8 years oldJasmine.
Pergantian siang dan malam menjadi hal yang sangat Chanyeol nantikan. Sekuntum bunga mulai melayu; menutup diri untuk istirahat sejenak atas prosesnya sepanjang hari. Sama halnya dengan Chanyeol, peliknya urusan kantor membuatnya ingin cepat pulang untuk menghidup aroma surga dunia bersama dua perempuan yang menunggu di rumah.
Bel berbunyi. Kedatangan Chanyeol tidak pernah luput dari sambutan hangat sang istri yang tengah mengenakan apron berwarna pink.
Kuncup senyum mulai mengembang. Sukma yang sempat mengalami penat berubah drastis kala ada gadis kecil lain yang menyongsong kedatangan Chanyeol dengan teriakan nyaring.
"My little princess. Ini hari Rabu dan kau mengenakan baju pink? Ayah pikir hari ini bukan jadwalnya kau mengenakan baju abu-abu?"
Jasmine berdecak kecil, memutar tubuh dengan rambut yang turut tersingkap lalu meletakkan dua tangan di pinggang layaknya seorang bos.
"Ayah," telunjuknya mengarah pada sang ayah, "hari ini Jasmine di undang pesta ulang tahun teman sekolah. Deskot
"Deskot?" Alis Chanyeol bertaut. Sekalipun Jasmine mulai bisa menitih kata dengan lancar, terkadang masih ada beberapa hal yang butuh diluruskan terutama jika itu menyangkut kata asing.
"Dress-code." Beruntung ada Baekhyun yang membenarkan.
"Ya, deskot."
"Dress-code, princess."
"Apalah itu namanya, Ayah." Membenahi sebentar rambutnya yang sedikit berantakan karena Chanyeol yang berkali-kali mencium, Jasmine lantas menuju rak sepatu dan mengenakan sepasang lucu yang terlihat manis di kedua kakinya.
"Ini teman yang mana?"
Radar proteksi Chanyeol mulai menguat. Dia mencegah Baekhyun yang mengambil coat di kursi dan membantu Jasmine membenahi lagi pakaiannya.
Ada sebentuk rasa pencegahan. Bukan apa-apa, Chanyeol bahkan tidak tahu teman mana yang mengadakan ulang tahun hingga Jasmine harus mengenakan dress-code.
"Teman sekolah. Namanya Mason. Kebetulan dia juga teman Jasmine les piano." Terperinci Baekhyun menjelaskannya, Chanyeol masih merasa kurang puas dan memilih berdiri di pintu dengan lipatan tangan di dada.
"Ayah, ini hanya ulang tahun. Teman-teman Jasmine datang juga di sana."
"Jasmine, Jasmine itu anak perempuan. Ayah tidak mau Jasmine pergi ke rumah anak laki-laki sendiri."
"Jasmine diantar ibu." Bumbu merajuk mulai terlihat dari wajah Jasmine.
Keadaan ini sebenarnya bukan sekali dua kali. Banyak lagi cerita dimana Chanyeol memiliki sikap penjagaan berlebih sedang Jasmine adalah tipikal anak yang mencintai hal-hal baru serta kebebasan. Mereka tak pernah sependapat tentang beberapa hal. Biasanya jika sudah seperti itu, Jasmine akan meraung dalam tangis dan Chanyeol meraung dalam banyak alasan untuk anak perempuannya yang berharga.
"Hanya sebentar, honey."
"Tapi ini di rumah anak laki-laki, Baek."
"Jasmine tidak sendirian. Aku akan menemani sampai selesai."
"Tidak, tidak bisa. Aku saja yang menemani." Mengambil kembali jas yang sudah di letakkan di sofa, Chanyeol lantas berjongkok di depan Jasmine yang mulai tersedu dalam kesedihan.
Semua terjadi seperti itu. Baekhyun tetap tinggal di rumah ketika Chanyeol memaksa akan mengantar Jasmine ke tempat ulang tahun.
