Title : Belenggu

Disclaimer : Naruto belong to Masashi Kishimoto

Storyline : YukirinShuu

Pairing : Sasuke x Naruto

Genre : Drama, Slice of life, Romance

Rated : T/M

Warning! This is BL/ShounenAi/YAOI

.

.

"Perilaku buruk, begitu juga dengan nilainya"

Satu kalimat yang tertangkap indranya sesaat ia keluar dari ruang kelas, membuat iris biru lautnya menoleh. Menampilkan perangai layaknya seorang berandal yang sesungguhnya. Memang benar. Surai pirangnya yang tidak teratur menutupi sedikit bulu matanya serta lengan seragam digulung sebatas siku membuatnya semakin pantas dicap sebagai preman sekolah tersebut yang terakreditasi A di Tokyo. "apa urusanmu?" ucapannya yang terlontar membuat pria yang bersandar pada dinding tak jauh darinya mengerutkan dahi, pandangan tajamnya mengarah pada seorang yang berstatus sebagai murid saat ini. Hanya asap rokok yang mengisi keheningan di antaranya. Peduli setan, pikir sang murid seraya meninggalkan lorong sekolah tersebut dengan santai. Beberapa kali ia menguap serta menyisir surai pirangnya ke belakang. Tak memperdulikan sepasang onyx yang mengawasinya sedari awal. Sasuke pun kembali menghembuskan asapnya. Memperhatikan jejak asap rokok yang semakin lama semakin memudar.

"Kau mungkin akan keluar semester ini, Uzumaki"

.

Langkah kakinya terhenti. Instingnya mengatakan sesuatu yang tidak baik mengenai ucapan pria tersebut. Rahangnya mengeras sesaat memikirkannya. Cih, mereka terlalu baik sampai segitunya, sarkasnya dalam hati. Sangat jelas terlihat rautnya yang tengah menahan amarah. Seketika ekspresinya mengalami perubahan seperkian detik. Tenang. Sangat terkontrol dari sebelumnya. "Ah, lucu sekali" gumamnya seraya tersenyum. Bukan, lebih tepatnya seringaian. "Mungkin, mereka semua akan terkejut nanti" ujarnya ringan, entah pada siapa. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Menyusuri koridor sekolahnya yang berarsitektur eropa modern hanya seorang diri. Yah, dirinya sangat enggan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang bergengsi itu. Entahlah, ia tidak tertarik. Walaupun ia tahu, setiap murid memiliki nilai tambahan dalam ekstrakurikuler dan dianjurkan untuk mengikutinya. Hampir semua murid mengikuti beragam ekstrakuliker di sana. Terkecuali dirinya. Mungkin.

Ah benar, Mungkinkah dirinya seorang bipolar?

Duak.

"Apa yang kau lakukan disana, bodoh?!"

Sebuah benda yang terbuat dari karet dengan 'indahnya' mendarat pada kepala bermahkota pirang yang berada tak jauh dari tepi lapangan outdoor sekolah. Oh, benar. Sebersit ide muncul di benaknya. Ia pun meraih bola basket yang letaknya tepat di samping kakinya. Memantulkannya perlahan layaknya anak kecil yang sedang bermain.

"Hey! Apa yang kau lakukan, idiot?!"

Twitch.

Naruto tersenyum. Tidak. Dia hanya menggertakkan giginya untuk menahan amarahnya yang tersulut. Sungguh. Ia mengutuk orang-orang yang tidak tahu benar soal dirinya. Naruto melampiaskannya pada pantulan bolanya yang semakin menjadi-jadi. Membuat sekelompok anggota ekskul tersebut yang berkegiatan pada sore ini terbungkam. Tidak. Mereka terfokus pada sang tangan yang membabi buta mendribble bola ditempat.

"AYO BERTANDING!"

Tepat pantulan terakhir, Naruto menghentikannya dengan dentuman yang cukup keras. "Kenapa? Kalian takut, huh?!" seruan dari pemuda blonde tersebut membuat beberapa orang disana tersenyum meremehkan. "sayangnya, kami tidak menerima lawan yang tidak pantas" salah seorang dari mereka yang Naruto ketahui bermarga Hyuuga tersebut dengan mudahnya melontarkan kata-kata pedas untuknya. "terutama dirimu" lanjutnya seraya membalikkan badan hendak meninggalkan tempatnya.

"akan sangat memalukan jika kami melawanmu" ujar salah satu pemuda bertato segitiga dengan angkuh. Tepat ucapan pemuda bermarga Inuzuka selesai, sebuah bola mendarat keras tepat di dahinya. Ya, Naruto melakukannya dengan wajah tanpa dosa hingga pemuda pecinta anjing tersebut meringis. "hmm... bagaimana jika kita bertaruh?" pernyataan Naruto membuat mereka menoleh. Hyuuga mengerutkan dahinya, rahangnya mengeras saat mendengar perkataan yang menurutnya konyol dari sang empu.

"Pulanglah! Akan lebih ba-"

"jika aku kalah, kalian bebas menjadikanku budak kalian semua"

Gelak tawa terdengar dari salah satu mereka. Sedangkan, Naruto hanya memandangnya heran. Tidak. Ia hanya heran kenapa mereka terlalu sombong untuk mengakuinya.

"Tapi jika aku menang, ekskul ini akan bubar"

Sontak keadaan menjadi hening. Diam-diam Naruto menyeringai melihatnya. Rasanya menyenangkan melihat paras mereka menjadi tegang. "cih. Kuharap kau tidak menyesal, Uzumaki dan hey, kau tidak bisa semudah itu membubarkan ekskul yang dibawah pengawasan langsung oleh osis." selepas itu, Hyuuga melesat jauh melewati Naruto yang terdiam di tempat menuju ring. Walaupun Neji menganggap lelucon soal apa yang di taruhkan, entahlah, Naruto membuat suasana hatinya memanas. Pemuda bermarga Hyuuga tersebut terkekeh sampai sesuatu melesat lebih jauh di depannya.

'B-bagaimana bisa?!'

Sekilas Neji melihat iris biru yang balas menatapnya. Menunjukkan amarah yang jelas terbesit pada irisnya. Dia Uzumaki Naruto. Idiot bak kesetanan yang selalu menjadi bahan omongan akibat ulahnya yang buruk. Berkelahi tak ada habisnya, menentang guru tanpa memikirkan risiko yang ia dapat serta kebiasaan membolosnya yang sudah tak terhitung selama dua tahun akhir ini. Ah iya, dirinya memang sudah memasuki tahun ketiga di sekolah menengah atas ini. Sekolah menaikkannya kelas karena tidak ingin salah satu aset berharganya hilang.

Namikaze Minato. Seorang CO agensi terbesar dalam hal properti di kawasan Asia yang merupakan ayah kandung dari Naruto. Ada alasan mengapa Naruto tidak memakai marga dari sang ayah. Uzumaki yang merupakan marga dari sang ibu, Kushina, dikenal sebagai pewaris konglomerat Yakuza generasi 5 dan Naruto lebih memilih memakai marga sang ibu ketimbang Minato. Hanya saja terkadang Naruto membenci hal itu. Ia membenci bukan semata-mata ia tidak mensyukuri apa yang ia miliki sebagai anak tunggal. Ia membenci karena usahanya, kerja kerasnya selalu dikait-kaitkan oleh kedudukan sang ayah serta ibunya. Lalu, semua itu terasa sia-sia.

Hyuuga Neji tahu soal itu. Sangat mengetahui baik mengingat orang tua mereka memiliki hubungan kekerabatannya sebagai yakuza di daerah Jepang Timur. Ia tahu benar bagaimana Naruto merupakan anak yang memiliki tekad besar dan berusaha keras untuk sekolahnya. Sikap ceria dan kehangatan yang menjadi ciri khas pada dirinya, sudah setahun lebih lamanya Neji tidak melihat itu semua.

Tanpa perhatiannya yang fokus, Neji kehilangan bola yang berada di genggamannya. Dengan reflek yang kuat, ia langsung menyusul pemuda pirang yang telah maju lebih awal di depannya. 'Cih sial' batinnya sesaat melihat Naruto yang langsung melakukan slam dunk dan mencetak skor. Tidak ada yang membuka suara setelah itu. Mereka sibuk mengambil pasokan udara untuk memenuhi kebutuhan oksigennya.

