Belenggu

Disclaimer : Naruto belongs to ©Masashi Kishimoto

Storyline by Yukirin Shuu

Pair : Uchiha Sasuke x Uzumaki Naruto

Rated : T/M

Warning! This content may include Boyslove/ShounenAi/Yaoi/AU/Typo/etc.

I do not take any profits towards this creation.

Just being an ordinary author that undertake her favorites.

Please enjoy

.

.


Sore, tanpa ada yang menemani rasanya tidak cukup untuk membuat suasana hati menjadi baik. Tapi, tidak bagi Naruto. Walaupun pemuda yang terkenal berisik, hiperaktif, dan hidupnya tak jauh-jauh dari keonaran itu paling menyukai kesendiriannya di waktu-waktu tertentu. Semua orang pastinya memiliki me time bukan?

Itu pun jika kau masih menikmati hidup.

Naruto menuruni anak tangga yang menghubungkan langsung dengan ruang tamu di lantai satu. Iris sapphirenya menelusuri setiap sudut rumah yang terlihat kosong tak berpenghuni sore itu. Ia mendengus bosan.

Pesta yang sebelumnya sempat dibicarakan oleh Kushina terpaksa harus ditiadakan karena wanita itu pergi untuk menghadiri pertemuan dengan para tetua Uzumaki di luar kota. Lalu, ayahnya seperti biasa melakukan perjalanan bisnis di Asia Tenggara entah di negara mananya, Naruto tidak terlalu memikirkan. Sedangkan Shion, si wanita jantan itu sedang membeli persediaan bahan makanan untuk mengisi kembali kulkas-kulkas besar itu di dapur.

"Ya sudah, aku pergi saja." Gumam Naruto sambil mengangkat kedua bahunya tak acuh melenggang pergi menuju pintu utama. Ia hanya mengenakan hoodie berwarnakan olive, jeans hitam yang melekat pas di kakinya, serta slip on andalannya.

Ia berjalan menyusuri pekarangan rumahnya yang tidak bisa di bilang kecil. Jaraknya sekitar sepuluh meter menuju gerbang terluar. Naruto merengut kesal saat pikirannya terlintas akan hal itu. Seorang pelayan wanita yang tengah membersihkan pancuran air tak jauh darinya menyapa Naruto, membuat sang empu menolehkan kepalanya.

"Tuan, apa kau ingin pergi? Biar kupanggilkan supir untuk mengantar." Sahut pelayan wanita tersebut padanya. Naruto memperhatikan wanita tersebut dengan seksama, lalu tertawa ringan.

"Tidak perlu. Aku akan pergi sendiri, sampai jumpa." Pelayan wanita itu berniat untuk membuka mulut kembali, namun ia urungkan ketika melihat Naruto langsung meninggalkan tempat.

Kaki jenjangnya berlari kecil, membuat surai pirangnya yang berantakan bergerak melawan angin sesuai irama. Tidak seperti tubuhnya yang berlari santai, wajahnya melotot terlihat tegang. Sepertinya ia akan bersiap-siap menanggung linu pada kakinya. Ugh.

Naruto beruntung kediamannya tidak terlalu jauh dari pusat kota. Ia bisa kapan saja berjalan-jalan mengelilingi banyak tempat di sana.

Berbagai macam bentuk papan etalase toko menyambut keramaian kota sore itu. Rasanya tidak pernah bosan melihat kesibukan kota nan padat itu, atau tidak?

Restoran ramen terkenal yang selalu penuh pelanggan, pusat perbelanjaan mulai dari harga-harganya yang terjangkau hingga level fantastis, gaya berpakaian dengan beribu-ribu konsep, game center yang selalu mempunyai produk keluaran terbaru mereka, dan para pekerja baik mereka yang melayani toko, ataupun kantoran dengan cekatan. Kira-kira, seperti itu pemandangan yang biasa tersaji dalam kehidupannya di pusat kota.

Bersama kerumunan orang lain, Naruto berjalan. Matanya sibuk mengamati setiap detail tempat yang ia lewati, berpikir mengenai tempat yang akan ditujunya sekarang. Kakinya terus berjalan, melewati toko bercat merah muda yang diketahui sebagai tempat pernak-pernik khas perempuan, lalu melewati bangunan toko dengan gaya modern susunan bata tanpa plester yang merupakan tempat barang antik. Oh, ia bisa melihat guci peninggalan zaman dinasti Ming dengan harga yang selangit itu. Well, khas Cina sekali, pikirnya.

Langkah Naruto terhenti tepat di depan bangunan bergaya retro yang di dominasi oleh warna cokelat. Matanya melihat papan tulisan yang menggantung di samping pintu masuk.

Stone Cafe

Okay, mereka tentunya tidak melayanimu dengan bongkahan batu. Pemuda pirang itu melangkahkan kakinya memasuki tempat tersebut. Dirinya di sambut oleh harum cendana yang merasuk ke Indera penciumannya. Berbicara mengenai visual tempat, seluruh interiornya terbuat dari batuan, lantai yang terbuat dari marmer dengan pola geometris dan dinding berbentuk kurva yang terbuat dari batu granit. Suasana elegan tetapi terasa luas dengan plafonnya yang tinggi menyambut hangat orang-orang yang berdatangan.

Naruto berjalan menuju counter. Manik birunya menyisir satu per satu papan list yang memaparkan berbagai macam menu dari jenis latte sampai kopi.

"Ingin pesan sesuatu?" pertanyaan dari pelayan perempuan yang terlihat sepantaran dengannya membuat Naruto memutarkan kedua bola mata.

Sudah tahu aku kesini untuk memesan, batin Naruto jengkel. Hal itu membuat pelayan perempuan tersebut memberi senyum paksa.

Aku hanya melakukan tugasku tahu!, rutuk dalam hati pelayan itu yang berdiri dihadapannya. Seakan memiliki chemistry yang kuat di antara mereka. Ia masih mempertahankan senyumnya yang terlihat aneh di mata Naruto.

"Satu piccollo." Sahut Naruto datar. Matanya memerhatikan gerak-gerik pelayan dengan name tag 'Yamanaka Ino' itu yang tengah mencatat pesanan.

"Okay, sepuluh menit minuman akan di sajikan. Apa ada lagi yang ingin kau pesan?"

"Tidak."

Setelah memesan dan memberi beberapa lembar uang, Naruto berjalan menuju susunan bar stool dengan meja kayu memanjang yang berhadapan langsung dengan sajian pemandangan orang-orang berlalu lalang di trotoar pejalan kaki terbatasi oleh sekat kaca. Ia menempatkan pantatnya pada bar stool bergaya retro klasik tersebut, menopang sebelah pipinya seraya memandang bosan pada jalanan di sana.

Naruto merogoh saku celananya, mengambil benda persegi panjang hitam miliknya dan menyalakannya. Matanya melirik datar pada deretan track lagu yang digulirnya, lalu memilih sebuah karya Skylar Grey setelah memasang earphone di telinganya.