Sejatinya acara ulang tahun terlewati dengan keseruan khas anak-anak bersama teman-temannya. Tapi Jasmine harus rela menahan rasa kesal yang menyesakkan dada ketika ayahnya yang super tinggi itu melesak di antara keramaian bersama topi kerucut di kepala.
Percayalah, Chanyeol cukup dewasa untuk tahu jika badut adalah ilusi belaka untuk membahagiakan anak-anak. Tapi lelaki itu justru membaur dengan tawa riang bersama tepuk tangan meriah saat badut berhasil melakukan sulap.
.
17 years old Jasmine.
"Iya, Ayah. Jasmine tidak akan pulang terlambat. Lagipula ini hanya perkumpulan angkatan biasa."
Ini masih pukul 7 pagi, tapi melalui ponsel itu Jasmine sudah mendengar banyak petuah dari ayahnya yang sedang di luar kota.
Sesekali matanya bergulir, berotasi dengan kekesalan yang kentara lalu melempar isyarat pada ibu yang sedang menyiapkan makan pagi. Bibirnya bergerak tanpa suara, meminta pertolongan pada ibu tentang ayahnya yang memulai petuah pagi sebelum Jasmine berangkat sekolah.
"Ayah, Ibu ingin membicarakan sesuatu." Terburu Jasmine menyerahkan ponselnya sebelun Ayahnya, Tuan Park yang maha cerewet itu terus memberi petuah-petuahnya.
"Ya, Baek? Apa yang ingin kau bicarakan?"
Baekhyun yang baru selesai dengan tatanan makanan di atas meja hanya bisa menghela napas sabar. Putrinya yang beranjak dewasa tengah memohon dengan caranya yang manis, pertanda dia benar-benar butuh penyelamat dari Chanyeol yang tak pernah absen mengatakan jika Jasmine adalah harta berharga yang harus dijaga.
Siapa yang tidak mengetahui hal itu? Setiap anak adalah harta yang berharga dan harus dijaga. Jasmine paham betul, sebagai satu-satunya anak yang dimiliki Chanyeol-Baekhyun, dia berada di sisi protektif yang berlebih. Setiap gerak-geriknya bermandikan rasa khawatir, tapi bagi Jasmine tidak perlu seperti itu ketika Jasmine sudah 17 tahun.
"Jika berkunjung ke rumah nenek, aku akan bertanya pada nenek saat hamil ayah dulu, nenek mengidam apa."
Alis Baekhyun bertaut sedikit. Setelah menyelesaikan panggilan dengan suaminya, Baekhyun menemani Jasmine makan pagi sebelum berangkat sekolah.
"Kenapa begitu?"
"Ayah adalah jenis lelaki paling menyebalkan sedunia. Aku sudah besar, sudah 17 tahun tapi ayah selalu memperlakukanku seperti saat aku masih 8 tahun."
"Itu karena ayah menyayangimu, sayang."
"Ibu juga menyayangiku tetapi Ibu jauh lebih tenang memperlakukanku. Dan ayah? Oh astaga, bahkan urusan rambutku saja ayah sangat cerewet."
Tergelak oleh tawa geli, Baekhyun lantas menyingkirkan sisa selai coklat yang ada di sekitar bibir Jasmine.
Ya, Jasmine sudah 17 tahun tapi coklat masih menjadi makanan favorit dan bukan Jasmine namanya jika tidak ada selai yang tertinggal di sekitar bibirnya.
"Oh ya? Apa yang ayah katakan?"
"Aku tidak boleh menguncir terlalu tinggi dan tidak boleh menggunakan pita terlalu mencolok. Takutnya nanti ada yang iri dan aku dijambak. Ayolah, tidak ada yang seperti itu di sekolahku."
"Itu karena kau sangat cantik dan ayah tidak ingin putrinya yang cantik dilukai orang lain."
Memutar bola matanya sebentar, Jasmine lantas terburu mengambil tas sekolah dan berpamitan dengan roti terapit di dua bibir.
