Disclaimer : All Characters belong to Masashi Kishimoto.

A/N : Saya memutuskan untuk memperjelas akhir dari kisah ini.. saya harap pembaca merasa puas.

.

.

Epilogue

.

.

.

Dua tahun kemudian,

Yamanaka Ino sibuk memotong bunga-bunga segar untuk dipajang di tokonya. Setelah bergulat setahun tanpa melakukan apa pun, Dia memutuskan menjalani hidupnya dengan melakukan apa yang ia suka. Merangkai bunga dan merawat tanaman. Selesai menata kuncup mawarnya Ino meraih sebuah amplop yang dikirimkan dari Hongkong. Ia tersenyum membaca surat yang ditulis dengan indah oleh Sai. Mungkin mereka tidak bersama tapi mereka tetap berkomunikasi. Ino memiliki tempat khusus di hatinya untuk pria itu.

Sai akan menjalani hukuman dua puluh tahun penjara atas kejahatan pembunuhan, penyeludupan narkoba dan pencucian uang. Sebenarnya hukuman itu ringan karena jaksa penuntut umum menginginkan Sai di hukum mati, tapi mengingat semua orang yang dibunuh Sai adalah penjahat incaran polisi mereka memutuskan untuk me-review kembali tuntutan Jaksa.

Satu-satunya cara mereka berkomunikasi hannyalah sepucuk surat yang Sai kirimkan sebulan sekali. Setiap saat pria itu meminta Ino untuk melanjutkan kehidupan tanpa dirinya. Meminta Ino untuk menemukan cinta baru atau sekedar bertanya bagaimana hubungannya dengan Sasuke. Ia hanya berharap Ino bahagia. Ino membalas surat-surat pria untuk tidak khawatir karena dia telah bahagia dengan hidupnya dan apa yang dia punya. Cinta dari Inojin, keluarganya, dan para sahabat lebih dari cukup untuk mengisi hatinya. Dia juga memberitahu Sai ia tak menutup diri untuk jatuh cinta lagi, tapi sepanjang cinta baru itu belum datang. Ia membiarkan kenangan tentang Sai memenuhi hati dan pikirannya.

Suara pintu toko berderit membuatnya mengalihkan perhatian dari surat di tangannya. Sasuke berdiri di depan meja konter dengan senyum ceria.

"Kau terlihat senang Sasuke, Ada apa?"

"Aku membutuhkan bunga untuk seseorang."

Alis pirang Ino terangkat, "Wanita?"

"Cemburu?" tanya Sasuke mengolok-olok. "Aku tak bisa menanti dirimu berubah pikiran selamanya."

"Aku senang sebenarnya, lebih baik begini. Kita berdua menjadi teman yang baik. Aku berterima kasih kau ikut menjaga dan mendidik Inojin."

"Sudah sewajarnya. Aku kan ayahnya. Ngomong-ngomong apa yang membuatmu tersenyum begitu lebar?"

"Surat dari Sai." Jawab Ino pendek.

"Kau masih menunggunya?"

"Aku tidak menunggunya, Apa kau tak tahu, Wanita tak butuh pria untuk bahagia. Aku baik-baik saja dengan situasi ini"

"Apa kau tak merindukannya?"

"Tentu saja aku rindu, Inojin juga tapi mau bagaimana. Surat-surat ini sudah cukup bagiku. Kau mau bunga seperti apa?"

"Sesuatu berwarna pink"

Mata Ino menyipit. "Kau berkencan dengan si jidat?"

"Yep, kau tahu selama ini aku tak menyadari Sakura selalu di sana. Meski aku bersikap buruk padanya ia tidak pergi atau berusaha menjauh."

"Cinta itu bisa berawal dari banyak hal dan berakhir karena banyak hal. Aku harap kau tidak lagi sakit hati karena aku tak bisa kembali padamu."

"Tidak, Aku tak sakit hati. Waktu membuat manusia berubah dan di suatu titik dalam hidup kita aku menyadari kau dan aku tak lagi berjalan dengan ritme yang sama. Hidup adalah sebuah perjalanan. Kita bertemu dan melangkah bersama kemudian berpisah melanjutkan perjalanan kita masing-masing."

"Benar tak ada yang abadi, karena itu perasaanku pada Sai juga mungkin bisa tergerus waktu. Tapi aku memilih untuk menikmati hidup di saat ini dan merangkul perasaanku hingga suatu hari nanti perasaan ini memudar dan menjadi kenangan."

"Seperti halnya pernikahan kita, Sekarang hanya tinggal kenangan. Tapi aku lega kita cukup bijak untuk bisa menjadi teman."

"Demi Inojin, Kita harus akur-akur saja wahai mantan suami. Ini bungamu. Semoga Sakura menyukainya." Ino menyerahkan rangkaian bunga mawar pink dan Azalea. "Semoga kau berbahagia Sasuke. Kita semua pantas mendapatkannya."

