~Chanyeol POV~
Aku berdiri terpaku dan menyaksikan wanita pujaanku menyanyikan lagu favoritku bersama pria lain. Dan walaupun aku tahu dia mencintai Juhyun sebagai seorang kakak, aku ingin menghajarnya.Habis-habisan.
Suara manisnya mengisi udara, dan aku makin mencintainya saat ini daripada sebelumnya ketika dia naik keatas panggung itu, dan aku tidak pernah tahu bahwa itu bisa terjadi.
Dia luar biasa berbakat.
Dan sangat seksi dalam balutan gaun itu, dengan rambutnya ditata keatas, memamerkan punggung nan rampingnya dan lehernya yang lembut, dan anting berlian yang kubelikan beberapa minggu yang lalu. Aku sudah tidak sabar melepaskannya dari itu dan bercinta dengannya. Aku hanya tidak akan pernah puas akan dirinya.
Forever can never be long enough for me.
Sial, itulah kenyataannya.Lagunya berakhir, dan Juhyun menarik Baekhyun kedalam pelukannya, membisikkan sesuatu padanya, dan karena aku berdiri lurus kedepan, aku tidak yakin apakah dia menciumnya di pipi atau di sudut bibir Baekhyun.
Tanganku mengepal.
Kemudian Juhyun menarik diri dan dengan tanpa suara mulut Baekhyun membentuk perkataan, "aku juga mencintaimu."
Terkutuklah aku.
ooOoo
.
.
~Baekhyun POV~
Aku melambai kearah kerumunan penonton dan dengan hati-hati menuruni tangga panggung menggunakan sepatu hak tinggiku. Tadi itu terasa fantastis. Aku tidak menyadari betapa aku merindukan bermain di hadapan penonton, terutama bersama Juhyun. Kuharap aku dapat bertemu dengannya lagi selama dia ada di kota.Kuseberangi lantai dansa, dan Zitao serta Yifan menghadangku di tengah-tengah untuk memelukku.
"Terima kasih banyak. Tadi itu sangat indah," Zitao bergumam di telingaku sembari memelukku.
"Sama-sama."
"Terima kasih, gadis cantik," Yifan memelukku dengan erat juga. Wow, pria satu ini sangat berotot. Aku tersenyum malu padanya.
"Dengan senang hati. Selamat untuk kalian berdua."
Seluruh keluarga memelukku dan mengatakan padaku bahwa mereka sangat menyukai lagunya, namun mataku mencari-cari keberadaan Chanyeol.
"Kau tidak mengatakan padaku bahwa kau mengenal Kim Juhyun, girl," tukas Kyungsoo pelan dibarengi cengiran. "Aku sangat ingin mendengar cerita ini."
Aku tertawa. "Kita akan bersama sebentar lagi dan akan kuceritakan segalanya padamu."
Akhirnya, aku menemukan Chanyeol, berdiri di belakang kerumunan. Wajahnya tenang, tangannya berada di dalam sakunya, dan cahaya telah hilang dari matanya, dan kecemasan pun menyerangku.
Sesuatu terasa amat salah.
"Hei," sapaku saat mendekatinya.
"Hei," balasnya.
"Apa ada yang salah?" Aku bertanya, namun dia hanya menggelengkan kepalanya.
"Baekhyun, tadi itu luar biasa," Luhan dan Sehun tiba-tiba saja sudah berada di sisi kami.
"Sungguh, Baekhyun, aku kenal beberapa orang," Sehun tersenyum, namun suaranya penuh dengan nada bisnis. "Aku dapat melakukan beberapa pembicaraan lewat telepon pada hari Senin. Kau harus menjadikan menyanyi sebagai mata pencaharian, temanku."
Kugelengkan kepala dan mengangkat tanganku untuk menghentikan mereka. "Tidak, terima kasih."
Mata Chanyeol terpicing, namun dia tetap diam.
"Tapi, kenapa? Baekhyun, musik telah menjadi bagian hidupmu selama aku mengenalmu," Luhan menimpali.
"Itu bukan hidupku lagi sekarang." Aku menggelengkan kepala dan menghela napas. "Aku mencintai musik. Aku akan selalu begitu, namun aku mencintai anak-anakku di rumah sakit." Aku mengendikkan bahu. "Aku bahagia berada disini. Aku tidak butuh menjadi pusat perhatian."
"Jika kau berubah pikiran, katakan saja." Sehun mencondongkan tubuhnya dan mengecup pipiku. "Aku dapat membantumu menjadi seorang wanita yang kaya raya."
"Aku sudah kaya," jawabku sambil tersenyum. "Aku tidak membutuhkan uangnya."
Sehun memiringkan kepalanya dan sebuah senyum perlahan tersungging di wajahnya yang luar biasa tampan. "Cukup adil."
Luhan berkedip padaku dan mereka berjalan menjauh, pergi untuk berbaur dengan tamu yang lain.
"Bicaralah padaku," aku berbisik pada Chanyeol ketika dia tetap membisu, hanya menatapku dengan mata tenang.
Dia menggeleng. "Tidak disini. Kita akan menikmati resepsinya. Tapi kita akan berbicara nanti."
Mulutku ternganga dan aku hanya sanggup memandangnya. Sial, apa yang telah kulakukan?
"Oke," gumamku. Dia mengangguk sekali, tegas, dan memanduku kembali ke kerumunan untuk berbaur dan mengobrol. Dia tersenyum dan memainkan peran sebagai kakak laki-laki yang sempurna selama sisa malam itu, namun tidak pernah menyentuhku. Tidak sekalipun menatapku. Jika aku menyentuhnya, dia menghindarinya.
Hal itu menyiksaku.
"Chanyeol…" aku memulai ketika kami mendapatkan waktu berduaan, kemudian kulihat Juhyun berjalan mendekat dari sudur mataku dan aku menghela napas ketika Chanyeol menegang di sebelahku.
Inilah masalahnya.
"Hei, Baekhyun, kami sedang beristirahat. Inikah Chanyeol?" Juhyun bertanya dan menaikkan salah satu alisnya penuh tanda tanya. "Ayah Zitao menyebutkan bahwa kau telah menawan hati Chanyeol," Juhyun menjawab pertanyaan tak terucapku dan aku menyeringai.
"Ya, ini adalah Chanyeol. Chanyeol ini Juhyun."
Chanyeol mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, namun wajahnya menyiratkan sesuatu kecuali bersahabat. "Halo."
"Hei, aku adalah penggemar berat Seoul football," Juhyun berkata padanya sembari tersenyum.
"Keren," Chanyeol hanya mengatakan itu, dan Juhyun menarik diri, memicingkan mata dan memandang antara Chanyeol dan aku dengan skeptis. Akhirnya, mata gelapnya beradu pandang denganku.