"Bagaimana? Masih ingin bermain?" ujar Naruto seraya mengambil bola basket dan memantulkannya berulang-ulang. "oh ya, kalian tidak lupa kan soal taruhan ya-" belum sempat Naruto menyelesaikan kalimatnya, Kiba langsung mengambil alih bola yang sebelumnya berada pada Naruto. Mendribble bola secara ugal-ugalan tanpa memperdulikan apapun di sekitarnya. Ya, Kiba merasa harga dirinya terinjak. Tanpa ragu, ia melakukan behind the back pada Neji saat matanya tiba-tiba bertemu pandang dengan pemuda pirang yang sudah berada di depannya. 'sial, dia cepat' pikir Kiba yang merasa terancam.

"heh. Kupikir kalian tidak menganggapnya serius" gumam Naruto seraya melakukan tumpuan pada kaki dan melesat jauh ke arah Neji. Kiba dapat mendengarnya dengan jelas. Bagaimana raut wajah yang beringas tercetak jelas pada pemuda berdarah yakuza tersebut. Seketika pemuda pecinta anjing tersebut bergidik membayangkannya. Matanya menangkap pemandangan yang membuatnya lagi-lagi terkejut. Hyuuga Neji. Sosok kapten yang selalu dielu-elukan karena kepandaiannya baik akademik maupun atletik, saat ini posisinya tersudutkan oleh seorang yang dicap sebagai preman sekolah.

Neji yang hendak melakukan three point tiba-tiba pandangannya tidak terfokuskan sesaat sebuah tangan Tan melakukan rebound padanya. Dengan gerakan cepat, Neji kembali menguasai bola dan melakukan pivot tanpa ragu. Ekor matanya mencari waktu yang tepat untuk mengoper bola pada teman satu timnya.

'Ah, Lee' dengan sigap Rock Lee yang berada tak jauh dengan ring menangkap bola yang diarahkan kepadanya. Langsung melakukan lay up dan mencetak skor.

"cih. kupikir aku akan menang" ujar Naruto seraya mengusap dahinya tanpa beban. "lebih baik kau pulang dan tidak membuat waktu kami menjadi sia-sia, Uzumaki." Perkataan dari pemuda pecinta anjing tersebut hanya dianggap acuh oleh Naruto. "memang itu rencanaku. Bermain-main dan menyia-nyiakan waktu" ucapnya seraya menggedikan kedua bahunya. Ia pun berlalu pergi begitu saja tanpa memedulikan cemoohan yang tertangkap oleh telinganya.

.

"Well, Uchiha-sensei. Masa-masa remaja memang masa yang sangat sulit untuk dilupakan." ucapan dari Iruka yang selaku sebagai guru konseling membuat Sasuke melirik sekilas. Mata kelamnya tak lepas dari pemuda tan yang tengah berjalan memisahkan diri dari lapangan. Sesekali dirinya menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Menikmati sedikit demi sedikit benda yang kini ia gemari semenjak tiga bulan yang lalu. Onyxnya dapat menangkap jelas ekspresi dari sang objek yang terlihat bosan. Naruto menyisir helai-helai pirangnya kebelakang dan dirinya menghilang pada tikungan terakhir tempat ia berjalan.

"kau sudah ingin pulang, Uchiha-sensei?" Sasuke hanya memberi gumaman khasnya sebagai jawaban. Ia mematikan seperempat Batang rokok dan bergegas meninggalkan tempatnya setelah mengatakan ucapan selamat tinggal pada Iruka.

"selamat sore, Uchiha-san."

.

Uzumaki Naruto. Berdiri seorang diri di sebuah halte pemberhentian pertama dari sekolah. Iris sapphirenya melirik jam tangan rancangan Filip Tysander miliknya. 'masih terasa siang' pikirnya. Padahal waktu sudah menunjukkan sore sekitar pukul lima. Naruto mengadahkan kepalanya, melihat langit senja yang sedikit gelap. "hujan kah?" ucapnya pada diri sendiri. Lima belas menit telah lewat. Entah kenapa, moodnya terasa tidak baik. Astaga. Ia merasa bosan. Biasanya pemuda pirang tersebut akan menghabiskan waktu untuk pergi ke tempat game center di pusat kota. Atau tidak ia akan pergi mengunjungi paman Teuchi untuk menghabiskan beberapa porsi besar ramen. Dan sekarang ia sedang tidak menginginkan keduanya.

"Ah!" okay, setidaknya perasaan Naruto kembali membaik. Butiran air perlahan turun sore ini namun tidak sederas seperti biasanya. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini, tubuhnya bergerak sendiri untuk merasakan terpaan air hujan. "Oh tuhan, terimakasih telah menurunkan hujan sore ini." yah setidaknya moodnya tidak buruk kembali, pikirnya. Tunggu. Naruto teringat soal taruhannya dengan anggota basket sebelumnya. "Hmm.. sepertinya aku harus merencanakan sesuatu." ia berhenti di tengah trotoar pejalan kaki. Menopang dagu dengan posisi kepalanya yang merunduk ke bawah. Memikirkan segala cara untuk kembali bermain-main dengan mereka.

Hujan yang semakin besar membuat beberapa orang yang berlalu lalang pergi meneduhkan diri. Tetapi tidak dengan pemuda bermarga Namikaze-Uzumaki tersebut. Dirinya masih tetap berada di tengah trotoar pejalan kaki, melakukan aktivitasnya yaitu memikirkan sebuah rencana. Surai pirangnya yang turun akibat air hujan serta kemeja putihnya yang ia kenakan menjadi basah kuyup, membuat dirinya sedikit tembus pandang karena basah. "kau memang pantas dicap sebagai murid bodoh dan preman sekolah." perkataan yang tertangkap oleh Naruto membuat dirinya otomatis mendongakkan kepala. Pemuda raven yang tahun ini genap berusia 25 tahun, berdiri tegap di hadapannya. Iris hitam kelamnya yang mengarah langsung pada sapphire didepannya menandakan bahwa tatapannya tengah mengintimidasi seseorang yang dengan bodohnya malah berdiam diri di kala hujan semakin membesar. Tubuh atletisnya yang dibalut kemeja hitam serta coat navy birunya sangat sepadan untuknya, tentunya ia memayungi dirinya sendiri. Mereka sedikit lama saling berpandangan satu sama lain hingga urat kekesalan muncul di dahi Naruto. "Apa?" ah, Naruto menjadi buruk sekarang. Suasana hatinya yang tidak konsisten membuat dirinya banyak membenci orang yang menurutnya mengganggu.

Naruto mengenyampingkan tubuhnya. Memutus kontak mata dari pemuda raven dihadapannya. Jelas sekali raut wajahnya menggambarkan kekesalan. Lagi-lagi ia menyisir helai pirangnya kebelakang. 'tipikal' batin Sasuke. "cih.. Sebaiknya kau tidak menghala-Akh" belum sempat Naruto menyelesaikan kalimatnya, sebuah benda hitam menampar dahinya dengan cukup keras yang diketahui sebuah payung lipat. "Statusku sebagai guru dan kau adalah murid. Bersikaplah dengan sopan dan beretika layaknya-"

Zrashh

-murid." tepat sebuah mobil sedan hitam melewati mereka berdua dan memberi cipratan yang menghiasi pakaian di keduanya. Kali ini, mood Sasuke yang menjadi buruk. Matanya memicing saat melihat kondisi sebelah kiri bagian tubuhnya yang tertutupi noda. "Pfftt.. Seorang guru yang menjadi pujaan banyak perempuan dengan tidak elitnya terkena cipratan akibat mobil yang melewatinya." tentu saja perkataan Naruto yang lebih tepatnya pernyataan membuat amarah Sasuke melonjak tinggi. Baru saja ia akan membuka suara, entah kenapa tiba-tiba amarahnya sedikit pupus. Iris onyxnya menangkap dengan jelas ekspresi pemuda pirang dihadapannya yang tertawa kecil dengan tulus. Sasuke sempat tidak berkedip beberapa detik sebelum akhirnya ekspresinya kembali ke semula. Datar nan dingin.