Born on the wrong side of the ocean

With all the tides against you

You never thought you'd be much good for anyone

But that's so far from the truth

Sekitar sepuluh menitan, pelayan wanita yang sebelumnya melayaninya datang bersama sebuah Piccollo. Dilihatnya si pelanggan tengah sibuk memperhatikan pemandangan yang ada di depannya. Sekilas Ino melihat ponsel hitam yang tengah memutar sebuah lagu di sana.

I know there's pain in your heart

And you're covered in scars

Wish you could see what I do

"Ini minumanmu." Sahut Ino menyadarkan Naruto yang langsung menoleh ke arahnya.

"Terima kasih." Ujar Naruto mengambil paper cup berisi Piccollo berukuran sedang, hendak meminumnya. Dilihatnya pelayan wanita itu masih belum meninggalkan posisinya. Ia memperhatikan pelanggannya dengan cermat seraya berkacak pinggang.

'Cause baby, everything you are

Is everything I need

You're everything to me

"Kau menyukai Skylar?" menyadari pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, Naruto kembali menolehkan kepalanya.

"Yeah," balas Naruto ala kadarnya. Sepertinya wanita ini melihat ponselku, batin Naruto. Ino yang mendengar responnya memekik gembira.

"Kupikir di kota ini tidak ada yang mengetahuinya." Ucap Ino diiringi dengan tawaan kecil, sedangkan Naruto hanya tersenyum tipis.

"Boleh aku bergabung?" pertanyaan wanita tersebut otomatis membuat Naruto menganggukkan kepalanya. Ino bergerak cepat dengan senyumnya yang belum luntur. Wanita itu sedang menahan diri untuk tidak berteriak keras saat ini. Wajar saja, rata-rata sifat perempuan memang bisa brutal jika sudah menyangkut sang hobi.

"Aku Ino." Ujar pelayan tersebut memperkenalkan diri.

"Seperti yang tertulis ditanda pengenalmu." Ujar Naruto tersenyum sambil mengangkat sebelah alisnya. Ino yang mendengarnya tertawa ria.

"Kau tidak berniat untuk memberitahu namamu?" tanya Ino sambil tersenyum simpul. Naruto yang melihatnya mendengus kecil.

"Naruto." Sahut pemuda pirang tersebut datar. Keduanya berjabat tangan dengan Ino yang terlihat bersemangat, dan Naruto yang berusaha menormalkan dirinya.

"Kau SMA?" pertanyaan Ino dibalas anggukan kecil oleh Naruto. Ino memandangi secara detail keseluruhan wajah pemuda yang duduk di sampingnya itu. Ia akui jika wajah Naruto manis mengarah ke apa? Cantik? Aneh juga, tapi tidak buruk.

"Bagaimana denganmu? Kupikir sepertinya kita seumuran." Ujar Naruto membuat kontak mata pada manik aquamarine yang tengah memandangnya.

"Yeah, aku SMA tahun ketiga." Sahut Ino terselip nada bangga. Well, Naruto tidak terkejut mendengarnya. Tapi apa wanita di sampingnya itu seorang part-timer?

"Kau kerja sampingan disini?" Ino menganggukan kepala sambil mengatupkan bibirnya.

"Keluargaku membuka toko bunga. Di waktu-waktu tertentu aku menjaganya, dan sekarang aku sedang mengambil shift siang di cafe." Naruto menyimak penjelasan Ino sambil manggut-manggut.

"Hei, kupikir kau menyebalkan, tapi sepertinya tidak sepenuhnya." Perkataan Ino membuat Naruto mendengus kesal, lalu memalingkan wajahnya ke depan. Ino yang melihatnya tertawa lucu sambil memukul kecil bahu pemuda pirang tersebut.

Manusia berbeda gender tersebut larut dalam percakapan di antara keduanya. Orang aktif bertemu orang cerewet sangat cocok dijadikan dalam satu keadaan. Walaupun tak lepas kemungkinannya akan berkonflik juga.

Baby, every single part

Is who you're meant to be

'Cause you were meant for me

And you're everything I need

Tidak menyadari sepasang manik kelam memperhatikan keduanya dengan lekat.

.

Sosok jangkung bertubuh atletis yang berjalan seorang diri mengundang beberapa pasang mata untuk mencuri pandang ke arahnya. Tangan kanannya menggenggam kantung kertas berisi beberapa baguette yang mengintip dan beberapa buah di dalamnya. Sebatang rokok terselip di kedua belah bibirnya.

Pria raven yang belakangan hari ini menggantikan posisi kepala sekolah di tempat bekerjanya, mengenakan setelan kemeja putih dipadu long coat hitam berbahan wol saat ini. Niatnya, setelah mengunjungi beberapa market, ia akan kembali mengendarai mobilnya yang terparkir tak jauh di pinggiran trotoar pejalan kaki. Iris hitam dengan bentuk kelopak matanya yang menajam itu selalu menatap lurus jalannya. Namun, entah angin apa yang membuat matanya melirik pada sebuah bangunan khas klasik di pinggirnya. Seketika langkah panjangnya terhenti. Pandangannya terfokus pada sebuah objek yang berada di dalamnya yang terbatasi sekat kaca. Kedua alisnya menyatu.

"Apa dia sedang kencan, huh?" sahutnya tanpa emosi entah pada siapa. Entahlah, mungkin suaranya saja yang terdengar datar, namun hatinya?

Meh.

"Sepertinya aku harus memberi pelajaran sedikit." Gumamnya seraya berjalan menuju pintu masuk ke tempat tersebut. Jemari panjangnya mengambil benda batangan yang terselip di bibirnya, lalu mematikannya di atas permukaan stainless bins.

Di sisi lain, iris aqumarine milik Ino tidak sengaja menangkap sosok tampan memasuki cafe. Mulutnya yang sebelumnya menyerocos panjang, terhenti. Naruto yang menyadarinya mengangkat sebelah alis, heran melihat perubahan raut wajah Ino yang tiba-tiba.

"Ada apa?" tanya Naruto datar. Tangan Ino memukul kecil bahunya seraya menunjuk sesuatu di belakang Naruto.

"Lihat, lihat!" Naruto mengikuti arah telunjuk Ino ke belakang.

"Dia tampan sekali!" desis Ino meremat bahu Naruto. Berbanding terbalik dengan Ino yang sedang histeris tak karuan, entah kenapa seluruh tubuh Naruto membeku.

Bukannya itu si muka tembok!?

"D-dia tampan, benar!? Auranya berbeda dan berkharisma, seakan tidak bisa disentuh oleh orang biasa." Berlebihan, batin Naruto memutar kedua bola matanya jengah. Apalagi mengingat siapa laki-laki itu? Oh, Uchiha Sasuke.

Tapi, Sasuke memang pantas kan?

Well, entahlah. Naruto tidak menyukainya. Padahal, pemuda pirang itu juga tidak kalah tampannya bukan dengan guru palsu itu?

"Hei, aku harus kembali melayani. Kau masih belum ingin pergi 'kan?" tanya Ino sudah beranjak dari duduknya hendak pergi ke counter.