"Masalah?"
Aku menggeleng dan memaksakan seulas senyuman. "Tidak ada masalah."
Kuedarkan pandanganku di sekeliling ruangan, berusaha mencari seseorang yang dapat menyelamatkanku. Walaupun aku sangat ingin mengobrol dengan Juhyun, aku harus berbicara dengan Chanyeol. Kebisuannya membunuhku.
Kyungsoo menangkap tatapanku, dan dengan segera bereaksi, Tuhan mencintainya.
"Juhyun, sudahkah kau bertemu Kyungsoo?" tanyaku ketika Kyungsoo bergabung bersama kami.
"Uh, belum." Dia tidak menatap Kyungsoo, tidak terlalu memperdulikan siapa pun dirinya.
"Dia adalah kakak perempuan Sehun," jelasku lebih jauh, dan dia tersenyum mengenali. Kyungsoo sangat cantik, dan Juhyun menyeringai padanya, mengangguk, namun kemudian mengalihkan pandangannya padaku lagi, dengan sikap seorang kakak yang protektif, merasakan ketegangan antara Chanyeol dan aku. Aku tidak butuh Juhyun memulai sesuatu.
"Kyungsoo," aku menyeringai padanya, "Juhyun tidak bertemu dengan Zitao cukup lama. Bersediakah kau mengantarnya menjumpai Zitao dan mengenalkannya pada Yifan?"
Juhyun terus mencemberutiku, namun kemudian mendesah menyerah dan tersenyum pada Kyungsoo. "Hai, Kyungsoo."
"Panggil saja Kyungsoo," cetusnya dan menyelipkan lengannya di lekukan lengan Juhyun. "Mari kita menyingkir dimana kita tidak merasakan ketegangan disana dan menemukan tempat lain untuk dituju."
Kyungsoo memang blak-blakan.
"Chanyeol, ini gila. Bicaralah padaku apa yang telah kulakukan?"
Namun dengan keras kepala dia tetap memberenggut dan menggeleng lagi. "Tidak disini."
"Kau menakutiku." Bisikku.
"Disini bukan waktu dan tempat yang tepat," lirihnya, masih tidak mau menatapku.
"Saatnya pelemparan buket bunga!" Zitao mengumumkan. "Baekhyun, bawa bokong seksimu kemari!"
Pandanganku tak lepas dari wajah Chanyeol, memohonnya agar berbicara padaku.
"Pergilah, Zitao memanggilmu," dia bergumam dan memunggungiku kemudian berjalan menjauh.
Brengsek.
Para gadis yang masih lajang berkumpul dalam bentuk setengah lingkaran di depan panggung. Dalam kerumunan ini, tidak banyak terdapat gadis lajang, mungkin ada sekitar lima belas orang. Kyungsoo tidak terlihat batang hidungnya dimana pun, mungkin masih mengobrol dengan Juhyun.
Pengkhianatan.
Kupaksakan senyuman di wajahku untuk Zitao dan menantinya dengan sabar melakukan pertunjukan besar melempar buket. Aku berusaha menyingkir ke samping sehingga Jaejong bisa menangkapnya, namun tak dinyana buketnya jatuh tepat di tanganku.
Keparat.
Aku hanya bisa tergelak dan memegangnya diatas kepalaku. Zitao memelukku dan kami berpose untuk foto. Sang fotografernya meminta beberapa pose lagi untuk foto keluarga, dan ketika foto terakhir telah diambil, Chanyeol kembali ke sisiku.
"Apakah semua tetek bengek pernikahan telah selesai?" tanyanya.
"Yeah, yang tertinggal hanya berdansa dan menjadi mabuk," jawabku.
"Bagus, mari kita pergi dari sini."
Kami menghabiskan satu jam berikutnya hilir mudik di ballroom, berpamitan, berpose untuk beberapa foto lagi, dan memeluk Zitao serta Yifan.
"Aku sangat bangga padamu, kiddo," kudengar Chanyeol bergumam ke Zitao.
"Terima kasih," dia tersenyum padanya. "Dan jangan panggil aku seperti itu."
Dia tertawa, gelak tawa yang sebenarnya milik Chanyeol, dan perutku menegang. Astaga, aku sangat menyukai suara tawanya
Aku teramat mencintainya, dan dia akan memutuskan hubungannya denganku, aku tahu itu.
Dia menemaniku keluar menuju trotoar dan meminta supir limo agar mengantar kami kembali ke gereja dimana mobilnya diparkirkan. Begitu kami di dalam limo, Chanyeol duduk di satu sisi limo, dan aku meluncur ke sisi lainnya, tahu diri aku tidak diperbolehkan duduk di sampingnya.
Dan dengan tidak dapat menyentuhnya membunuhku.
Jadi, kubiarkan dia yang memutuskan kapan dia ingin membicarakan apa yang sedang menggerogotinya. Kami duduk dalam diam sepanjang perjalanan menuju gereja. Dia menempatkanku di mobil seksinya, dan kebisuan lagi di sepanjang perjalanan menuju rumahku.
Kusadari dia tidak membawaku kembali ke rumahnya.
Ketika dia memarkirkan mobil di jalan masukku, dia mematikan mesin dan kami duduk dalam keheningan, tidak saling memandang, hanya melihat lurus ke depan.
Akhirnya, setelah terasa seperti selamanya, aku memecah kesunyian.
"Chanyeol," bisikku, "kumohon bicaralah padaku. Aku tidak bisa meminta maaf jika aku tidak tahu apa kesalahanku."
Dia menggosokkan tangannya pada mulutnya dengan kasar, kemudian secara tiba-tiba keluar dari mobil, dan membuka lebar pintu penumpang di sisiku, mengindikasikan aku sebaiknya keluar.
Jadi kulakukan.
Dia mengikutiku menuju pintu, mengamatiku mematikan sistem alarm, dan berbalik untuk pergi.
"Kumohon, jangan pergi. Chanyeol, masuklah dan bicara denganku."
"Aku tidak bisa berbicara padamu," gumamnya, tidak beradu pandang denganku. "Terlalu menyakitkan berbicara padamu, Baekhyun. Dengan menatapmu saja itu membunuhku."
"Brengsek apa yang sedang terjadi?" Desakku, berkacak pinggang. "Jangan menjadi pengecut, Chanyeol, katakan saja apa yang salah!"
"Kau!" Kepalanya tersentak naik, matanya menyorotkan kegusaran. "Aku mengatakan padamu setiap hari betapa aku mencintaimu, Baekhyun." Dia bergerak mendekatiku, wajahnya hanya berjarak seinci dari wajahku. "Setiap hari, aku mengatakannya. Aku menunjukkannya. Aku memastikan kau tahu bahwa aku sepenuhnya jatuh cinta padamu."