"kau tahu, ini peristiwa yang sangat langka ya-"

Ucapan Naruto terhenti. Senyumnya hilang bak ditelan samudera, tergantikan dengan ekspresi yang penuh gelisah. Sasuke yang melihat perubahan itu mengangkat sebelah alis, sangat heran dengan kepribadian pemuda dihadapannya itu. Apa Naruto mengidap bipolar? Pikirnya. Sasuke menyadari jika pandangan Naruto tidak lagi berfokus padanya, namun pada sesuatu di belakangnya. "itu mobil ayah." ucapan Naruto membuat Sasuke reflek menolehkan kepalanya ke belakang. Onyxnya menangkap mobil sedan hitam yang terhenti tak jauh dari tempat mereka berdua berada. Belum sempat Sasuke berbicara, sosok dihadapannya hilang. "sial." ekor matanya mencari-cari sosok yang sebelumnya berada dihadapannya. "kemana perginya si bodoh itu, huh?" gumam Sasuke seraya menekan kekesalannya. Irisnya memicing tajam ke arah seberang jalan namun nihil.

"Uchiha Sasuke?" sontak sebuah pertanyaan membuat Sasuke menoleh ke arah Sumber. Ah, Namikaze Minato, batinnya. Sasuke langsung membungkukkan tubuhnya dan disambut oleh kekehan dari Minato. "tak perlu formal seperti itu. apa kabarmu?" ujar Minato seraya mengulurkan telapak tangannya yang disambut oleh Sasuke. "aku baik." jawab Sasuke apa adanya. "syukurlah. Oh ya, kupikir tadi aku melihat anakku disini." ujar Minato sambil menoleh kesana kemari untuk mencari sang objek. 'memang benar' batin Sasuke sweatdrop. "ah benar Sasuke, apa kau sibuk? Aku ingin mengajakmu makan malam hari ini" tanya Minato dengan senyum tipis. "Maafkan aku Minato-san, aku ada urusan setelah ini" jawab Sasuke dengan senyum terpaksa. "hmm.. Sayang sekali. Baiklah, sampai jumpa Sasuke-kun. Sampaikan salamku pada ayahmu." ujar Minato yang seraya membungkukkan badannya diikuti oleh Sasuke.

"sampai jumpa, Minato-san."

Selepas Sasuke mengamati kepergian sedan hitam yang tak jauh darinya , ia langsung berlari kecil untuk mencari sosok pirang yang sebelumnya sedang bersamanya. "kemana perginya bocah itu" sampai langkah kakinya membawa Sasuke ke sebuah tempat dimana orang-orang dengan mudahnya melihat desiran ombak laut yang terpantul sinar Mentari disana. Sasuke menurunkan payung hitamnya lalu melipatnya kembali. Onyxnya tak sengaja menangkap helai pirang yang selama ini ia cari. Uzumaki Naruto, tengah menyandarkan diri di pembatas yang terbuat dari stainless seraya menyangga pipinya. Pandangannya tak lepas dari keestetikaan yang Tuhan berikan. Masih terlihat jelas surai pirangnya yang turun akibat air hujan. Merasa ada yang janggal, Naruto mengalihkan pandangannya ke samping, mendapati seorang guru yang tengah memandangi gelombang laut yang saling bertumbukan. Naruto mendecih saat matanya sempat bertemu pandang. Ia berlalu pergi sebelum sebuah suara menghentikan langkahnya. "percuma kau melarikan diri, Minato-san sudah mengetahui soalmu." kata Sasuke santai. Naruto membalikkan tubuh, irisnya memicing tajam ke arah pemuda yang berstatus sebagai guru pengganti. "lalu, apa aku harus percaya?" Naruto sedang berusaha terlihat tenang walaupun hatinya terasa gugup. Instingnya mengatakan bahwa sang guru tengah berbohong. Naruto terus mengamati gerak-gerik sang guru yang tengah merogoh saku coatnya, mengambil satu Batang rokok yang kemudian dinyalakan. Menghisapnya dengan tenang sebelum iris hitamnya membalas menatap sang murid. "apa aku terlihat berbohong?" tanyanya datar. Well, Sasuke memang sedang bersandiwara sekarang. Iris hitam kelamnya menatap lurus pada sapphire di depannya. Lagi-lagi hujan yang sebelumnya sempat terhenti kini kembali turun. Sasuke kembali memasang payungnya, namun tidak dengan Naruto yang masih bergeming. "kau akan sakit jika terus seperti itu, dobe" ujar Sasuke dingin. "siapa yang kau bilang dobe, huh?!" kata Naruto tak kalah dingin. Sasuke kembali melempar payung lipat yang sebelumnya ditinggalkan oleh Naruto di trotoar pejalan kaki. Tapi kali ini Naruto menangkapnya. "kau." ujar Sasuke seraya mengarahkan dagunya pada Naruto.

"Yo Teme."

Twitch.

Okay, kini amarah Sasuke sedikit tersulut. Terlihat Naruto menahan tawa dengan tatapannya yang mengejek pada sang guru. Namun sebuah getaran yang berasal dari saku Sasuke membuatnya berhenti. Raut wajahnya kembali datar dan bosan melihat aktivitas orang didepannya yang berbicara lewat telepon genggam dengan seseorang diseberang sana. Naruto memutarkan kedua bola matanya dan hendak meninggalkan sang guru. "Shion akan menjemputmu disini, Naruto." pemuda pirang tersebut langsung menoleh, terutama saat mendengar nama kecilnya disebut. Ia menunjukkan mimik ketidaksenangan saat menatap Sasuke. "Apa urusa- tunggu, bagaimana kau tahu Shion, teme?" pertanyaan Naruto membuat Sasuke menyeringai dan hanya ditanggapi kernyitan oleh Naruto. "jangan meremehkanku, dobe" Naruto hanya menanggapi dengan ber-oh ria. "baiklah, kau mengakuinya sekarang." ujar pemuda Tan tersebut diikuti tawaannya yang cempreng. "well, kita lihat apa yang terjadi setelah ini." pernyataan Sasuke membuat tawa Naruto terhenti, manatap sang guru dengan kesan yang terasa mengganggu. Naruto hanya memutarkan kedua bola matanya dan hendak membalikkan tubuh. Ia berniat meninggalkan tempat tersebut. Namun, irisnya menangkap seorang perempuan berkulit pucat.

"Uh-oh."

"Selamat sore, Namikaze-kun." Shion. Wanita yang telah bekerja selama enam tahun lamanya di keluarga Namikaze itu berdiri tegap layaknya ksatria wanita. Jas hitam dengan rok selutut yang menjadi ciri khasnya serta kacamata hitam yang bertengger manis di wajahnya semakin membuat Naruto bergidik melihatnya. Entahlah, rasanya jantan sekali untuk wanita anggun seperti Shion. Pemuda pirang tersebut sontak membalikkan badannya, membuat iris birunya bertemu pandang dengan iris hitam sang guru. Naruto menyeringai.

Sekarang atau tidak ia harus melarikan diri.

Naruto langsung mengambil seribu langkah dengan kecepatan kilat, berniat lari meninggalkan orang-orang yang berada di sekitarnya itu. Namun sepertinya rencana pemuda tersebut gagal karena Sasuke sudah lebih dulu mencekalnya dan mendorongnya balik sehingga membuat Naruto hilang keseimbangan. Saat Naruto kira ia akan terjatuh, tangan pucat itu kini menariknya kembali. "Cih, pengganggu." ujar Naruto seraya menepis cengkraman dari guru ravennya. Sasuke sedikit terkejut melihatnya tapi ia tak menunjukan. "Baiklah, jangan menyia-nyiakan waktu Namikaze-kun." tanpa babibu lagi Shion langsung menarik(baca: menyeret) sang tuan yang tentunya mendapat respon berontak dari Naruto. "Ah ya dan kau" Shion melirik lewat bahunya, iris violetnya menyirat ketidaksukaan pada seseorang yang sebelumnya ia hubungi. Pria yang menjabat sebagai guru pengganti tersebut membalasnya dengan pongah. "sebaiknya kau tidak terlalu dekat dengan bocah ini." ucapan tajam dari Shion sama sekali tidak Sasuke gubris. Ia hanya sibuk dengan batang rokok yang dihisapnya.