"Yeah, aku masih lama." Balas Naruto ala kadarnya. Nadanya terkesan malas jika moodnya sudah seperti ini.

"Okay, aku harus kembali."

Padahal 'kan masih ada pelayan lain, pikir Naruto mengernyit aneh. Dasar wanita centil!

Sepeninggal Ino, Naruto kembali mengalihkan atensinya pada ponsel miliknya. Jemarinya mengetuk-ngetuk beberapa kali pada layar ponsel, berniat untuk memainkan game yang sering dibukanya jika bertemu waktu luang.

"Sedang kencan?" suara bariton terkesan dingin hinggap di indera pendengaran Naruto. Dilihatnya seorang pria raven tengah mengambil posisi duduk di sampingnya, tepat di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Ino.

"Apa urusanmu?" ujar Naruto datar, tidak mengambil perhatian pada pria raven di sampingnya.

"Kupikir kau sedang berkencan dengan seorang part-timer di sini." Sahut Sasuke seraya mengangkat bahunya tak acuh.

"Huh, aku memang sedang mempertimbangkan untuk menjadikannya kekasih atau tidak," ujar Naruto ringan. Mata birunya sekilas melirik ke arah Sasuke yang juga tengah memandangnya, lalu beralih pada Ino yang sedang melayani beberapa pelanggan lain. Kebetulan Ino tak sengaja melihat ke arahnya dan tersenyum manis melihat Naruto. Pemuda pirang itu kembali menatap sosok guru penggantinya itu di sampingnya.

"Dia cantik juga 'kan." Sambung Naruto mengedipkan sebelah matanya sambil menyeringai kecil. Diam-diam rahang tegas pria bermarga Uchiha di sampingnya itu mengeras. Berani juga bocah ingusan ini bertingkah genit untuk orang lain. Dihadapannya pula!

Huh, lihat pembalasannya, dobe.

Sasuke terkekeh pelan. Hal itu membuat pemuda pirang di sampingnya sedikit terkejut. Bahkan, dirinya yang hendak memulai bermain game sudah kalah terlebih dahulu sebelum mulai. Naruto meletakan ponselnya di meja, lalu menatap tajam pada pria raven tersebut.

"Kau tahu? Keberadaanmu selalu membuat suasana menjadi panas." Sahut Naruto berwajah masam. Sasuke yang mendengarnya mengangkat sebelah alis.

"Aku membuatmu panas?" tanya Sasuke yang entah kenapa malah terdengar ambigu. Naruto mengusap wajahnya kasar menahan emosi.

"Kenapa kau disini? Apa kau sedang menguntit seseorang!? Astaga. Wajahmu bisa ada di berita harian dengan judul Seorang guru yang menguntit siswa didiknya." Jelas Naruto dengan nada mencemooh diiringi suara tawaan yang tertahan.

"Kau pikir aku menguntitmu?" pertanyaan Sasuke yang terdengar tajam hanya dibalas anggukan bahu ringan dari Naruto. Percaya diri sekali remaja pirang ini!

"Kota ini tidak sesempit kamarmu." Sahut Sasuke dingin.

Wahai Uchiha Sasuke, berkacalah. Kau pun sama percaya dirinya dengannya.

"Entahlah, kau selalu muncul dimana-mana." Ujar Naruto terdengar tidak berminat melanjutkan pembicaraan. Ia menyembunyikan wajahnya dilipatan lengannya. Jujur, sebenarnya mood Naruto memburuk!

Sasuke mendecih, mengalihkan perhatiannya pada sekat kaca yang menampilkan pemandangan orang-orang berlalu lalang. Tak lama, segelas espresso datang bersama pelayan yang tersenyum ramah kepadanya.

"Pesananmu, tuan." Ujar si pelayan. Ah, wanita ini. Sasuke terkesan tak menghiraukan keberadaannya. Jemarinya belum ingin menyentuh gelas yang berisi cairan hitam pekat kesukaannya itu. Entahlah, tiba-tiba saja ia mengingat perihal perkataan Naruto tentang wanita ini. Soal menjadikannya kekasih? Yang benar saja!

Tidak ada yang boleh mendahului langkah Uchiha tahu!

Melihat dirinya tidak dihiraukan oleh pelanggan pria tampan nan rupawan itu, Ino tersenyum kikuk. Wanita itu segera mengundurkan diri, tapi bukan berarti Ino pergi meninggalkan tempatnya begitu saja. Wanita itu mendekat kearah Naruto yang masih menelungkupkan wajahnya di meja, hendak untuk menyadarkannya.

"Mmh?" gumam Naruto mengangkat kepalanya saat dirasanya seseorang menyentuhnya.

"Kau tidur? Apa aku mengganggu?" tanya Ino terlihat sungkan saat mendapati Naruto yang kurang baik posisinya untuk diajak berbicara. Naruto menggelengkan kepalanya sebagai respon.

"Yokatta! Hey, hey!" sahut Ino terdengar berbisik. Kini posisi Ino berada di samping kiri Naruto mengingat tempat duduk sebelumnya telah ditempati oleh pria tampan itu.

"Apa?" tanya Naruto malas.

"Kau mengenalnya?" bisik Ino terdengar senang sambil mencuri-curi pandang. Jemarinya tak henti-henti bergerak di lengan Naruto. Bukannya meladeni Ino, pemuda pirang itu kembali beralih pada ponselnya. Ino yang mendapati hal itu merengut dan mencubit kecil lengan Naruto hingga membuatnya terpekik. Sasuke yang menyadarinya melirik objek di sampingnya itu.

"Apa aku mengganggu kencan kalian?"

Suara bariton yang terdengar dingin, angkuh, dan terselip nada mengejek membuat dua orang bersurai pirang berbeda gender di sampingnya itu menoleh bersamaan. Ino, wanita berkulit putih dengan wajahnya yang merona terlihat salah tingkah, sedangkan Naruto memasang tampang cengo, tidak mampu mencerna kata-kata dari guru palsu itu.

"Kau cemburu?"

Nice shot, Naruto!

Entah angin apa yang merasuki kepala pirang acak-acakan itu hingga dengan mulusnya terlontar pertanyaan yang terdengar sebagai sebuah sindiran. Naruto tersenyum penuh kemenangan saat tidak mendapat respon apapun dari Sasuke yang hanya memandangnya datar, tanpa emosi.

"A-ah! T-tidak tuan! Kami tidak berkencan, sungguh! Hanya sebuah perbincangan ringan, benarkan Naruto!?" ucap Ino tertawa ringan, lalu menatap tajam kearah Naruto yang tengah memandangnya tidak mengerti. Secara tidak langsung dirinya sudah ditolak oleh pelayan pirang itu dan dan arghh-

Sasuke menyeringai kecil kearahnya.

Sialan. Senjata makan tuan. Padahal 'kan Naruto ingin memamerkan kemampuannya! Tapi kenapa!? Ia tidak benar-benar menyukai Ino, kok! Ia hanya ingin menunjukkan pada Sasuke! Lagipula, apa yang salah dengan dirinya!? Sasuke pintar, Naruto punya itu. Sasuke termasuk konglomerat, Naruto juga tidak kalah 'kan?

