A/N: Halo semuanyaa...! Selamat Hari Aokaga! Kali ini ADIKTIF punya sebuah fic collab untuk hari terspesial ini. Semoga readers semua terhibur, feel free memberi review, follow, dan favorite cerita kita dan terima kasih yang telah membaca!
Kuroko no Basket (c) Fujimaki Tadatoshi
.
.
Ch 01: Cha Cha Cha My Way To You
Oleh Jetstruck
.
.
Selasa terasa seperti dientak alu luncung.
Terprediksi, jadi Aomine membiarkan hari bergulir. Entah dimana ia mencari kepeduliannya, entah di jeda waktu tidur siangnya atau di berbagai tempat sepi yang tersiram hangatnya sinar matahari atau di serakan bungkus chiki-chiki dan kotak karton susu pisang, ia tidak bersiap mengobok hanya untuk menghadapi Selasa. Terlalu awal di minggu ini untuk Satsuki meneriaki paginya atau Wakamatsu meneriaki siangnya.
Tetapi Aomine sudah terlanjur berjanji—secara tidak langsung dan dengan cara yang paling Aomine—bahwa ia akan lebih responsif dan empatik semenjak Kekalahan Pertamanya, ia pikir ia setidaknya memberi pesan kepada Satsuki untuk tidak datang latihan. Sembari ia mengambil ponselnya, jarinya mendorong koin ke vending machine dan menekan tombol untuk Susu Pisang Momogi, dimana ia melihat refleksi di kacanya, sebuah figur familiar di seberang jalan.
Aomine menoleh, setelah menyambar kotak susunya, pada Kagami Taiga yang mengobok-obok tas sekolah dan sebelum Aomine kabur, gerakan tertangkap rivalnya dan Kagami menaikkan satu alis, "Ah, Aomine!"
Apa ia benar-benar memanggilnya? Aomine melirik sisinya dengan canggung. "Ha?"
Kagami berlari kecil ke arahnya, "apa kamu ada uang kecil? Bapaknya tidak ada kembalian dan aku hanya punya selembar ini," ujarnya menunjukkan selembar 1000 Yen.
'Oh.' Aomine menurunkan kelopaknya dan merogoh dompet dengan helaan napas, "berapa butuhnya?"
"Eeh… 275," Aomine menyerahkan beberapa koin dan Kagami menerimanya dengan cengiran, "makasih!"
Aomine menarik jari yang tersentuh ke saku celananya dan menatap rivalnya menyerahkan uangnya dan menerima sebuah majalah. Ia akan melangkah, tetapi sebelum ia berhasil kabur, Kagami sudah berlari mengejarnya dan menghalangi jalannya, "Aomine, tunggu!" Serunya. "Biar aku ganti uangnya."
Aomine mendengus lalu mencoba berjalan melewatinya, "tidak usah, itu hanya recehan," tetapi Kagami kembali menutupi sisinya. "Hey."
"Kalau burger?"
Aomine berkedip pada determinasi yang tertulis di wajahnya, ini lagi? "Enggak lah."
"Waktu itu mau."
Aomine memutar bola matanya, "karena kamu memaksa!"
"Tapi aku belum kembalikan sepatumu," ujar Kagami dengan nada kecil.
"Aku udah bilang buat kamu saja." Aomine mencoba melewatinya tetapi Kagami menutupi sisinya. "Minggir."
"Apa karena kamu sukanya teriyaki burger?" Kagami menatap inosen dan Aomine kadang bertanya apa ia terlalu lugu untuk seorang yang mengalahkannya dengan dedikasi tinggi.
"Hah…?! Aku tidak mau apa-apa," Aomine tidak percaya ia tengah pelotot-pelototan dengan ace Seirin tetapi lihatlah. Kagami akhirnya membalik badan.
"Aku sedang tidak ada latihan. Biar… biar aku traktir," kembali suaranya mengecil, tetapi membesarkan kalimat selanjutnya. "Hanya karena sepatu, oke?"
Aomine menatap keras pada punggung rivalnya. Orang ini ingin apa…? Walau Aomine tidak merasa sedang berbaik hati tetapi ia akhirnya menghela napas sembari membuang pandangannya, "jika kamu bisa membuatku tidak bosan dengan one-on-one."
Kagami menoleh ke belakangnya dengan kedua mata melebar dan Aomine menghiraukan keinginan aneh untuk menyunggingkan senyum, "hanya sebentar."
"Yes!"
Aomine mengikutinya dan bertanya-tanya apa ia lupa sesuatu.
.
.
Aomine meminum botol air yang terdekat sembari bertanya apa ia mulai kerasan dengan si rambut merah ribut ini. "Ahomine…! Itu bukan minummu, brengsek!"
'Aku ganti pikiranku—' tetapi ia memperhatikan Kagami menarik air dari tangannya dan meneguk dengan cepat, memperhatikan jakunnya bergerak sesuai arahnya menelan dan ia berpikir, mungkin ini lebih rumit dari yang ia kira. "Aku mau pulang," putusnya.
"Ha? Tunggu, Aomine!" Kagami berjalan mendekat sembari menggoyang-goyang kepalanya dan menyiprati keringat kemana-mana, "apa kamu punya e-mail?"