"sayangnya, itu mustahil."

.

Seorang wanita paruh baya yang terlihat awet muda duduk tepat di depan sang anak bersurai pirang. Tak luput dari tatapannya yang bosan. "jadi, bagaimana sekolahmu?" tanya sang ibu yang tengah melakukan table manner dalam menikmati teh hijaunya kepada sang anak. "seperti biasa, mungkin lebih tepatnya normal." jawab Naruto enteng tanpa mengalihkan perhatiannya dari wanita bersurai merah tersebut. "hmm.. normal seperti biasakah, setelah kau mendapat surat peringatan dari kepala sekolah?" tanggapan Kushina membuat Naruto sedikit gugup akan hal itu. Well, bagaimanapun juga ia masih memiliki rasa takut pada sang ibu, terutama pada situasi canggung seperti ini. Rasanya seperti seorang anak nakal yang ketahuan mencuri, bukan?

"itu hanya se-" tepat Kushina menghentakkan cangkir keramiknya, suara Naruto tercekat. Sulit rasanya melanjutkan kalimatnya. Naruto mendengus dalam hati saat ia melihat sang ibu bangkit dari duduknya, meletakkan sebuah surat dengan hanko merah kepala sekolah yang tertera jelas disitu dengan kasar. "ibu hanya heran denganmu, Naruto. Dimana prestasimu itu? Lenyapkah ditelan dengan sikapmu yang berandal itu?" sungguh Kushina memang kecewa saat mengetahui sang anak bersikap tidak serius di sekolah. Tangannya bersidekap memandang hamparan kebun anggur melalui jendela perancis. Iris violetnya sekilas melirik sang anak yang tengah membuang muka untuk menghindari dirinya. Diam-diam wanita bersurai merah tersebut menghembuskan napasnya lalu mendudukkan kembali dirinya. Di saat itu juga Naruto kembali menatap sang ibu walaupun terkesan ragu-ragu. "bagaimana jika kita bertaruh?" ujar Kushina membuat Naruto mengernyit bingung. "maksudmu ibu?" pertanyaan yang dibalas pertanyaan membuat Kushina menghela napas sekali lagi. "maksudku, jika kau bisa menarik kembali surat ini" terang Kushina seraya menunjukkan surat yang sebelumnya dibicarakan. "alangkah senangnya ibu melihat dirimu kembali lurus." sambung Kushina dengan senyum cerahnya membuat Naruto mengedipkan matanya beberapa kali. "namun jika hal yang terjadi sebaliknya, ibu akan mencabut semua fasilitas yang ibu berikan maupun itu dari ayah sekalipun." well, pernyataan Kushina memang membuat Naruto kalah telak saat itu juga.

"dan kau akan ku tempatkan di desa kecil untuk sekolahmu. bagaimana?"

.

"umm.. apa itu tidak terlalu berlebihan, Kushina?" suara seorang paruh baya yang terdengar sangat hati-hati, membuat objek yang ditujunya menoleh. "kurasa tidak, mengingat dirinya memang tidak bodoh seperti apa yang dilihat" kata Kushina tanpa basa-basi, membuat Minato tersenyum kaku. "lagipula, aku ragu jika ia masih bertindak seperti itu" sambung Kushina otomatis membuat Minato tersenyum hangat. "well, dia bukan tipe orang yang mudah menyerah." ucap Minato seraya menyesap kembali kopi hitamnya. Kushina yang mendengarnya terkekeh kecil, pikirannya kembali mengingat sorot mata bocah pirang tersebut yang intens saat ia menuturkan taruhannya. Sifat Naruto memang banyak diwariskan darinya.

"ehh... ada apa, Kushi-chan?" tanya Minato yang memang ia merasa sedikit gelisah saat melihat senyum Kushina terpantul lewat jendela. Yah, Minato merasa perasaannya menjadi tidak enak. "haha.. tidak apa. Baiklah, oyasumi Minato." ujar Kushina yang beranjak dari tempatnya tak lupa memberi kecupan singkat di pipi sang suami sebelum kembali ke kamarnya. Minato mengehela napas ringan dan tersenyum tipis.

"ayah selalu bersamamu, Naruto."

.

"jadi?"

Iris kelamnya menatap tajam objek didepannya seraya menopang sebelah kakinya. Dirinya menyangga sisi pelipis kanannya menggunakan punggung tangan berkulit porselen tersebut. Berbeda dengan pemuda tan dihadapannya yang memasang senyum andalannya, tentunya dengan menghindari tatapan iris onyx dihadapannya. "suatu kecurangan apalagi yang telah kau perbuat?" ujar Sasuke seraya melempar lembaran kertas ujian ke arah meja yang menjadi pembatas mereka. Terlihat jelas angka bertinta merah yang bernilai seratus disitu. Pandangan Naruto beralih pada lembar kertas hasil ujiannya yang dua hari lalu ia ikuti dikelas. Jujur, Naruto bingung detik ini juga. Otaknya tidak mampu mencerna kalimat dari sang guru. Ia kembali menatap Sasuke yang juga masih setia menatapnya dingin. "umm.. maksudmu, sensei?" sungguh, kali ini Naruto naik pitam saat mendapati iris kelam yang terkesan meremehkan itu. Yah, setidaknya senyumannya masih ia pertahankan walaupun terlihat kaku.

Naruto sedikit menangkap desahan halus yang dikeluarkan dari Sasuke. Pemuda bersurai malam itu membenarkan letak kacamatanya yang sedikit jatuh. "jelaskan seperti apa motif mencontekmu saat ulangan lalu?" tepat rasanya ribuan pedang prajurit menghunus tubuh Naruto satu per satu. Yeah, sisi melankolisnya sedang berperan saat ini. Sasuke memejamkan matanya dengan tangannya yang masih menyangga sisi kanan pelipisnya. Menunggu sebuah jawaban dari pemuda yang berstatus sebagai muridnya kala itu.

"motif katamu? Haruskah aku memberi bukti terhadapmu sensei? Aku rela mengurangi waktu tidurku sebelum ujian berlangsung." nada bicara Naruto meninggi tidak seperti sebelumnya yang sedikit santai. Persetan dengan semua itu. Yang ada ia hanya ingin meninju wajah pucat menyebalkan itu. Tentunya sedikit demi sedikit Naruto berusaha untuk memulihkan nilai-nilainya kembali semenjak peristiwa pertemuannya dengan sang ibu, walaupun keonarannya masih terbilang tak ada yang berubah sama sekali.

Jawaban Naruto membuat Sasuke memandangnya intens. Lalu ia mengambil sebuah papan yang di permukaannya terdapat kertas yang terjepit dengan penjepit dari papan tersebut. Menoreh tulisan-tulisan yang membuat Naruto enggan melihatnya. Suara guratan pensil tersebut yang menurut Naruto mengganggu membuatnya mendecih.

Brukk.

"aku akan percaya jika melihat langsung dengan mata kepalaku sendiri." bersamaan dengan tangannya yang menyodorkan papan tersebut di meja, Naruto mengikuti arah gerakannya. Iris birunya menangkap sebuah pertanyaan yang memang harus dijawab dengan rumus-rumus tertentu. Kali ini Naruto langsung meraih pena yang tersampir di sebelah kertasnya, mulai menorehkan sesuatu yang membuat Sasuke memicingkan iris kelamnya. Mengamati gerak-gerik pemuda pirang didepannya itu secara detail. Sasuke kembali membenarkan letak kacamatanya tersebut, menyandarkan punggung tegapnya yang masih tak luput pandangannya dari Naruto. Sekilas ia bisa menangkap senyum ala psycho dari sang murid saat mengerjakan soal tersebut dengan tenang.

"well, aku sangat benci saat melihat sebuah kesalahan." ujar Sasuke memecah keheningan diantara keduanya, membuat Naruto menghentikkan aktivitas mengerjakan soal. Naruto mengadahkan kepalanya memandang sang guru hendak menyalakan ceret api untuk rokoknya yang telah bertengger manis di bibir pucat tersebut. "dan yeah, kau tahu, aku benci melihat orang yang merokok tepat didepanku." perkataan Naruto dengan ekspresi polosnya membuat pergerakan Sasuke terhenti. Kemudian, Naruto kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Okay, kali ini Sasuke yang sedikit merasa kesal? Tentu saja. Secara tidak langsung dirinya telah dipermalukan oleh seorang murid berandal. Namun, ia tetap menghentikan aktivitas menyalakan benda tersebut dan menghisapnya. Berdehem kecil dan kembali melakukan aktivitas seperti sebelumnya. Kembali memandangi Naruto. Itulah yang Sasuke lakukan.