Sasuke tampan, err-

Naruto juga punya itu, iya 'kan?

HEY! NARUTO ITU TAMPAN! PERCAYA PADANYA! Lalu, manis menjurus cantik itu siapa?

"Aku tidak mungkin berkencan dengan pria cantik-manis ini 'kan? Bisa-bisa mereka semua bingung kenapa aku mengencani seorang wanita." Perkataan Ino yang diiringi tawaan ringan membuat tubuh Naruto merasa tertusuk jarum kecil, namun sakitnya mampu melumpuhkan seluruh sarafnya. Ia bisa saja mati mendadak dengan penghinaan seperti itu!

"Jaga bicaramu Yamanaka! Ucapanmu tidak untuk sekarang, mungkin besok, atau nanti. Aku tidak menjamin jika hidupmu akan damai." Suara rendah pemuda bermarga Uzumaki tersebut sempat membuat bulu kuduk Ino berdiri. Iris sapphire yang cerah itu memang sangat indah, namun kehangatannya seakan sirna tertelan oleh kata-katanya. Naruto beranjak berdiri hendak meninggalkan cafe. Sasuke yang sedari tadi menyimak keduanya dengan diselingi oleh kegiatan menyesap espresso miliknya mengikuti arah pemuda pirang itu yang keluar dari cafe.

Hah, sore yang menyenangkan, pikir Sasuke.

Berbeda dengan dua laki-laki pelanggannya yang sudah meninggalkan cafe, Ino masih berdiri mematung. Sebuah kain persegi berwarna putih menyita perhatiannya. Wanita itu mengangkat sebelah alisnya saat melihat sapu tangan tertinggal di kursi yang sempat Naruto duduki tadi.

Jalinan serat benang berwarna keemasan membentuk sebuah tulisan pada tepi kain. Di sana tercetak sebuah marga yang mampu membuat Ino melebarkan kedua bola matanya hingga terasa sakit.

Uzumaki.

Wanita itu menelan ludahnya. Sepertinya ia berada dalam bahaya. Ino masih ingat benar perkataannya mengenai tampang dari pemuda pirang bernama Naruto itu. Ia mengatakan Naruto mirip perempuan!?

Hah, bodohnya.

Jika saja Ino menyadari lebih cepat ucapannya tentang pria manis cantik yang ditujukannya pada Naruto. Ia bisa terseret ke dalam masalah bersama orang-orang Yakuza itu!

Tubuh Ino melemas. Ya ampun. Apa dia akan segera dihabisi hingga mereka hanya menyisakan dirinya menjadi seonggok tulang belulang!?

"Tuhan, tolong aku. Aku masih mencintai kehidupanku," gumam Ino lemah. Menguap sudah semangatnya tadi. Kepalanya merasa pusing tiba-tiba. Kenapa Ino baru terpikir jika selama ini Naruto juga SATU SEKOLAH DENGANNYA!?

BENAR, DIA!

Si bodoh yang gemar berbuat onar, berkelahi dengan guru, dan pembangkang. Tapi kenapa wajahnya seakan melupakan semua fakta itu!?

Naruto memang menyebalkan, Ino akui saat mereka bertatap muka di counter. Dengan tidak sopannya pemuda itu memutar kedua bola matanya. Padahal, sebagai pelayan yang mengerjakan tugasnya dengan baik Ino harus tersenyum ramah.

Jujur, sebenarnya itu pertama kali Ino langsung bertatap muka dan merasa akrab dengan pemuda pirang yang ternyata si biang kerok itu. Bahkan, si pirang itu menyukai penyanyi yang sama dengan Ino. See?

Naruto anak yang asik untuk diajak berbicara. Walaupun sifatnya memang sedikit menjengkelkan, tapi itu normal.

AGH TETAP SAJA!

Ino telah berurusan dengan pemuda Yakuza yang sudah meluas popularitasnya itu sejak dulu!

"Is who you're meant to be.. "

Dan jangan tanya siapa yang bernyanyi dengan nada sedih seperti itu.

.

"Dobe."

Langkahnya yang serampangan terpaksa harus terhenti karena tangan kekar yang menahan lengannya cukup membuatnya sakit.

"Apa kita ada urusan, Sir?" sahut Naruto melempar senyum saat berhasil menyentak pria raven yang ternyata mengikutinya itu. Berbanding terbalik dengan senyum ringan di wajahnya, nada suaranya terdengar tertahan, bersiap untuk menyemprot orang dihadapannya saat ini.

Dan Sasuke semakin yakin jika bocah pirang itu mengidap gangguan mental disorder melihat perubahan mood swingnya yang begitu cepat.

"Mau kemana?"

"Sekali pun aku ke neraka, itu bukan urusanmu." Sahut Naruto kesal, kembali melanjutkan langkahnya yang masih di ikuti Sasuke dari belakang.

"Ya, aku yang akan menjadi nerakamu, usuratonkachi." Sahut Sasuke datar, namun penuh penekanan.

"Benar-benar! Aku tidak tahu apa yang kau inginkan, Sasuke! Jangan selalu menggangguku!" nada bicara Naruto meninggi dan terengah-engah sesaat setelah menyelesaikan seluruh kalimatnya dengan segenap emosi. Sedangkan, yang dituju hanya menjadi pendengar yang sangat baik. Sangat kontras sekali seperti sepasang sepatu yang saling melengkapi. Whoopsie! Jangan harap Sasuke!

"Sudah?" tanya Sasuke ala kadarnya. Naruto menghembuskan nafasnya lega. Dilihatnya Naruto memandang tanpa emosi seraya menyisir rambutnya ke belakang, lalu membalikkan tubuhnya hendak melanjutkan langkahnya yang kedua kali. Dengan kurang ajarnya, Sasuke langsung menarik (baca:menyeret) pemuda pirang itu untuk mengikutinya. Entahlah, apa yang membuat Naruto tidak bisa melepas genggaman tangan guru palsunya itu yang terasa kuat sehingga dirinya mengikutinya begitu saja.

"Kau mau menculikku?" tanya Naruto datar tanpa emosi. Seakan percikan api pada emosi sebelumnya meluap entah kemana.

"Menyekapmu." Sahut Sasuke dingin. Dengusan kasar bisa ia dengar dari pemuda blonde yang sedang di seretnya. Sesekali langkahnya terselandung oleh batuan kecil.

"Hei! Bisakah kau pelan-pelan!? Aku hampir jatuh beberapa kali!" protes Naruto. Sasuke langsung mendorongnya masuk ke dalam mobil saat mereka sampai pada Bugatti Divo yang terparkir indah di pinggiran trotoar pejalan kaki.

Naruto duduk diam melihat Sasuke berjalan memutari untuk masuk ke pintu mobil. Dengan cekatan pria raven itu langsung menancap gas mobilnya.