Aomine melangkah menjauh dan menyeka wajahnya dengan cemberut menghias, "tidak."
"Keh—apa salahnya berbagi kontak, doang!"
Aomine menatap tangan yang berkacak pinggang dan Aomine tahu apa salahnya. "Mungkin karena kamu terlalu memaksa, aku tidak mau memberikan."
"Terserah, aku hanya ingin mengajak one-on-one lagi. Aku tidak puas dengan skorku sekarang!" Aomine mendengus tetapi mengeluarkan ponselnya. Tetapi sebelum ia menyerahkannya, notifikasi menunjukkan pesan ke tujuh kali dan tiga miscall dari Satsuki.
'DAI-CHAN KENAPA TIDAK LATIHAN?!'
Oh, itu yang ia lupakan.
Kagami melipat kedua tangannya di dada dan Aomine menaikkan satu alis. "Kamu seharusnya bilang kamu ada jadwal latihan."
"Bukankah aku ada alasan saat aku tidak bilang?" Aomine memutar-mutar ponselnya dengan dua jari.
"Kuroko bilang kau rajin latihan," gumam Kagami kali ini mengikat gakurannya pada pinggangnya. "Sepertinya ia hanya berlebihan." Aomine tidak menjawab karena sekarang Kagami mengikutinya berjalan keluar dari lapangan. "Apa kamu begitu tidak sukanya sebenarnya dengan latihan? Anggota lain berusaha keras—"
"Dan aku mengapresiasi itu," Aomine menolehnya dengan ekspresi sedikit jengkel, "tapi aku merasa one-on-one seperti ini lebih bermanfaat, oke, daripada latihan dengan regime yang sama berulang-ulang dengan orang-orang yang kapasitasnya sama."
Kagami berhenti berjalan dan Aomine menoleh ke arahnya dengan bingung. "…kamu baru saja mengatakan one-on-one ini lebih berguna?"
Oh, hm. Ia tidak bermaksud membuat itu terkesan seperti pujian, tapi Kagami terlihat anehnya senang. "…Dan?"
"Hah! Sudah kuduga kamu tidak benar-benar bosan dengan permainanku." Kagami melompat ke sisinya sembari menyikut lengannya dan Aomine mengepal karena senyuman lebar itu terasa aneh jika diarahkan kepadanya. Aomine membuang mukanya dan berjalan lebih cepat, tetapi kembali melirik rivalnya saat suaranya merendah. "Aku sebenarnya… juga kadang berpikir latihan membosankan."
Kagami menghindar cengirannya tetapi area di tulang pipinya sedikit memerah. Hah, Kagami si Martir tidak benar-benar, "tapi jangan kasih tahu Kuroko! Itu hanya, kadang-kadang banget. Pelatih itu gila dalam latihan jadi aku jarang-"
Aomine tertawa mengolok "Ya, ya, bilang terus seperti itu kepada dirimu. Selamat datang di duniaku, Kagami."
"J-jangan bangga!" Aomine mendekatinya dan berkata lebih berbisik, "setidaknya kadang aku suka membuat permainan lebih susah dengan tidak pass, apa kau pernah mencoba?"
Kagami menggeleng awalnya, tetapi melihat alis yang menukik skeptis, Kagami akhirnya mengakui, "oke. Mungkin, aku pernah sekali mencoba mengubah alur dengan mengecoh point guard kita sendiri dengan fake terus menerus. Ada Kuroko juga saat itu."
"Agak lucu, memang, melihat seseorang lompat-lompat tanpa hasil."
"Aku tahu kamu menyindirku," Kagami mengerang, "ah, aku tidak percaya aku ketularan kamu. Sebagai gantinya kamu harus tukar kontakmu denganku."
"Apa kau begitu tertarik denganku, Kagami?"
"Apa—Apaan sih, enggak! No homo, Ahomine!"
"Ahomine?! Brengsek…"
Aomine tidak melihat Kagami lagi setelah ia berhenti ke halte bus untuk ke rumahnya, tetapi ia tahu kedua pipinya sakit. Entah mengapa, ia kembali membayangkan ekspresi konspiratif dan jahil itu, serta tawa itu. Aomine pulang menghiraukan jeweran Satsuki walau ia baru menginjak genkan karena bibirnya tidak bisa berhenti mengulum senyum.
.
.
02:44
Aomine Daiki jarang menyesali apa yang ia pilih dalam hidupnya, tetapi ia tidak percaya ia telah menghabiskan sekitar enam jam memainkan androidnya.
Aomine menguap sekali lagi dan mengusap wajahnya dari kantuk. Ia lebih tidak percaya lagi ia baru saja menggulir akun Facebook dan Twitter milik Kagami sampai paling awal dan ia seharusnya merasa malu tetapi malam sudah melintang dan ia sedikit terbangun karena penasaran memanggilnya.
Ugh.
