"Mau sebar spoiler lagi tidak?"

"Tidak ah, Sas, aku tak pandai spoiler."

"Sedikit saja tidak apa-apa."

"Hmm ... mungkin nanti kau akan kecelakaan, dan ada yang mati. Jadi mungkin kau akan kecelakaan lalu mati."

"Itu lebih terdengar seperti menyumpahiku, sialan!"

"Yaelah, tidak usah dipikirin kalee. Lagi pula genrenya juga humor."

"Tapi aku lihat author-nya pasang tambahan 'not really a humor story' di summary."

"Hm, konspirasi."

"Hm, konspirasi."

(Berhenti main ramal-ramalannya!)


Putri Lavenderku

Naruto dkk belongs to Masashi Kishimoto

A NaruHina Fanfiction

Enjoy it! ^^


Keesokan harinya aku lihat Hinata berangkat ke sekolah diantar menggunakan mobil. Bukannya aneh, hanya saja yang kuingat dia selalu berjalan kaki berangkat maupun pulang sekolah. Lagi pula rumahnya tidak terlalu jauh. Jadi kupikir ada yang tidak biasa—oke, mungkin aneh.

Kesimpulan positif thinking-nya adalah karena dia baru sembuh. Terhitung empat hari dia absen. Walaupun tak ada kabar dia sakit parah, pasca empat hari tak masuk sekolah mungkin tubuhnya masih belum dalam kondisi fit. Jadi, bisa diduga bahwa dia diantar karena untuk menjaga kondisi kesehatannya.

Tapi alasan itu sulit diterima saat aku melihat siapa yang menyetir mobil mewah warna merah itu. Aku tak mengenal laki-laki dengan rambut lurus panjang itu, tapi dia tampak tajir dan hensem. Ditambah lagi dia terlihat akrab dengan Hinata. Jadi dari kacamata seorang pengamat bisa ditarik kesimpulan bahwa laki-laki itu pasti pacarnya, kalau tidak gebetannya, atau tunangannya, atau suaminya, atau cinta pertamanya, atau yang sejenis itu.

Lebih dari akrab, sih, bahkan Hinata terlihat lepas bercengkrama dengan laki-laki itu.

Sialan, who the f*** is that guy?!

Sudah tiga hari ini Hinata bersama pria itu, jadi tiga hari pula aku terpaksa makan hati. Well, dikatakan cemburu memang benar, tapi siapa aku? Aku bukan siapa-siapa Hinata, juga tidak tahu apa-apa soal laki-laki hensem itu. Ditambah lagi, entah perasaanku saja atau memang benar, hubunganku dengan Hinata benar-benar renggang dalam tiga hari ini.

"Hai."

"Um ... hai."

"Anu ... cuaca yang indah."

"Iya."

"Bagaimana denganmu?"

"Baik."

Bahkan percakapan tadi pagi itu tak ada ubahnya dengan percakapan pertama kali kita yang kaku dan penuh kecanggungan. Aku tidak tahu pasti, tapi dia seperti menjauh dariku. Atau memang aku yang menjauh darinya dulu. Ah, yang jelas kondisi hubungan ini semakin menguatkan rasa penasaranku tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya.

Jadi aku tugaskan Sasuke untuk menginvestigasi kasus ini. Karena dia punya kenalan banyak gadis-gadis cantik di luar sana, mungkin salah satunya mengetahui siapa pria yang bersama Hinata. Maksudku, mungkin salah satu kenalan Sasuke pernah berkencan dengan pria itu. Namun sesuai dugaanku, Sasuke menolaknya.

"Merepotkan,"' ketusnya. "Daripada aku buang-buang waktu bertanya tentang hal yang kemungkinanya mendekati nol itu, kenapa tidak kau tanya langsung saja ke Hinata?"

Well, harus kuakui sarannya itu lebih sehat (red: waras) dari ideku. Tapi harus kuakui juga aku tidak bisa. Bagaimana kalau memang dia pacar Hinata? Aku tak sanggup mendengarnya langsung dari mulut Hinata. Lebih baik mulut kampret Sasuke saja yang menyampaikannya.

"Sudah jelas ini karma dari perbuatanmu kemarin," imbuh Sasuke membuatku makin ciut nyali menghadapi keyataan.

"Tapi memang tipikalmu, kau terlalu cetek akal. Main ambil kesimpulan seenak jidat," tambahnya lagi membuatku bergairah menghadapi muka menjengkelkannya.

"Ada saran lain?"

"Selalu ada saran cadangan dari otak encerku ini." Da membual seperti aku tak pernah mengenalnya saja.

"Apa itu?"

"Tanya langsung orangnya."

"Gila! Orang itu hanya nongol mengantar dan menjemput Hinata di dalam mobil. Lantas tanyanya gimana? Menghadang dia seperti begal?"

"Jelas sudah kau tak punya nyali untuk menghadapi orang itu. Minder, huh?"

