Disclaimer : Semua tokoh dalam cerita ini adalah milik Masashi Kishimoto.

Warning: Violence, Bad language, OOC, Typo

A/N : Saya tahu seharusnya saya fokus melanjutkan dua fic yang sudah saya tulis tapi otak saya di penuhi hal lain. Jadilah saya iseng menulis yang ini.

Souless Eyes, Darkest Blood.

.

Chapter 01

.

Captured

Suasana Bandar Udara Narita begitu Ramai. Pesawat China Airlines baru saja mendarat. Seorang penumpang dengan pakaian serba hitam menuruni pesawat menenteng sebuah tas kerja yang juga berwarna hitam. Setelah dia mengambil bagasinya dia melangkah keluar airport.

Di pintu keluar dua pria berjas hitam telah menantinya. Melihat kehadirannya mereka membungkuk hormat

"Selamat datang di Jepang Tuan Ren. Semua sudah kami siapkan seperti yang Anda minta" Ucap salah satu dari mereka.

"Bagus" balasnya singkat.

"Tuan mobilnya telah menunggu"

Sai membiarkan salah satu dari mereka membawakan kopernya. Dia berjalan dikawal oleh dua pria itu menuju mobil sedan yang terparkir tepat di depan pintu keluar terminal. Seorang Sopir membukakan pintu mobil untuknya.

Dia masuk dan duduk dengan tenang. Senang rasanya kembali ke jepang setelah belasan tahun di pengasingan. Kakeknya sangat cerdik. Mencium kejatuhannya pria tua itu mengirimkan Sai pada orang kepercayaannya di Cina dan memalsukan kematiannya. Dia terlalu muda untuk mengerti mengapa sang kakek menyerahkan dirinya untuk diasuh orang lain tapi ketika dia beranjak dewasa Sai paham Danzo hanya ingin menyelamatkannya.

Mobil berhenti di sebuah rumah besar bergaya jepang. Tak ada yang berubah dari kediaman Shimura. Dia membelinya dua tahun yang lalu dari tangan seseorang pengusaha retail. Setelah semua tindakan kriminal dan korupsi Kakeknya ketahuan. Harta keluarga Shimura disita dan dibekukan. Aset-aset mereka dilelang. Beruntung mereka tidak menemukan harta yang di simpan kakeknya di luar negeri atas nama orang lain. Sai memanfaatkan warisan Danzo dengan baik dan membangun bisnisnya sendiri di Hong Kong

Sai mengontak semua rekanan serta anak buah Danzo dan mulai membangun jaringannya sendiri di Jepang begitu dia meninggalkan bangku kuliah. Semua dia awasi dari luar negeri sambil menunggu kesempatan untuk kembali dan kini dia telah kembali sebagai Sai luo Ren. Seorang pengusaha Cina berdarah Jepang. Dia punya satu agenda tersembunyi. Kedatangannya ke Jepang untuk membalas dendam.

.

.

Di sebuah ruang privat klub malam mewah di Ginza pria berambut merah menatap penari telanjang yang meliuk-liuk di atas meja. Dia menegak gelas yang berisi cairan berwarna amber dengan kadar alkohol tinggi. Dia bosan dengan segala hiburan ini. Wanita, uang, pesta, narkoba semua sudah dia cicipi lebih dari cukup. Sebagian besar wilayah Tokyo sudah jatuh ke tangan kelompoknya dan malam ini seharusnya dia bertemu dengan pendatang baru yang dengan cepat mengakuisisi kelompok ryu. Gaara sedikit khawatir dengan pria yang di sebut Ren. Dia mendengar rumor pria itu memimpin kelompok mafia di Hong Kong. Apa yang pria asing itu inginkan dengan melakukan ekspansi di Jepang.

Sai dan tiga anak buahnya tiba di klub untuk bertemu Sabaku Gaara.

"Kalian tak di perkenankan membawa senjata" Ucap pria berbadan kekar yang menjaga pintu.

"Kami datang untuk bernegosiasi tidak ada senjata"

"Geledah mereka" perintah pria berbadan kekar itu pada rekan-rekannya.

Sai bersikap kooperatif dan membiarkan orang-orang dari kelompok Kaze memeriksanya. Sebelum Organisasi Ne yang di pimpin Danzo runtuh. Mereka adalah rival yang sering berebut wilayah kekuasaan. Tapi Kali ini dia tak akan membuat masalah dengan pemimpin generasi ke tiga mereka Sabaku Gaara.