Aku menelan dengan susah payah, mataku melebar, dan hanya menyaksikannya mengeluarkan kegundahannya, sementara hatiku mulai hancur. Kurasakan airmata menggenang.
"Namun kau tidak mampu balas mengatakannya," dia melanjutkan. Dia melemparkan tangannya keatas dan berjalan menjauh, namun kemudian dia berbalik padaku, mulutnya membentuk garis suram. "Kau tidak bisa mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku, namun kau dapat begitu saja berdiri diatas panggung di hadapan dua ratus orang-orang terdekat dan paling kukasihi dan mengatakan pada pria lain bahwa kau mencintainya."
Mulutku ternganga dan setetes airmata mengalir menuruni pipiku.
"Aku melihatmu," bentaknya. "Aku melihat kau mengatakan padanya kau mencintainya setelah dia membisikkan hal yang sama di telingamu dan menciummu, yang mana hampir saja dia mendapatkan ganjaran pukulan di rahangnya." Dia mengusap mulutnya lagi dan kemudian berkacak pinggang dan tetes air mata lain jatuh menuruni pipiku.
"Aku sangat mencintaimu, Baekhyun. Aku tidak dapat melihat segala hal dengan jelas. Kau lebih berarti dari apa pun. Lebih dari keluargaku, lebih dari football. Lebih dari apa pun." Dia mengendikkan bahu dan menengadahkan tangannya di sisi tubuhnya, seakan dia memperlihatkanku segala yang dimilikinya.
"Tapi kau tidak bisa mengatakan hal yang sama padaku, walaupun aku tahu kau mencintaiku. Aku hanya berpikir kau tidak mencintaiku seperti aku mencintaimu."
Dia memejamkan mata dan menghela napas, kemudian menurunkan tatapannya padaku, dan kemudian memandang kakinya. Dia berdiri di depanku, dalam balutan setelannya, dan aku amat sangat ingin memeluknya dan mengatakan padanya betapa aku membutuhkannya.
Betapa aku mencintainya.
Perlahan dia mengangkat kepalanya dan menatapku dengan mata coklat kehitamannya yang sedih.
"Jika kau tidak bisa mencintaiku seperti aku mencintaimu, mungkin kita hanya membuang-buang waktu saja." Bahunya mengendur dan dia menjalankan ruas jarinya menuruni pipiku. "Semoga kau beruntung, Baekhyun."
Dia berbalik dan berjalan menuruni undakan tangga berandaku dan menuju ke mobilnya, aku membeku.
Sial apa yang baru saja terjadi?
Dia menjangkau mobilnya, membuka pintu, dan bersiap menyalakan mesin.
"Tunggu!"
ooOoo
.
.
~Chanyeol POV~
Kubuka pintu mobilku, dan jantungku naik ke tenggorokanku, dan aku harus berusaha dengan amat keras menghentikan diriku sendiri dari berlari kembali padanya dan memohon agar dia melupakan semua hal yang baru saja kukatakan.Akan kuterima apa pun yang sanggup dia berikan padaku, selama sisa hidupku, andaikan saja aku dapat memilikinya.
Namun dengan tidak dapat mendengar kalimat itu dari mulutnya yang manis pada akhirnya akan membuatku membencinya, dan itu adalah sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi.
Selamanya.
Aku terlalu mencintai Baekhyun, maka yang terbaik adalah menghindari hal itu terjadi.
"Tunggu!"
Dia terdengar panik. Kupejamkan mataku rapat-rapat dan mencengkeram pintu mobil dengan erat. Masuklah ke dalam rumah, babe.
"Chanyeol, tunggu." Sekarang Baekhyun telah berada di sampingku. Kuturunkan tatapanku pada mata hazelnya yang dipenuhi airmata dan aku harus mengumpulkan segenap tekad yang kumiliki agar tidak memeluknya dan mengatakan padanya bahwa semuanya akan berjalan dengan baik.
Karena aku tidak berpikir demikian.
"Baekhyun, dengar…"
"Tidak, kau yang dengar," dia menyelaku, tangannya mengepal di pinggul mungilnya yang padat, matanya berapi-api.
Aku telah membuatnya murka.
"Kau tidak boleh menjatuhkan bom seperti itu padaku dan kemudian berkendara menuju matahari terbenam, tidak pernah terdengar lagi kabarnya, Park Chanyeol. Dan bila kau pikir kau memutuskan hubungan denganku, kau akan menghadapi hal yang lain."
Aku sangat menyukai ketika dia sedang kesal. Namun ketegangan yang ada di perutku belum juga mereda.
"Chanyeol," dia memulainya dan menarik napas panjang, "Aku mencintaimu lebih dari yang akan kau pahami."
Aku tak mampu bernapas, aku hanya sanggup memandangnya, rahangku seperti jatuh hingga lutut.
"Apa?"
"Tentu saja aku jatuh cinta padamu, Chanyeol." Dia menelan dengan susah payah dan memejamkan matanya. Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa lagi, kutangkupkan wajahnya di tanganku, sentuhan pada kulitnya seakan merupakan penyejuk bagi syarafku yang terbakar, dan membuatnya menatap langsung ke mataku.
"Aku tidak ingin kau mengatakan kalimat itu hanya karena kau takut aku akan memutuskanmu karena tak mengatakan itu."
Matanya tersenyum dan untuk pertama kalinya dalam beberapa jam terakhir ini, ketenangan menjalariku.
"Kau lebih pandai dari itu," dia bergumam dengan suara merdunya. "Dan kau mengenalku lebih baik dari itu."
Kuraup dia dengan kedua belah lenganku, mendorong pintu mobilku hingga tertutup dengan kakiku dan membopongnya masuk ke rumahnya yang mungil.
Aku berencana untuk menjual townhouse ini dan memintanya pindah agar tinggal bersamaku secepatnya.
Yang mana itu berarti tahun depan, dia sangat mandiri. Astaga, aku mencintainya.
Kubopong dia masuk ke dalam ruang keluarganya dan duduk di sofa, memeluk dia diatas pangkuanku. Alis matanya naik hingga garis rambutnya.
"Kupikir kau akan membawaku keatas."
"Nanti," jawabku dan menyusuri bibirnya dengan ujung jariku. "Pertama, ceritakan padaku."
Dia mendesah dan menggigiti bibir bawahnya itu.
"Aku tidak bisa mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu karena dalam hidupku, itu selalu berarti bahwa orang-orang akan pergi." Dia mengangkat bahu dan mengerjapkan matanya, berusaha menahan airmata, dan itu seperti remasan di hatiku.