"Uchiha Sasuke~ pria jelek minim ekspresi~ bersama wajah temboknya yang setia~" nyanyian yang terdengar datar dengan nada acak terlontar halus dari mulut Naruto selama perjalanan. Tidak menyadari urat kekesalan yang perlahan muncul pada wajah stoic pria di sampingnya itu semakin terlihat jelas.

Dengan membuat Naruto terkejut hingga terjungkal hampir mengenai headboard, Sasuke menginjak pedal rem mobilnya sampai mengeluarkan suara decitan yang keras. Kepalanya menoleh ke arah pemuda yang berstatus sebagai murid di sekolahnya itu sekarang.

"Jaga bicaramu, Uzumaki Naruto!" sahut Sasuke dengan nada rendah memandang tajam, dan menusuk pada iris sapphire yang tengah menatapnya seperti orang bodoh akibat keterkejutannya.

"Aku bisa menghancurkan semua nilaimu jika kau mau. Dengan begitu, Kushina baa-san akan semakin mudah untuk membuangmu ke desa terpencil." Mungkin selama hidupnya, itulah kalimat terpanjang yang pernah Uchiha Sasuke katakan. Bisa dilihat wajah tan bocah pirang itu memucat sebagai dampaknya.

"Jangan pernah bermain-main denganku, Naruto." Mata elangnya mengeluarkan sebersit sinar bahaya bersamaan kalimat terakhirnya terucap. Pria raven itu kembali menancap gas, meninggalkan bekas roda yang bergesekan pada jalanan.

"Tidak, atau selamanya."

.

Naruto masih fokus pada ponselnya. Terhitung dalam perjalanan sejak Sasuke memarahinya, keduanya sangat membisu, tenggelam pada atmosfer yang mencekam.

Naruto tidak nyaman, sungguh! Ia ingin melompat keluar dari mobil, tidak apa-apa jika tubuhnya babak belur karena aspal. Jika saja mobilnya ini bisa mendukungnya dengan mudah untuk loncat.

Sebenarnya, ia sedikit ciut saat menghadapi sosok pria raven nan dingin di sampingnya sempat membentaknya tadi. Huh! Tidak seberapa. Aku tidak takut padanya. Kira-kira seperti itulah pikiran yang terus berputar-putar di benak Naruto. Tapi, mau bagaimana lagi? Ia malas mendengar ocehan orang dewasa itu. Ralat, sok dewasa. Umur mereka hanya terpaut enam atau tujuh tahun saja kok!

HANYA!?

"Dasar orang tua!" gumam Naruto sangat kecil, namun membuat Sasuke mengernyit tidak suka saat tidak sengaja mendengar.

"Ulangi bicaramu."

"Apa!? Aku diam saja daritadi!" sahut Naruto membela diri. Hal itu membuat Sasuke mendecih. Jelas-jelas anak bawang di sampingnya itu tadi meledeknya.

Sekitar lima belas menit dalam perjalanan, mereka sampai di sebuah bangunan bergaya klasik, namun berkelas. Mansion Uchiha. Naruto pernah kesana sebelumnya saat masih kecil. Entahlah, urusan orang tua yang menurutnya merepotkan. Ia tidak mau tahu soal itu. Karena seingatnya, itu adalah kali pertama ia bertatap muka dengan manusia yang saat ini duduk di sampingnya.

"Turun."

Mendengar seseorang yang memerintah seenaknya begitu saja, Naruto langsung beranjak turun diiringi decakan kesal. Dilihatnya punggung kokoh itu berjalan pergi mendahuluinya hendak masuk ke rumah itu.

"Kuso! Kuso! Kuso!" kaki jenjangnya menendang roda mengkilat Bugatti Divo dihadapannya itu berulang kali. Naruto tengah meluapkan emosinya, kawan. Jadi tenanglah, dirinya belum memasuki masa-masa depresi lebih awal.

"Kau mau membuatnya rusak, Uzumaki!?"

Kecuali jika kau depresi karena bermain api dengan Uchiha Sasuke. Itu hal yang wajar, sih.

"Rupanya dia ingin meninggalkan dunia lebih cepat." Gumam Sasuke saat melihat kelakuan bocah di depannya itu semakin barbar, membuat wajahnya menggelap.

"Hei, Sasuke. Kau membawa tamu?"

Suara wanita yang sangat dikenalnya membuat Sasuke menoleh, dan menghentikan niatnya untuk menarik kerah bocah pirang itu. Uchiha Mikoto, berdiri anggun tepat di depan pintu utama seraya tersenyum hangat. Naruto yang merasa telah puas beranjak pergi menyusul Sasuke. Ia cukup terkejut saat mendapati Mikoto yang tengah berjalan mendekat memandangnya dengan senyum yang masih belum luntur.

Bahagia sekali dia, batin Sasuke tak mengerti saat menyadari ekspresi wajah sang ibu yang terharu melihat kedatangan sosok yang dibawanya.

"Naruto-chan, kau datang!" sahut Mikoto tersenyum manis seraya memeluk erat tubuh pemuda pirang dihadapannya. Seolah-olah kehadirannya di tunggu-tunggu sejak lama. Naruto tersenyum kikuk melihat ke arah Sasuke yang memandangnya datar, tanpa ekspresi.

Manis juga dia kalau begitu.

Jangan tanya siapa yang tengah membatin saat ini. Sasuke masih terus memandangi dua sosok dihadapannya itu. Mikoto dengan sifat keibuannya membawa masuk Naruto tanpa menghiraukan keberadaan Sasuke yang masih berdiri disana. Terkadang ia harus merelakan Naruto bersama sang ibu jika tidak ingin mendapat deathglare andalannya. Pria raven itu mendecak kesal seraya mengikuti keduanya masuk ke dalam mansion.

Huh, tidak masalah jika hanya dengan sebuah deathglare.

Mikoto mengajak Naruto untuk pergi ke dapur. Wanita paruh baya itu berniat untuk membuat kue bersama pemuda pirang itu jika ada kesempatan. Dan taraa! Sasuke membawanya bersama ke mansion. Sungguh anak yang pengertian.

Berbeda dengan keduanya yang sudah masuk ke dalam lingkup masak memasak, Sasuke sendiri berniat untuk melakukan ritual sorenya saat ini. Pria itu menaiki beberapa anak tangga ke lantai dua, dan memasuki kamarnya seraya melepas beberapa kain yang melekat pada tubuhnya. Ia melemparnya pada rak, dan bergegas memasuki kamar mandi.

.

Entah ini menurutnya, atau memang keadaannya yang memang sangat diam. Maksudnya, mansion Uchiha memang selalu sunyi bak tak berpenghuni. Tapi, bukankah mereka sedang ada tamu yang kebetulan gemar sekali berbuat sesuatu menjadi berisik?

Sasuke mengintip dari balik koran yang sedang di bacanya ke arah sekat yang menghubungkannya dengan dapur. Mata elangnya memandang intens saat tak melihat tanda-tanda seseorang yang menampakkan batang hidungnya dari sana. Entahlah, ia sangat senang bisa membawa Naruto ke mansionnya. Tapi, TAPI! Rasanya percuma jika bocah itu tidak bersamanya. Oh, maksudku percuma jika dia tidak bertengkar dengannya!