Pria berambut hitam itu masuk dan menemukan Gaara duduk di sofa kulit hitam diapit dua wanita tanpa busana. Pria itu dengan santai meletakan tangganya di punggung para wanita pendampingnya.

Sai tak gentar ketika mata pria itu menatapnya dengan tajam dan menyelidik. "Jadi kau Sai luo Ren. Apa yang membawamu ke Tokyo? Apa berniat mencari gara-gara dengan kami?"

"Tidak, Aku hanya mau berbisnis di sini. Apa kau tertarik?"

"Apa yang bisa kau tawarkan padaku?"

"Obat terlarang. Aku bisa menyuplai kokain ke Tokyo"

"Benarkah? Apa kau bisa mengirimnya dengan aman? Rasanya tak mungkin menembus ketatnya penjagaan pihak berwenang"

Pria berwajah pucat itu tersenyum "Mudah bila kau bekerja sama dengan orang yang tepat. Kita selalu bisa menemukan celah"

"Duduk dan minumlah. Aku tertarik mendengar proposalmu. Bagaimana orang asing sepertimu dengan cepat membangun koneksi dengan aparat?"

"Karena aku buka orang baru di jepang tuan Sabaku. Bisa kita bicara empat mata?"

Gaara menuangkan minuman di gelas yang kosong dan menambahkan es. Dia menyodorkan gelas itu pada tamunya. "Kalian semua keluar"

Dengan patuh semua wanita dan anak buah Gaara dan Sai melangkah keluar pintu.

"Apa yang ingin kau bicarakan hingga membutuhkan privasi seperti ini"

"Sabaku Gaara apa kau tak berminat menyingkirkan Uchiha? Bisnis akan berjalan lancar bila kita bisa bekerja sama dengan kepala polisi. Fugaku tak bisa disuap"

"Tentu saja. Semenjak Fugaku menjadi kepala polisi. Dia dengan gencar menyuarakan perang dengan Mafia. Dia telah berhasil menjatuhkan Danzo Shimura dan membubarkan Ne. Kami pun sangat berhati-hati sekarang"

"Aku berharap kau bisa membantuku menghancurkan Uchiha"

"Apa kau punya dendam pribadi dengan mereka?"

"Tentu saja karena aku cucu Danzo Shimura. Aku kembali ke jepang hanya untuk satu hal"

Gaara menyesap minumannya dan bersandar dengan santai di sofa "Menarik, apa yang bisa kau berikan padaku bila aku membantumu?"

"Aku tak berniat membangun kembali Ne dan bersaing denganmu. Kelompok ku bisa bergabung denganmu. Dengan begitu seluruh area Tokyo jadi milikmu. Aku cukup puas dengan bisnisku di Hongkong"

"Dengar aku tak mau begitu saja mempertaruhkan kelompokku untuk acara balas dendammu. Aku ingin kau membuktikan dirimu layak dibantu"

"Tak masalah bila kau segan membantuku. Aku akan melakukannya sendirian. Tapi kau tetap akan disambut untuk bergabung di tengah-tengah pesta"

"Aku akan mempertimbangkan untuk membantumu bila kau bisa menjamin kita akan sukses menghancurkan Uchiha dan satu hal lagi aku berminat mendistribusikan narkoba. Kurasa bisnis itu mendatangkan uang dengan cepat"

"Tentu saja, Kau pikir bagaimana aku menjadi kaya dengan cepat. aku akan mengirim 250kg Kokain. Kau bayar saat barangnya tiba"

"Deal. Tak ada ruginya buatku"

Sai dan Gaara berdiri berjabat tangan "Senang berbisnis denganmu" Sai menyunggingkan senyum palsunya.

.

.

Sai tengah duduk di ruang kerja. File dan foto-foto berserakan di atas meja yang terbuat dari kayu mahoni berpelitur coklat tua. Semua objek foto itu sama. Seorang wanita berambut pirang dan polisi berambut gelap. Selama setahun dia mengirim orang untuk memata-matai keluarga Uchiha dan sekarang saatnya untuk bergerak. Fugaku sangat menyayangi putra dan menantunya. Dia bisa mulai pekerjaannya dari situ. Dengan cermat Sai membersihkan pistolnya. Entah berapa nyawa yang melayang di tangannya dia tak pernah menghitung lagi. Baginya semua orang yang menghalangi langkahnya harus disingkirkan dan berbeda dengan kakeknya. Sai lebih suka turun tangan sendiri. Dia tak berbakat memainkan politik seperti Danzo tapi sikap dinginnya ditakuti dan melegenda. Dia pria tanpa kompromi dan basa-basi.