Aku benci ketika dia menangis, karena dia sangat jarang melakukannya.
"Lanjutkan," aku berbisik dan tersenyum padanya. Aku sangat menyukai rasa dari tubuh mungilnya berada di dekapanku, lembut dan seolah dia memang tercipta untukku.
"Kupikir aku pernah mencintai ibuku ketika aku masih kecil. Aku tidak terlalu mengingatnya," alis matanya mengerut saat dia berpikir keras. "Tapi aku diambil darinya, dan sejujurnya, aku bersyukur karena itu untuk yang terbaik. Namun kemudian aku berpindah dari satu rumah asuh ke rumah asuh lain. Aku bertemu dengan Juhyun di rumah asuh pertama, dan terikat padanya seakan dia adalah penyelamat hidupku, karena bagiku dia memang seperti demikian." Dia menengadah menatapku dengan tatapan mengiba yang tersirat pada mata hazelnya, memohon padaku agar memahami, dan kupikir aku mulai mengerti.
"Dia adalah orang pertama yang kuanggap sebagai keluarga sejatiku. Dia merawatku, dan bersikap baik padaku, dan tidak mengharapkan imbalan apa pun dariku." Dia menelan, dan menghapus airmata di pipinya. "Lalu aku dikeluarkan dari rumah asuh pertama tersebut, dan Juhyun direnggut dariku. Syukurlah aku tidak kehilangan kontak dengannya."
Kupeluk Baekhyun makin erat dan membiarkannya mencurahkan segalanya.
"Posisiku selalu ditegaskan di setiap rumah yang kutinggali, dan itu bukan sebagai bagian dari keluarga. Aku lega ketika negara melepaskanku saat berusia enam belas tahun dan aku bisa tinggal bersama Juhyun."
Dia menarik diri dan menengadah untuk menatapku. "Namun kemudian, setelah bertahun-tahun aku tinggal bersamanya dan kami memiliki band serta hidup berjalan mulus, dia memutuskan untuk membawa band dan pergi ke Jepang untuk terjun ke bisnis musik."
"Mengapa dia tidak membawamu bersamanya?" Tanyaku.
"Juhyun bersikeras aku harus tinggal disini dan mengejar karir keperawatanku. Dia tahu aku sangat pandai di bidang itu, dan aku berusaha keras mencapainya. Dan kurasa dia bisa melihat akibat dari panjangnya jam kerja dan kemudian melakukan pertunjukan langsung di akhir pekan telah mengurasku. Dia tidak ingin aku berhenti menjadi perawat."
Aku mengerutkan dahiku padanya. "Aku benci mengatakannya, tapi itu sangat masuk akal, sweetheart."
"Yeah, saat ini memang," dia sependapat dan mengangguk. "Namun kala itu terasa seperti satu orang yang kucintai, orang yang paling penting yang kucintai pergi meninggalkanku lagi."
"Aku tidak akan meninggalkanmu, baby," aku tidak peduli bila dia membenci panggilan itu. "Aku teramat sangat mencintaimu, Baekhyun."
Dia menangkupkan wajahku di tangannya, seperti yang selalu dilakukannya, dan menyusuri ujung jarinya menuruni pipiku, matanya berpendar bahagia. "Aku juga mencintaimu."
Jawaban yang tak terduga.
"Katakan lagi," aku berbisik.
"Aku juga mencintaimu, Chanyeol" dia balas berbisik.
Aku berdiri dan dengan dia masih berada di lenganku dan membopongnya menaiki tangga menuju kamarnya dan menurunkan Baekhyun hingga dia berdiri. Dengan ujung jariku, kulepaskan tali gaun dari bahunya dan menyaksikan gaun tersebut jatuh dari tubuhnya yang menggiurkan dan terkumpul pada kakinya di lantai.
"Brengsek, kau telanjang di balik gaun itu?"
Dia berdiri di hadapanku hanya mengenakan stiletto hitamnya dan anting berlian, dan yang dapat kulakukan hanyalah menahan diri agar tidak sampai berejakulasi seperti remaja yang bodoh.
Baekhyun tersenyum malu-malu. "Kau jelas berpakaian terlalu berlebihan."
"Lepaskan pakaianku," aku memerintah, kurentangkan kedua tanganku di sisi tubuhku, namun dia menggeleng dan duduk di atas tempat tidur, kemudian menggeser bokongnya ke tengah kasur, masih tetap mengenakan stilettonya.
"Aku ingin menonton," dia menjawab dengan seulas seringai genit, memamerkan lesung pipinya itu.
"Sangat pemalas," aku tersenyum padanya dan tidak dapat lepas dari setelan sialan ini cukup cepat. Matanya menggelap ketika dia menyusuri ketelanjanganku dan aku menyeringai.
Aku akan berlatih setiap hari selama sisa hidupku untuk menjaga tatapan matanya itu saat dia memandangku.
Akhirnya telanjang, aku menaiki tempat tidur dan menutupi tubuh mungilnya dengan tubuhku, pinggulnya menggesekku, kedua sikuku berada di sisi kepalanya, menyingkirkan sedikit rambut dari keningnya menggunakan ibu jariku.
"Aku mencintaimu," suara lirihnya diiringi senyuman bahagia.
"Astaga, aku tidak akan pernah bosan mendengar kalimat itu terucap dari bibir seksimu, babe."
Dia tertawa pelan dan mencengkeram bokongku dengan tangannya. Kutundukkan kepalaku dan menciumnya, dengan lembut pada awalnya, kemudian memagutnya dengan ganas dan menggulingkan kami berdua sehingga posisinya mengangkangi pinggulku.
Baekhyun duduk tegak dan menggoyangkan pinggulnya, menggosokkan kewanitaannya yang telah basah pada kejantananku. Aku menarik napas dalam-dalam melalui gigiku. "Sabar, baby, atau aku akan orgasme sebelum kita sempat memulainya."
"Benarkah?" dia nampak senang dengan dirinya sendiri saat dia meneruskan untuk menyiksaku, dasar penggoda.
"Baekhyun," aku memperingatkannya dan tiba-tiba saja dia meloncat turun dan menghisap kejantananku, membuatku terhentak pada saat bersamaan dan tubuhku terangkat dari tempat tidur. "Persetan!"
Dia tertawa dan menjilat-jilati kepala kejantananku seakan itu adalah sebatang es krim cone, dan kemudian memasukan seluruh batang kejantananku kedalam mulutnya, menghisapnya saat dia mengangkat kepalanya. Kujalarkan jemariku melalui rambut lembutnya dan mendesah.
