang gadis Yuan. Semuanya terasa sama.

"Apa Anda pikir aku akan meracuni Anda?"

Naruto terkesiap. Pria itu bergegas mengambil kue Kesemek untuk memenuhi mulutnya. Memakan sebanyak yang dia bisa.

Dan malam indah itu berlangsung sangat singkat. Naruto menandaskan sepiring penuh. Memupuskan harapan Hinata. Karena tidak ada alasan lagi untuk menahan pria itu tinggal barang hanya sebentar.

"Anda akan pergi?"

"Aku memang harus pergi."

"Apa kita akan bertemu lagi?"

"Apa jika kita bertemu, Anda mau berjalan di sampingku?"

Hinata mengernyit. Gadis itu gagal paham.

"Putri, dengar. Aku bukan orang baik. Tanganku berlumur darah. Akan sangat tidak pantas jika Anda menginginkan bertemu dengan orang sepertiku di saat banyak orang di luar sana yang jauh lebih baik dariku," ujarnya lembut.

"Lagi pula, kita baru saja bertemu."

"Tapi Anda tidak terasa asing!" gadis itu setengah berteriak.

"Itu hanya perasaan Anda. Mungkin—"

"Aku aneh? Anda juga berpikir begitu?"

"Apa?"

"Aku tahu aku aneh, atau ... mengerikan,"

"Bagaimana mungkin Anda berpikir begitu?!" Naruto memekik, tidak tahan.

"Tapi—"

"Dengar. Aku berkata demi kebaikan Anda, bukan untuk menghakimi Anda. Jadi berhenti berpikir seperti itu karena Anda tidak begitu di mataku."

Hinata mendongak, menatap wajah sang pria dari balik kain penutup mata. Sungguh, ingin sekali dia melihat wajahnya.

"Lalu seperti apa aku dimatamu?"

Naruto merona. Pria itu tepekur dengan jawaban di lidah. Bingung akibat apa yang dikatakannya sendiri. Dan yang dia lakukan selanjutnya adalah mendekat, berbisik teramat pelan, "Terlalu fana untuk dikatakan sekarang, Putri."

.

Malam itu juga, Naruto bertolak dari kediaman Chosu menuju markas Yoshinobu. Namun di tengah perjalanan, rubah kecil milik Hinata menghadang. Menggeram pelan di balik kegelapan.

"Kenapa kau mengikutiku?" Naruto mendekat, mengelus si rubah lembut tepat saat sebuah siulan terdengar. Rubah kecil itu lari dari tangan Naruto menuju sosok di bawah pohon Ek.

Tanpa diperintah, rubah kecil itu meloncat di pundaknya dan menggeliat nyaman.

Naruto memicing demi melihat sosok pemuda berambut panjang dengan iris serupa dengannya. Tersenyum samar sebelum hilang bersamaan dengan angin malam yang berembus.

.

Perang berlanjut meski Naruto sedang dalam perjalanan. Setibanya dia di markas, ribuan nyawa telah melayang. Yoshinobu hampir kalah. Banyaknya prajurit yang terluka dan menipisnya persediaan pangan menyebabkan goyahnya mental. Terlebih Domain Chosu dan Satsuma baru saja menyerbu gudang pangan mereka.

"Apa yang kau dapat?" tanya Yoshinobu seraya terbatuk.

"Perang tidak dapat dilanjutkan. Aku akan membantu Anda menyelinap ke ibukota. Itu satu-satunya cara paling cepat dan aman untuk Anda menemui Kaisar."

Dan Naruto pun melakukan pergerakan secepat mungkin.

Dua hari berselang sejak keberangkatan Yoshinobu, panji-panji di perbatasan diturunkan. Kaisar telah melakukan dekret yang berisi berakhirnya perang dan pengembalian hak milik atas kepemilikan tanah Yoshinobu.

Naruto tidak tahu apa dan bagaimana cara Yoshinobu berdiskusi, yang jelas seminggu setelahnya, atas perintah Kaisar, dirinya diminta menghadap.

Naruto diberikan pakaian terbaik, wewangian terbaik dan diantar dengan tandu istimewa menuju Istana Kekaisaran.

.

Satu minggu lalu di Edo

"Jadi, mengapa engkau memulai perang di tanahku, Yoshinobu!" tanya Kaisar Meiji.

"Mohon maaf atas kesalahan saya, Kaisar," Yoshinobu membungkuk, "Saya hanya ingin menyatakan keberatan atas pencopotan hak milik saya."

"Bukan untuk mengembalikan gelarmu?"

"Apalah arti sebuah gelar daripada sebidang tanah untuk cocok tanam anak cucu saya?" ujarnya.