"Tuan Ren. Kami membawa yang kau minta"

Anak buahnya menyeret seorang pria berusia sekitar enam puluh tahunan dengan rambut yang sudah memutih dan wajah penuh kerutan. Pria itu gemetar dan ketakutan. Dengan kasar anak buah Sai memaksa orang tua itu berlutut tampak luka lebam bekas pukulan dan penganiayaan di wajahnya.

"Hanzo, Masih mengingatku?" pria berambut hitam itu berdiri. Dengan langkah layaknya seekor predator dia mendekati calon korbannya.

"Sai Shimura" Pria tua itu syok seolah melihat hantu "Bukankah kau sudah mati?" suaranya gemetar.

"Mau menjelaskan mengapa kau bebas berkeliaran sementara kakekku mati?"

"Maaf, Aku terpaksa" Pria itu menunduk terlalu takut untuk memandang mata cucu Danzo Shimura. Ia tak menyangka remaja pendiam yang dikenalnya menjadi seorang yang keji.

"Terpaksa? Hanzo kau mengkhianati kakekku untuk menyelamatkan dirimu sendiri. Bukankah kau juga menikmati uang yang dihasilkan oleh Ne. Kau menjual informasi pada polisi. Kau tak punya loyalitas dan membelot dari organisasi" Sai menodongkan pistolnya pada orang tua itu. Jelas hukuman apa hukuman untuk seorang pengkhianat.

"Ampuni aju Sai. Aku mohon jangan bunuh aku"

Sai tak mengindahkan permohonan pria tua itu. Dia tak pernah merasa Iba "Pengecut. Kau tak pantas jadi tangan kanan Danzo" tanpa ragu ia menarik pelatuk pistolnya.

Suara letusan senjata itu memekakkan telinga. Anak buah Sai berdiri di pinggir ruangan dengan diam menonton boss mereka membunuh musuhnya dengan darah dingin. Darah membanjiri lantai ruang kerja Sai dan pria itu tampak biasa saja meski telah mencabut nyawa seseorang.

"Buang mayat pria ini" perintahnya pada sang bawahan.

Tak lama muncul rekannya membawa sebuah karung. Mereka memasukkan tubuh yang tergolek mati itu ke dalamnya. Lalu menyeretnya keluar.

"Bakar mayatnya dan buang ke laut. Jangan sampai meninggalkan identitas apa pun" Pesan pria berambut hitam itu pada anak buahnya sebelum menutup pintu dan melanjutkan pekerjaannya.

Darah di lantai sama sekali tak mengganggunya. Sai tak pernah merasa bersalah membunuh seseorang karena menurutnya yang dia lakukan tadi adalah keadilan. Hanzo mengkhianati keluarganya dan pantas mati. Dia kembali duduk di kursinya memikirkan apa yang akan dia lakukan pada Fugaku Uchiha.

.

.

Yamanaka Ino menatap kursi kosong di hadapannya. Wanita itu mendesah sambil mengisi kembali gelas wine-nya yang kosong. Dia duduk menikmati makan malamnya sendirian dan menyadari beberapa pasang mata menatapnya dengan rasa kasihan. Hidangan mewah yang jauh-jauh hari dia pesan terasa hambar di mulutnya. Mungkin seharusnya dia membatalkan reservasinya dan tidak datang ke restoran ini tapi apa daya Sasuke baru memberitahunya dia tak sempat datang ketika Ino sudah sampai disini.

Wanita itu merasa kecewa dia jauh-jauh hari sudah merencanakan untuk makan malam berdua di restoran terkenal ini untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka tapi seperti biasa Sasuke mendapat info mendadak bandar narkoba yang mereka cari-cari terlihat di Shibuya jadilah dia memimpin pengepungan. Bukan salah suaminya bila dia tak bisa muncul di sini dan seharusnya dia menjadi istri yang pengertian dengan bersikap maklum dengan tuntutan pekerjaan suaminya sebagai polisi tapi ia tak memungkiri kian hari pernikahannya dengan Sasuke terasa makin semu. Pria itu sibuk mengejar karier dan kenaikan pangkat begitu pula dirinya. Saat-saat seperti ini kadang dia meragukan apa mereka berdua saling mencintai. Ino nyaris menitikkan air mata.

Pintu restoran terbuka. Suaminya muncul masih dengan mengenakan seragam polisinya. Rambutnya acak-acakan dan tampak terengah-engah. Sasuke melangkah ke dalam membawa seikat bunga casablanca Lily tanpa memedulikan tatapan heran pengunjung lainnya.

