Title: SHOVE

Characters/ Pairing: Hatake Kakashi/ Haruno Sakura

Type: Multichapter

Rating: T

Genre: Romance, General

Warnings: SugarDaddy!Kakashi, SugarBaby!Sakura (jika tak suka, silakan kembali)

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

(Kami tidak mencari keuntungan dalam bentuk materi apapun dari penggunaan karakter-karakter ciptaan Masashi Kishimoto)

Jadi ini adalah drabble multichapter yang simple yang saya buat di tengah-tengah fic BTNS. Just remember fic ini berputar pada SugarDaddy!Kakashi dan SugarBaby!Sakura. Jika tak suka dengan genre ini, silakan kembali.

::::

SHOVE

1

Pemilik kafe Army adalah seorang mantan tentara yang pernah bekerja sebagai koki di wilayah perbatasan dan sangat terobsesi dengan zat pemutih. Bahkan aromanya saja terasa kuat di setiap menu masakan kalangan menengah ke bawah itu. Jika kau coba untuk menjilati sebuah piring atau nampan maka rasanya akan seperti zat pemutih. Tapi setidaknya ada banyak makanan di sana, masih hangat ketika tiba di meja makan. Kadangkala aku menyisipkan makanan keluar dari Army hanya untuk menghindari aroma zat pemutih, dan rasanya tidak seburuk saat di dalam kafe. Sungguh mengejutkan efek aroma ternyata mempengaruhi rasa. Tapi bagiku, semua itu tertutup dengan secangkir kopi espresso nikmat yang bisa kudapatkan dengan harga murah.

Omong-omong, aku sudah duduk selama satu setengah jam di salah satu sudut terjauh di dalam kafe, mengetik di laptop untuk tugas kuliah yang harus kukumpul lusa sambil menikmati cangkir kedua dari kopi hitam favoritku—setidaknya di sini ada wi-fi gratis—ketika ponsel lipatku menyala. Terdengar suara tajam saat aku mengangkatnya.

"Aku sudah menyuruhmu untuk membeli ponsel pintar! Kau tahu sendiri aku jarang isi pulsa! Sudah berapa kali aku menghubungimu tapi tak pernah kau angkat! Oh, please, Sakura, jangan bilang ponselmu kau silent lagi."

"Ino…" Aku baru sadar sejak tadi ponselku tertutup lembaran-lembaran kertas. Mendengar suara Ino, kurasa sesuatu yang buruk telah terjadi.

"Whatever! Cepatlah ke sini! Dosen sudah datang dan kita adalah kelompok kedua yang presentase hari ini!"

Fuck!

Segera kubereskan laptop, buku-buku kuliah dan catatan-catatan kecil di atas meja lalu memasukkannya ke ransel. Bahkan aku setengah berlari saat mengancing ransel. Di tengah jam makan siang yang begitu padat, bocah-bocah berlarian ke sana kemari, membuat seorang pelayan wanita oleng kemudian menubrukku dan ranselku jatuh menghantam lantai dengan keras. Aku terkesiap. Laptopku! Aku berlutut di tengah kerumunan, tidak memedulikan permintaan maaf dari si pelayan tadi. Fuck fuck fuck. Aku mengeluarkan benda hitam itu dari ransel, memeriksa layarnya—terima kasih, Tuhan, layarnya tidak retak—dan menyalakannya. Aku bernapas lega mengetahui kondisi laptopku baik-baik saja. Aku segera menegakkan tubuh, mengangkat ranselku yang berat akan buku-buku dan berjalan keluar dari kafe dengan terburu-buru.

Aku sedang duduk menghadap danau di taman kota, memerhatikan bagaimana senja mencuri warna hijau dari danau, meninggalkan bayang-bayang keabuan monokrom. Udara gerah hari itu perlahan menghilang bersama dengan tenggelamnya matahari di horizon, menyisakan semburat peach.

Mendesah pelan, aku mengusap laptop di pangkuan. Laptop murah yang kubeli dengan bekerja paruh waktu, kini tak lagi mau menyala. Maksudku bukan presentase kelompok bersama Ino—presentasenya sukses—tapi persentase di mata kuliah berikutnya. Laptopku tiba-tiba mati dan aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong. Salah satu teman kuliah menjerit pelan, yang lain menggeleng. Aku tidak bisa melanjutkan presentase tanpa laptop karena tentu saja, tentu saja semua data presentase ada di dalam sana. Aku tertunduk. Kedua tanganku berada di atas laptop yang tertutup, menopang kepalaku. Tapi setidaknya dosen masih memberiku waktu seminggu untuk memperbaikinya. Tapi bagaimana dengan tugas-tugasku yang lain?

Ponselku lalu berbunyi.

"Halo?"

"Kau jadi tampil malam ini 'kan, Sakura?"