Kaisar Meiji berpikir. Membela Yoshinobu bisa berarti perang terhadap Domain Satsuma dan Chosu.

"Mengembalikan hak tanah bukan berarti bisa berada di dalam pemerintahan lagi. Kau mengerti hal itu."

"Berkah tiada tara bagi Anda, Kaisar!"

"Sejak awal, tanah itu memang milikmu. Pelepasan gelarmu adalah kesalahanku, jadi jangan memujiku seperti itu,"

"Mintalah sesuatu yang lain, Yoshinobu, sebagai balasan atas kesalahanku!"

Yoshinobu terperangah, lantas tersenyum lembut.

"Kalau begitu, bisakah Anda meminangkan seseorang?"

"Kau ingin istri kedua?" Kaisar terkejut.

"Mana mungkin saya ingin yang kedua, Kaisar," Yoshinobu berusaha menyembunyikan tawa, "Maksud saya, saya ingin seorang gadis untuk seseorang yang berjasa bagi saya."

"Adakah kriteria yang kau inginkan?"

Yoshinobu berpikir, mengingat baik-baik kegundahan sang ajudan beberapa waktu lalu. Karena tidak mungkin seorang adidaya macam Naruto bisa menarik pasukan secara mendadak dari hadapan para Chosu kecuali jika ada hubungan.

"Saya dengar, Chosu memiliki seorang putri yang belum menikah."

"Hinata?"

"Katakan pada Takachika-sama, bahwa Anda akan meminangkannya untuk seorang pemuda baik yang membawa matahari dan samudra di kedua tangannya."

Kaisar setuju. Menikahkan sang putri adalah impian terbesar ketua Domain Chosu. Dengan ikatan pernikahan, Chosu bisa dikendalikan, tunduk pada kekaisaran dan menyerahkan kekuasaan pada Kaisar seperti yang Yoshinobu lakukan. Maka hari itu juga, dekret dikeluarkan; berisi perintah pernikahan Putri Hiashi dan pria pilihan Kaisar yang akan diadakan satu minggu lagi.

.

Domain Chosu kalang kabut. Baru saja, Kaisar Meiji memberikan perintah mutlak. Bahkan tetua Chosu dibuat gelisah. Kaisar bergerak tanpa komando para Domain dan berani mendesak.

Ruang tengah keluarga Mito hening. Suasana tegang terasa mencekik kerongkongan. Para tetua menolak keras, melayangkan protes pada Hiashi yang duduk diam di ujung. Memejamkan mata, memilah emosi, ambisi, dan logika.

"Ketua!" pekik seorang pria tua.

"Perintah adalah perintah. Kaisar mengatakan pemuda itu memiliki hal yang Hinata butuhkan."

"Kami memohon padamu selaku seorang Ketua!"

"Tapi aku adalah seorang Ayah!" Hiashi kalap. Baru saja, secara tidak langsung, manusia uzur itu menghina putrinya.

Hening. Tak ada yang berani buka suara jika sang kepala keluarga, pimpinan para Chosu itu sudah membelalakkan mata. Mito Takachika atau Hiashi, tidak akan melepaskan siapa pun yang menyentuh putrinya barang hanya seujung jari.

Dan pertemuan berakhir dengan Hiashi menyetujui perintah tersebut.

.

Dalam perjalanan menuju tanah Edo, sebuah penyerangan tiba-tiba terjadi. Tandu yang membawa Naruto dihadang oleh kawanan serigala liar di dalam hutan. Adu senjata dan taring terjadi. Darah berlimpah membasahi tandu bersamaan dengan terempasnya semua pengawal.

Naruto melangkah keluar, tercengang. Dia baru mau mengaktifkan mode rubahnya ketika suara siulan lagi-lagi terdengar. Para serigala yang semula menggeram, tiba-tiba mengkeret, berangsur-angsur pergi menemui seseorang yang telah menunggu di bawah cahaya bulan.

Naruto memicing, "Kau?" matanya tidak ingin percaya. Sosok itu dia mengenalnya. Rambut pirang panjang yang diikat satu di atas dengan pengikat kepala hitam, mata biru keemasan dan senyum itu tampak familier.

"Maaf sudah mengganggu perjalanan Anda," pemuda itu membungkuk diikuti para serigala yang bersujud.

"Mereka memang nakal, tapi tidak akan membunuh. Mungkin, hawa keberadaan Anda-lah yang terasa mengancam mereka."

Naruto tak bergeming. Dia terlalu terkejut mengetahui fakta bahwa di dunia ini ada sosok yang memiliki wajah serupa dengannya dengan aura bercampur dengan Hinata.