"Mi-minder?! Aku, Uzumaki Naruto, dengan orang seperti dia?"

"Ya, sure! Dia tampan, elegan, lebih dari kaya mungkin, dan dekat dengan Hinata bahkan sudah antar-jemput dia dengan mobil mewahnya sementara kau bahkan tak bisa menepati janji menjemput dia di hari Minggu itu dan membiarkan dia naik bus saat pulang sendirian. Dan ya ... dia lebih tinggi darimu, Pendek."

Um ... apa yang bisa kukatakan?

"Kau temanku, 'kan?"

"Wekaweka, Jangan ngambek gitu dong hahaha."

Aku jadi sungguhan minder. Tapi sungguh, jika aku dibandingkan dengan orang itu, jadi serasa ngenes diri ini. Yang dikatakan Sasuke semua benar. Hanya sekali lihat juga sudah tau, ada perbedaan kelas di antara aku dan orang itu. Walau aku populer di lingkungan sekolah, mungkin saja dia populer di lingkungan kerjanya, atau tempat tinggalnya, atau mungkin dalam sekala yang jauh lebih luas dari sekolah ini.

Aku hanya remaja labil korban pubertas. Jika dia memang pacar Hinata, aku bisa apa? Aku bahkan masih merasa tak pantas untuknya walau secara sah sudah tak menjalin hubungan apa-apa dengan Shion. Karena tetap saja, dia terlalu indah untuk jadi nyata.

"Jadi ... apa aku harus menyerah saja?" tanyaku pada Sasuke.

"Semudah itu? aku jadi berpikir kau lebih pengecut dari yang kukira, Bung."

"Memangnya mau bagaimana lagi?"

"Yaelah, belum juga berusaha."

"Berusaha?"

"Ya. Kau mencintainya, 'kan?"

Sasuke meyakinkanku dengan tatapan yang begitu nyata dengan kadar keraguan nol persen. Semua kalimat yang pernah ia lontarkan padaku seperti menampolku lumayan keras. Selama ini aku masih ragu dengan perasaanku kepada Hinata, dan ia selalu ada dengan kata-kata mutiara berlapis intannya untuk mngenyahkan ragu dalam kepala kuningku. Dia selalu benar, aku benci harus mengakuinya, tapi memang aku harus mendengarkannya lagi kali ini.

Aku memang mencintai Hinata, aku juga sudah bilang itu pada Sakura. Jika tiba-tiba mundur begitu saja, mau ditaruh mana muka ini bila bertemu Sakura. Dia sudah kubuat kesal bertanya tentang perasaanku terhadap Hinata berulang kali. Jika ketahuan mundur dan ia mengiraku bohong, aku tak bisa membayangkan wajah murka seperti apa yang akan ia perlihatkan.

Lagi pula, alasan apa yang cukup kuat untuk mendorongku mundur mencintai Hinata? Yang seperti dia hanya ada satu di dunia. Memangnya di dunia mana lagi aku bisa menjumpai gadis cantik keluyuran malam-malam hanya untuk main gitar di taman sendirian. Sudah begitu, dia punya senyum yang bisa bikin hati dag-dig-dug tidak karuan.

Ya, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk aku berhenti mencintainya!

Jadi, kuraih kedua bahu Sasuke erat dan berteriak keras di depan mukanya yang menjengkelkan.

"Siap, Kapten! Nothing can stop my feeling for her!"

"NGGAK USAH TERIAK JUGA, KALEE!"

"Hehe."

"Hehe matamu!"

Lalu dia ngambek. Untungnya tidak nangis.

"Oh ya, bagaimana kalau memang pria itu pacarnya?" tanyaku penasaran.

Dengan tampang kucel dia sok mikir. "Hm ... mau gimana lagi, sih ..."

"Gimana?"

"Ya ... gitu."

"Gitu? Maksudnya tikung saja, gitu?"

"Watdehel, Dude! Janganlah, relain saja!"

"Watdehel tu, Dude! Mana bisa? Apa yang diperjuangkan kalau begitu?"

Dia hanya menghela napas pendek. "Yah ... berjuang untuk hal lainlah."

"Hal lain? Misal?"

"Berjuang meneguhkan hati untuk merelakannya bahagia dengan orang lain."

Kalimat satu tarikan napas Sasuke itu entah kenapa bisa membuat dadaku terasa sesak. Hanya membayangkan seseorang yang kita cintai bersama orang lain saja ... entah kenapa terasa sakit. Bagaimana jika memang nyata? Kurasa aku tak bisa menahannya.

"Sudah-sudah, jangan murung dulu begitulah," ujar Sasuke mencoba menenangkanku.

"Beri aku satu alasan untuk tidak murung," kataku.

"Yaelah! Belum juga tanya sudah murung!"

"Tanya siapa lagi, coba? Jangan bilang Hinata!"

"Aish, otakmu kesumpelan apa sih sampai buntu begini pikiranmu?"