"Baekhyun, kembali kemari." Dengan keras kepalanya dia menggelengkan kepala dan terus melahap kejantananku.
"Aku bersumpah, Baekhyun, jika kau tidak kemari…"
"Apa?" tanyanya setelah dia membuat suara pop yang nyaring. "Kau akan apa?"
Kucengkeram bahunya dan menariknya keatas kepadaku, menciuminya dengan intens, dan menjulurkan tanganku diantara kami untuk bermain dengan tindikan yang telah teramat kusukai.
Itu membuatnya gila.
"Ah, astaga, Chanyeol," dia mendesah pada mulutku dan aku pun tersenyum.
"Benar begitu, sweetheart, orgasmelah untukku." Pinggulnya bergerak dengan cepat terhadap jemariku, dan aku tahu dia sudah sangat dekat, dan ketika kurasakan dimulainya getaran, kupandu diriku sendiri memasukinya, dan merasakan otot-otot kewanitaannya yang manis melumasi kejantananku saat aku tenggelam semakin dalam dan semakin jauh.
Kukertakkan gigiku dan berpegangan pada pinggulnya dengan erat untuk menjagaku agar tidak orgasme bersamaan dengannya.
Seiring otot-otot kewanitaannya mengendur, aku mulai menggerakkannya, dan dia mengambil alih, menunggangiku dengan kuat dan dalam ritme yang termanis. Dia duduk dan mengangkat lengannya, meletakkan lengan bawahnya di puncak kepalanya ketika dia menunggangiku, dan aku pun menjulurkan tanganku dan menangkup payudaranya di telapak tanganku, memuntir puting yang mengeras dengan ibu jari serta jari telunjukku, membuatnya semakin menggila.
Dia melemparkan kepalanya kebelakang dan menekankan tangannya di dadaku, dan tanganku menyusup diatara kami lagi, menatap kebawah dimana kejantananku terkubur pada kewanitaannya, dan dengan alas ibu jariku kutelusuri klitoris dan tindikannya, dan kurasakan orgasme Baekhyun mulai terbangun lagi.
"Lihatlah, babe," aku menginstruksikannya, dan dia menurut, menatap kebawah pada kami, pada diriku yang sedang membelai klitorisnya, dan dia pun jatuh berkeping-keping, berteriak dengan kencang.
Dia menumpukan tubuhnya padaku, mengepalkan tangannya, dan menggigil, dan aku tak memiliki pilihan selain orgasme bersamanya. Aku menggapai dan menggenggam rambutnya pada kepalan tanganku dan menariknya turun memagutnya dengan sekuat tenaga saat aku orgasme dengan hebat di dalamnya, mendorong naik pinggulku, menenggelamkan kejantananku sedalam yang kumampu.
Dia ambruk diatasku, dan kugulingkan kami pada sisi tubuh kami, dengan kejantananku masih tetap terkubur di dalamnya, menatap pada wajahnya yang merona, mata terpejam, bibir yang sedikit terbuka ketika dia terengah.
Ini, tepat disini, adalah seluruh duniaku.
"Aku mencintaimu, Chanyeol," Baekhyun berbisik, dan aku tidak dapat menahan seringaian lebar di wajahku, atau bagaimana cara kejantananku berkedut di dalamnya akibat kata-kata manisnya itu.
"Aku juga mencintaimu, sweetheart."
ooOoo
.
.
Baekhyun tertidur sekitar satu jam yang lalu, namun aku tak lelah. Aku tidak dapat mengalihkan pandanganku dari wajah manisnya, tidak dapat menghentikan jelajahan jariku melalui rambut lembutnya.Dia mencintaiku.
Aku tersenyum, mengingat bagaimana bunyi kata-kata tersebut keluar dari bibir seksi itu, dan tidak sabar menanti mendengarnya lagi.
Hal itu membunuhku bahwa dia berpikir mencintai berarti pergi, bahwa jika dia mengakui padaku kalau dia mencintaiku, aku akan meninggalkannya.
Sial, aku tidak akan pergi kemana-mana. Dia terjebak denganku, selamanya jika dia akan memilikiku.
Aku ingin lebih mengenal Juhyun, memiliki waktu untuk bercakap-cakap dengannya. Namun lebih dari itu, kupikir Baekhyun membutuhkan waktu bersama Juhyun. Dia tidak terlihat seperti seseorang yang telah menyia-nyiakan Baekhyun malam ini. Dia bersikap protektif dan sangat jelas mencintai Baekhyun.
Aku bergeser perlahan menjauh dari Baekhyun, berhati-hati jangan sampai membangunkannya, mengambil ponsel dari celana panjangku dan menuruni tangga townhouse Baekhyun sembari menghubungi Sehun. Malam telah larut, namun mereka mungkin masih berada di resepsi.
"Wilingston," Sehun menjawab. Dapat kudengar band yang bermain sebagai suara latar, dan gelak tawa orang-orang serta percakapan.
"Hei, aku butuh bantuan."
"Sebut saja," dia menjawab dengan cepat, dan aku nyengir. Luhan telah memilih pria yang baik.
"Aku butuh nomor Juhyun."
"Dia masih di panggung, Chanyeol," Sehun menukas dengan nada kering.
"Jangan jadi sok pintar."
ooOoo
.
.
~Baekhyun POV~
Aku terbangun dengan lengan berat membungkus erat di pinggangku, sebuah hidung menekan pipiku, dan sebuah kaki besar berotot menutupi kakiku.Aku menghela napas dan menggoyangkan tubuh, mencoba untuk meregangkan badan tanpa melepaskan diri dari Chanyeol. Rasanya nikmat, dan setelah tadi malam, aku butuh kedekatan ini dengannya
Dia hampir meninggalkanku.
Dan aku tidak bisa menyalahkan dia.
"Selamat pagi," bisiknya.
Aku menoleh, mengusap hidungku di hidungnya dan menyeringai. "Pagi."
"Tidur nyenyak?" Dia bertanya dan memelukku erat.
"Ya. kau?"
"Aku juga."
"Aku suka bangun bersamamu."
Dia bersandar dan melemparkanku seulas senyum bingung. "Kau bangun denganku sepanjang waktu."
"Tidak," aku menggeleng. "Kau selalu bangun sebelum aku."
"Hmm." Dia mencium keningku dan menautkan jariku dengan jarinya dan kami hanya berbaring di sini dan bangun. "Kau baik-baik saja?" Bisiknya.
"Aku baik."
"Jadi," ia mulai dengan mendesah. "Ceritakan tentang Juhyun."
Aku mengerutkan kening padanya, bingung dari mana ini berasal. "Aku sudah memberitahumu tentang dia tadi malam."