Sekolah Jasmine sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja Jasmine senang menghabiskan waktu sebelum bel masuk untuk duduk dengan teman-temannya dan membicarakan banyak hal.
Penampilan Jasmine pagi itu tidak mencolok. Hanya rambut hitam pekat yang tergerai beserta bedak tipis dan lipgloss samar di bibirnya. Fisik Jasmine sangat mumpuni untuk menjadi idola. Tak jarang beberapa anak lelaki di sekitarnya mulai gencar melirik dan menyerang dengan pendekatan khas anak muda di usia belasan.
Sayang semua harus terhambat oleh satu telfon yang selalu berdering setiap jam. Saat Jasmine mulai meletakkan respon pada satu di antara para anak lelaki itu, panggilan dengan nama Dads berdering nyaring dan memebuat Jasmine harus merotasikan mata.
Tidak ada hal penting. Hanya menanyakan apa yang sedang Jasmine lakukan disertai dengan sedikit petuah tentang anak perempuan di sekolah. Jasmine yakin dirinya sudah besar, hal-hal semacam itu sudah menjadi dasaran dimana Jasmine bisa menjaga diri dengan pergaulannya.
Kiranya panggilan setiap jam itu bisa menjadi hal terakhir yang menyebalkan bagi Jasmine. Tapi ternyata semua semakin menjadi liar kala jam pelajaran ketujuh baru berdering dan Jasmine dipanggil menuju ruang guru.
Jika itu sesuatu yang berkaitan dengan akademis, Jasmine bisa maklum. Tapi yang ia jumpai di sana, di sebuah sofa ruang guru yang biasa digunakan untuk menyambut tamu, adalah ayahnya dengan dua kantong plastik putih di masing-masing tangan.
"Ayah bisa pulang cepat. Ayah membawa banyak ayam goreng untuk Jasmine."
Ini sekolah, dan Jasmine seharusnya masih berada di kelas daripada meladeni dua kantong plastik berisi ayam.
"Astaga, pipi mu merah, princess. Kau sakit?" itu bukan karena sakit, tapi semburat yang sengaja Jasmine buat dari peralatan make-upnya.
"Dan..Oh my God! Bibirmu berminyak!" itu karena lipgloss.
"Dear, ayah sudah bilang untuk tidak menguncir rambut terlalu tinggi. Nanti kau bisa pusing."
Jasmine sudah cukup pusing dengan semua ini. Terlebih dari ujung pintu ruang guru yang sedikit terbuka, Jasmine melihat satu musuh bebuyutan yang sedang tersenyum puas melihat kemanjaan yang Jasmine dapatkan.
Seketika emosi Jasmine membeludak. Dia meletakkan dua kantok plastik itu begitu saja dan mengusap peluh yang tiba-tiba menetes tentang bayangan ia akan menjadi bahan ejekan dari musuh bebuyutannya itu.
Namanya Sehun. Satu di antara makhluk menyebalkan yang Jasmine jajarkan bersama segala macam hantu. Kehidupan sekolahnya tidak pernah mulus jika Sehun ada di sekitarnya. Akan ada bahan ejekan yang membuat mereka saling melontarkan ketidaksukaan lalu berujung penghinaan khas anak SMA jika ada kelemahan yang terdeteksi. Dan bagi Jasmine, apa yang baru saja Sehun lihat atas perlakuannya dari sang ayah jelas akan menjadi bahan utama menyebar berita Jasmine anak manja .
"Jas.."
"Ayah kenapa harus datang ke sekolah?! Jasmine sudah besar! Ayah tidak perlu repot-repot kemari jika hanya untuk membuat malu Jasmine!" satu air mata luruh.
"Prin.."
"Dan juga, namaku Jasmine! Bukan princess! Berhenti memanggilku seperti itu karena itu sangat memalukan!"