Naruto pun meletakkan penanya dengan dentuman yang agak keras. Ia pun bangkit seraya menysisir rambut pirangnya ke belakang dan tentunya kedua belah iris yang berbeda tersebut bertubrukan. "kau bisa melakukannya lagi padaku jika kau masih enggan untuk mempercayainya, Uchiha-sensei." Naruto bergegas meninggalkan ruangan milik sang guru, menghilang bersamaan tertutupnya pintu yang terbuat dari mahoni tersebut.

Tanpa melihat hasilnya pun, pria berkulit pucat itu sudah mengetahui hasil yang ia terima dari sang murid mengingat Sasuke terus memperhatikannya tanpa henti.

Ia kembali merogoh ke arah sakunya, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Melanjutkan aktivitas yang sebelumnya sempat tertunda akibat ulah seseorang.

Yeah, seseorang yang membuat orientasi seksualnya menyimpang dan Sasuke akui itu merupakan hal terbodoh yang pernah ia alami selama dua puluh lima tahun hidupnya. Iris kelamnya menerawang jauh pada kaca jendela yang terpampang di sampingnya itu. Saat ini waktu menunjukkan pukul lima tepat yang memang seharusnya segala aktivitas sekolah dibubarkan.

Matanya tak sengaja menangkap sosok familiar baginya berjalan beriringan dengan seorang pemuda bersurai merah bata yang ia ketahui bermarga Sabaku. Si ketua osis panda. Sasuke menaikkan sebelah alisnya saat itu.

"kukira ia tidak punya teman sama sekali."

.

"hey"

Naruto menolehkan kepalanya. Ia rasa seseorang telah memanggil kearahnya melihat keadaan sekitar telah sepi. Ah. Sabaku Gaara. Ketua osis yang jarang terlihat namun pengaruhnya cukup kuat di sekolah. Naruto mengangkat sebelah alisnya mengingat dirinya tidak memiliki semacam urusan apapun dengannya. "ada apa?" tanya Naruto tanpa basa-basi. "Mengingat kita sekelas tahun ini, aku hendak memberikanmu buku catatan saat kau tidak hadir minggu lalu." ujarnya dengan aura khas ketenangannya seraya mengulurkan sebuah buku yang tidak bisa dibilang tipis bercorak grid monokrom pada Naruto. Walaupun Naruto memang tertinggal pelajaran dalam kelas dan hal itu terlihat dari jumlah absennya yang lebih banyak, jujur Naruto sebenarnya tidak terlalu membutuhkannya. Jangan remehkan dirinya semenjak sang ibu menawarkannya (baca : mengancamnya) dengan hal yang tidak ia duga selama ini. Menarik semua fasilitasnya? Apalagi memindahkannya ke sekolah terpencil? Oh, lebih baik Naruto kembali ke jalan yang benar dengan fokus pada belajarnya seperti dulu. Sejak saat kejadian dengan sang ibu, Naruto bahkan rela menghabiskan waktu belajarnya dengan memotong jam tidurnya diam-diam. Bagaimanapun juga sebenarnya Kushina melarangnya untuk tidak terlalu berlebihan. Well, maafkan anakmu ini ibu.

Walaupun begitu, Naruto merasa bersyukur saat mengingat masih ada orang yang memerdulikannya dan ia sungguh menghargai hal itu. "aku menghargaimu, ketua osis." ucap Naruto tak luput dari senyum tipisnya. "yeah, mengingat perilakumu yang seperti itu, aku sedikit terkejut bisa melihat dirimu seformal ini." kalimat yang dilontarkan dari pemuda bermata panda tersebut dengan selipan nada lelucon membuat Naruto sedikit terasa awkward.

"well, aku cukup tersinggung oleh ucapanmu." kata Naruto seraya tertawa kering. 'Perilakumu yang seperti itu?' Ia mengakui memang dirinya dianggap tak pantas karena kelakuannya yang menyimpang selama ini. Tapi ini minggu pertama di bulan Maret dan itu menjadi awal kembali debutnya untuk memperbaiki citranya di sekolah. Huh. Belum saja mereka mengetahui jati dirinya yang sebenarnya.

"oh.. maafkan aku. Sungguh aku tidak berniat seperti itu." Naruto melirik ke arah sang ketua osis melalui ekor matanya yang saat itu juga Gaara menatap Naruto dengan ekspresi rasa bersalah di wajahnya. Mereka berjalan beriringan yang tak sengaja sepasang iris kelam menangkapnya.

"pfft.. baiklah, aku terima perkataan maafmu, Gaara." sekali lagi Gaara menolehkan kepalanya sesaat telinganya menangkap nama kecilnya disebut oleh pemuda beriris sapphire disampingnya. Ia tak berkutik kala manik jadenya melihat wajah tan tersebut tertawa lepas seperti biasanya, namun terasa berbeda. "sumimasen, apa kau merasa terganggu saat aku memanggilmu nama kecilmu?" tanya Naruto seraya menggosok telapak tangannya pada tengkuk lehernya, jujur Naruto merasa canggung kembali setelah itu.

"tak masalah selama kau yang memanggilnya." perkataan Gaara sedikit membuat tubuhnya tersengat sesuatu. Tunggu. Kenapa dirinya mengatakan sesuatu dengan alasan yang terasa janggal? Gaara mengangkat bahunya menyertai jawaban yang ia lontarkan tersebut. Gaara terdiam hendak mendengar apa yang akan diucapkan Naruto.

"dan yah, mungkin kau orang pertama yang langsung menawarkan diri untuk berbicara padaku."

.

Setelah mereka berpisah tepat di gerbang sekolah, Naruto kini hanya berdiri diam seorang diri. Menunggu sesuatu beberapa menit hingga sebuah mobil sedan hitam berhenti melintas tepat didepannya. Tanpa berpikir panjang pun Naruto tahu siapa orang tersebut. Kacanya terbuka menampilkan sosok wanita yang dikenalnya dengan pakaian khas wanita jantannya.

"selamat sore, Namikaze-kun" ucap Shion seraya menurunkan kacamata hitam yang bertengger di hidung bangirnya. Naruto yang melihatnya hanya bergumam dan memutarkan kedua bola matanya, membuka pintu dan menempatkan seluruh tubuhnya kedalam mobil.

Sebuah mobil sedan hitam melintas mengarungi jalanan kota Tokyo yang kala itu matahari mulai menutup diri dari langit. Terdapat dua makhluk dengan aktivitas yang berbeda dari keduanya. Shion, wanita cantik dengan kulit putih alabasternya serta surai pirang pucat yang terikat rapih tengah berkonsentrasi dengan tugas menyetirnya. Sedangkan pemuda tan disampingnya hanya memandang jalanan yang tak luput dari wajah bosannya. "malam ini anda harus bersiap Naruto-sama" percakapan yang dilakukan oleh Shion membuat Naruto sedikit terlonjak kembali ke alam sadarnya saat sebelumnya perasaan kantuk melanda dirinya. Naruto menoleh melalui ekor matanya, menunggu kelanjutan kalimat dari wanita disampingnya. "tuan dan nyonya mengundang makan malam bersama rekan bisnis, well bisa dibilang sahabat lama" sambung Shion yang hanya ditanggapi Naruto seadanya. "apa si kacamata datang?" pertanyaan Naruto sukses membuat Shion menoleh dan sedikit mengerutkan dahi. Yah, kali ini mereka tengah berhenti tepat di pertengahan lalu lintas, menunggu tanda lampu lalu lintas menjadi hijau kembali. "maksud anda Karin-san? Ah, ia akan datang mengingat Karin-san akan berkunjung minggu ini" mendengar jawaban dari Shion membuat pemuda pirang tersebut mendengus kasar. Yah, ia memang tidak rela mengingat sepupu yang berasal dari kerabat jauhnya itu datang. "oh kita lihat, apa lagi yang akan ia perbuat nanti" gumaman rendah dan terkesan dingin dari mulut Naruto masih bisa terdengar oleh Shion saat itu. "persiapkan mental dan fisikmu serta, tuan muda" perkataan Shion kembali dibalas dengusan dari sang empu. Shion memaklumi sikap tuan mudanya jika hal itu menyangkut Karin, sepupu kerabat jauhnya yang menyebalkan (baca:menjijikan).