Ouwh. Tsundere sekali kau, Uchiha Sasuke.

Sasuke berdeham pelan seraya membalikkan koran ke halaman selanjutnya layaknya laki-laki tua. Pria itu duduk pada single sofa seorang diri. Sasuke hanya mengenakan kemeja putih tipisnya yang digulung hingga lengan bersama celana katun hitam seraya menyilangkan kaki. Dua kancing atasnya ia biarkan begitu saja. Tak lupa sebatang rokok yang terselip pada kedua belah bibirnya membuat dirinya terlihat berumur dan semakin urmm... hot!

Ya ampun.

Siluet pirang yang tertangkap oleh ekor matanya membuat perhatian Sasuke teralihkan seluruhnya. Naruto baru saja keluar dari arah dapur masih menggunakan apron hitam. Dilihatnya pemuda itu berjalan seraya menyisir rambutnya ke belakang. Manik sapphirenya tak sengaja menangkap sosok pria bersurai hitam yang tengah duduk seorang diri di ruang tengah.

Dan apa-apaan tatapan tajam itu!?

Naruto menghentikan langkahnya, memandang canggung ke arah Sasuke yang juga menatapnya. Okay, ini sungguh awkward, batin Naruto tak nyaman. Naruto bisa menyadari jika Sasuke terlihat memicing tak senang.

"Anoo... Bisa kau tunjukkan di mana kamar kecil?"

Dan ada apa dengan Naruto yang tiba-tiba menjadi santun seperti itu? Lalu, penggunaan bahasanya yang sangat baik? Sungguh tidak dipercaya mengingat dirinya yang pada dasarnya barbar.

Sasuke sangat menyadari jika bocah itu dilanda gugup, canggung, atau apalah itu. Rasakan itu, batin Sasuke tertawa jahat. Dengan tegap Sasuke beranjak dari duduknya setelah sebelumnya ia meletakkan koran di meja.

"Ikuti aku." Sahut Sasuke datar sesaat dirinya berjalan melewati Naruto dengan pongah.

Entah kenapa saat melihatnya bersikap sombong seperti itu, Naruto ingin sekali menghancurkan tampangnya. Mencakarnya dengan kuku-kukunya yang tajam. Pemuda itu mengekori jejak sang kepala sekolah sementaranya saat ini. Cih, statusnya memang tidak jelas. Naruto bahkan berpikir apa yang sebenarnya Uchiha Sasuke itu lakukan di sekolah mengingat ketidakjelasan posisinya.

Naruto baru menyadari jika bahu orang dihadapannya itu sangat lebar, dan terlihat kokoh. Untuk yang kesekian kalinya ia merengut kembali.

"Apa bagusnya dia?" gumam Naruto tanpa sadar, membuat pria raven di depannya itu melirik melalui ekor matanya melihat raut wajah yang menukik kesal di belakangnya.

Diam-diam ia tersenyum samar.

Naruto sebenarnya sudah sangat lelah berjalan. Kediaman Uchiha terlalu luas hanya untuk sebuah kamar kecil. Terlalu banyak lorong yang dilalui. Pemuda itu memutarkan kedua bola matanya jenuh.

Langkahnya terhenti tepat di depan shoji. Sasuke menggesernya perlahan. Mengerti apa yang dimaksud, Naruto langsung memasukinya. Pertama, pemuda itu berjalan menuju wastafel. Naruto sengaja mengulur waktu dengan mencuci tangan. Manik birunya sesekali melirik pada kaca yang membentang dihadapannya yang memantulkan sosok Sasuke disana.

Pria raven itu masih berdiri di ambang shoji seraya menyilangkan kedua tangannya, menumpukan sebagian sisi tubuhnya pada shoji, memperhatikan. Kenapa dia tidak pergi-pergi juga!, batin Naruto mengerang.

Pandangannya saat ini hanya berfokus pada satu titik. Postur tubuh Naruto dari belakang yang terlihat pas di matanya, ditambah apron yang melekat. Pikirannya mengawang mengenai bagaimana jika tubuh yang terlihat pas untuk seukurannya itu dipeluk dari belakang, melingkarkan tangan kekarnya dengan nyaman dan erat pada perut datar itu.

He looks yummy, boy.

Naruto sekali lagi melirik cepat melalui pantulan kaca pada sosok di belakangnya yang belum hilang itu. Lalu, pemuda itu membalikkan tubuhnya. Cukup membuat Sasuke tersentak dengan kembali menegakkan tubuhnya. Onyx miliknya bertubrukan tepat dengan sapphire tersebut.

"Aku mau pipis." Ujar Naruto tanpa emosi seraya memandang lurus hingga paling dalam pada manik hitam Sasuke. Mencoba untuk mencari cara tentang bagaimana langkah mengusir seorang Uchiha secara halus.

"Lalu?"

Terkadang menjadi clueless itu memang merepotkan.

"Lalu!? Jangan melihat!"

SRAK

Hembusan angin yang menerpa wajahnya akibat tenaga Naruto yang menggeser shoji membuat Sasuke membelalakan matanya tak elit. Ia berkedip beberapa kali sesaat setelah apa yang barusan saja terjadi. Luntur sudah wajah stoic nan dinginnya sekarang akibat keterkejutannya. Pria raven itu mendecak kesal seraya membalikkan tubuhnya. Tak luput jika telinganya memerah saat ini.

"Sial."

Di balik shoji Naruto mendengus pelan seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Orang itu menyebalkan sekali. Dan, apa-apaan tampang cengok pada wajah temboknya itu!?

"Ck. Menyebalkan."

.

Naruto melepas apron miliknya sesaat setelah menyelesaikan urusannya. Pemuda itu kini hendak berjalan keluar dari kamar kecil. Berjalan seorang diri saat melihat sosok Sasuke yang lenyap ditelan muka temboknya, Naruto mencoba mengingat-ingat tata letak rumah tradisional itu.

Ia berniat untuk kembali ke dapur. Namun, saat jemarinya hendak memutar knop pintu, matanya tak sengaja menangkap jarum jam yang mengarah ke angka tujuh menggantung di dinding. Saking terkejutnya hingga ia memekik kaget, dan mematung di tempat. Hal yang ia lupakan adalah Kushina tidak ia beri kabar jika dirinya akan keluar sore ini. Walaupun sang ibu sedang jauh darinya, tapi tetap saja!

Naruto bisa gawat.

"Ada apa?"

Naruto mengalihkan perhatiannya saat mendengar bariton milik Sasuke. Dilihatnya pria itu datang dari arah dapur seraya menggenggam mug di tangannya.

"Aku lupa memberi kabar kaa-san!" ujar Naruto memasang ekspresi seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen di kulkas. Dengan terburu-buru Naruto langsung merogoh ponselnya yang ia simpan pada saku celana. Namun, lagi-lagi pergerakannya terhenti. Wajahnya semakin pucat bak mayat hidup.