"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya kemudian.

"Seseorang yang mungkin Anda kenal."

.

Naruto melihat sekeliling. Rumah yang lebih mirip kuil itu terasa tidak asing, seolah-olah dia pernah tinggal untuk waktu yang cukup lama. Pemuda tadi mengatakan, akan memberi ramuan penyembuh jika Naruto mau singgah sebentar.

Pria itu masih mengingat-ingat ketika secara tiba-tiba seekor rubah kecil meloncat ke pangkuannya, "Boruto?!"

"Apa yang kau lakukan di—" kalimatnya terpotong, tersangkut di ujung lidah.

Seketika, dia berdiri. Siaga satu.

"Duduklah! Jangan tegang seperti itu," ujar si pemuda pirang yang keluar membawa sebuah baki berisi dua gelas teh hangat.

"Siapa kau sebenarnya?! Aku tahu kau bukan manusia, dan kau—"

"Duduk dan aku akan menjelaskan satu per satu."

Naruto kembali duduk. Menekan kedua tangannya secara bergantian.

"Kau yang mengirim rubah ini, bukan?"

"Aku tidak mengirimnya. Kakek yang mengambilnya dariku saat dia lahir." Ujar si pemuda memberi jeda, "Kakek tahu hari ini akan datang, maka beliau melakukannya."

"Anda pasti bingung, siapa Kakek dan untuk apa beliau melakukannya."

Naruto diam, mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan meski benaknya terus merasa gelisah. Dia hanya ingin mendengar satu pengakuan, fakta dari praduganya.

"Kakek adalah pemilik asli siluman rubah yang berada di tubuh Anda."

Hening. Lima menit lengang.

"Siluman itu terlepas dari segel saat tanah Kamakura berlimpah darah para pahlawan. Meski sebuah kebetulan, nyatanya siluman itu menyelamatkan Anda,"

Tetapi ... juga membawa petaka di mana yang Anda kasih dibawa pergi dari kedua tangan Anda."

"Dan menumbuhkan dendam yang tidak berujung hingga sanggup membangkitkan Anda yang telah tertidur."

Tangan Naruto gemetar, dia tidak tahu bagaimana pemuda itu tahu kisah hidupnya hanya dalam satu pandangan mata.

"Jika Anda berpikir itu adalah harga yang harus Anda bayar, Anda salah! Karena apa yang Anda alami adalah sebuah bentuk keadilan. Balasan atas apa yang tidak bisa Anda perjuangkan."

"Tidak ada yang bisa aku perjuangkan," ujar Naruto sendu.

"Tentu ada! Karena aku telah kembali," pemuda itu tersenyum tulus, "Aku pulang, Ayah."

Naruto terkesima. Pria itu tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis tergugu. Anak yang dia pikir telah tiada, sudah tumbuh dewasa menjadi sosok rupawan yang bijak. Tidak ada yang lebih membahagiakan baginya selain bisa memeluk sang putra. Bukti cintanya pada yang terkasih, Yuan Hinata.

"Selamat datang, Nak!"

.

Istana Kekaisaran Edo

Genderang ditabuh. Musik-musik tradisional mulai dibunyikan. Para rakyat diminta memakai pakaian terbaik demi menyambut hari baik yang ditetapkan Kaisar Meiji beberapa waktu lalu.

Hari ini, terjadi arak-arakan besar dari berbagai Domain menuju istana. Tari-tarian dan semarak ramai menghiasi sepanjang jalan dan seluruh aktivitas terpaksa dihentikan.

Hinata berada dalam tandu. Hari ini adalah hari pernikahannya. Dan seperti sebuah anugerah, Kaisar memberi izin mengadakannya di istana.

Dia penasaran, siapa gerangan pemuda yang mau meminangnya. Siapa pun itu, dia akan menerimanya, menjadi istri yang akan setia menemani di kala suka maupun duka.

Pelataran istana sudah sangat ramai. Para Shogun, pejabat dan ketua klan diminta menjadi saksi atas pernikahan putri Hiashi. Turun dari tandu, semua mata terpana akan pesonanya. Hinata tampil sangat cantik dengan Haori putih berbahan sutra. Rambut panjangnya disanggul longgar, dihias dengan bunga Tulip putih. Sementara wajahnya disapu bedak tipis dan bibirnya yang memang seindah Sakura, hanya dipoles pewarna alami sewarna bibir. Begitu cerah bersinar bagaikan Amaterasu Omi-Kami yang memeluk Tsukuyomi.