Aomine mengguling-gulingkan tubuhnya saat ia kembali menguap lebar. Tidak percaya ia membaca obrolan tak berfaedah antar Kagami dan Kise di status Kagami tentang makanan saat ia pergi ke New Orlean musim panas lalu. "Ia sering juga ngobrol dengan Kise dan bahkan Midorima?!" Aomine memicingkan matanya karena ia tidak mengerti sebagian besar percakapan mereka. Ia menggulir kembali, 'tanggung sampai jam tiga, atau setengah empat saja.'
Kagami tidak seaktif yang ia harapkan, hanya sebatas foto-foto selama ia liburan dan foto-foto ia sewaktu SMP. Pertama kali ia masuk ke akun Kagami ia sadar ia adalah Kiseki no Sedai terakhir yang menjadi temannya. Ia bahkan sudah berteman dengan pemain-pemain sekolah lain (seperti Kasuga dari Seihou ya tuhan!)
Tetapi sejauh ini, dari yang ia tangkap, Kagami lebih banyak teman di Amerika. Fasih Bahasa Inggris. Bisa berselancar. Suka makanan. Suka jalan-jalan. Memiliki relatif sebagian di sana, atau setidaknya itu yang Aomine simpulkan dari percakapan Kagami di kolom komentar dengan tantenya di New York yang mengajaknya datang saat Tahun Baru. Oke, mungkin Aomine terdengar terlalu menguntit.
Ia juga tidak bisa berhenti tersenyum setiap membaca komentar-komentar banyol Kagami, yang ia kenal kaku-canggung-gampang marah dan tidak bisa santai, dan ia melempar bantal, guling, dan selimutnya ke langit-langit karena tidak adil ia tidak tahu rivalnya sendiri?!
(Hanya saat-saat seperti ini ia mengakui Kagami rival setaranya.)
Seseorang membentur dindingnya berkali-kali dan Daiki berhenti dengan tersengal-sengal. Ia sayup mendengar, "diam, bocah!"
Matanya menatap kosong langit-langit sembari menghitung kemungkinan ayahnya kembali tidur. Gawat, ia harus melakukan sesuatu dengan perasaan ini. Bertanya pada Tuhan Google, Aomine mengetik sesuatu yang akan ia hapus besoknya dalam riwayat internetnya: Artikel tentang mendekati gebetan.
Cara Mengungkapkan Rasa Suka Pada Seorang Cowok
Oke, terdengar cukup simpel… hal yang pertama Aomine lihat adalah gambar cewek yang duduk dan seorang cowok yang berdiri di sampingnya bertanya "can I sit with you?" apa ia memposisikan dirinya sebagai perempuan? Eh? Ia tidak akan disuruh berdandan, kan? Tunggu, itu sedikit sexist.
Lalu betapa panjangnya tipsnya saat ia menggulir ke bawah. Dua bagian dan satu bagian bisa sepuluh tips? Sesusah apa mengatakan 'aku suka kamu' pada seseorang, hah?! Bayangan Aomine mengutarakan kalimat itu pada Kagami terbersit,
"Hey, Kagami…"
Ia membayangkan Kagami menatapnya dengan pupil yang melebar—seperti saat fokus melawannya dan Aomine menarik napas,
"Aku—aku… aku su-su—" anjir, Kagami masih saja melihat dia seperti itu, "aku susah mengakui kamu lebih baik dari aku."
Aomine terbahak palsu dan berhenti mengingat kemplangan ayahnya. Ugh, oke, mungkin cukup susah. Bahkan jikapun mudah, ia juga tidak mau mendapat bogem mentah dari Kagami karena mengatakannya tiba-tiba. Ia menghela napas berisik. Bagian satu: mengungkapkan perasaan padanya.Ia merasa ini sesuatu yang akan ia baca saat SMP di tahun 2000-an.
("Kurokocchi dan Momochhi menyebutnya Puremine?! Lebih kayak Alaymine kali," ujar Kise sebelum ia menghilang dari peradaban.)
'Step 1: Cari tahu apakah ia menyukaimu atau tidak.'
'…Menyukai seseorang memang indah rasanya. Setiap melihatnya, mendengar suaranya, bahkan mencium baunya bikin uuuh… dokidoki rasanya! Tapi apa kamu tahu bagaimana perasaan dia kepadamu? Mungkin kamu adalah sahabatnya atau seseorang yang menyukainya dari jauh. Mungkin kamu sebaya dan mungkin ia kakak kelasmu, apapun itu, mengetahui perasaannya membuatmu tahu apakah ia sudah ada yang punya apa tidak. Jika ia belum menyukaimu tetapi tidak memiliki siapa-siapa, jangan sedih! Karena kamu masih bisa menyempil masuk ke hatinya yang kosong gersang itu—"
("Tunggu, apa artikel ini baru saja menghina gebetanku?")
"—dengan mendekatinya! Cari tahu apa saja tentangnya. Umm… mungkin sedikit stalking, tetapi kalau kamu malu, kamu bisa bertanya salah satu bro-nya tentang dia. Eits, tapi jangan sampai bro-nya suka sama kamu, ya, hihihihi…"
"AAAAAARRGGGHHHH…." erang Aomine sembari membuat suara kombinasi paus sperma dan rubah menggonggong di balik bantalnya yang tersisa. Lagian… sejauh yang ia tahu Kagami tidak suka dengannya. Tidak seperti teman, bahkan sahabat. Ia… tetapi oke, mungkin ia mentolerir Aomine untuk mengajaknya traktiran tetapi Kagami baik ke semua orang dan itu, tidak bisa dijadikan indikasi ia bahkan menganggap Aomine lebih dari sebatas sesame pemain. Mungkin aku harus sering latihan agar aku terlihat lebih jago dari Kise atau Akashi.