"Tidak, kau mengatakan kepadaku tentang bagaimana kau bertemu dengannya. Aku ingin kau menceritakan tentang Juhyun."
"Kenapa?"
Dia mengangkat bahu. "Sebut saja rasa ingin tahu."
"Chanyeol, dia seperti kakak bagiku..."
"Stop," dia menekan jemarinya di bibirku dan tersenyum menenangkan. "Ini bukan pissing contest. Aku benar-benar penasaran ingin tahu lebih banyak tentang dia."
Aku mencari wajahnya, dan menggosok kedua tanganku di wajahku, memutar tubuh dan menghadapinya. "Oke, aku akan memberikan versi singkatnya."
Chanyeol terkekeh. "Oke."
"Dia masuk ke panti asuhan pada usia dua belas tahun, setelah kedua orangtuanya tewas dalam kecelakaan mobil. Tidak ada satu kerabat pun yang bisa mengurusnya." Aku menghela napas saat Chanyeol cemberut. "Dia bisa saja mengambil jalan hidup yang buruk. Tapi dia hanya menghanyutkan dirinya dalam musik, dan kemudian dia memiliki aku untuk dikhawatirkan, dan terima kasih Tuhan dia begitu keras kepala, atau aku bergidik ngeri memikirkan kekacauan seperti apa yang bisa dia perbuat dalam hidupnya."
Aku berdeham dan menelusuri bahu Chanyeol dengan ujung jariku. "Dia pindah ke Seoul ketika dia berusia delapan belas tahun, berbekal gitar dan dana perwalian yang dipersiapkan dari uang asuransi dari ketika orang tuanya meninggal. Itulah bagaimana ia mampu untuk membantuku membayar sekolah dan pada dasarnya mengurusku begitu lama. Dia pria yang cerdas. Dan dia begitu berbakat."
Aku tersenyum pada Chanyeol. "Menyenangkan bernyanyi dengan dia tadi malam."
"Kalian berdua hebat bersama-sama."
Aku mengangguk. "Rasanya seperti tidak ada waktu yang berlalu," bisikku. "Aku merindukannya"
"Kenapa kau kehilangan kontak ketika ia pergi ke Jepang?"
"Karena aku anak manja." Aku menyeringai pada Chanyeol yang cemberut.
"Kau tidak manja."
"Oh, ya, aku manja. Aku sangat marah ketika Juhyun bilang dia akan berangkat ke Jepang." Aku menggeleng. "Aku bertindak seperti anak kecil yang tidak dituruti keinginannya. Aku hanya tidak ingin dia pergi. Dan itu melukai perasaanku bahwa dia tidak memberiku pilihan untuk pergi bersamanya."
"Dari apa yang kau katakan, kedengarannya seperti dia berusaha menjagamu."
"Memang iya," aku mengangguk setuju. "Tapi itu masih menyakitkan. Aku mencintainya, dan ia pergi. Dan aku terlalu keras kepala untuk tetap berhubungan dengan dia setelah dia pergi. Dan kemudian ketika marah itu mereda, dan aku ingin mendengar suaranya, aku merasa seperti terlalu banyak waktu berlalu, dan aku tidak berpikir ia ingin mendengar kabar dariku." Kalimat terakhir dikatakan dengan berbisik dan air mata menggenangi mataku.
"Aku yakin bukan itu masalahnya," Chanyeol bergumam dan menghapus air mata dari pipiku dengan ibu jarinya. "Tidak peduli seberapa bodoh Zitao bertindak, aku selalu ingin mendengar kabar dari dia."
"Ya," gumamku, tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan.
"Aku pikir kita harus bangun." Chanyeol menarik diri dariku dan melompat turun dari tempat tidur, telanjang dan kusut dari tidur.
"Aku rasa kau harus membawa bokong seksimu kembali ke tempat tidur." Dia menyeringai licik padaku dan menarik selimut dari tubuh telanjangku.
"Tidak, bangun."
"Hey! Dingin."
"Angkat pantat seksimu keluar dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Aku punya kejutan untukmu." Dia menggulung selimut menjadi bola dan melemparkannya di lantai, menghentakkan kaki ke kamar mandi untuk menghidupkan keran.
"Bagaimana dengan seks pagi hari? " Aku berteriak padanya.
"Di dalam kamar mandi!" Ia balas berteriak.
"Maksudmu kita bisa melakukan seks pagi hari di kamar mandi?" Aku berteriak.
Chanyeol muncul di ambang pintu dan menyandarkan bahunya pada pintu, menyilangkan lengan berotot di depan dada, telanjang seperti bayi.
"Aku suka kalau kau telanjang," jawabku gembira dari posisiku di tempat tidur.
"Aku senang mendengarnya," dia tersenyum dan menyilangkan satu kaki di depan yang lain, tampak santai. "Apakah kau akan masuk kamar mandi dengan kekuatanmu sendiri, atau apakah aku perlu menggotongmu ke dalam sana?"
"Kenapa kau begitu suka memerintah pagi ini?" Tanyaku sambil tertawa.
"Aku suka memerintah setiap pagi, babe. Sekarang," ia bergerak menjauh dari pintu dan menuju ke tempat tidur, meraih pergelangan kakiku, dan menarikku ke tepi tempat tidur. "Mari kita masuk ke kamar mandi."
"Oke," Aku menaikkan kedua tanganku, dan dia menarikku berdiri, tapi alih-alih membiarkanku berjalan ke kamar mandi, ia mengangkatku ke bahunya dan membopongku.
"Aku bisa berjalan," kataku padanya dengan nada datar dan menampar pantat kencangnya.
"Tidak cukup cepat."
"Ceritakan tentang kejutan ini," aku menampar pantatnya lagi sebelum ia menurunkanku.
"Tidak. Kau mengatakan sesuatu tentang seks di kamar mandi." Dia mengambil shower gel milikku dan membusakan sebuah lap mandi.
"Aku akan melakukan seks kamar mandi denganmu jika kau ceritakan padaku tentang kejutannya," aku menawarkan dan harus berpegangan pada bisepnya untuk terus stabil saat ia menyapukan lap berbusa di payudaraku dan ke bawah perutku, mendarat di antara kakiku.
"Apakah kau yakin?" Ia bertanya.
"Apa pertanyaannya tadi?"
ooOoo
.
.
"Kita mau kemana?" Aku bertanya dari kursi penumpang mobil Chanyeol."Kau akan lihat. Kita sudah hampir sampai."
"Aku tidak suka kejutan."
"Aku tahu. Kau benar-benar buruk dalam menutup mulut dan membiarkanku melakukan halku, Sayang."
"Kau tidak harus bilang kau punya kejutan bagiku."