Ia menyerahkan bunga itu pada Ino dan mencium pipinya "Happy Aniversarry Nyonya Uchiha"

Senyum Ino melebar. Segala kekesalan dan pikiran negatifnya menguap melihat wajah suaminya

"Syukurlah kau masih disini. Begitu penjahatnya diamankan. Aku langsung kemari. Aku berhutang pada Naruto yang mau mengurus semuanya. Aku minta maaf Ino aku harap kau tidak kecewa"

"Tak apa Sasuke bukan salahmu kalau harus tiba-tiba bertugas. Mau segelas anggur?" Ino menuangkan isi botol ke gelas lainnya

Sasuke mengangkat gelasnya bersulang "Untuk istriku yang paling cantik dan pengertian"

Ino mengikuti suaminya "Untuk suamiku yang paling tampan dan teladan"

Kedua gelas itu beradu dan berdenting. Mereka saling menatap dan menahan senyum geli sambil mengecap anggur merah impor yang Ino pilih tadi

"Apa yang kau inginkan untuk merayakan tiga tahun pernikahan kita?"

Sasuke menggenggam tangan Istrinya "Mungkin sudah saatnya kita memikirkan kehadiran seorang anak"

"Kau Yakin? Kita terlalu sibuk Sasuke"

"Ayolah Ino. Apa kau tak ingin menimang bayi? Sejujurnya ayah dan Ibuku sudah mendesak minta cucu"

"Aku mengerti. Tiap kali aku berjumpa orang tuaku juga mereka terus-menerus menanyakan cucu"

"Kalau begitu mungkin kita bisa mencobanya malam ini. Nyonya Uchiha" ujar Sasuke dengan nada sugestif.

Wajah Ino bersemu merah, "Oh tentu saja. Tak hanya malam ini Sasuke. Besok dan Besoknya lagi"

"Hum...Tenang saja Ino. Kita akan terus mencoba hingga mendapatkan hasil positif"

Wanita berambut pirang itu terkekeh. Ino merasa sangat bahagia dengan Sasuke. Siapa sangka ia menemukan cinta dalam pernikahan yang awalnya direncanakan oleh keluarga mereka. Di balik eksterior suaminya yang dingin Ino belajar menghargai dan mencintai dedikasi pria itu pada komitmen pernikahan mereka dan dia juga mengagumi etos kerja suaminya. Dia dan Sasuke sama-sama logis dan pragmatik. Mungkin mereka bukan pasangan yang romantis tapi pendekatan pragmatik mereka dalam urusan rumah tangga membuat semuanya berjalan lancar

Di antara para pengunjung restoran seseorang tampak mengamati interaksi sepasang suami istri itu. Dia tersenyum puas melihat pasangan itu bersikap hangat dan mesra. Merasa mendapatkan cukup informasi pria berkacamata itu berdiri mengamit lengan teman kencannya dan meninggalkan restoran.

.

.

Sai berjalan-jalan di sekitar gedung kejaksaan. Tempat wanita itu bekerja. Dia telah mempelajari Yamanaka Ino dengan saksama. Sai bahkan tahu merek pakaian dalam favorit wanita itu. Sai hanya menunggu kesempatan yang tepat untuk menculiknya. Dia tak mungkin langsung menangkap Sasuke. Salah satu cara untuk mendapatkan putra bungsu Fugaku itu hanya dengan memasang jebakan dengan menggunakan Ino sebagai umpannya.

Sai menunggu tak jauh dari gerbang utama gedung kejaksaan. Dia melihat mobil sedan biru tua yang dikendarai Ino meluncur di jalan. Sai segera menghubungi anak buahnya untuk menguntit Ino. Sai mengetahui Ino akan pergi ke rumah orang tuanya yang terletak di pinggir kota sepulang kerja dan kebetulan jalan di area itu cukup sepi. Mereka bisa melakukan aksinya di sana.

Ino berkendara dengan santai sambil menikmati lagu yang terdengar dari stereonya. Setiap hari jumat di makan malam di rumah keluarganya karena Sasuke juga mendapat tugas malam. Dia enggan makan sendirian. Rumah ayah Ino hanya berjarak satu jam dari kota dan bisa saja dia naik kereta tapi lebih praktis menyetir.