Dan percayalah, kalau para pemuda keturunan klan ternama hanya bisa menelan ludah, menyesal belum pernah mengenalnya barang hanya satu kata. Tak terkecuali Kaisar Meiji. Sang reinkarnasi Tenno Sasuke tersebut ikut terpana, tidak tahu bahwa gadis yang sering menjadi buah bibir masyarakat ternyata secantik itu.

"Sar! Kaisar!" bisik seorang sekretaris pada sang Kaisar untuk kali kedua. Pasalnya sejak kedatangan sang pewaris Chosu, Kaisar Meiji tidak berhenti memandangnya.

"Ada yang mengganggu Anda?" bisiknya lagi.

"Aku merasa pernah melihat hal serupa, tetapi entah di mana. Rasanya sangat tidak asing," jawab Kaisar hampir seperti bergumam, "Di sini ... rasanya hangat."

Sang sekretaris hanya bisa memiringkan kepala, bingung mau menanggapi apa. Namun kemudian, Kaisar Meiji terkekeh.

"Lupakan apa yang baru saja aku katakan. Hari ini adalah hari bahagia, jadi aku hanya ikut terbawa suasana." Ucapnya tepat saat musik kembali dibunyikan. Sang mempelai pria telah datang.

Yoshinobu maju ke depan, menjadi orang pertama yang menyambut sang mempelai pria.

"Kau datang," matanya berkaca-kaca.

"Apakah istana selalu seramai ini?" Naruto gagal paham.

"Hanya untuk hari ini, Naruto. Hanya untuk hari ini." Yoshinobu menepuk bahu Naruto, mantap.

"Adakah yang mengganggu Anda?"

"Naruto ... dengarkan aku baik-baik," Yoshinobu menahan lajur air mata, mengingat ke belakang tentang perjuangan dan pencapaian yang dia dapat berkat bantuan Naruto.

"Kau sudah pada batasmu. Pencarianmu sudah ada di akhir dan kau sudah benar-benar berubah. Jadi mari berhenti! Berhenti melukai diri sendiri dan jemput kebahagiaanmu!"

"Apa yang Anda katakan?"

"Aku tahu kau bisa mencarinya di lain waktu, atau saat aku telah menua. Namun bagiku, saat ini adalah saatnya. Selagi aku bisa memberi, akan aku beri. Selagi ragaku masih kokoh untuk menyaksikan kebahagiaanmu."

Yoshinobu menahan lajur air mata, "Kau bukan budak atau ajudan, melainkan teman dan adik yang patut aku perjuangkan. Jadi tidak ada kata kau telah bebas karena pada dasarnya kau adalah pria bebas."

"Yoshinobu-sama ..."

"Hari ini, atas perintah Kaisar, kau akan dinikahkan. Seorang gadis cantik dari pihak Chosu."

Naruto membelalak. Dadanya berdesir hanya dengan mendengar marga klan besar itu. Tidak ada gadis lain dari pihak Chosu selain sang kekasih hati.

"Yoshinobu-sama, ada yang ingin aku beri tahu. Aku bukanlah—"

"Itu tidak penting. Manusia dinilai bukan dari wujud, melainkan akal dan hati nuraninya. Karena banyak dari mereka yang berwujud tapi tidak memiliki hati dan akal."

"Tapi aku telah memiliki seorang putra. Apakah Chosu akan baik-baik saja?"

Yoshinobu terkejut sesaat, kemudian tersenyum memaklumi.

"Putra dari seorang sehebat dirimu? Itu akan menjadi landasan yang luar biasa. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ujarnya, "Lalu, siapa namanya?"

"Boruto. Uzumaki Boruto." Seorang pemuda beringsut ke samping Naruto, membungkuk hormat.

Yoshinobu terpana, aura yang dimiliki anak itu sama dengan sang ayah. Cerah dan bersinar. Berkarisma.

Yoshinobu mau buka suara, bertanya satu atau dua pertanyaan ketika musik kembali terdengar.

Alat-alat musik tradisional dibunyikan, bunga-bunga Sakura mulai berguguran di bawah cahaya mentari esok hari. Cahaya yang membias, membuat langkah sang mantan Taishogun terasa menyongsong. Di sana, di depan sana, sang kekasih telah menanti. Di temani dua orang yang sangat dia kenali. Hiashi dan Sasuke dalam balutan sosok yang berbeda.

Sungguh, takdir begitu penuh kejutan. Di tangan-Nya, semua bisa terjadi. Hari ini adalah buah dari kesabarannya. Jawaban atas doanya dalam diam.

Dan dia pun mendekat. Berjalan dengan mantap demi menjemput kekasihnya. Menggenggam tangan dan mendongakkan kepalanya.