"Terima kasih mantan istriku, Beritahu Inojin aku akan mengajaknya hiking hari minggu."

"Oke, Anak itu pasti senang."

.

.

Malam itu Ino menonton acara berita ia tak sungguh-sungguh mendengar apa yang diberitakan. Ia hanya menyalakan televisi untuk menyingkirkan kesunyian yang sering membuatnya tak nyaman, Begitu mendengar pembaca berita menyebut berita dari Hongkong. Wanita berambut pirang itu langsung serius menyimak

'Telah terjadi kerusuhan besar di penjara timur Hongkong. Sebagian besar gedung terbakar akibat ulah Narapidana yang marah dan mencoba kabur. Dalam kerusuhan ini beberapa opsir dan tawanan tewas. Salah satunya adalah Sai luo Ren. Mantan Boss tirad Hongkong yang menjalani hukuman dua puluh tahun penjara di blok A-2, Pria itu diduga tewas setelah ditikam oleh narapidana lainnya.'

Ino terpaku, tubuhnya mendadak lemas dan dadanya terasa begitu nyeri. 'Tak mungkin, Sai tak mungkin mati' Ino ingin membuat penyangkalan. Tapi berita itu pasti benar adanya.

Apakah masih mungkin dia merasa menderita. Seharusnya semua yang dia alami membuat dia kebal. Tapi tidak. Mengetahui Sai telah meninggalkan dunia membuat hatinya terasa kosong. Dia terlalu terkejut untuk menangis.

"Ting...tong...ting..tong."

Bel pintu rumah itu berdering. Ino tak ingin membuka pintu. Siapa yang bertamu malam-malam begini. Tapi bel itu tak berhenti berbunyi. Ino yang kini bersikap waspada mengambil senjatanya. Ia tak mau jadi korban kejahatan lagi. Wanita itu mengintip dari lubang pintu. Ia tak bisa melihat apa pun selain warna hitam. Ia mengokang senjatanya dan membuka pintu dengan cepat.

"Angkat tangan" Teriak wanita berambut pirang itu. Ia menatap sosok yang mengenakan trench coat berwarna hitam seperti melihat hantu. Pistol yang ia pegang jatuh ke lantai. Tangan dan bibirnya bergetar. Bulir air mata jatuh di pipinya.

Sai berdiri menjulang di hadapan Ino, pria itu tampak lebih kurus. Sinar lembut rembulan memberi bias kebiruan di kulitnya yang pucat. Dia tampak etheral.

"Sai, Apa benar ini dirimu?, Bukan hantu atau halusinasiku saja." Wanita itu mengulurkan tangan untuk menyentuhnya memastikan sosok yang berdiri di depannya bukanlah ilusi semata.

Sai menatap Ino yang tak banyak berubah dari dua tahun yang lalu dengan penuh rindu. Ia tak sanggup menjalani hari-harinya dipenjara meski ia berusaha pasrah. Hatinya menjerit ingin berkumpul bersama mereka lagi karena itu ia merencanakan semua ini. Melarikan diri dan membunuh Sai luo Ren.

Melihat tangan gemetar yang terulur Sai menarik Ino dalam pelukannya, "Aku pulang Ino." Ucap pria itu setengah berbisik.

Kebahagiaan menjalari tubuh wanita itu merasakan hangat pelukan pria yang Ino pikir tak akan pernah ia lihat lagi.

"Bagaimana mungkin?"

"Segalanya menjadi mungkin dengan uang dan mental korup para pengawas penjara. Aku sekarang di sini sebagai Sai Shimura. Tak akan ada yang memisahkan kita lagi."

"Benarkah?" Ia menatap Sai penuh harap. Ini bukan mimpi kan?

"Ino, Bila kau masih berkenan. Maukan kau menikah denganku?"

"Aku tak menyangka kau akan bertanya tentang itu setelah semua yang terjadi."

"Penting bagiku untuk membuatmu jadi keluargaku."

"Tentu saja aku mau, Perasaanku masih sama seperti saat kau nyaris mati di pangkuanku."

"Aku sangat mencintaimu Ino." Sai membelai rambut pirang platina wanita itu, Dia adalah segalanya. Satu satunya cahaya dalam kehidupannya yang gelap. Seberkas kehangatan di hatinya yang beku dan Sai merasa sangat bahagia mereka bisa berkumpul kembali.

Terdengar langkah laki dari dalam rumah. "Mama, Aku mencarimu," Inojin mengucek-ucek matanya yang masih mengantuk. Begitu ia benar-benar membuka mata. Ia langsung berlari ke arah pria yang berdiri di pintu bersama Ibunya.

"Papa..." Inojin melompat dan memeluk Sai.

"Aku pulang Inojin, Kali ini aku akan selalu bersama kalian." Ia tersenyum hangat.

Akhirnya mereka bisa berkumpul bersama dan benar-benar menjadi keluarga.

This what he was missing all his life. A family.