"Pelajaran dimengerti," gumamnya dan memarkir mobil di depan café dengan menu omelet-dua belas butir telur.
"Sarapan adalah kejutannya?" Tanyaku dengan alis terangkat.
"Diamlah, Baekhyun."
Dia keluar mobil dan membukakan pintu untukku, menarik tanganku, membungkus lengannya di pinggangku dan memberikan ciuman kasar padaku, di sana, di trotoar.
"Kau bisa membungkamku seperti itu kapan saja, bintang football."
Dia mengedipkan mata dan membawaku masuk ke restoran, melalui bilik lusuh dan ke belakang dimana seorang pria duduk memunggungi ruangan, beanie (topi kupluk) di kepalanya, memakai hoodie (jaket bertudung), tangan bertato memegang secangkir kopi.
Juhyun.
Tatapan lebarku beradu dengan Chanyeol dan dia hanya mengendikkan bahu.
Juhyun balas menatap kami kami dan tersenyum, berdiri, dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Chanyeol. "Hei, man."
"Hei. Aku akan membiarkan kalian mengobrol. Apakah kau keberatan memberikan Baekhyun tumpangan pulang ke rumah ketika kalian sudah selesai?"
"Kau akan pergi?" aku bertanya padanya, kupu-kupu berkerumun acak di perutku.
"Aku hanya akan menjadi pengganggu, dan lagipula tidak akan mengerti lelucon antara kalian." Dia menyapukan tangannya di wajahku, mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telingaku, "Kau akan baik-baik saja. Aku mencintaimu. Hubungi aku jika kau membutuhkanku."
"Aku juga mencintaimu," bisikku dan melihatnya berjalan keluar dari restoran.
"Silakan duduk," Juhyun mengisyaratkan pada sisi lain bilik, dan aku secara otomatis duduk diatasnya dan hanya menatapnya. Beanienya ditarik rendah di dahinya, menutupi tindikan alisnya. Sorot mata abu-abunya senang, tapi berhati-hati seolah-olah dia tidak cukup yakin bagaimana aku akan bereaksi kepadanya.
Dia mencengkeram cangkir kopinya dengan kedua tangan.
"Kau memiliki tato baru di jari-jarimu," bisikku.
"Kau memiliki tato baru di lenganmu," timpalnya.
Aku tersenyum. "Aku sudah lama memilikinya."
"Lagu apa?"
"Dare You To Move."
Dia mengangguk, memahami alasannya. "Bait floor?" Ia bertanya.
"Ya."
Dia mengangguk lagi.
"Berapa lama kau akan berada di kota?" Aku bertanya, berusaha mati-matian untuk memulai percakapan. Tidak pernah sulit untuk berbicara dengan Juhyun. Aku benci ini sekarang.
"Beberapa waktu. Tour telah selesai, dan kami sedang cuti."
"Kupikir kau tinggal di Jepang sekarang." Aku mengerutkan kening.
"Aku punya tempat di sana, tapi aku rindu rumah." Dia mengangkat bahu dan menawarkanku senyuman miring dan aku tidak bisa tidak menatap cincin perak di bibirnya. Itu tampak benar-benar seksi pada dirinya. "Aku merindukanmu, Baekhyun-pie."
"Aku juga merindukanmu," Aku menghela napas dan mengangguk pada pelayan saat ia menawarkanku kopi dan daftar menu di depan kami. "Maafkan aku."
"Ini bukan salahmu."
"Ya, ini salahku."
"Tidak, itu tidak benar. Aku punya nomor ponselmu. Aku tidak pernah meneleponmu juga."
"Kenapa?" Tanyaku.
"Aku tidak berpikir kau ingin mendengar dariku."
"Aku kira kita berdua salah," bisikku dan tersenyum padanya. "Jadi kau akan berada di sini lama, bukan?"
"Yep. Akan mengerjakan album berikutnya, dan hanya bersantai."
"Bagus."
"Jadi, Park Chanyeol?" Dia duduk bersandar pada bilik dan memicingkan matanya padaku.
"Ya." Aku tersenyum malu-malu dan menatap ke bawah pada kopi.
"Kau mencintainya?" Ia bertanya, tanpa basa-basi.
"Lebih dari apapun." Aku menegaskan.
Juhyun mengangguk, mengawasiku. "Dia membuatmu bahagia." Ini bukan pertanyaan.
"Sangat."
"Apakah Yijin masih ada?"
Mataku terbelalak padanya karena terkejut. "Bagaimana kau...?"
"Aku tidak bodoh, Baekhyun. Aku tahu kau menghidupinya. Apakah dia masih ada?"
"Tidak, Chanyeol telah membayarnya."
"Sepertinya dia membuatku senang juga." Juhyun menyesap kopinya, dan aku tertawa, perutku akhirnya santai.
"Bagaimana denganmu? Berpacaran dengan salah seorang groupies?" Tanyaku manis dan dia melempar sachet gula padaku.
"Tidak pacaran. Seks, tak ada masalah. Hubungan, tidak."
" Juhyun..."
"Tidak." Ekspresi wajahnya keras dan aku tahu subjek pembicaraan ini ditutup.
"Keras kepala."
"Sama seperti semua wanita di negara ini, kalian memujaku," Dia menyombong dan meneguk kopi, memukul bibirnya dan tersenyum puas.
"Aku senang melihat kau masih sederhana." Aku menggeleng padanya, sangat senang untuk bisa bersamanya lagi.
"Jadi, ceritakan padaku tentang Chanyeol, dan mengapa aku tidak harus mematahkan lengannya yang berharga karena telah menyentuh adikku..."
ooOoo
.
.
~Chanyeol POV~
Dua bulan kemudian...
"Kenapa kita tidak menyewa sebuah perusahaan jasa pindahan lagi?" Tanyaku sambil membawa kotak ke empat ribu dari truk pindahan ke kamar tidur cadangan."Karena, mereka tidak berhati-hati. Aku tidak memiliki banyak barang, tapi apa yang aku miliki tidak perlu rusak dan hancur." Baekhyun duduk di lantai di kamar tamu, membongkar sebuah kotak.
"Bisakah kau membantu kami menyelesaikan bongkar muat truknya sebelum kau mulai membongkar kotak?" Aku bertanya padanya, berkacak pinggang.
"Hey! Di mana kalian?" Yunho dan Juhyun keduanya datang ke ruang tamu dengan cemberut terpampang di wajah mereka.
"Kalian tidak bisa menyingkir untuk berhubungan seks sementara kami membongkar truk," kata Yunho, menunjuk pada kami.
"Bung, itu adikku," Juhyun menyilangkan tangan di dada dan Baekhyun tertawa.