"DAIKI SEKALI LAGI TIDAK TIDUR, AKU LEMPAR KAMU DENGAN SEPATU KOLEKSIMU!"
Daiki membeku dan melirik pintunya dengan was-was. Setelah beberapa menit, ia menutup matanya. "Aku tidak percaya aku melakukan ini," bisiknya dramatis pada bantal bau ilernya. Kantuk sukses hilang, Daiki menggulir kembali:
'Baca kode! Bukan kode morse atau kode kupon atau kode dorabella cipher, tetapi kode yang ia berikan saat ia menyukaimu! Tau tidak, jika cowok menyukai cewek, ia akan berusaha selalu besamamu. Mungkin duduk di sampingmu, ikut berkumpul dengan teman-temanmu, bahkan pura-pura salah masuk toilet cewek bersamamu, ups! Just kidding~
Tips: Jika kamu memergokinya sedang memandangmu, pandang balik! Ilmuan mengatakan pandangan mata akan menimbulkan gejolak hasrat gairah yang tinggi. Tapi jika ia malah membuang muka, artinya ia malu! Namun, bisa jadi orang saling mandang dengan alasan lain. Seperti mungkin ada… pajak seret defisit di gigimu!'
Aomine mematikan layarnya dan meregangkan kedua tangannya. Sudah cukup trauma malam ini. 03:24, "menanyakan langsung seperti masuk lubang buaya secara voluntir, aku juga tidak sering bertemu dengannya," Aomine mengerutkan hidungnya, "eye contact…?"
Ping!
Kagami Taiga: Apa kamu masih bangun? Aku melihat statusmu on.
Pucuk dicinta setan pun tiba, Aomine membelalakkan matanya tidak percaya. Ia segera menekan Messenger.
Aomine Daiki: Kamu mengganggu masturbasiku. Jangan ganggu aku, Kagami
Kagami Taiga: NAJIS! Apa kamu tidak tahu malu?!
Kagami Taiga: Aomine, besok setelah kita latihan sparing dengan Kaijou, ayo kita two-on-two bersama Kise
Aomine memandang layarnya setengah percaya. Mungkin kurang tidur memberinya halusinasi. Atau mungkin memang Kagami Taiga mengajaknya bermain setelah pulang sekolah, ia tetap menjawab.
Aomine Daiki: Y
.
.
Aomine memejamkan matanya perlahan sembari merasakan sengatan matahari jam satu siang. Siang ini sangat panas, sampai ia bisa melihat gelombangnya memantul di atas aspal. Ia menarik handuk yang menggantung di lehernya dan menutup setengah kepalanya, bersandar pada salah satu bangku penonton yang nyaris ternaungi pohon. Kagami di sampingnya terbahak-bahak pada apa yang Kise katakan, suaranya bergemuruh senada lebih tinggi. Seperti ombak, jernih dan renyah. Ia harus sering-sering mendengarkan suara itu. Atau Aomine tarik kembali, suara itu bisa membunuhnya jika ia terlalu sering mendengarnya.
"Aomine-kun, apa kamu pusing?" Aomine mengangkat satu kelopak mata. Lebih tepatnya seharusnya Tetsu yang mengakui ia pusing. Kedua pipinya memerah tidak sehat dan Aomine menyingkirkan tas di sampingnya dan menggeser agar Kuroko bisa duduk di sampingnya, di bawah bayangan. "Ah, terima kasih."
Kuroko memijit keningnya dan Kagami mendekati mereka, "sudahan saja bagaimana?"
Sembari memejam, Kuroko menggeleng. "Poccari lebih baik."
"Kurokocchi mau aku pijat totok? Kamu bisa tidur di pahaku…" Aomine dan Kagami bersamaan memicingkan mata pada Kise dengan bengis, "Ahahah, canda, canda… kita jan, ken, pon saja. Siapa yang kalah harus membelikan minuman untuk kita semua. Kecuali Kurokocchi tentunya."
"Tch, kamu yang ngasih saran. Kamu aja lah yang beli," gumam Aomine sembari kembali menyebar lengan-lengannya, berharap ia meleleh saja pada sandarannya.
"Aominecchi bilang saja takut kalah," celetuk Kise sembari mendorong poninya yang basah dengan keringat.
"Apa itu bisa membuatku marah?" dengusnya sembari melompat berdiri, ketiganya membuat lingkaran kecil sementara Kuroko merapat pada bayangan mereka.
"Sudah woy, JAAN—"
"Ken, Pon!"
"Anjir." Kise dan Aomine terbahak melihat pelototan si surai merah marun. "Kalian lagi! Aku tidak mau membawa barangnya sendirian."