Wanita yang tiba-tiba datang ke mansionnya dan berkata bahwa ia masih bersaudara dengan Kushina dan tentunya Kushina masih mengingat betul siapa wanita bermata empat dihadapannya ini walaupun bertahun-tahun lamanya tidak berjumpa. Karin masih memiliki darah Uzumaki setidaknya. Kemudian setelah itu, ia sengaja merebut perhatian kedua orang tuanya dari Naruto saat itu. Pemuda tan tersebut berkedut sesaat lintasan masa lalu berteduh dalam pikirannya. 'lihat seperti apa pembalasan yang menantimu, mata empat' batin Naruto seraya menyeringai.

Mereka pun tiba di rumah utama Namikaze-Uzumaki. Shion memakirkan sedan hitam pemberian dari sang nyonya rumah untuknya tepat di basement yang memang disediakan sebagai garasi mobil. Naruto bergegas pergi memasuki papannya, kakinya mengarah pada kamar yang dirindukannya. Tak lupa para pelayan di mansion tersebut menyambut kedatangannya dan hanya dibalas senyuman kecil Naruto. Oh, baru beberapa jam semenjak keberangkatannya ke sekolah, rasa rindunya sudah tak bisa terbendung terlalu lama untuk menghempaskan tubuh tannya pada kasur indahnya. Nyaman sekali, pikirnya. Iris sapphirenya menatap langit-langit kamarnya, memikirkan seorang tamu malam ini yang akan diundang oleh kedua orang tuanya. "tumben sekali mereka mengundang rekan bisnis makan malam ke rumah utama" biasanya Kushina dan Minato akan melakukan hal tersebut dengan pertemuan pribadi seraya berbincang ringan di sebuah restoran yang mungkin akan disewa semalam. Naruto pun bangkit dari tidurnya dan melirik pada jam dinding yang melekat dikamarnya. Sekitar satu jam lagi ia akan disuruh turun kebawah oleh sang ibu untuk makan malam dan Naruto harus sesegara mungkin melakukan ritual membersihkan dirinya.

.

Suara ketukan yang berasal dari luar kamar Naruto membuatnya tak tahan untuk memutar bola matanya. Apalagi yang ia dengar bukan suara dari sang ibu, tetapi Shion. "Oh wow, apakah kaa-san sesibuk itu untuk menyambut tamu hingga aku tidak disusul olehnya?" bicara Naruto entah pada siapa. Ia hanya memakai setelan kemeja putih yang dibalut sweater rajutan berwarna krem, serta celana hitam. Well, jangan lupakan sandal rumah kesayangannya yang berbentuk kepala rubah berwarna orange tersebut.

"ah, Naruto-sama. Anda sudah siap?" pertanyaan Shion sukses membuat Naruto menyentuh tengkuknya dan berusaha menghindari tatapan menjelajah Shion. "kau memang manis, Naruto-sama" pernyataan Shion membuat Naruto mendecih pelan. "aku benci wajahku dan hentikan bahasa formalmu itu" sambung Naruto dingin seraya berjalan sedikit mendahului Shion yang mengekor dibelakangnya. "anda harus bersyukur dengan wajah manis tidak- wajah cantik yang anda punya" benar-benar Shion. Sudah keberapa kali untuk Naruto menahan malu mendengarnya. Ia pun menghentikan langkahnya saat dirinya sudah bisa melihat ruangan yang banyak orang berkumpul, sepertinya para pelayan tengah menghidangkan sajiannya disana dan jangan lupakan suara menyebalkan Karin yang sempat tertangkap indra pendengarnya. Naruto pun membalikkan badannya menghadap Shion dan menatapnya ketus. "jangan mengatakan hal yang menjengkelkan Shion-nee! Aku ini tampan, bukan manis apalagi cantik" jawaban Naruto membuat Shion terkekeh geli mendengarnya. "okay, tapi aku yakin orang-orang disana pasti gemas melihat penampilanmu sekarang" ujar Shion seraya mengacak surai pirang tuan mudanya. Naruto akui, ia memang merasa nyaman dan terlindungi apabila dekat dengan Shion. Layaknya seorang kakak yang sigap kapanpun melindungi orang tercintanya. "terutama si bungsu Uchiha dingin itu" sahut Shion yang merasa jengkel saat mengingat pemuda bermodel rambut aneh tersebut. "dan yah, ka- tunggu. Apa maksudmu Uchiha bungsu!? Sebenarnya siapa sahabat lama orangtuaku ini!?" belum Shion sempat menjawab keterkejutan Naruto mengenai omongannya, suara seseorang menginterupsi mereka berdua.

"oh Naruto, Cepatlah kemari. Kau tidak boleh membuat tamumu menunggu lama, bukan?"

Tanpa berpikir panjang pun Naruto tahu siapa suara itu. Siapa lagi jika bukan sang ibu yang memang saat ini tengah memanggilnya dengan suara merdunya. Naruto yakin nada bicara ibunya itu ada maksud tertentu dan membuat perasaannya tidak enak seketika. Kaki jenjang tersebut dengan cekatan menuruni susunan anak buah tangga yang berhubungan langsung pada lantai pertama. Netra birunya menangkap sosok orang-orang yang memang Naruto ketahui sebagai teman dekat orang tuanya. Saat itu juga Naruto menahan napas ketika irisnya bertemu pandang dengan onyx kelam yang akhir-akhir ini mengganggu dirinya. "Oh Hey, Naru-chan sayang, apa kabarmu?" Uchiha Mikoto, Naruto ingat wanita yang seumuran dengan sang ibunya ini beberapa tahun lalu pindah ke Jerman bersama keluarganya untuk persoalan cabang baru perusahaannya. Mungkin sekitar lima tahun yang lalu dan mereka telah kembali? Cukup membuat Naruto terkejut. Mikoto menangkup wajah chubby tannya seraya mengelus-elus kedua belah pipi tersebut dengan gemas. Oh tuhan, sejak kapan dirinya dipanggil dengan embel-embel 'chan' sedangkan pangkat preman masih melekat kuat dalam dirinya? Naruto akui ia memang tampan dan tidak ada manis atau kata cantik yang hinggap diwajahnya itu. Cukup narsis sifat Naruto. "a-aku baik" dan hell! Apalagi ini? Mengapa tiba-tiba dirinya menjadi segugup ini sampai-sampai untuk berbicara pun ia harus terbata-bata? Oh tuhan, Naruto saat ini menahan diri untuk tidak menjalarkan rasa panas ke wajahnya.

"hahaha.. Naruto hanya sedang gugup Mikoto-baasan, benarkan Naruto?" timpal Karin seraya menyenggol lengan Naruto dengan senyuman mengejek. "aku tidak butuh pendapatmu, kacamata" ujar Naruto yang melewati Karin begitu saja untuk menempatkan diri bergabung pada meja makan. Karin yang awalnya berniat memberi gurauan mendadak sudut bibirnya berkedut kesal saat mendapat jawaban ketus dari si pirang. "wajah manismu sangat lucu ketika kau berbicara ketus seperti itu, Naruto" sahut Itachi yang hampir membuat Naruto tersedak air liurnya sendiri. "huh, apa yang kau katakan Itachi-nii? Maaf saja tapi wajahku ini tampan dan tidak ada kata manis" kata Naruto seraya bersidekap dan dibalas tawaan ringan dari Itachi. Tak menyadari sepasang iris kelam tak lepas memandang intens pada objek didepannya.