"Apalah, katakan saja!"

"Tenten!" satu sentakan menyudahi pertikaian ini.

"Ohhhhh." Aku hanya menganggukkan kepala. Ide bagus!

"Dia kelihatan dekat dengan Hinata, bukan begitu?" tanyanya kubalas anggukan kepala. "Mungkin ini opsi terbaik karena kemungkinan dia tahu sangat besar. Tapi kusarankan hati-hati, kudengar Lee masuk UKS gara-gara kena superkick-nya kemarin."

"Beneran? Kasus apa?"

"Kasus kesalahan mengenali gender pintu toilet yang berujung celaka di antara kedua kakinya."

"Wuih, Lee yang malang."

"Oh ya, mau taruhan?"

"Taruhan apa?"

"Seribu Yen untuk laki-laki itu adalah saudaranya."

"Hm ... mungkin saja, sih."

"Bagaimana?"

"Well, aku juga bertaruh kalau dia hanya kerabat Hinata."

.

.

"Ya, dia pacar Hinata."

"WHAAAAAT?!"

Itulah kalimat singkat dan padat yang langsung keluar dari mulut Tenten ketika aku menanyainya sepulang sekolah berdua. Aku menghadangnya di koridor dan segera menanyai pertanyaan yang menjadi racun di pikiranku. Ya, jawaban itu sangat bertolak belakang dengan dugaanku. Mungkin koridor yang masih ramai membuat suara yang dikeluarkan Tenten termodifikasi oleh suara sumbang lainnya sehingga menyebabkan penyimpangan arti yang sesungguhnya.

"Aku salah dengar, 'kan?" kukuhku.

"Tidak." dia bahkan mengatakannya dengan sangat enteng.

"Oke, biarkan saya mengulang pertanyaannya."

"Silakan."

"Apa hubungan Hinata degan pria yang mengantarnya pagi tadi? Dia bukan pacarnya, 'kan?"

"Ya, dia pacar Hinata."

"WHAAAAAT?!"

Koridor masih ramai, pasti ada kesalahan! Jadi kuseret dia menjauh ke tempat yang lebih sepi dan kondusif. Aku yakin jawabannya akan berbeda.

"Oke, sekali lagi."

"Fine. Tapi jangan berteriak 'what' lagi, idiot."

"Jadi ... apa hubungan Hinata degan pria yang mengantarnya pagi tadi? Dia bukan pacarnya, 'kan?"

"Ya, dia pacar Hinata."

"KISAMAAAAAAA!"

"MATI SAJAAAAA!"

Lalu dia menampol pipiku sampai pingsan.

Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah langit-lagit berwarna putih yang terlihat kosong dan hampa. Penerangannya payah, atau memang irisku yang terselaputi oleh puing-puing resah dan butiran galau yang tercampur syahdu menyuramkan penglihatanku. Aku yakin ini di UKS saat kulihat tirai biru familiar menghalangi pandangan di samping tempat tidurku. Tapi aku juga ragu, UKS tak pernah beraroma semuram ini.

Saat menoleh ke samping yang lain, ada si pelaku yang mengirimku ke tempat tidur ini.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir melihatku siuman.

"Tidak pernah sebaik ini."

Dia menghela napas panjang dan tersenyum lega.

"Aku sudah dua kali menjebloskan siswa ke UKS dalam dua hari. Semoga reputasiku tidak jadi buruk."

"Masih khawatir soal dirimu? Rahangku rasanya mau copot ini, loh!" protesku.

"Huh? Laki jangan mengeluh, dih!" dia malah memarahiku.

"Sakit sih," rintihku. "Tapi tidak sesakit perasaanku."

"Salahmu sendiri. Masih punya pacar malah ngegebet orang lain."

"Bukan begitu, hubunganku dengan Shion sedikit rumit."

"Apa peduliku?"

Dia malah melirikku dingin membuatku bergidik ngeri. Cukup untuk membuat tenggorokanku kering sehingga harus menelan ludah berulang kali.

"Sejak kapan dia dengan Hinata ...?"

"Bodo amat!"

"Apa artinya selama ini Hinata tidak punya perasaan sama aku, ya?"

"Bodo amat!"

"Apa Hinata juga tahu tentang hubunganku dengan Shion?"

"Bodo amat!"

"Baik dikit sama orang yang lagi patah hati, kek!"

Pandangannya malah semakin dingin, membuat tubuhku seperti kaku membeku. Dia terlalu menakutkan. Sebaiknya aku tidur saja daripada terus mencoba menggali informasi dari Princess Frozen ini.

Hey, itu nama panggilan yang cukup keren, 'kan?

"Ngomong-ngomong, maaf, aku tidak menyesal." Ujarnya datar.

Degan begitu kusematkan Princess Frozen sebagai nama panggilan official-nya.

"Jadi ... sejak kapan dia dengan Hinata—"

"Bodo amat!"