Derai air mata itu membuat Jasmine berlari keluar dengan isak yang parah. Sudah cukup selama ini dia berdiam diri diperlakukan seperti seorang anak kecil. Ayahnya terlalu berlebihan dengan Jasmine yang bahkan mulai mengenal banyak hal menjadi seorang remaja.
Tangis itu membawa Jasmine berlari keluar gedung sekolah dan berhenti di belakang bangunan perpustakaan. Susah payah ia mempercantik diri sebelum berangkat sekolah, kini harus luntur bersama tangisnya karena kekesalan yang menumpuk.
Lalu ketika Jasmine selesai dengan tangis kekesalannya dan berniat kembali ke kelas, sebuah tangan mengulurkan sapu tangan tepat di depan mata.
Jasmine mendongak, melihat seraut wajah yang selama ini menjadi mimpi buruknya saat ke sekolah.
"Kau mau menghinaku, kan, Sehun?" todong Jasmine. "Kau bisa membicarakan tentang tadi pada siapapun."
"Jelek." Sehun justru berdecih, sebelah tangannya yang masuk dalam saku celana ia keluarkan dan menyeka daun kering yang ada di pundak Jasmine. "Kau bisa jelek juga rupanya?"
"Hm?"
Sungguh, ini seperti bukan Sehun. Terlebih caranya menyunggingkan senyum, Jasmine percaya ini bukan Sehun yang ia kenal.
"Mataku sakit melihat kau menangis. Sebaiknya cepat hapus air matamu dan berhenti menjadi jelek."
Sapu tangan itu ragu-ragu Jasmine terima. Dia masih mencerna bagaimana sosok Sehun yang selama ini menyebalkan nyatanya beruba haluan menjadi selembut kapas penghapus make-up.
"Sehun!" Jasmine menyela saat Sehun hendak pergi. Tak ada yang bisa Jasmine katakan. Dia kosong dengan keadaan yang membuat Sehun terlihat manis hanya dengan sapu tangan yang terulur. "K-kau, jangan menyebar hal buruk apapun."
Sehun kembali berdecih, ia mendekat lagi pada Jasmine dengan satu tangan yang kembali masuk ke saku dan tangan lain yang menyingkap rambut Jasmine ke belakang telinga.
"Berhenti menyebalkan, ya? Aku tidak akan mengatakan apapun. Keluarga itu sesuatu yang privasi, tak bisa dijadikan bahan bercandaan bagaimanapun keadaannya. Lagipula, aku senang kau mendapat perlakuan manis dari ayahmu. Sangat jarang ada seorang ayah yang susah payah datang di sela kesibukan hanya untuk bertemu putrinya yang cantik. Dan tidak seharusnya kau membalasnya dengan cara seperti tadi. Aku yakin, ayahmu tidak bermaksud lain kecuali hanya ingin bertemu putrinya."
Sesuatu pasti sudah membuat otak Sehun kembali ke asalnya. Jasmine yakin!
"Sebaiknya kau cepat ke kamar mandi dan berkaca."
"K-kenapa?"
Sehun tak berbicara, ia menarik satu senyum dari sudut bibirnya lalu mengarah pandangan dengan dagu. Fokusnya berada pada pundak Jasmine, dan dalam hitungan ketiga Sehun berlari terbirit dengan tawa meledak sedang Jasmine melompat tak karuan untuk seekor cicak di pundaknya.
"OH SEHUN!"
.
Sore itu Jasmine pulang dalam keadaan lesu. Sepanjang perjalanan pulang banyak hal menghantui yang membuatnya berpikir ulang tentang statusnya sebagai anak seorang Park Chanyeol.
Jika dipikir, ayahnya itu cukup manis memperlakukan anak perempuan satu-satunya. Setiap malam selalu memastikan apakah Jasmine sudah mencuci muka dan meminum susu. Tak pernah tertinggal pula untuk mengingatkan Jasmine tentang tugas sekolah dan segala kebutuhan lain yang Jasmine butuhkan.
