Aku terbangun dengan kaget di ranjangku yang keras. Terduduk dengan bingung, dari jendela bisa kulihat di luar masih gelap.

Kucoba mengingat suara apa sebenarnya yang tadi membangunkanku. Sepertinya suara sesuatu yang pecah, pikirku. Eh, betul kan ya seperti suara benda pecah? Kok aku jadi tak yakin dengan pendengaranku sendiri begini? Tapi kalau dipikir lagi sepertinya suara tadi tidak terlalu akrab di telinga, aku jadi semakin meragukan apa betul yang kudengar tadi suara pecahan sesuatu.

Kuusap wajahku mencoba menyingkirkan rasa kantuk, sembari berpikir sudah berapa lama aku tertidur. Yang terakhir kuingat adalah aku masih membaca laporan anak buahku mengenai pemberontakan di barat negeri. Entah laporan Hong Jisoo, anak buahku, yang kelewat panjang atau aku yang memang kelelahan. Kalau diingat lagi hampir tiga hari aku tidak tidur dengan baik, terimakasih pada urusan keamanan daerah yang tidak kondusif dan kegelisahan pribadiku.

Tiba-tiba aku mendengar suara lagi. Kali ini aku tidak ragu dengan pendengaranku, yang kudengar saat ini jelas-jelas suara langkah. Halus, nyaris tidak terdengar, tapi memiliki kemantapan pada setiap pijakannya. Terimakasih pada pelatihanku yang keras dan efektif di masa-masa aku masih seorang bocah ingusan yang dilemparkan ke akademi militer, aku yakin bisa mendengar suara langkah seringan peri sekalipun.

Aku meraih revolver 9mm yang kurekatkan di bawah kasur, yakin bahwa langkah yang kudengar itu bukanlah milik anak buahku, mengingat lonceng pagi bahkan belum berbunyi. Sedangkan pelayan tidak pernah mendatangiku di kamar pribadiku. Jadi siapapun yang sedang menuju ke kamarku kemungkinan besar adalah seorang penyusup, dan sudah pasti seorang penyusup tidak memiliki niat untuk menemani tidurku.

Bisa kulihat handle pintu bergerak memutar saat si penyusup berusaha membuka pintu kamar, dan daun pintu bergerak sangat pelan. Aku belum bisa menentukan apakah si penyusup ini laki-laki atau perempuan, tua atau muda, terlatih atau tidak dalam ruangan yang minim cahaya ini. Aku tetap pada posisi dudukku dengan senjata teracung ke arah pintu. Jika si penyusup membuka pintu lebar-lebar aku bisa berharap pada cahaya dari halaman yang masuk melalui jendela besar di seberang kamarku, semoga saja dia tidak cukup pintar untuk masuk menyelip dan menutup pintu kembali. Tapi kutebak jika si penyusup ingin melakukan sesuatu tentu dia butuh cahaya yang cukup, selain mencegah risiko bahwa aku tidak sedang tidur dan bisa balik menyergapnya.

Tebakanku benar, si penyusup membuka pintu cukup lebar hingga cahaya menyorot ke dalam ruangan. Tak butuh waktu lama untukku mengenali sosok itu. Rambut sewarna langit malam itu, kulit indah itu, mata bulat berbinar itu. Oh, dasar penyusup sialan! Lebih sialnya lagi, ini penyusup kesayanganku.

Sosok itu kemudian berhenti di ambang pintu dengan sudut bibir tertarik dan kerlingan mata yang hanya dirinyalah yang sanggup menggetarkanku hingga ke relung jiwa yang paling dalam.

"Halo Hyung. Tidak ingin mengacungkan sesuatu yang lain padaku, selain revolver itu?"

Aku menelan ludah, nyaris tersedak kerinduanku sendiri. Sebelah tanganku meletakkan revolverku di meja samping ranjang, sebelahnya lagi menyibak selimut.

"Aku lupa kalau kelinci sebenarnya makhluk nocturnal, apalagi yang nakal sepertimu. Sampai kapan hanya berdiri saja di situ, huh Jungkook?"