Dia sungguh menjengkelkan. Aku tak tahan lagi! Kusingkap selimut yang menutup tubuhku dan duduk sehingga posisinya tidak lebih tinggi dari aku lagi. Jadi kurasa aku bisa menggertaknya, sebelum ia pasang wajah dinginnya laggi dan menatapku tajam.

Tengkukku terasa dingin. Aku harus kembali berbaring dan mengambil selimut, demi kebaikanku sendiri.

"Kau tahu, kau terlalu banyak bertanya. Sekarang biarkan aku yang bertanya," ucapnya tiba-tiba.

"Apa?"

"Kenapa menyukai Hinata?"

Itu membuatku terdiam sejenak.

"Memangnya orang kalau jatuh cinta cari alasan dulu, ya?"

Itu bukan balasan yang baik, tapi tampaknya cukup untuk memuaskan si kepala es batu ini.

"Aku degar kau putus dengan Shion? Kenapa? Apa karena Shion pindah ke luar kota, atau karena kau lebih menyukai Hinata?"

Itu membuatku terdiam lebih lama. Dia pandai membuat soal yang membingungkan orang lain, semoga dia tidak punya cita-cita menjadi dosen.

"Kenapa diam?" protesnya.

"Gezz ... apapun itu, kita tetap akan putus. Mungkin sebaiknya dari awal kubilang aku tidak punya perasaan apa-apa terhadap Shion. Lagi pula, hubunganku dengan Shion—"

"Kau labil, ya," potongnya. "Kau sudah bikin heboh satu sekolah dengan foto menjijikanmu itu, lalu bilang tidak punya perasaan apa-apa? Kau menjijikkan," cercanya semakin menjadi.

Aku tak tahu harus bilang apa. Hubunganku dengan Shion memang sebuah kesalahan, kesalahanku. Seharusnya aku tak pernah membaca surat darinya, lalu memutuskannya tanpa sepatah kata membiarkan dia berpikir kita masih masih menjalin hubungan.

Tapi, kenapa tiba-tiba Tenten menanyakan tentang itu?

"Jika aku jadi kau, aku akan menjauhi Hinata dan tak pernah mengganggunya lagi!"

"Tunggu dulu, kenapa tanya soal hubunganku dengan Shion?"

"Karena hubunganmu itu sudah mencerminkan bagaimana dirimu yang sebenarnya. Kau mungkin populer dengan segala kelebihanmu, Naruto, tapi kau buruk dalam memperlakukan seorang gadis! Hinata itu gadis yang polos, lebih baik dia tidak menjalin hubungan apapun dengan orang brengsek sepertimu!" omelannya semakin tak terbendung.

"Tunggu, kau tak mendengarkan penjelasanmu!"

"Penjelasan apa? Kau bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan pertama."

"Pertanyaan yang mana? Kenapa aku mencintainya? Sudah kubilang, 'kan? Karena aku mencintainya. Kurasa itu tidak butuh alasan."

Jawabanku tak cukup kuat untuk meredam murkanya.

"Bagaimana bisa sesederhana itu? Kau sendiri bahkan kebingungan dengan perasaanmu sendiri dengan mengatakan hubunganmu dengan Shion itu rumit! Kau labil dan tak mau mengakuinya! Bagaimana aku tahu kalau kau hanya bingung membedakan cinta dengan perasaan ingin melampiaskan kekesalanmu tentang hubunganmu dengan Shion kepada Hinata?" raungnya.

"Karena aku merasa bahagia saat bersamanya," balasku spontan.

"Lalu apa? Apa itu menjawab pertanyaanku?"

"Tidak—ya, aku memang labil, aku memang kebingungan tentang segala hal, aku memang bodoh. Untuk itulah aku belajar, aku bertanya, aku juga mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan yang kau tanyakan selama ini. Aku berusaha. Dan ... dan ..." sesuatu seperti menghalangi tenggorokanku.

"Dan?"

"Dan setiap aku melihatnya ... aku seperti bukan diriku."

Kalimat itu menjadi penutup pertikaian mulut ini. Aku tak tahu kenapa dia tidak melayangkan kata-kata pedas lagi, aku hanya menunduk dan merasa ... aneh. Entah buruk atau tidak mengatakan semua itu pada Tenten. Yang jelas suasana jadi canggung dan begitu senyap untuk beberapa saat.

"Huh, dasar," desisnya.

"Huh?"

"Kau bocah labil yang benar-benar jatuh cinta, ya? Haha."

Oke, tawanya cukup mengerikan. Apa aku sudah menjadi Titanic yang menghancurkan gunung es yang hinggap di kepalanya? Tapi tunggu, seharusnya Titanic yang terbelah jadi dua, 'kan? Yup, seperti itulah yang kurasakan karena menghadapinya.

"Aku mau tidur saja," kataku sambil menarik selimut menutupi muka.

"Sebaiknya kau bilang pada Hinata," ucapnya menahan tanganku dan selimut di wajahku.