Ino berbelok memasuki jalan pintas yang sepi. Iseng dia menoleh pada spionnya dan merasa aneh melihat mobil van hitam yang berada di belakangnya ketika dia keluar kantor masih berada di sana. Wanita itu langsung cemas. Apa dia diikuti?. Ino kembali berbelok hendak kembali ke jalan utama dan mobil itu masih mengekorinya. Merasa panik Ino menginjak pedal gas lebih dalam. Mobilnya menderu melintasi jalanan sempit itu. Ino mencoba melepaskan diri tapi laju mobilnya berguncang-guncang dan tak stabil. Sejak dia meninggalkan gedung kejaksaan dia menyadari ada sesuatu yang tak normal dengan mobilnya. Ino masih mencoba memacu mobilnya dengan kencang meski semakin susah dikontrol akibat salah satu ban belakangnya kempes. Mobil itu pun terpelintir menabrak pembatas jalan ketika Ino melibas belokan tajam.

Air bag langsung mengembang mencegah Ino mengalami benturan yang fatal. Wanita itu masih syok tak sanggup bergerak. Sisi kiri mobilnya ringsek. Terdengar ketukan di jendela mobilnya Ino menoleh dan melihat seorang pria bertopeng membawa senjata "Keluar atau aku akan menembakmu"

Wanita pirang itu menelan ludahnya. Ia tak punya pilihan. Ino melepas sabuk pengaman dan membuka pintu. Pria bertopeng itu meraih lengannya dan menaikkannya ke dalam mobil van dengan paksa. Ino meringkuk di sudut mobil bersama tiga orang pria bertopeng bersenjata. Mobil itu tanpa jendela Ino tak punya petunjuk ke mana mereka membawanya pergi.

Entah berapa lama mereka berkendara. Akhirnya mobil van hitam yang membawanya berhenti. Sebelum mereka keluar salah seorang penculiknya mengikat tangan dan memasangkan penutup mata. Dengan kasar dia meraih lengan Ino dan praktis menyeret wanita itu entah ke mana. Sekilas Ino merasakan desiran angin beraroma garam. Dia dibawa ke tempat di dekat laut.

.

.

Sasuke pulang ke rumah menemukan apartemen mereka kosong. Tak biasanya Ino belum pulang dari rumah orang tuanya. Pria itu menatap jam dinding waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Dia menggenggam erat ponselnya. Dari tadi ia mencoba menghubungi istrinya tapi tak di jawab. Akhirnya ia memutuskan menelepon mertuanya

"Hallo, Sasuke ada apa?" Suara Inoichi terdengar berat dan sedikit mengantuk

"Maaf aku terpaksa menelepon tengah malam begini. Apa Ino ada di situ?"

"Tidak. Ino tak datang hari ini. Apa apa Sasuke?" Ayah wanita itu terdengar panik

"Ino belum pulang. Aku mencoba menghubunginya tapi tak tersambung"

"Aku juga mencoba menghubungi Ino tadi sore dan dia tak mengangkat teleponnya. Apa mungkin sesuatu yang buruk telah terjadi"

"Pak Inoichi. Aku akan mencari Ino" Sasuke bergegas kembali ke kantornya.

Dia kantornya dia menemukan laporan sebuah mobil mengalami kecelakaan di rute menuju kediaman Yamanaka. Dia melihat foto dan plat nomor mobilnya. Itu mobil istrinya. Laporan menyebutkan ban belakang mobil kempes terpelintir dan menabrak pembatas jalan ketika melewati tikungan tajam. Tak ada laporan mengenai pengemudinya.

Wajah Sasuke menjadi gelap dan muram. Wanita itu tak pernah mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Mungkin ada orang yang mengejarnya. Tas dan ponsel istrinya juga tak ada. Besar kemungkinan istrinya diculik tapi siapa. Pria itu memerintahkan untuk mengecek cctv yang ada di setiap persimpangan yang di lalui Ino. Mungkin dia akan menemukan petunjuk.

.

.

Sai turun dari mobilnya. Dengan santai dia berjalan memasuki sebuah gudang tua di pinggir pelabuhan. Angin laut mengembuskan rambut hitamnya yang sedikit panjang. Anak buahnya berdiri dan membungkuk dengan hormat

"Boss, Kami mendapatkan wanita itu"

"Kerja Bagus. Jangan lupa untuk membawa mobil van itu ke Sapporo. Aku yakin polisi sedang menyelidiki mobil itu sekarang"

Sai berjongkok untuk memeriksa tawanannya yang meringkuk di lantai

"Yamanaka Ino"

Wanita itu terkesiap merasakan tangan yang kasar dan penuh kapalan meraih wajahnya.