"Ayolah," aku mengulurkan tanganku padanya dan menariknya berdiri. "Mari kita pergi, pemalas."
Semua saudara laki-laki yang melakukan bongkar muat truk, gadis-gadis yang mengarahkan dimana tempat untuk menempatkan kotak, seakan kami semua buta huruf dan tidak bisa membaca tulisan kamar mandi ditulis dengan spidol hitam di sisi kotak.
Wanita selalu perlu untuk memerintah kami kesana kemari.
Aku mencintai mereka.
Baekhyun bergabung dengan Luhan di dapur, menggabungkan barang-barangnya dengan milikku, dan dadaku membuncah dengan kebahagiaan. Dibutuhkan waktu enam minggu yang panjang, tapi akhirnya aku berhasil membujuknya pindah serumah denganku.
"Kau tahu," Baekhyun mengumumkan pada semuanya. "Kalian semua tidak perlu datang membantu. Aku tidak punya banyak barang. Juhyun dan Chanyeol bisa menangani barang-barang besar."
"Terima kasih banyak sudah menjadikanku sukarelawan," gumam Juhyun sinis. "Kenapa kita tidak menyewa sebuah perusahaan jasa pindahan lagi?"
"Itulah yang aku katakan," aku menyetujui, dan kami berdua mendapatkan pelototan dari Baekhyun. Dia tampak begitu seksi ketika dia kesal denganku.
"Jadi, Kyungsoo," Juhyun berjalan ke arah Kyungsoo, yang mencoba memutuskan dimana tempat untuk menggantung beberapa karya seni Baekhyun yang dibawa bersamanya. "Apa yang kau lakukan nanti?"
"Aku tidak akan bersamamu," dia bergumam dan kami semua meledakkan tawa.
Kyungsoo seorang yang keras. Dia benci omong kosong, dan sangat blak-blakan. Dia juga cantik, dan aku tidak bisa menyalahkan Juhyun untuk mencoba.
"Uh, aku tidak menawarkan, sayang." Juhyun tersenyum puas. "Aku ingin tahu apakah kau ingin aku mengajakmu keluar."
Para gadis terkesiap, dan sorot mata Sehun menjadi sekeras batu, tapi sesaat sebelum ia membuat gerakan menendang bokong Juhyun, Kyungsoo tertawa dan menggeleng.
"Beri tahu aku jika kau berubah pikiran."
"Kau akan menjadi yang pertama tahu." Kyungsoo memalu paku ke dinding dan menggantung gambar yang ada di kakinya. "Tapi asal kau tahu, aku tidak berkencan dengan orang terkenal."
"Aku juga tidak," Juhyun mengedipkan mata dan berjalan menuju ke dapur, menarik bir dari kulkas dan menyesapnya. Gadis-gadis semua tersenyum lebar padanya, dan aku harus mengatakan, aku ingin melakukan toss dengannya.
Tidak mungkin dia akan berhasil membujuk Kyungsoo pergi bersamanya.
Akhirnya, setelah segalanya terasa berjalan seperti berhari-hari, semua orang pergi. Aku mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka saat mereka naik ke mobil mereka dan berlalu, menutup pintu depan dan pergi mencari gadisku.
Aku menemukannya di kamar tamu lagi, membongkar kotak yang sama sebelumnya.
"Apa yang sedang kau lihat?" Aku bertanya padanya dan bersandar ke pintu. Dia tampak begitu muda, duduk di sana di lantai dengan kaus jersey usangku dan celana yoga hitam, rambut diikat ekor kuda dan tanpa make up.
"Aku menemukan foto-fotoku ini yang Luhan potret ketika kami kuliah." Dia membolak-balik foto, dan aku mengerutkan kening dalam kebingungan, dan kemudian kesadaran menghantamku. Luhan mengambil gambar telanjang.
Foto telanjang Baekhyun.
"Perlihatkan padaku." Aku bergerak menjauh dari pintu dan menurunkan diri ke lantai di belakangnya, kakiku di kedua sisi tubuhnya dan menariknya ke dadaku, bokong eksinya berada pada pangkal pahaku.
Dan kemudian duniaku pun terhenti.
Foto-fotonya hitam dan putih. Baekhyun memegang gitar, dan tanpa mengenakan sehelai benangpun.
"Sialan," gumamku sambil Baekhyun membolak-baliknya perlahan-lahan. Pastinya ada dua lusin foto-foto itu, Baekhyun dalam berbagai pose dengan gitar. Rambutnya terurai, membingkai wajahnya. Dia terlihat lebih ramping, dengan cara dimana ketika tubuh seorang wanita berubah dari seorang remaja menjadi seorang wanita. Aku lebih memilih payudara bulat dan pinggulnya sekarang, tapi sialan, bahkan dulu dia sudah memukau.
"Berapa usiamu saat itu?" Tanyaku.
"Sembilan belas," jawabnya malu-malu, melihat ke foto-foto itu.
Dia sampai pada foto yang terakhir. Dia duduk bersila di tempat tidur berselimutkan seprai putih yang telah berantakan. Lengannya melilit gitar, dan gitar itu menutupi dia sepenuhnya, tapi itu adalah foto terseksi dari semuanya. Wajahnya segar, matanya yang lebar menatap ke kamera, dan dia menggigit bibir bawahnya.
"Bolehkah aku menyimpan yang itu?" Aku bertanya.
"Tentu. Kau dapat menyimpan semuanya."
"Benarkah?" Aku menjalankan tanganku ke atas dan ke bawah lengannya dan mencium lehernya, tepat di bawah telinganya. Aku yakin dia bisa merasakan betapa foto-foto ini telah membuatku terangsang.
"Aku tidak membutuhkan ini." Dia bersandar padaku dan memutar wajahnya manis padaku. Aku menjalankan jari-jariku di pipinya dan mencium hidungnya, lesung pipinya dan kemudian bibirnya.
"Kau cantik, Baekhyun. Dulu dan bahkan lebih lagi sekarang."
"Aku senang kau berpikir begitu."
"Aku senang kau di sini, di rumah kita bersamaku."
Dia tersenyum lebar, matanya bersinar bahagia, dan aku akan melakukan apapun untuk menjaga kebahagiaan itu selama sisa hidupnya.
"Aku juga. Bisakah kita telanjang sekarang?"
"Aku pikir kau tidak akan pernah bertanya, sayang."
TAMAT
.
.
.
Sebagai acara penyambutan Ulang tahun Baekhyun, ada beberapa author yang mengadakan update jamaah, siapa saja mereka
-Azova10
-Park Shita
-Baekkicoet (on wattpad)
Jangan lupa mampir ke lapak mereka yaaaa~
sekali lagi, Happy Birthday uri Byun Baekhyun!