"Okee… aku tidak mau kalah denganmu…!" suara Kise melengking di siang yang sepi. Tetapi entah mengapa, ia tidak terlalu keberatan jika ia kalah—sesuatu yang ia tidak mau akui tentunya. Mungkin ia bisa bersama Kagami (dan membuatnya membawa semua minum itu).
"Jan, ken, pon…"
Meh, atau ia mungkin bisa menemani Tetsu dan memancing pembicaraan tentang kamu-tahu-siapa. Kagami hanya merengut sembari menerima uang. Berdiri di depannya dan memayungi sementara dengan tubuhnya. "Aomine, apa yang kau mau?"
Ini dia.
Kesempatan dalam kesempitan, akhirnya kedua mata burgundy yang sibuk tadi menatapnya. Aomine mungkin sedikit salah taktik—ia ingat samar-samar tentang tips yang berkata memandang diam-diam—tetapi ia tidak akan melepas pandangannya setelah Kagami membalasnya. "Err…" Kagami akhirnya menekuk kedua alisnya marah dan Aomine melongo bingung.
Kagami menutup mulutnya dan kedua pipinya bersemu. "Apa begitu kelihatan?"
"Hah?"
"Bayam! Aku tahu tadi siang aku makan kebab, jangan sok-sok tidak tahu tapi jelas-jelas melihat!" Kagami memutar tubuhnya dan berjalan menjauh.
"Tungguin aku, Kagamicchi!"
Aomine menutup mulutnya yang sedari tadi terbuka. Kuroko di sampingnya terlihat berhenti memijit peningnya sendiri dan menatap sahabatnya bingung. "Aomine-kun," Kuroko menoleh pada Aomine, "Apa itu tadi?"
"Aku juga tidak mengerti!"
"Aomine-kun sendiri? Tadi matamu." Aomine menekuk wajahnya dan menggeram kesal, "Matamu terlihat memelototi Kagami-kun, apa kau tidak sadar? Kau membuatnya salah tingkah."
"K-keh! Aku tidak tahu, oke?! Dia yang tidak bisa diprediksi," sial, apa tips-tips ini tidak akan berjalan?! Aomine bisa merasakan tengkuknya merinding bukan karena tersipu tetapi karena malu bukan main. Kuroko terlihat kasihan dan berhenti memandangnya dengan tatapan datar-tapi-sangat-judgy.
"Kamu terlihat merah…" ya, lah, Tetsu, tetapi tidak perlu disuarakan, kan?! "apa ada sesuatu dengan Kagami-kun?"
HRNGHRNGRHNR…
"Tidak, tidak ada apa-apa." Bagus, Daiki, tetap ambigu.
Kuroko menopang dagunya sembari memperhatikan tanah yang menodai sepatunya, "…Aku tidak menilai jika Aomine-kun—"
Sebelum kuroko sempat melanjutkan, Kise berseru sembari berjalan ke arah mereka. "Minum, minum! Aominecchi, minummu! Kita tidak tahu apa yang kamu suka, jadi Kagamicchi milih yang termurah." Kagami mengekor sembari menyeka poninya, menunjukkan keningnya dan—dan Aomine seharusnya berhenti berfantasi saat Kise nyaris menaboknya dengan sebotol air mineral dingin.
"Kise brengsek!"
"Terima kasih, Kagami-kun," ujar Kuroko segera membuka minumnya.
Kise merengek kepadanya saat ia selesai meminum, mendapati rengutan jengkel dari Kagami, "Kurokocchi, aku bagaimana?!"
"Oi, Kise, apa kamu tidak bisa tidak ribut," celetuk Kagami setelah menenggak minumnya habis.
"Kagami-kun juga seharusnya sadar diri, tiba-tiba marah-marah pada Aomine-kun." Aomine tertawa sembari melirik pada temannya yang membalas sungutan Kagami dengan tatapan inosen.
"Kuroko, kamu di sisi mana?" Kagami melirik ke arahnya dengan kembali bersungut dan Aomine menatapnya bengis balik. Keduanya tidak berhenti manatap, adu siapa yang menghindar duluan dan Aomine tidak sadar justru ini yang dimaksud dari tipsnya.
"Ehem, Kagami-kun, ayo pulang."
Memecah perang dingin, Kagami segera berjalan pada tasnya dan Aomine menatap Kuroko dengan ekspresi 'itu apaan?'
Tetapi Kuroko hanya menggedik bahu—licik, Tetsu, licik sekali—dan setelah mereka semua pulang, Aomine mendapatkan pesan dari Kuroko yang awalnya ia hiraukan, tetapi akhirnya ia buka karena penasaran.
Kuroko Tetsuya: Aku tahu.
.
.
'Step 2: Cobalah untuk memulai percakapan sederhana dengannya'
'Kalau mau kasih tau seorang cowok kamu menyukainya, kamu pertama-tama harus melakukan penjajajajajakan… bukan seperti petugas sensus. Artinya kalian harus bersahabat dulu dan menjalin hubungan membingungkan yang membuat orang bertanya apa kalian sebatas teman. Jadikan teman teman-temannya. Mengenal sedikit satu sama lain, dan membuat dia mengenal seberapa keren dan badainya kamu itu…'
"Aku ingin memberi tahu suatu observasi," Kise berseru diantara suara klontang spatula pada wok dan gumaman orang-orang yang mengobrol, "Aominecchi sekarang lebih sering bergaul dengan kita," ujarnya menarik tawa dari arah dapur. Aomine yang sedari tadi berpatut pada layar Android-nya memberi tatapan bengis kepadanya.