"Bilang apa?"

"Perasaanmu."

"Tidak penting untuk sekarang, 'kan? Mungkin nanti kalau dia sudah putus, atau tidak sama sekali juga tidak apa-apa."

"Lebih baik sekarang, sih. Sekalian ucapkan selamat jalan."

"Huh?!"

"Kenapa kaget gitu?"

"Omonganmu ngelantur!"

"Oh, kau tidak diberitahu? Yah, dia pasti masih kesal kepadamu?"

"Diberitahu apa? Kesal kenapa?"

"Dia mau ke luar negeri. Harusnya sekarang dia berangkat ke bandara."

"WHAAAAAT?!"

"Ya, keluarga Hinata akan tinggal di luar negeri untuk waktu yang lama. Kau tidak mungkin bisa bertemu dengannya lagi."

"WHAAAAAT?!"

"Ya, pacarnya tinggal di luar negeri. jadi dia dan pacarnya akan tinggal bersama juga di—"

"Tunggu, tunggu! Kau mengada-ngada! Mana mungkin, tak ada kabar apapun atau paling tidak berpamitan dengan teman-teman di kelas gitu."

"Tadi kau bolos dengan Sasuke."

"Tidak ada bukti!"

"Aku akan meneleponnya."

Dia mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi Hinata. Dengan speaker yang aktif, tanpa basa-basi dia bertanya, "Hinata, kamu sudah sampai di bandara?"

Di seberang suara Hinata terdengar membalas, "Ya, aku baru sampai di bandara."

Sial, tidak bisa dipercaya! Mustahil! Terlalu tiba-tiba! Sangat sulit diterima!

Belum sempat aku unjuk bicara, Tenten dengan kurang ajarnya sudah mematikan teleponnya.

"Woy! Telepon balik!"

"Telepon sendiri! Ups, tidak punya nomornya, ya? Hahaha."

Tak ada pilihan lain, kalau begini aku harus menemuinya langsung di bandara. Selagi Tenten masih tertawa sumbang, sudah kubuang selimut dan melompat dari empat tidur segera. Meninggalkan sekolah, lalu lari sekencang yang kubisa ke rumah Sasuke. Semoga motor bututnya tidak sedang dipakai dan dalam performa yang baik.

Aku sampai di rumah Sasuke dengan peluh yang sudah membanjiri seluruh tubuhku. Melihatku dalam mode acak-adul, Sasuke menghadangku di depan pintu dan bertanya apa yang terjadi. Aku tak punya waktu untuk menjelaskkan semuanya, kuterobos saja dia dan terjadilah pertumpahan keringat di dalam. Seperti biasa tidak ada yang menang, tapi waktu semakin menyudutkan keadaan.

Itachi, kakak Sasuke, harus menerima konsekuensi dari keadaan darurat ini. Sasuke yang sudah membiarkanku masuk setelah pertengkaran pembuka setuju meminjamkan motor Uchiha walau kakaknya sedang membutuhkannya untuk keperluan lain di luar kota. Itachi melawan, keadaan pun semakin seru. Akhirnya aku dan Sasuke membegal dia, kami mengikatnya ke pohon di halaman depan rumah Uchiha.

Berterimakasihlah karena dia tidak punya Susanaa atau sejenisnya.

"Aku cukup terkejut," ujar Sasuke yang setuju mengantarku.

"Aku sangat terkejut," kataku.

"Jam berapa keberangkatanya?" tanyanya.

"Entahlah, pokoknya harus cepat."

"Siap!"

Genderang perang telah berkumandang. Ah tidak, lebih tepat kalau diganti pistol telah ditembakkan ke udara tanda pacuan telah dimulai. Sasuke pun menghidupkan mesin motor kesayangannya—syukurlah nyala. Aku yang dalam posisi bonceng juga telah siap sedia. Tak lama menunggu lagi, gas pun ditarik dan motor melaju kencang berpacu dengan waktu.

"Oi! Berapa lama lagi sampai?" teriakku nyaring di tengah pacuan.

"Yaelah, baru juga berangkat! Cek GPS, cek GPS!" teriak Sasuke tak kalah nyaring.

"Genji?"

"Google, woy!"

Well, butuh sekitar dua puluh menit sampai ke bandara menurut GPS. Entah bila motor Sasuke hanya mampu berjalan layaknya siput begini, berharap saja tidak ada kemacetan atau kita sampai di bandara besok.

"Tidak bisa lebih cepat?" teriakku lagi melawan hembusan angin kencang di wajahku.

"Bisa. Tapi jangan menyesal kalau mogok."

"Buruan!"

Sasuke menarik gas lebih kencang lagi. Kami melaju lebih cepat membelah jalanan yang untungnya lenggang. Jika terus seperti ini, aku yakin kami bisa memenuhi ramalan Mbah GPS. Hanya saja, motor tua yang kami tunggangi perlahan mulai menampakakkan gejala ketidaksanggupan mengemban tugas. Berharap saja bukan sesuatu yang serius.