Naruto telah menyamankan posisi duduknya, ia sedikit berjengit saat merasa punggung kakinya terasa ditekan keras. Oh, Karin barusan menginjaknya dengan penuh dendam. Naruto sedikit meringis saat sakit menjalar di kakinya, apalagi jika rubah kesukaannya terinjak begitu saja. Naruto pun mengelak dari injakan kaki Karin dan kembali pada raut wajahnya yang serius seperti semula. Detik itu juga, Naruto ingin melarikan diri dari rumah untuk tidak melihat wajah tembok pemuda bersurai raven didepannya saat iris birunya saling memandang dengan onyx yang bersebrangan dengannya. Ya, Naruto salah mengambil posisi sepertinya mengingat ia sekarang duduk saling berhadapan dengan pemuda yang menjabat sebagai guru pengganti di sekolahnya. "anda baik-baik saja, Naruto-sama?" pertanyaan Shion menyadarkan Naruto dan pemuda pirang tersebut menggeleng sebagai respon.

"Sebegitu terpesonanya kah padaku sampai kau tak bisa mengalihkan perhatianmu, hn?"

Twitch.

Hampir saja Naruto bangkit dari duduknya untuk meninju wajah tembok datar tersebut jika tidak mengingat ini sebuah makan malam. Shion bisa merasakan aura gelap di sekitar tuan mudanya. Saat ini Shion tepat mengambil duduk di sebelah tuan mudanya karena Kushina selalu memaksanya ikut dalam acara makan malam. Ah, Kushina telah menganggap Shion sebagai satu kesatuan keluarga Namikaze.

Naruto mengeratkan pegangan pada garpu dan pisau di kedua tangannya dan menggertakan gigi. "kepercayaan dirimu terlalu tinggi, tuan" Sasuke tak kalah pongah menatap objek pirang didepannya seraya bersidekap dada. Pemuda atletis bak model tersebut memang terlihat memukai malam itu. Hanya dengan menggunakan turtleneck berwarna hitam serta kaki jenjang atletisnya yang dibalut celana katun hitam membuat dirinya semakin indah, terutama di mata para kaum hawa. Naruto juga sangat menyadari jika sedari tadi, Karin berusaha mencuri perhatian pemuda tembok tersebut namun gagal.

Tuan rumah bersama tamu terlarut dalam berbincang mengenai bisnis perusahaan mereka (baca: para orang tua). Itachi pun sesekali menimpali ucapan-ucapan para orang tua disitu dan terlihat sebagian orang yang lebih memilih diam karena tidak berminat sama sekali. Jangan lupakan Karin yang berceloteh untuk mencari perhatian Sasuke dan terkadang menggoda Naruto yang hanya ditanggapi ketus dari si pemuda pirang tentunya.

Kushina berdehem pelan sesaat pembicarannya terhenti dan irisnya melirik pemuda raven yang tengah menyesap kopi hitamnya. "jadi, bagaimana rasanya menjadi seorang guru, Sasuke-kun?" pertanyaan dari Kushina entah mengapa membuat telinga Naruto tiba-tiba menjadi panas dan bahkan dirinya sempat tersedak kecil. Oh ayolah Naruto, pertanyaan ini untuk Sasuke kenapa dirimu yang terlihat salah tingkah?

"tentu menyenangkan. Bahkan aku mendapat pengalaman baru disana. Menghukum murid, misalnya" jawaban Sasuke yang kelewat santai tanpa beban hampir membuat makanan yang disendok Naruto terjatuh. Naruto mengingat hari-hari pertama saat Sasuke datang sebagai guru exact di kelasnya dan saat itu ia telat mengikuti pelajarannya. Alhasil, saat pulang sekolah ia kena hukum untuk mengerjakan seratus soal yang telah disediakan guru pantat ayam tersebut diruangannya. Suram sekali, pikirnya. Pemuda pirang tersebut berusaha untuk tidak memperdulikan percakapan sang ibu dengan pria ayam itu. Peduli sekali, pikir Naruto seraya memasuki potongan sashimi kedalam mulutnya. Kushina terkekeh pelan saat mendengar ucapan Sasuke. Iris onyxnya tak lepas untuk melihat reaksi pemuda di hadapannya sedetail-detail mungkin. Sasuke tersenyum miring saat dirinya menangkap raut gelisah Naruto sepintas namun dengan pintarnya pemuda pirang tersebut berusaha berbicara dengan Shion mengenai rasa makanan yang terasa enak. Onyx kelamnya memandang sinis melihat aktivitas dua manusia berbeda gender dihadapannya.

"seperti apa murid yang pernah kau hukum itu, Sasuke-kun?" kali ini Minato ikut menimbrung dengan aura positifnya. "ceroboh, bahkan sepertinya murid lain menjauhinya" ujar Sasuke seraya iris kelamnya menatap tajam pemuda beriris sapphire didepannya yang juga membalas tatapannya dengan raut yang bergejolak. "eh? Malang sekali" ucap Minato yang terselip nada prihatin didalamnya. Dan itu anakmu sendiri, sambung Sasuke dalam hati.

"Naru-chan, setelah ini mainkan sebuah lagu ya?" permintaan Mikoto secara tiba-tiba tersebut menghentikan aktivitas Naruto ditempat. Jangan lagi, batinnya. "ah, aku... sudah berhenti" suara Naruto mengecil diujung kalimatnya. Iris sapphirenya melirik kedua orang tuanya. Minato yang memandang ke arahnya khawatir, sedangkan Kushina dengan tenangnya menyesap teh hijau di genggamannya. Oh astaga, padahal niatnya Naruto ingin meminta bantuan pada orang tuanya terutama sang ibu. Tapi respon macam apa itu, hah?, pikir Naruto seraya mengalihkan pandangannya terhadap buah jeruk yang barusan ia lepas kulitnya. "ehh!? Kenapa bisa begitu?" tanya Mikoto yang terlihat jelas raut wajahnya yang kecewa sampai ia kembali meletakkan cangkir keramik pada meja makannya. Jangan mengatakannya berlebihan jika mengingat Mikoto orang kedua yang selalu menjadi pendengar baik dalam permainan pianonya dan tentunya orang pertama ialah keluarganya sendiri.

"yeah.. banyak alasan untuk itu, Mikoto-baasan" jawab Naruto sedikit ragu dengan senyum canggungnya. Jangan lupakan tangan tan yang mengusap tengkuknya dan terlihat mencengkram lehernya sendiri. Sasuke sangat tahu jika pemuda pirang dihadapannya ini dilanda kegugupan. Diam-diam Sasuke sering menganalisis perubahan raut serta gerak-gerik Naruto sedari dulu. "sejak kapan kau berhenti?" kali ini kepala keluarga Uchiha membuka mulut soal Naruto. "umm.. kurang lebih 2 tahun belakangan ini" jawaban Naruto sontak membuat Sasuke memandangnya sinis. "dua tahun dengan kelakuan yang memuakkan" gumam Sasuke yang nyaris tidak terdengar seluruh orang di sana. Namun hebatnya, Naruto mendengar kalimat itu hingga membuat tubuhnya menegang. Naruto mengeratkan kepalan tangannya hingga buku jarinya memutih. Dan ternyata Shion juga sedikit menangkap sebuah gumaman walaupun tdak terdengar jelas namun bisa merasakan ketidaksukaan. "walaupun begitu, tetap saja kau harus memainkannya setelah ini kan, Naru? Aku sudah terlalu rindu mendengarnya" mendengar Mikoto seperti itu dengan wajah bak malaikat bercahaya mau tidak mau Naruto harus menurutinya kali ini. Ia tidak tega menolak permintaan Mikoto dengan raut wajah yang sangat mengharapkan dirinya itu. "bailah, aku akan bermain setelah ini" ucap Naruto yang di akhiri helaan napas kecil dan disambut kesenangan oleh Mikoto. "ehh? Apa kaa-san tidak terlalu memaksa Naruto?" tanya Itachi yang sedikit khawatir dengan kondisi mental Naruto yang terlihat sangat enggan untuk menerima permintaan Mikoto. "tidak apa, Itachi-nee. Itu bukan masalah besar" sahut Naruto seraya tertawa kering.

"baiklah"

.