"Yeah." Aku mengangguk pelan. "Aku ke sana sekarang."

"Oke."

Aku harus segera ke sana. Segera, segera, segera. Aku jadi khawatir kata 'segera' pun pada akhirnya akan menjadi nama tengahku. Aku berjalan ke halted an ekitar 15 menit kemudian aku turun dari bus, menyusuri jalan menuju kafe tempatku bekerja paruh waktu, mengambil jalan memutar dan di sudut gang yang tak begitu ramai di daerah pinggiran kota, aku mendorong pintu membuat bel di atasnya bergemerincing.

Sejam kemudian, sekali lagi, aku duduk di sudut kafe menikmati coke setelah penampilanku membawakan dua lagu akustik di panggung kecil tadi. Kini yang sedang tampil adalah seorang wanita pertengahan 30-an, dengan tubuh padat berisi serta suara menakjubkan—aku pernah menyarankan dia untuk ikut kompetisi bernyanyi dan dia hanya tertawa. Saat wanita itu selesai bernyanyi, aku bersama pengunjung kafe yang lain mengangkat botol coke, botol minuman alkohol atau gelas jus tinggi-tinggi sebagai bentuk apresiasi terhadapnya.

"Boleh aku duduk di sini?"

Suara bariton rendah membuatku menengadah pada sosok pria jangkung yang berdiri di hadapanku. Pria itu memakai topi baseball, jaket biru navy yang menutupi kaos abu-abu. Meski cahaya lampu nampak temaram, aku yakin pria itu memiliki wajah yang membuat siapapun akan berhenti berjalan. Atau seperti diriku, yang terpaku sesaat melihatnya.

"Apa kau sedang menunggu seseorang?"

Suara bariton itu kembali terdengar, membuatku mengerjap. "Oh, tidak, maafkan aku. Silakan." Pria itu duduk sambil menghela napas dan meletakkan minumannya ke atas meja. Saat itu aku bisa melihat wajahnya sedikit lebih jelas. Hm, dia punya senyum yang menawan dan tulang pipi yang tinggi. Tapi aku lebih tertarik pada matanya. Sepasang matanya agak sayu namun menyorotkan kelembutan, membuat lututku terasa lemas seketika. Tapi aku merasa familiar dengan pria ini. Di mana aku pernah melihatnya?

"Kau bagus."

"Apa?" Aku memiringkan kepala, sedikit tertarik keluar dari lamunanku.

"Di panggung tadi. Kau bernyanyi dengan bagus. Maksudku, indah. Tidak banyak penyanyi yang bisa membawakan lagu seperti bercerita."

"Aku hanya penyanyi kafe biasa. Aku juga tidak tiap malam ada di sini." Aku tersenyum malu. Mendapat pujian dari pria setampan itu tentu saja membuat perutku penuh dengan kupu-kupu.

"Koreksi. Penyanyi kafe yang membawakan lagu seperti bercerita itu tidak banyak. Aku cukup menikmatinya dengan suaramu yang sederhana. Kau bagus." Pria itu berdecak lalu menyesap minumannya.

"Terima kasih." Aku menyampirkan helaian rambut merah mudaku ke belakang telinga. Apa yang kulakukan? Tersenyum malu dan bertingkah seperti anak sekolah di depan orang asing. Kau sudah 19 tahun, Sakura! Empat bulan lagi kau 20 tahun! Tahan dirimu! Dan saat itulah aku sadar di mana aku pernah melihat pria itu. Pria itu kini sedang melihat ke arah panggung, menikmati sebuah penampilan yang lumayan malam itu dan dia tertawa sembari mengangkat minumannya. Dan sepasang mata itu kembali melihatku dengan senyuman khasnya membuat pandangan kami bertemu. Sepasang mata berwarna abu-abu terang yang berkilat tertimpa cahaya lampu. Tidak mungkin. "Tidak mungkin!"

::::

TBC

::::

Saya mengedit di beberapa bagian. Jika sebelumnya saya memberi info jika fic ini, di setiap chapnya tidak akan lebih dari 1k words, I change my mind *ditimpuk* oke, mungkin ada chapter yang akan tidak lebih dari 1k words, tapi mengingat saya cukup suka dengan deskrip, jadi begitulah, hahaha. Jika ada yang sudah membaca chapter ini sebelum diedit sana-sini, mohon maaf *bow*

Dan ini adalah kedua kalinya saya memakai first pov. Fic pertama saya yang pakai first pov udah bertahun-tahun lalu dibuatnya dan nggak tahu nasib fic itu sekarang haha. Jadi jika terbiasa dengan fic-fic saya yang memakai third pov, mohon maaf jika merasa fic kali ini terasa datar.

Once again, feel free to send PM, review, constructive criticisms and suggestions.