"Kau yakin bahan bakarnya penuh?" tanyaku mulai meragukan kapabilitas motor kesayangan Sasuke ini.

"Hm ... mungkin."

"Aku rasa ada yang aneh dengan motormu."

"Sudah kubilang jangan menyesal, 'kan?"

Benar saja, tak lama berselang kami pun menepi. Tapi sepertinya masalah bukan pada bahan bakar, tapi mesinnya. Karena semakin lama kami berkendara, pantatku terasa panas dan makin membara. Dibarengi decitan mesin tua yang semakin kehilangan nada, akhirnya motor ini menguap dibarengi bau gosong yang semerbak.

"Sial, sial, sial, sial!" aku tak bisa berhenti mengumpat, setidaknya pada motor sialan ini.

"Sorry, Kawan. Kami hanya bisa mengantarmu sampai sini." Sasuke bersedih seperti telah kehilangan rekan di medan perang.

"Harus bagaimana ini, coba?" tanyaku meminta saran.

"Taxi."

"Aku tidak bawa uang."

"Begitu juga aku."

"Sial."

Waktu terus berjalan, aku bahkan tidak tahu apakah Hinata sudah meninggalkan bandara atau belum. Jika dia sudah sampai di bandara sejak aku masih bersama Tenten, mungkin saja dia sudah terbang ke belahan bumi yang lain saat ini. Malangnya aku yang hanya bisa termenung di pinggir jalan meratapi kepergiannya tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal. Waktu pasti ingin merampas apa yang memang harus kubayar.

Apa ini artinya aku tidak bisa melihat wajahnya lagi?

"Mungkin memang seperti ini yang Hinata inginkan," ujarku.

"Hinata ingin motorku berasap?"

"Bukanlah, bego!"

"Lalu apa?"

"Ah, lupakan! Harus bagaimana aku sekarang?"

"Rampok pejalan kaki yang kau temui lalu gunakan uangnya untuk memesan taxi. Atau yang lebih mudah, lari!"

"Tidak akan sempat."

"Siapa yang tahu, woy? Kalau mau menemuinya, larilah! Ini saat yang tepat untuk berjuang!"

Kata-kata Sasuke itu seperti sebuah pemantik. Ada semangat yang berkobar, ada keinginan yang menuntut untuk dikejar. Aku harus mengejar Hinata. Mungkin aku bisa melihat senyumnya sekali lagi untuk selamanya.

"Shankyu."

Tanpa basa-basi aku berlari menantang waktu. Tak pernah kurasakan perasaan berdebar sehebat ini. Kakiku terpacu untuk terus melangkah seiring dengan rasa takut yang semakin membuncah. Aku sangat takut waktu benar-benar merenggut kata selamat tinggal yang kusimpan ini.

Mungkin benar, mungkin Hinata sengaja tidak memberi tahuku karena dia muak denganku. Mungkin dia tidak ingin mengucapkan sepatah kata pun sebelum dia pergi seperti aku yang hanya diam tanpa memberi penjelasan apa yang terjadi antara aku dan Shion. Mungkin aku tak pantas datang dan mengucapkan selamat tinggal. Mungkin saja dia tidak ingin melihat wajahku untuk terakhir kali.

Tapi, sialan, aku tidak peduli!

Biarpun dia sudah punya pacar, biarpun dia tak ingin menemuiku, biarpun kita hanya sebatas teman yang baru kenal, aku hanya akan terus berlari. Toh hanya ucapan selamat tinggal, dan mungkin juga sebuah ungkapan perasaan. Ya, sudah kuputuskan akan mengatakannya! Memang kapan lagi aku bisa jika bukan sekarang. Walau artinya aku akan menerima penolakan, aku tidak peduli.

Sialan! Perasaan tegang ini seperti akhir dalam sebuah perjalanan. Mungkinkah akhir cerita pertemuanku dengan Hinata akan berakhir sesingkat ini? Jika memang iya, aku tak ingin berakhir dalam kebisuan. Cerita ini layak mendapat ending yang lumayan.

Kumohon, kali ini saja sudah cukup, aku hanya ingin melihat senyumnya sekali lagi.

Jadi kupercepat langkahku hingga ke batas yang sebelumnya tidak pernah kucapai. Hanya kedua kakiku ini yang bisa kuandalkan sekarang. Tak kupedulikan keringat dingin dan pandanganku yang sedikit mengabiur ini. Bahkan terik matahari dan orang-orang yang berlalu lalang di jalanku sekalipun aku akan melawannya. Hanya ini yang kubisa.

Entah berapa lama yang kubutuhkan untuk menginjakkan kaki di landasan udara ini, tapi aku telah sampai. Aku berhasil, berharap saja masih sempat menemuinya.