Tepukan tangan yang berasal dari Mikoto mengakhiri permainan piano Naruto. Sebelumnya Naruto memainkan Sicilienne Op. 78 karya Gabriel Faure yang memang itu salah satu kesukaan Mikoto sejak dulu. Karena letak piano yang memang tak jauh dari ruangan makan dan kali ini tekanan berat diberikan kembali oleh Naruto. Sasuke yang terus memandanginya entah sejak kapan pemuda tersebut sudah berada di sebelahnya seraya menyangga kepalanya pada tepian piano. Itu memudahkan Sasuke untuk melihat keseluruhan wajah Naruto lebih dekat dan ia akan merekam setiap ekspresi yang dikeluarkannya saat ini. dan sudah Naruto putuskan untuk tidak menganggap ada kehadiran makhluk tersebut, sehingga Naruto lebih memusatkan perhatiannya pada Mikoto yang sedang berceloteh.

Cantik. Satu kata yang memenuhi benak Sasuke kala itu walaupun tidak ada sedikitpun perubahan ekspresi di wajah porselennya. "bagaimana dengan chopin? Spring waltz?" ucapan Mikoto membuat tubuh Naruto kaku. Sasuke menyadari itu. Ibunya memang sangat suka dengan musik bergenre romantik. Sebuah rasa penasaran melanda Sasuke seketika saat melihat netra biru tersebut kosong walaupun irisnya mengarah pada tuts piano. Huh, apa yang dipikirkan si bodoh in?

"Naruto?"

"huh?"

Kali ini Naruto tepat memandang langsung iris hitam kelam milik Sasuke. "ada apa? Ah iya, spring waltz kah?" perkataan Naruto disambut desahan kesal dari Sasuke. "kau bahkan tidak menyadari ibu sudah tak disampingmu" Naruto mengernyit heran. Apa katanya? Kepala pirangnya langsung menoleh kearah tempat Mikoto duduk sebelumnya. "kau terlalu lama berpikir, atau mungkin melamunkan sesuatu?" Naruto merasa idiot sekarang. Yeah, dia memang sebenarnya makhluk idiot. 'tunggu, tunggu..' pikir Naruto yang tak habis pikir karena kelambatan otaknya. Tapi sepertinya pemuda pirang tersebut bisa mendengar percakapan yang ia ketahui sebagai ibunya dan suara yang berasal dari Mikoto. "Kushina-baasan ingin menunjukkan resep terbarunya pada ibuku" seolah membaca pikiran Naruto dan langsung menjawab pertanyaan yang berada di benak Naruto. "aku tidak butuh penjelasanmu, teme" ujar Naruto seraya membuang muka dan menghindari wajah Sasuke yang berada pada jangkauan penglihatannya. Naruto hendak bangkit meninggalkan pemuda raven tersebut. Cih, tak sudi dirinya dekat-dekat dengannya, begitulah pikirannya.

"mau kemana, dobe?"

Terkutuk kau Uchiha Sasuke. Berani sekali ia menyentuh lengannya dan menahan tubuhnya seenaknya. "tentunya pergi untuk tidak melihat wajah tembok menyebalkan dirimu, sensei" wow berani sekali kau Naruto menentang Sasuke. Diam-diam Sasuke tersenyum miring saat melihat ekspresi jengkel dari Naruto saat itu. Mungkin sedikit bermain-main dengan dobenya akan menyenangkan. "baiklah, kau boleh pergi. Itupun jika kau ingin kuantitas nilaimu kuturunkan" perkataan meluncur dari suara bariton yang masih menggenggam lengannya sontak membuat Naruto menoleh horor. "apa? Yang benar saja!? Kenapa tiba-tiba kau mengaitkannya dengan nilaiku!?" amarah Naruto melonjak, terdengar dari suaranya yang meninggi serta wajah yang memerah menahan marah.

Sasuke tertawa dalam hati.

Sasuke mengangkat kedua bahunya acuh. "kau belum memainkan lagu untukku." Kata Sasuke enteng, tak luput dari wajah datarnya yang memandang lurus pemuda pirang didepannya. What? Tentu saja Sasuke tidak ingin meninggalkan momen mencuri kesempatan dari Narutonya. Bisa dibilang ia cemburu dengan Naruto yang memainkan lagu untuk Mikoto, sedangkan kepada Sasuke?

Oh kau kekanakan sekali, Sasuke.

Dengan sangat terpaksa, kali ini Naruto mau tak mau harus menuruti permintaan Sasuke. Tentunya Naruto tidak rela mengingat nilai-nilainya jika dibandingkan sebelumnya meningkat secara perlahan dan hilang begitu saja hanya karena keegoisan sang guru? Naruto masih sayang nyawa jika mengingat taruhan sang ibu terhadapnya.

Naruto menghempaskan bokongnya dengan keras. Menarik napas sedalam-dalamnya dengan ekspresi yang lucu menurut Sasuke. Ah, pemuda pucat itu sangat menikmati segalanya jika berhadapan dengan Naruto. "bagaimana dengan beethoven? Silence, hn?" Naruto memicing ke arah Sasuke yang masih setia dengan posisi bergemelayut di tepi piano, memandang datar tanpa beban ke arah Naruto.

Tanpa berpikir panjang, Naruto mulai menekan tuts piano seirama dengan lagu yang diminta Sasuke. Hah benar-benar, lagu yang ia mainkan sangat cocok dengan tipe dan aura seperti Uchiha Sasuke. Keterdiamannya namun di satu sisi berkharisma yang menjadi khas dirinya serta bermulut tajam. Jangan lupakan dengan irit bicaranya itu. Tunggu. Kenapa juga Naruto sempat-sempatnya memuji Sasuke?

Ah, sudah lama sekali Sasuke tidak mendengar suara bermain Naruto semenjak kepergiannya ke Jerman saat itu. Ketika dirinya masih menginjak usia dua puluh tahun. Pada saat itu, Sasuke terkadang meluangkan waktunya untuk mendengar lantunan musik klasik selama berjam-jam tak ada habisnya. Apalagi saat dimana dirinya datang mewakili Uchiha Corp ke sebuah pesta yang diadakan para petinggi untuk sebuah proyek besar di Kyoto. Di saat itu juga Sasuke bertemu bocah pirang berusia 14 tahun untuk kesekian kalinya yang tengah bermain piano di sudut pesta. Bocah bermarga Namikaze dan keturunan Yakuza Jepang Timur yang merupakan anak dari sahabat lama orangtuanya itu.

Sasuke masih ingat jelas bagaimana raut wajah Naruto 14 tahun yang kala itu tengah menatap jengkel ke arah wanita bersurai merah. Uzumaki Karin. Perempuan yang memiliki usia yang sama dengan Sasuke. Wanita tersebut tengah berbincang riang dengan para tamu undangan di pesta itu. Tentunya merebut perhatian orangtuanya dari Naruto. Awalnya Sasuke mengira jika Naruto anak yang suka menaruh dendam karena tatapan tajamnya, padahal tidak terlihat menakutkan sama sekali di mata Sasuke. Mungkin bagi pemuda raven tersebut sangat mengemaskan.

Kelopak mata Sasuke yang sebelumnya menutup menikmati alunan nada dari Naruto seraya mengingat berbagai kisah di masa lalu, kini terbuka. Mengarah tajam pada Naruto yang tepat pada saat itu ia telah menyelesaikan lagunya. Naruto yang merasa ada sesuatu sedari tadi terus memantaunya menoleh. Memberi ekspresi ketidaksukaan untuk sang guru. "apa kau puas?" ujar Naruto dingin dan memandang intens Sasuke. Sedangkan tidak ada perubahan sedikitpun dari wajah porselen tersebut terkecuali iri hitamnya yang menyedot seperti hole yang tak berujung. Sedikit membuat Naruto salah tingkah. Sasuke pun bangkit dari duduknya, tentunya iris sapphire Naruto tak lepas untuk terus mengamati pergerakan sang guru.

Srukk.

Mata biru jernih itu menatap polos sang guru. Jemari panjang yang dibalut kulit alabaster tersebut mengacak pelan seraya meremas lembut helaian-helaian pirang itu. "aku akan lebih puas jika mulai sekarang kau harus berlatih kembali" suara baritone dari bibir tipis tersebut membuat Naruto memasang raut wajah yang tidak bisa diartikan. Sedangkan wajah tegas sang guru masih kokoh dengan ekspresi dingin, namun tersirat keteduhan disana. Untuk terakhir kalinya, Sasuke sedikit meremas kembali helaian pirang sang murid lalu pergi meninggalkan Naruto seorang diri.

Astaga, rambutnya halus sekali.

.