"Apa yang kau inginkan dariku?" Tanya wanita itu pada penculiknya.

"Suamimu" Jawabnya singkat.

Ino gemetar saat merasakan jari tangan pria itu dengan sengaja mengelus wajahnya "Mengapa kau mengincar Sasuke?"

"Aku tak perlu menjelaskan alasannya padamu"

Suara pria itu dingin dan monoton. Membuat pusat saraf Ino mengirim sinyal rasa takut ke sekujur tubuhnya. Pria itu menariknya berdiri. Membimbingnya berjalan entah ke mana. Wanita itu mencoba menghitung langkahnya dua ratus tiga puluh dua langkah dan dia kembali mencium aroma garam. Pria itu membuka pintu mobil dan mendorong Ino duduk di kursi belakang.

Wanita itu mendengar mesin mobil menyala dan mobil mulai bergerak. Penculiknya tak bicara sedikit pun.

"Sasuke akan mencariku. Kau tak akan bisa lolos darinya" ucap Ino marah tapi penculiknya tetap tidak bereaksi.

Ino kembali melontarkan pertanyaan. Cacian dan makian sepanjang perjalanan tapi pria itu tak bereaksi. Akhirnya mobil berhenti. Pria itu menariknya turun dan menyumpalkan kain di mulutnya. Membuat Ino tak mampu bicara.

"Aku lelah mendengar omonganmu. Sebaiknya kau tak berisik dan membangunkan orang-orang"

Ino diseret begitu saja. Dengan tertatih-tatih Ino mencoba mengikuti langkah pria itu yang cepat dan panjang. Dia mengutuk high heels yang dia kenakan. Ino kembali menghitung jumlah langkahnya dan menyadari dia sedang menuruni tangga.

Sai membawa Ino ke dalam bunker tersembunyi di rumah keluarga Shimura. Bunker ini dibuat sebagai tempat persembunyian saat perang dunia ke dua tapi oleh kakeknya diubah menjadi sebuah sel bawah tanah. Sai tak bisa mengingat berapa kali dia menghabiskan waktu terkunci disini tiap kali kakeknya merasa dia melakukan kesalahan.

Sai melepaskan penutup mata dan penyumpal mulut wanita itu dan Ino akhirnya melihat sosok penculiknya. Dia memiliki kulit yang paling pucat dan mata paling kelam yang Ino pernah lihat. Wajahnya tajam dan absen dari emosi tapi bibir tipisnya menekuk dengan kesinisan tersendiri. Pria itu membuka ikatan tangannya. Ino merasa lega darah kembali mengalir dengan lancar ke pergelangan tangannya yang mulai membiru. Ino langsung bergerak membuat jarak di antara mereka. Ino sadar pria ini berbahaya.

"Kau siapa?" Ino menemukan kembali suaranya.

"Tak perlu tahu aku siapa. Mulai hari ini kau tinggal disini"

Ino mengedarkan padangan ke sel yang sempit ini. Tak ada apa-apa selain sebuah kasur tipis dan bilik berukuran 1x1 meter yang sepertinya merupakan toilet "Mengapa kau melakukan ini padaku?" Ino mencoba terdengar tidak putus asa. Dia yakin Sasuke akan menemukannya secepatnya.

"Karena kau menikah dengan pria itu" pria itu melangkah mendekatinya. Merasa terintimidasi Ino terus mundur hingga punggungnya menyentuh tembok

Dia memerangkap tubuh Ino. Memegang kedua tangan wanita itu di samping kepalanya "Dengar begitu aku menghabisi Uchiha. Aku akan menghabisimu juga" tatapan mata pria itu menghunjam Ino dengan sadis "tentu saja sebelumnya aku akan membiarkan anak buahku mencicipimu satu per satu"

Wanita berambut pirang itu gemetar ketakutan mendengar ancamannya dan Sai menyukainya. Dia mengunci pintu sel itu, "Selamat tidur Nyonya Uchiha" ucap pria itu dengan nada mencemooh. Meninggalkan wanita itu sendirian.

Begitu penculiknya pergi Ino melepaskan sepatunya dan melemparkannya dengan keras ke arah jeruji besi yang mengurungnya. Dengan rasa kalut wanita itu memilih duduk meringkuk di atas kasur yang keras dan kotor. Dia merasa takut. Dorongan emosional membuatnya menangis "Sasuke" wanita itu membisikan nama suaminya di tengah-tengah isak tangis ketakutannya.