"Ponselku!? Dimana!?" panik Naruto seraya terus meraba-raba seluruh kantungnya. Jujur, Sasuke merasa geli saat ini. Anak bawang yang satu ini memang penuh kejutan. Sifat pelupa misalnya.

Naruto kembali terdiam. Pikirannya berusaha fokus untuk mengingat semua kejadian yang ia alami sore ini. Berjalan, ke pusat kota, lalu stone cafe, dan mengobrol dengan wanita part-timer disana. Terakhir ia diseret ke mansion Uchiha, lalu membuat kue bersama Mikoto yang akhirnya wanita itu pergi karena pekerjaan memanggilnya setelah mereka berdua berfoto ria di dapur bersama hasil kuenya.

Oh, stone cafe.

"Gawat!" seru Naruto. Namun, pandangannya langsung disapa oleh jemari yang mengarahkan sebuah benda pipih hitam yang sangat dikenalnya.

"Ya, memang gawat." Ujar Sasuke tanpa emosi.

Lagi-lagi Naruto membelalakan matanya tak percaya. Sudut matanya sudah terlihat jika air matanya menitik.

"ASTAGA!" kali ini dibalik tampang stoicnya Sasuke yang terkejut. Naruto langsung menyabet ponselnya dan memandangnya bak dewa yang diagung-agungkan.

Benar-benar bipolar.

"Kau meninggalkannya lagi di mobilku."

Ada penekanan pada kalimatnya. Sasuke tidak bisa menahan untuk tidak merotasikan kedua bola matanya. Naruto yang melihatnya segera membungkukan tubuhnya.

"Terima kasih."

Sasuke tak salah lihat dan dengar, bukan? Uzumaki Naruto, murid serampangan, preman sekolah, barbar, pembangkang, dan lain-lain. Kini bersikap sangat sangat hormat sekali pada dirinya. Sebuah perubahan positif. Clap, clap, clap.

"Otakmu harus sering dilatih."

Namun, sebuah perubahan positif itu tidak bertahan lama saat mendapat omongan yang cukup pedas mampu menembus tubuh Naruto. Pemuda itu menegakkan tubuhnya, memandang sengit pada Sasuke yang melihatnya angkuh. Dengan segera, Naruto membuang muka tak acuh. Sasuke mendengus pelan, lalu membalikkan tubuhnya kembali ke arah dapur.

"Ayo, kita makan malam." Sahut Sasuke tak ingin dibantah. Namun, bukan Naruto jika dirinya seorang penurut bak kucing peliharaan.

"Aku tidak lapar." Responnya singkat dan padat. Lagipula, Naruto juga akan pulang mengingat ini sudah masuk jam makan malam. Ia bisa kena semprot tak hanya dari Kushina, tapi Shion!

Grroakk

Lagi dan seterusnya, keadaan saat ini memang sedang tidak berpihak pada Naruto. Pemuda itu meringis pelan seraya menyentuh perutnya yang menghasilkan suara indah bak orang kelaparan. Sasuke yang tengah memasang apron pada tubuhnya menoleh seraya tersenyum remeh.

"Perutmu yang meminta, bukan mulutmu." Bariton milik Sasuke yang dingin kembali hinggap di pendengaran Naruto. Naruto menggumam kesal. Dengan terpaksa ia menempatkan pantatnya pada salah satu kursi yang berjajar rapih dekat bilik lemari penyimpanan kue.

"Kau memasak?" tanya Naruto heran melihat Sasuke yang saat ini tengah menggenggam sebutir telur.

"Kau meremehkanku?"

"Tidak. Aku hanya- aish! Kenapa kau jadi berprasangka!?" sahut Naruto tak terima saat pertanyaan dibalas pertanyaan yang menurutnya menjengkelkan. Sasuke melirik sekilas sebelum pandangannya kembali berkutat pada bahan makanan. Naruto mendecak kesal sebelum akhirnya ia membuka ponsel miliknya.

Tiga belas panggilan masuk yang berasal dari Shion langsung memenuhi kontak panggilan keluarnya. Perkiraannya tidak salah. Shion pasti akan selalu menghubunginya sampai dirinya mengangkat, atau tidak mendapat kabar dari yang lain. Naruto mengernyit saat melihat dua pesan masuk, lalu membukanya.

From : Okaa-san

Mikoto mengabariku jika kau ada di mansionnya. Jangan berbuat keributan! Kau tahu akibatnya jika aku mendengar sedikit pun kabar buruk tentang apa yang kau lakukan disana. Lusa besok, kaa-san sudah pulang. Semangat untuk memperbaiki prestasimu, Naru!

Kalimat terakhir cukup membuat tenggorokannya kering. Ibunya itu memang pandai membuatnya merasa terancam. Ia bersyukur jika kepanikannya sesaat berbuah ketenangan, namun tak bisa mengabaikan jika tekanan batin semakin meningkat. Naruto tersenyum kering setelah membuka pesan dari Kushina. Kini, jemarinya menggulir list pesan yang lain untuk dibacanya kembali.

From : Shion

Aku menghubungimu sangat lama. Kenapa kau tidak mengangkatnya!? Aku mencarimu kemana-mana saat kembali ke mansion tidak mendapatimu. Pelayan bilang kau pergi seorang diri tanpa supir, entah ingin kemana. Aku sempat menghubungi nyonya, dan ia mengatakan jika kau sedang bersama Uchiha. Aku akan menjemputmu tak lama ini. Bersiaplah, tuan muda!

Naruto sweatdrop saat melihat pesan Shion yang sangat mencurahkan hatinya sekali melalui ponsel. Dia sangat kompleks!, batin Naruto tak habis pikir. Tunggu. Jika Shion menjemputnya, bagaimana dengan makan malamnya?

Naruto mengangkat kepalanya melihat Sasuke yang berdiri memunggungi tak jauh darinya. Sepertinya orang itu sedang memotong sesuatu. Tanpa pikir panjang, Naruto membuat balasan pada Shion jika dirinya akan makan malam terlebih dahulu. Send!

Naruto dengan gerak cepat kembali memakai apronnya, dan berjalan mendekati Sasuke. Pria raven itu melirik sekilas saat sosok baru itu bergabung dengannya.

"Apa yang kau buat?" tanya Naruto tanpa membuat kontak mata.

"Takikomi, Tamagoyaki, miso, sup tomat."

"Sup tomat?" tanya Naruto untuk memastikan pendengarannya baik. Manik birunya memandang aneh pada Sasuke.

"Ada apa?" ujar Sasuke datar. Naruto yang mendengarnya hanya mengedikkan bahunya tak acuh seraya meraih pisau.

"Payah sekali." Sahut Naruto mulai mengiris lokio dengan cermat. Sasuke menghentikan kegiatannya, lalu memandang Naruto tajam dengan wajah menggelap. Naruto yang merasakan aura menusuk mengalihkan perhatiannya pada pria di sampingnya.

"Apa?" ujar Naruto heran seraya melempar tangkap sebuah tomat di tangannya.