"Dan aku tidak harus mengasuh dia lagi… hiks, aku sangat bangga dengan Dai-chan," Momoi menimbrung dengan berpura-pura menangis. Aomine memberi keduanya sebuah jari tengah dan menghiraukan lemparan remot dari Satsuki jika akhirnya ia mendengar Kagami tertawa di balik kompor. Ia melangkah melewati Tetsu yang duduk di sofa sembari mengacak kartu Uno dan menyenderkan setengah tubuhnya pada konter, menghadap Kagami yang tengah memberi sejumput garam.
Kagami melirik curiga dan Aomine menghiraukan tatapan itu, melongok kepala pada wajan wok berisi capcay. "Minggir atau wajahmu juga akan aku masak siang ini."
Aomine menaikkan alis pada ekspresi songong itu dan berpikir sejak kapan mulut itu jadi jago melawan, "aku mau minta, Bakagami," ia melipat kedua lengannya di dada dan merasakan lengan Kise menggelantung bahunya,
"Kagamicchi, ayo cepat!"
"Sabar—Aho! Jangan sentuh dengan tangan kotormu."
Mari kita coba step kedua. "Hhh… kau terlalu lama dan bau itu terlalu harum, kau memberi perutku sebuah boner, tahu tidak?"
Kagami menghentikan tangannya dan menatap Aomine dengan ekspresi 'serius kamu berani berkata seperti itu?!' dan Kise terbahak-bahak. Terdengar Momoi dari jauh berseru "Aomine-kun!" sementara Kuroko bertanya dengan volume lebih kecil apa itu boner.
"Apa itu pujian, Aominecchi?"
Aomine memimik tawa remeh, "aku memuji makanannya saat ini, bukan orangnya."
"Tapi Kagamicchi yang membuat makanannnya!"
"Dan ia yang membuat permainan one-on-oneku membosankan dengan kekalahannya, apa aku harus memuji itu?!"
"A-Apa?! Aku berpikir untuk meninggalkanmu lapar kali ini,"
"Kamu tidak akan kuat."
"Apa maksudnya itu?!"
Kise tertawa sembari menepuk kedua tangannya. "Tetapi aku harus jujur, Aominecchi harus sering-sering main sama kita. Lihat betapa terhiburnya kita jika ada kamu."
"Tapi kamu satu-satunya yang membuatku tidak ingin bergaul dengan kalian para cupu," kata Aomine menyengir menang.
"Wow, kita cupu? Sepertinya porsi ini cukup hanya untuk empat orang, kan?" ujar Kagami menimbrung, Aomine hanya membalasnya dengan hidung yang terangkat dan alis yang bermain.
"Aku bisa ambil porsi Tetsu, ia tidak akan marah."
"Um, sebenarnya, Aomine-kun, aku akan benar-benar marah," jawab Kuroko tiba-tiba di sampingnya.
Aomine memutar bola matanya, "makanan Kagami tidak seenak itu," Kise yang sedari tadi menatapnya tidak percaya terbahak sembari menepuk lututnya, "Apa?! Hanya karena aku tidak masak, kebetulan aku butuh makananmu siang ini."
Kaagami terlihat sangat tercengang dan entah mengapa Aomine ingin tertawa atas ekspresi komikal itu, atau tersipu karena Kagami terlihat cukup terhibur. "Apa kamu tidak bisa mengapresiasi siapapun sedikit saja?!"
Aomine mengerutkan hidungnya seakan jijik, "Ha, untuk kamu?"
"Bocah banget…" gumam Kagami dan Aomine ingin bersorak karena ia menangkap ujung bibir Kagami berkedut malu-malu.
"Aww… kalian sudah seperti pasangan tua, tahu tidak?" kata Kise akhirnya sembari menopang dagu. Tetsu terlihat melirik Kise dengan kerutan di dahi dan entah mengapa, jantung Daiki berdebar terlalu cepat.
Kagami menggeleng-geleng saat ia mematikan kompor dan meraih piring lauk, "oh, wow, tidak terbayang seperti apa! Teman saja nyaris."
Aomine tidak menggubris lirikan-lirikan Kise dan Tetsu yang berubah aneh, "Wahahaha… Kagamicchiii… nanti Aominecchi tidak mau berteman lagi dengan kita setelah ini!" Aomine menahan tangannya untuk mengeplak belakang kepala Kise. Ia bisa merasakan lehernya panas dan mual mulai naik.
Kuroko berdeham, sepertinya berusaha menyelamatkannya—walau ia tidak akan mengaku ia terlihat panik sekarang—dan tersenyum simpul. "Cium dan baikan, Aomine-kun, Kagami-kun."
Kagami nyaris meleberkan kuahnya, terbahak dan bergerak gelisah, sementara Aomine sudah siap mencekek mantan bayangannya itu. "Aku?! Dia yang-ya tuhan, dia yang mulai!"