Ayah bahkan akan menangis tersedu saat Jasmine diserang flu. Reaksinya memang berlebihan, tapi jika dipikir lagi itu menjadi satu hal manis yang jarang dijumpai oleh seorang anak.
Melalui pemikiran itu, Jasmine bertekad meminta maaf atas ucapannya tadi siang. Bagaimanapun ayah tidak bermaksud buruk, Jasmine saja yang terburu berprasangka lain dan takut akan ada ejekan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Saat Jasmine mulai masuk rumah, terlihat ayah sedang sibuk dengan ponsel di ruang tengah. Rahangnya mengeras, matanya fokus pada rentetan tulisan di ponsel dan tidak ada kecupan yang Jasmine dapatkan seperti biasanya.
"Ayah.."
"Hm? Sudah pulang?"
Terasa dingin. Jasmine membenci situasi ini.
"Jasmine mau bicara."
"Ya. Bicara saja. Ayah akan dengarkan."
"Ayah.." takut-takut Jasmine mendekat, dudu di sofa yang sama tapi masih memiliki jarak. "Ayah marah dengan Jasmine?"
"Marah? Tidak."
"Jasmine.." anak perempuan itu menjeda, kepalanya tertunduk untuk ribuan penyesalan yang membuatnya berada pada tempat paling rendah. "Jasmine..mau minta maaf. Tentang tadi di sekolah, Jasmine harap ayah tidak marah dengan Jasmine."
Chanyeol mulai mengendurkan situasi. Matanya tak lagi berfokus pada ponsel, tapi beralih sepenuhnya pada sang gadis yang mulai tersedu oleh tangis.
"Ayah jangan marah dengan Jasmine, ya?" saat Jasmine mendongak, bulir air mata itu deras menuruni pipi Jasmine dan membuat Chanyeol tak sampai hati membiarkannya lama-lama.
Direngkuh tubuh putri tunggalnya, membelai pada kelembutan yang tidak pernah terkikis oleh apapun dan tetap terjaga sebanyak yang Chanyeol miliki.
Hartanya, sesuatu yang tidak pernah luput sebagai prioritas untuk dibahagiakan bersama istri tercinta. Melihat air mata Jasmine adalah hal yang tak ingin Chanyeol alami. Apapun itu, Jasmine adalah kebahagiaan yang tidak boleh berlinang air mata.
"Maafkan ayah juga, ya? Ayah tahu Jasmine sudah besar, tapi Ayah ingin sekali menjaga Jasmine dan membuat Jasmine bahagia dengan apa yang Jasmine sukai."
"Jasmine minta maaf. Jasmine janji tidak akan berlaku seperti itu lagi."
"Sudah, sudah. Princess-oh, apa ayah masih boleh memanggil seperti itu?"
"Tentu saja. Jasmine sebenarnya suka dengan panggilan itu."
"Baiklah. Princess tidak usah menangis lagi, ya? Katanya sudah besar."
Isak Jasmine semakin parah. Dalam pelukan yang ia terima dari sang ayah menggambarkan banyak hal yang selama ini hanya lalu lalang.
Pengorbanan selalu beriring dengan kasih. Ketulusan orangtua tak pernah sebanding dengan apapun, oleh karena itu butuh pemahaman hati berlebih untuk sadar tentang peran orangtua. Jasmine mungkin sudah 17 tahun, dan tahun-tahun ke depan dia akan merayap pada kedewasaan yang sewajarnya. Dan jika saat itu tiba, Chanyeol dan Baekhyun hanya bisa memantau pada setiap tindakan Jasmine. Kemanjaan itu bisa saja tersingkirkan, berganti dengan tutur penuh kedewasaan untuk mwmbimbing Jasmine dalam hidupnya hingga tanggungjawab sebagai orangtua akan berganti di pundak pendamping hidup Jasmine kelak.
.
.
.
Selesai!
Basyud ; selamat menunaikan ibadah puasa! Maaf jika FF ini masih memiliki banyak kekurangan :(