Aku tak pernah ke bandara sebelumnya, ternyata sangat luas. Semakin masuk ke dalam dan melihat persebaran manusia yang tak terhitung jumlahnya, itu membuatku semakin panik. Terlalu luas untuk melakukan sebuah pencarian, aku yakin, terlebih lagi aku sama sekali tidak tahu Hinata mau kemana dan berangkat pukul berapa. Bodohnya ...

Apa yang harus kulakukan sekarang?

"Naruto-kun?"

Ada yang memanggil namaku di antara beribu seruan manusia lainnya di sini. Suara itu terdengar familiar, dengan cepat membuatku menoleh ke belakang dan mendapati siapa pemilik suara tersebut. Sulit untuk mempercayai mata sendiri saat mendapati sosok yang sedang berdiri memandangiku.

"Hinata-chan?!"

Kalian tidak akan mengerti betapa kagetnya aku. Ini sebuah keajaiban yang melegakan! Bahkan aku sudah mengambil satu langkah untuk memeluknya sebelum aku sadar diri. Jadi aku hanya mematung dengan mulut seperti dijahit rapat, dengan jantung berdetak tak karuan seolah ingin melompat keluar.

"Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanyanya dengan wajah yang tak kalah kagetnya denganku.

"A-aku ... aku ... Tenten, dia—eng ... memberitahuku," jawabku terdengar bodoh.

Dia malah terlihat bingung. "Lalu?"

"La-lalu? Aku datang secepat yang kubisa."

"Untuk?"

"Menemuimu."

Dia memiringkan kepala semakin terlihat kebingungan. Aku tak tahu apa yang salah. Jika boleh menebak, mungkinkah ini memang aneh jika aku, yang bukan siapa-siapanya, begitu ngotot ingin menemuinya yang bahkan tidak ingin melihat wajahku? Kuharap tidak.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kenapa ... menemuiku?" tanyanya balik.

Ya, dia pasti butuh penjelasan. Hanya menatap kedua irisnya tidak akan menjelaskan apapun. Jadi kutarik napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangan, karena tatapannya telah melemahkanku. Ini jadi terasa sulit untuk membuka mata.

"Aku minta maaf. Aku mungkin aku tidak ... pantas menemuimu. Tapi aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal." Sangat berat mengulas senyum. "Sampai jumpa, Hinata-chan."

"Eh?" dia membulatkan mata dan semakin terlihat banyak tanda tanya di wajahnya. Mungkin caraku mengatakannya terlalu aneh.

"Aku tahu ini aneh, tapi ... maaf. Semoga kamu bahagia tinggal di –um ... tinggal di mana, ya?" duh, malah kelihatan goblok.

"Tu-tunggu dulu, Naruto-kun," potongnya mencoba menyangkal. "Aku tidak ke mana-mana, kok."

Aku tidak mengerti, sungguh. "Benarkah?"

Dia hanya mengangguk.

"Jadi, kamu tidak akan tinggal dengan pacarmu?" tanya susulanku.

Dia sekarang terlihat terkejut, sontak ia memekik, "Pacar?!"

Butuh waktu yang cukup lama bagi otakku untuk mencerna apa yang terjadi dan menyimpulkan, "Shitto, aku kena tipu."

Ini membuat suasana terasa sunyi walau di sekitar kami gaduh oleh kerumunan orang-orang. Terlalu menjengkelkan untuk dipikirkan, terlalu memalukan juga untuk dijelaskan. Aku hanya memandangi mata Hinata yang sesekali berkedip menatapku bingung. Ini sangat sulit untuk dipercaya.

Princess Frozen telah membuatku hampir gila, juga membuat motor Sasuke sekarat.

"Jadi ... ka-kamu tidak akan terbang ke luar negeri dan ti-tinggal bersama—si-siapa ... siapa yang mengantarmu ke sekolah beberapa hari ini?" gagapku.

Dia hanya menggeleng pelan kemudian terkekeh pelan. "Apa Tenten yang memberitahumu?"

Hanya tampang bego yang bisa kutampilkan. "I-iya."

Dia tertawa cukup lama.

"Syukur, deh," selaku, "setidaknya aku bisa bertemu denganmu lagi."

Dia segera menghentikan tawanya dan menatapku serius. "Kenapa?" tanyanya.

"Aku berlari seperti orang gila tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Aku mengantarkan sepupuku kembali ke Amerika setelah tinggal di sini sebentar. Dia yang mengantarku sekolah, dia bukan pacarku," jelasnya.

Itu jelas membuatku merasa lega. Tekanan berat di dada yang kurasakan sejak Tenten mengatakan bahwa pria itu pacar Hinata terasa begitu saja runtuh. Tidak ada tekanan lagi, aku bisa tersenyum lepas sekarang. Ini membuatku terlihat bodoh karena tak berhenti tersenyum dan menggelengkan kepala tak habis pikir dengan semua ini.