"Enggak, enggak, kali ini Kagami benar. Itu satu-satunya yang kita setuju," timpal Aomine. Ia hanya berharap wajahnya tidak menunjukkan apa yang ia rasakan sekarang dan menahan agar suaranya tidak goyah, "khusus Kagami dan aku, teman saja nyaris."
Selamat, Daiki, kau telah terdengar seperti pecundang.
Momoi yang berjalan di belakang Kagami, membantunya membawa piring, menoleh padanya dan Aomine tidak ingat kapan terakhir ia terlihat sangat iba seperti itu. Ugh, bunuh aku saja… "Aah, Aomine-kun…"
"Apa?" tanya Aomine menaikkan satu alis dan merendahkan kelopak matanya. Bertahan pada impasif.
Satsuki terlihat terkejut saat Kagami menoleh. Semuanya seakan menarik napas, "E-enggak."
Kise, seorang gentleman yang melihat seorang gadis kewalahan, mengorbankan harga diri temannya sendiri demi label bullshit seperti itu. "Err… aah, Tapi Aominecchi bisa jadi pasangan yang baik, ya, kan, Momocchi?"
Satsuki malah tertawa. Wow, sahabat yang baik, dan menghiraukan Kagami yang sibuk sendiri dengan mengambil es dan sirup, "Hmmm… teman-temanku bilang Dai-chan itu seksi."
"Ah, ya… Aomine-kun cukup populer dengan perempuan," Kuroko membalas sementara yang lain setuju.
Apa hawa keberadaanku menipis? Karena sekarang mereka membicarakanku di depanku.
Kise menyenggol bahunya dengan ekspresi nge-troll dan Aomine baru sadar ia mengepalkan tangannya sedari tadi. "Mungkin juga laki-laki, ko—ow, ow, ow!"
"Tanganku terselip."
"Kau mencubitku!"
"Daan… aku semakin tidak peduli dengan itu. Bisa ganti topik selain Aomine?" Kagami berkacak pinggang setelah melepas apronnya, wajahnya kembali datar dan Aomine menangkap lima gelas es dengan sirup dan soda di atas nampan yang siap ia bawa. "Kalian, keluar semua dari dapur. Siapkan piring kalian."
Aomine, terakhir duduk di kursinya, berkali-kali melirik Kagami yang menghiraukan tatapannya antara karena tidak sengaja atau sengaja.
.
.
"Apa-apaan, Tetsu?!" desis Aomine setelah mereka berjalan mendekati halte bus, ia diam-diam melirik Kise dan Momoi yang berbincang di belakang mereka.
"Ada apa? Aomine-kun, kamu meremuk lenganku." Aomine melepaskan cengkramannya dan
"Aku—argh! Kagami tidak terlihat senang saat membicarakan tentang orang-orang yang pernah bersamaku, oke? Apa Satsuki dan Kise tahu?"
"Seharusnya tidak, kamu semakin lama semakin kelihatan, Aomine-kun."
"Tapi makanya aku hanya memberi tahumu, Tetsu. Aku tidak butuh mulut-mulut penggosip menyebarkan itu."
"Kise-kun sempat bertanya, kenapa Aomine-kun sekarang lebih sering mengganggu Kagami-kun." Aomine hanya bisa melorotkan bahu. "Maafkan aku, Aomine-kun."
"Aku tidak mengganggu," gumam Aomine entah terhadap siapa. Mungkin memang semua orang melihatnya seperti itu, aneh. Jadinya ia sedikit menyesal terlihat seperti seorang brengsek di depan Kagami. "Tidak apa, Tetsu."
"Iya, padahal dari dahulu… Aomine-kun tidak pernah memulai duluan jika Kagami-kun tidak mengajakmu bicara."
Heh, setidaknya satu orang bisa diandalkan. "Kagami sendiri bagaimana? Apa ia tidak pernah cerita apapun?"
Keduanya mendengar musik dari jangkrik malam dan suara lalu lintas yang mereda. "…Aomine-kun, aku tidak menyangka seseorang seperti Aomine-kun benar-benar kerasan dengan seseorang."
"Aku tidak kerasan!"
"Ssst…" Kuroko menghela napas perlahan, "Kagami-kun adalah orang yang simpel dan senang kesimpelan itu. Jangan bertele-tele di depannya jika kau mau sesuatu dengannya. Bukankah Aomine-kun juga seseorang yang seperti itu? Aomine-kun akan tahu apa yang aku maksud."
"Lalu bagaimana aku tahu dia suka aku atau tidak?"
"Huh? Hmm…" Kuroko menelengkan kepalanya, "sebenarnya, aku tidak pernah mendengar Kagami-kun sebagai seorang yang romantis. Bahkan saat banyak siswi yang mengirimnya surat cinta, Kagami terlihat impasif. Tetapi mungkin perempuan bukan indikasi yang tepat mengingat Kagami-kun seumur hidupnya lebih terbiasa dengan laki-laki. Entah, lah, Aomine-kun… Kagami-kun seorang yang gampang terlihat berhubungan dengan perasaan, tetapi ia tidak pernah menunjukkan ketertarikan sama sekali pada orang lain bahkan saat yang lainnya terlihat senang membicarakan tentang itu."