Satu genggam yang terasa hangat di tangan. Hinata sangat mengenal sentuhan itu. Seolah hal inilah yang dia rindukan, dia nanti dalam diam.

"Aku kembali, Putri. Aku datang padamu seperti apa yang engkau harapkan."

Hinata tersentak. Tepekur sesaat sebelum tersenyum sambil menitikkan air mata lewat penutup mata.

"Ada yang perlu aku katakan, dan aku mohon Anda mendengarnya baik-baik," Naruto menarik napas, "Aku bukanlah pria baik. Aku juga bukan seperti manusia pada umumnya. Hidupku penuh kegelapan, langkahku bergenang darah, dan jalanku pernah salah. Aku bahkan tidak tahu bahwa buah cintaku di masa lalu masih ada. Aku pria yang buruk. Apakah Anda akan baik-baik saja?"

"Itu sebabnya Anda memilih menutup mata dalam waktu yang cukup lama?"

Naruto terkesiap, heran.

"Aku pernah mengatakan bahwa Anda tidak asing, ingat?" Hinata mengulurkan tangan, meraba wajah sang pria dengan jari-jemarinya.

"Aku tidak salah. Anda memang orangnya. Anda yang telah berjuang demi yang terkasih. Tergugu dalam diam. Merindu sosok yang telah berpulang. Menanti dalam ketidakpastian."

"Bagaimana—"

"Aku tahu? Aku selalu bermimpi setiap malam, Tuan. Mimpi mengerikan yang serasa menyayat batinku. Menusuk urat nadiku hingga rasanya aku ingin mati. Dan Anda ada di sana. Selalu sendirian."

"Anda?"

Hinata tersenyum tulus, "Aku mengerti. Setiap kalimat yang tidak bisa Anda katakan, aku mengerti. Jadi jangan coba menjelaskan jika masih terasa sakit."

"Anda datang untuk memberiku jawaban, bukan?"

Naruto menurunkan tangan Hinata dari wajahnya. Menelusupkan jari-jemari dan menuntun gadis itu untuk saling menggenggam tangan. Dan dia tersenyum.

"Jawaban seperti apa yang Anda inginkan?"

"Seperti apa aku di matamu?"

Naruto diam sejenak. Memilah kata yang tepat untuk sang belahan jiwa.

"Di mataku, Anda seperti ..."

Embun di ufuk fajar."

"Menanti sang matahari terbit untuk dibawa pergi. Dan kini aku datang untuk membawa Anda kembali. Ke bagian diriku yang kosong, ke sisi hatiku yang merindu."

Hinata menangis.

"Jadi sekarang, buka mata Anda dan tatap aku dengan beningnya embun itu." Naruto membuka penutup mata Hinata, melepas ikatannya dengan satu gerak lembut.

Dan mata seindah embun itu terbuka, menyongsong sang mentari dan samudra. Tidak percaya bahwa apa yang diramalkan akan terjadi, doanya dijawab.

.

Air mata tidak lagi terbendung ketika pernikahan akhirnya dilangsungkan. Hiashi tidak menyangka bahwa Hinata akan sebahagia itu. Anak gadisnya telah bertemu dengan jodohnya. Sosok yang dinanti akhirnya telah datang.

Hal ini membuktikan, bahwa cinta tidak memandang waktu. Karena cinta sejati tidak akan pernah berakhir meski ajal telah menjemput. Tidak peduli siapa dan apa dirimu, cinta akan selalu datang pada seseorang yang memiliki hati. Bukan menjadi sama, melainkan memahami apa yang menjadi tidak sama. Karena yang bahagia adalah mereka yang memahami dengan baik perbedaan yang dimiliki. Mencintai dalam diam dengan doa dan harapan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tamat

Akhirnya selesai juga. Ini adalah revisi yang ke lima kali dari chapter 5 yang Nao buat dan tembus 6000 kata.

Ceritanya, sudah berbulan-bulan lalu Nao menulis chapter 5, tapi tiap dapet 2K, selalu Nao hapus. Terakhir kali, Nao sudah buat chapter 5 dengan setting dunia modern. Tembus 5K dan selesai ketik. Namun rasanya melenceng dari genre utama; Historical fiction. Maka Nao putuskan buat versi lain dan jadilah ini!

Setelah di baca-baca, rasanya lebih pas yang ini. Jadi Nao publish saja. Semoga tidak mengecewakan. Mungkin, ada yang bingung cara Boruto selamat. Tapi memang sengaja di skip karena bakal jadi sangat panjang kalau dijelaskan detail.

Terima kasih bagi yang setia menanti, kasih semangat atau ingetin Nao.

Best Regards,

Nao Vermillion