"Dibanding ramen yang mengandung banyak lemak dan kurang sehat, benda di tanganmu itu lebih kaya akan nutrisi." Naruto memutar kedua bola matanya malas saat mendengar ucapan retoris yang keluar dari mulut guru palsu itu. Naruto kembali melanjutkan kegiatan iris mengirisnya yang sempat tertunda tanpa mengidahkan bariton yang terkesan menceramahi.

Sasuke mengernyit saat melihat bocah ingusan di sampingnya itu tak memberikan perhatian. Perhatiannya beralih pada gerak-gerik tangan Naruto yang terlihat cepat memotong semua bahan makanan yang akan di masak. Sebenarnya, pria raven itu sedikit cengok melihat- apa?

Si preman sekolah ini bisa memasak!?

Sasuke mengira ia hanya bermain-main. Apalagi saat mengingat ekspresi ibunya yang sangat bahagia melihat kedatangan pemuda pirang ini ke rumah. Yang ada dipikirannya adalah kondisi seperti kapal pecah yang akan terjadi di dapur.

"Siapa yang mengajarimu?" tanya Sasuke tanpa membuat kontak mata dengan mengalihkan kegiatannya kembali mengocok telur.

"Hinata."

Seharusnya ia tidak perlu bertanya. Keduanya kembali terdiam dengan kegiatan masing-masing. Tidak ada yang berniat membuka percakapan hingga semua makanan telah tersaji di atas meja makan.

Keduanya duduk berhadapan. Naruto meraih dua batang sumpit, kemudian menyatukan kedua belah telapak tangannya. Dua manik berbeda warna itu saling memandang.

"Itadakimasu." Ucap Naruto khidmat.

"Hn."

Naruto memulai dengan sebuah tamagoyaki buatan pria dewasa dihadapannya. Berbeda dengan Sasuke yang mulai menyumpit buah segar kemerahan berkuah dihadapannya. Keduanya melahap bersamaan.

Bagi Naruto, sebutir telur akan terasa luar biasa jika berada di tangan seorang ahli. Tapi, kenapa HARUS UCHIHA SASUKE LAGI!?

Naruto tidak bisa menyangkal jika tamagoyaki buatannya terasa berbeda dari yang sering ia makan. Mungkin, Uchiha Sasuke menaruh semacam resep bumbu rahasia? Atau lebih parahnya, rasa nikmat ini datang dari racun mematikan!?

Naruto menjadi paranoid di tempat. Matanya melirik ke arah pria raven itu melalui sela-sela helai rambutnya. Sasuke yang terlihat mengunyah, lalu menelan makanannya tak sengaja menangkap pandangan tak biasa dari anak bawang yang duduk dihadapannya itu.

"Apa?" sahutnya dingin. Entahlah, hanya saja, ia gatal untuk menarik wajah bergaris kucing itu. Sasuke menyatukan kedua alisnya. Apa dia ingin mencari masalah?, batin Sasuke tak habis pikir. Pria itu kembali menyumpit sup kesukaannya tanpa mengalihkan perhatian dari Naruto.

"Aku curiga." Ucap Naruto seraya menyumpit gulungan tamagoyaki yang terlihat mengepul, dan enak. Sapphirenya memicing pada makanan yang terlihat juicy untuk seukuran telur itu.

"Ini sangat enak. Apa kau memberinya sesuatu yang dapat membahayakan?" pertanyaan retoris dari Naruto membuat urat kekesalan Sasuke tampak.

"Makan, atau tidak."

Suara berat Sasuke mampu membuat Naruto terdiam. Ia tak sengaja melihat kerutan pada wajah stoic itu. Ups, dia marah!, batin Naruto. Pemuda pirang itu kembali melanjutkan makannya dengan diam.

Beralih pada Sasuke, sebenarnya ia mengakui jika sup tomat hasil tangan si pirang itu terasa pas di lidahnya. Berbeda dari buatan kebanyakan orang di mansionnya, yang satu ini terasa kompleks.

Dan ia menyukainya.

Setelah menghabiskan lima belas menit di atas meja makan, Naruto berniat untuk merapihkan semua perlengkapan. Naruto bahkan berpikir, kenapa kediaman ini sangat sepi sekali? Apa selalu seperti ini jika mengingat keadaan di rumahnya itu berbanding terbalik.

"Apa di sini selalu sepi?" tanya Naruto sedikit heran.

"Hn."

Naruto menghela napas pendek. Uchiha Sasuke memang identik dengan irit bicaranya. Tidak. Rata-rata orang Uchiha memang seperti itu. Terkadang Naruto berpikir, apa yang nenek moyang mereka idamkan selagi dulunya?

"Itu bukan sebuah jawaban."

"Bagiku iya." Sahut Sasuke pendek.

Dan sudah keberapa kalinya hari ini Naruto mendecak kesal.

.

/"Aku di depan."/

"Ah, baiklah."

Naruto segera memutus panggilan sepihak. Shion sudah berada di kediaman Uchiha. Ia segera memasukkan ponselnya pada saku celana, dan berniat untuk mencari Sasuke. Saat dirinya hendak membalikkan tubuh, sosok yang dicarinya langsung menyapa indera penglihatannya.

"Etto.. Aku akan pulang."

Ugh, kenapa canggung sekali hanya untuk sekedar mengucapkan sampai jumpa, kapan-kapan aku akan kesini lagi, dan membuat kue bersama Mikoto baa-san.

What the heck. Lagian, Naruto tidak akan mengucapkan seperti itu. Gengsinya mengalahkan semuanya!

Sasuke masih menantikan ucapan selanjutnya dari bocah ingusan yang berdiri di depannya ini. Pria raven itu bahkan tengah menggigit pipi dalamnya menahan tawa. Ya Tuhan, tinggal katakan sampai jumpa saja sepertinya sulit sekali.

"s-SAMPAI JUMPA!"

Nah, seperti itu.

Naruto dengan gerak kilat langsung membalikkan tubuhnya, dan berjalan tergesa-gesa ke arah pintu utama. Sasuke bahkan mendengus geli saat melihat pemuda itu tak sengaja menabrak pelayan yang berjalan berlawanan, lalu sedikit membungkuk mengucapkan maaf.

Setelah sosoknya hilang dibalik pintu, Sasuke kembali mendengus. Hari ini memang berbeda. Ia sedikit merasa hidup saat di rumah. Mungkin karena sup tomat yang terasa lezat di lidahnya. Namun, alasan yang lebih tepat adalah kehadiran si bocah berandal yang penuh kejutan itu.

Pria raven itu tersenyum tulus untuk malam ini.

.

Tbc


A/N

Helloo! Ini chapter ketiga dari fic yang pertama kali author buat di dunia perfanfictkan.

Lama sekali untuk memikirkan sebuah ide pada karya ini. Makanya author juga lama update hehehe. Selain itu, banyak tugas sekolah yang harus author selesaikan juga, dan ujian-ujian sekolah yang banyak sekali. Mohon atas kemaklumannya mwueheheh~

Selamat berpuasa yang sedang menjalankannya. Semoga cerita ini dapat menghibur para readers yang membaca.

Salam hangat,

Author.