Aomine mendengung mengerti. Ia melihat tatapan tidak nyamannya tadi. Mungkin memang ia tidak tertarik dalam hal romansa. Aomine merasa sedikit pusing. Apa semua usaha apapun akan berakhir hampa? Sedikit tidak adil, apa yang Kagami lakukan, untuk mengejutkannya terus-menerus tetapi meninggalkannya termangu.
.
.
'…Kamu mungkin akan menyanjungnya, berterima kasih kepadanya, atau membuatnya tertawa. Bagaimanapun, jangan sampai ia bosan berbicara denganmu. Mungkin, sedikit jengkel juga tidak apa. Ingat apa yang mereka katakan: lebih baik dibenci daripada dilupakan.'
Aomine meringis pada sedotan yang ia gigit-gigit, bertanya apa yang membuat artikel diam-diam seorang sosiopat yang memiliki humor gelap. Ia juga tidak pikir ia akan berada di tempat yang sama, tetapi lihatlah sekarang. Sudah lewat seminggu dan ia kembali bertemu Kagami Taiga, sekarang memakai kemeja putih Seirin dan membeli majalah yang sama. Kali ini mempunyai recehan untuk bayarnya. Sayang sekali. Kagami sendiri terlihat terkejut melihatnya menyender pada dinding sembari menyedot sisa-sisa susu pisang sampai keriput.
"Yo," Aomine menarik napas dan melempar tong sampah tiga meter di belakangnya sembari berdiri tegap. Kagami menaikkan alis pada sampah yang masuk dengan mulusnya sebelum menjawab.
"Hey." Kagami masih menghindari matanya, Aomine tidak suka itu. "Um… apa kau tinggal dekat dari sini?"
"Enggak, tetapi ini distrik terdekat dari Touou."
"Huh… oke…" Kagami terlihat ingin menyebrang tetapi memutar tumitnya dan mulai berjalan. "Aku hari ini harus kembali ke apartemen, sepertinya akan hujan."
Aomine tidak tahu. Cuaca tengah panas sekali di pertengahan Maret seperti ini. Tetapi ia tahu ia tidak melakukan kerja yang baik menahan gebetannya sebentar saja. "Oke."
Kagami terlihat menggigit bibirnya dan menggaruk tengkuknya. Kedua alis bercabangnya sedikit bertaut dan Aomine melihat sedikit kejengkelan di ekspresinya, "oke."
"Tunggu,"
Kagami menoleh dengan cepat dan Aomine nyaris berhenti di tengah jalan, tetapi ia menyebrangi sisinya untuk akhirnya menyejajarkan diri. Aomine menggaruk tengkuknya, "apa kau tidak belanja makanan dulu?"
Kagami menggulung majalah yang ia beli dan menyelipkan di dalam tasnya. "Maksudnya? Aku sudah melakukannya kemarin."
"Oh… aku kira mengingat apetitmu, belanjaan sebulan pun cepat habis." Mantap, Bang! Teruskan.
Kagami menatapnya tidak percaya dengan kedua bola mata yang melebar. Mulutnya juga terbuka seakan ingin menyanggah tetapi akhirnya ia mempercepat jalannya. Pler.
Aomine sedikit bingung. Jadi salah dia dimana? Apa dari hinaan yang konstan? Tingkahnya yang tarik ulur? Atau kurangnya meme yang ia kirim atau ia tag?! "Kamu masak lagi nanti?"
Kagami menghela napas, "iya lah. Kamu pikir tinggal sendiri aku meminta setan yang memasak untukku?"
"Apa kamu tidak bisa diam sejenak? Aku ingin mengajakmu bicara."
"Oh, itu yang sedari tadi kamu lakukan, Ahomine? Usaha yang cukup buruk."
Aomine mengepalkan kedua tangan. Oke, gebetan atau bukan, ia tahu Kagami tidak jauh buruknya dengan dia dalam hal "komunikasi". Maka dari itu Aomine berjalan di depannya dan mendekati wajahnya, "aku hanya ingin membalasmu, brengsek! Apa aku tidak boleh mengajak hang out balik?"
Kagami terdiam dan dari jarang mereka yang dekat, ia akhirnya bisa melihat pupil yang melebar itu dan alis yang melemas itu. Tetapi tidak semenyek yang ia bayangkan, Kagami hanya menggaruk pipinya sembari mendorongnya pelan. Aomine sadar dengan apa yang ia katakan dan mencoba menghiraukan pipinya yang memanas. Salahkan cuaca yang panas ini! Tetapi akhirnya ia melembutkan suara,
"Jadi?"
Kagami menghela napas, "kamu ini…. Sangat prideful. Oke, apa sudah makan siang?" Aomine menganggap kali ini ia melakukan hal yang benar. Ia menggeleng dan keduanya berjalan beriringan. Setelah itu, diantara segepok nasi dan segunung karaage, Kagami menggumamkan panggilan. "Hei, Aomine…"
"Hm?"
"Lain kali kalau bosan, ke apartemenku saja." Mungkin Aomine masih ada kesempatan untuk menyempil di hati Kagami yang kosong dan gersang.
.
.
TBC