Lalu setelah kegelian itu habis, aku lupa tentang apa yang akan kukatakan sebelumnya. tak ada yang kulakukan selain memandangi wajah cantiknya. Kita baru saja tersenyum dan tertawa bersama, sesuatu yang tampaknya sudah kurindukan. Kita sudah lama tidak tersenyum bareng karena ada sebuah jurang baru yang membatasi kami. Jurang yang kuciptakan, baru kusadari semakin lebar oleh kecanggungan yang terasa kuat mengganggu ini.

Bagaimana ini bisa terjadi?

"Naruto-kun," paggilnya.

"Ya?"

"Aku pergi dulu."

Dia pun memutar tubuh dan melangkah pergi. Dia seperti terburu-buru, dugaanku karena dia masih mencoba menghindariku, atau menghindari situasi ini. Namun segera kutahan pergelangan tangannya. Ia tersontak kaget dan menoleh padaku dengan mata membulat sempurna.

"Tunggu dulu." Tahanku.

"A-ada apa?"

"Aku ... aku sudah jauh-jauh ke sini. Apa kamu akan tetap menghindariku?"

Benar saja, ia menghindari kontak mata dengan membuang muka.

"Aku tidak—"

"Maaf!" potongku.

Dengan kata itu mata kami bertemu kembali. Aku mencoba meyakinkannya, tapi lagi-lagi pandangan itu melemahkanku. Sorot matanya semakin melunak, tapi aku semakin kehilangan kekuatan. Akhirnya akulah yang melepaskan pandangan.

"Maaf untuk apa?" lirihnya.

"Ma-maaf ... telah menghindarimu."

Aku tak tahu bagaimana raut mukanya, karena aku semakin menunduk takut melihatnya. Selama ini akulah yang menciptakan jurang di antara kita. Aku bahkan hampir jatuh dalam jurang ciptaanku sendiri. Aku menciptakan jurang itu tanpa sadar, aku menghindari Hinata tanpa aku menyadarinya.

"Lepaskan, tolong," pintanya sangat pelan.

Genggamanku pada pergelangan tangannya pun terlepas seiring dia menarik tangannya untuk bebas. Kami terdiam dalam posisi yang sama untuk beberapa saat. Tanpa sepatah kata yang keluar, dia meninggalkanku yang masih termenung. Yang kulakukan tak lebih hanya sekadar melihat langkah kakinya yang kian menjauh.

Aku tidak tahu, semua perkataan Sasuke seperti menguap begitu saja.

Selamat, Princess Frozen, kau pantas mendapatkan medali.

Dan, Naruto, kau payah!

Semoga Sakura tidak keberatan mendengar curhatku nanti.

To be continued ...

sesi jawab-jawab tidak berhadiah

Laufenberg: Nooo, gue nggak tsundere. Bisa apa emang?

Ren Azure Lucifer D Kennedy: bakal ada NaruHina full satu chap? well, ini fict NaruHina, jadi full satu story

Sara Xavier: Gampang ah kalo membalas review, kalo membalas perasaan baru susah :( Um ... scene jadian ya? ya sebenernya surat itu sebagai pistol buat nembak, dibalas berarti diterima, dan kencan pertama sebagai peresmian. nggak perlu ada scene tambahan kayaknya deh. jangan lupa nunggu aku, eh, tunggu chap selanjutnya ya :*

Deandra: Well, fict ini punya mereka, jadi Shion nggak ada tempat hehe. but, satu chapter gapapa deh dikasih ke Shion, itung-itung buat bakar suasana wkwk. terima kasih telah menunggu :)

kmyc: Waduh, ada yang baper ini. Semoga bukan karena pengalaman pribadi hehe.

Guest: Well, walau dibalas juga nggak bakal dilihat sih, karena memutuskan untuk putus sama cerita ini wkwk. Sayonara, Guest-san. Jangan lupa mampir kalau Narutonya cancel jadi brengsek wkwk.

antiy3629: Seperti yang kamu lihat :) santai, nggak selabil authornya kok jajaja. Dilanjutkan dong. DAN HOW? Apa kamu ibunya Naruto yang bisa baca pikiran orang?anjay, receh banget dah, alur ketebak pembaca wkwk

Chic White: Duh, baca review lo bikin ngakak sumpah. You made my day, Tan. Okelah, gue ngaku. Gue emang nggak manis, cuma manis banget aja :P BTW makasih udah mencoba mengerti dan mendalami karakter Naruto di sini wkwk. Udah menderita kan dia? Kalo belum, sumpahnya diringankan dikit kek. Mentang-mentang nggak jomblo nyumpahin orang jomblo sembarangan T.T Well, jadi henshin apa lagi reviewmu untuk chap ini?

.

Udah segitu doang. Mumpung masih dalam suasana lebaran, mohon maaf lahir dan batin ngomong-ngomong, sorry kalau nista kharakter faforit kalian di fanfict saya ini. Mohon maaf juga atas segala kekurangan, kalo ada kelebihan, mohon dikembalikan wakakaka.

salam, terima kasihan, see ya~