Fade into You

(Fade #1)

(Remake)

Chanbaek's fanfiction based of novel by Kate Dawes

Jadi, ini bukan murni ceritaku. Aku hanya me-remake dari novel karya Kate Dawes dan mengganti nama dalam cerita dengan nama anggota EXO dan lain-lain.

Cerita seluruhnya karangan Kate Dawes

GS, M rated.

*

Aku telah tinggal dan bekerja di Los Angeles hanya tiga minggu ketika aku bertemu dengan pria yang akan mengubah segalanya bagiku. Aku pernah mendengar namanya sebelumnya, tapi hanya selama beberapa minggu terakhir ketika bekerja sekitar Hollywood.

Sebagai seorang gadis biasa, baru lulus dari Ohio State University, Midwestern pindah ke Tinseltown (slang: Hollywood). Aku belum pernah mendengar tentang Park Chanyeol sebelumnya. Mungkin pernah, tapi aku tidak pernah sedikitpun memperhatikan ketika namanya muncul di layar sebuah film. Dia adalah penulis dan produser, aku mengaku bersalah-sebenarnya tidak peduli- untuk tidak mencari tahu siapa dia sebelum aku mulai melihat namanya di dokumen dan mendengar namanya di kantor.

Sebelum berjalan ke kantornya, aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, aku menemukan bosku Kris Wu, untuk sebuah rapat. Kris sedang melobi, agar salah satu klien di agensi kami bisa mendapatkan peran di film yang diproduseri oleh Park Chanyeol.

Tampang Park Chanyeol seharusnya tidak akan membuatku terkejut, jika aku mau sedikit repot mencari dia di google dan sedikit mencari tahu tentang dirinya sebelum rapat dimulai. Tapi aku tidak melakukannya. Terserah jika mau menyebut aku sebagai orang baru, tapi itu sesuatu yang benar-benar tak terpikirkan sebelumnya olehku, fokusku adalah presentasi ke klien.

Hampir sebagian besar waktu kami selama satu jam berada di kantor Park Chanyeol, aku duduk disana menatapnya, tak bisa fokus dengan rapat yang berlangsung, tingginya kira-kira 6 kaki 0,835 inci (185 cm), dengan bahu lebar dan pinggang langsing, itu bukan bentuk fisik seorang binaragawan, tipe kesukaanku. Tapi dia memiliki bentuk tubuh seperti huruf V. Kukira pakaian yang dikenakannya cukup membantunya juga. Celana panjang abu-abu gelap, dan kancing kemeja putih dengan dua atau tiga kancing pertama terbuka, mengungkapkan kulit halus dan coklat merata.

Rambutnya cukup panjang untuk bisa diacak-acak jika saja ada seorang gadis punya kesempatan untuk menggerakkan jar-jari diatasnya. Pada awal pertemuan, rambutnya tampak disisir ke belakang dan aku bertanya-tanya apakah ia adalah salah satu dari orang-orang yang berlebihan memakai gel. Tapi setelah berjam-jam, rambutnya mulai mengering, dan aku pikir mungkin dia baru saja mandi di kamar mandi pribadi di kantornya. Mungkin dia sudah bekerja sebelum rapat, dan dalam tiga puluh menit ketika aku menunggu di ruang tunggu, dia di kamar mandi sambil menyabuni...

See?? Itulah sebabnya kenapa aku merasa terganggu. Dan sejujurnya, ini sedikit membuatku marah. Aku datang ke kota ini untuk bekerja, membangun diriku sendiri, memulai hidupku. Aku tak mau menjadi tidak mampu dalam mengendalikan diri di setiap area hidupku, apalagi dengan pria. Aku pernah bermasalah dengan pria, dan ketika aku tiba di LA, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan mengucapkan selamat tinggal pada semua itu untuk waktu yang sangat lama.

Bekerja. Aku berada di sini untuk bekerja. Aku terus berusaha untuk menyakinkan diri sendiri, mengulanginya seperti mantra terus dan terus dan berulang-ulang...

"Bagaimana pendapat anda, Ms. Byun?"

Ini akan menjadi cukup buruk jika kata-kata itu keluar dari mulut Kris. Tapi itu keluar dari mulut Chanyeol, aku duduk di sebelah bosku dan di seberang seorang mogul Hollywood, tertangkap basah karena aku melamun.

Aku sudah menatap ke arah Chanyeol, memindahkan pandanganku dari bibir ke matanya. Aku langsung melihat bahwa matanya campuran antara biru terang dan abu-abu, tapi kali ini aku melihat bahwa satu alisnya dinaikkan untuk menekankan pertanyaan yang ditujukannya padaku. Aku tak memiliki petunjuk tentang konteks dari pertanyaannya tersebut. Dan benar-benar membuatku terlihat bodoh dan tidak berguna. Tapi tak ada cara lain, dan aku akan membiarkan itu terjadi.

Tanpa ragu kukatakan, "Dengan segala hormat, Mr. Park, saya mengahargai diminta untuk memberikan masukan, tapi Mr. Wu adalah ahlinya disini." Kataku dengan senyum dan menatap sekilas ke arah Kris Wu.

Untunganya, Kris mengerti isyaratku dan langsung memberikan argumen untuk mendukung klien kami.

Diselamatkan oleh sedikit kecerdasan. Ini jarang terjadi padaku, tapi ketika itu terjadi, sepertinya selalu terjadi ketika itu benar-benar penting.

Ini adalah bagian dimana kamu akan berpikir bahwa aku akan mendapatkan kontrol diri dan memperhatikan apa yang dibicarakan. Tapi seperti yang dikatakan Kris, aku menatap Chanyeol. Sepertinya semuanya baik-baik saja, dia bisa berpikir aku hanya menonton reaksinya terhadap Kris. Tapi itu salah.

Aku seorang gadis Midwestern. Cukup normal. Cukup jinak, sebenarnya. Aku sudah tidak perawan, dan aku sudah pernah berhubungan seks. Aku belum pernah menonton pornografi, dan yang membuatnya lebih aneh lagi adalah bahwa gambaran itu yang muncul di kepalaku. Mereka seperti sekelumit adegan dalam sebuah film, seperti cahaya yang berkedip dan kau mengingat aksi yang dilakukan dalam film tersebut. Dalam hal ini, aku yang melakukan aksi itu, telungkup, dengan Chanyeol di belakangku... merobek bajuku langsung di tempat tidur.

Beberap kali ia melirik padaku, aku khawatir bahwa dia bisa melihat apa yang aku pikirkan. Aku tahu, ini gila.

Ketika rapat usai, Chanyeol bangkit dan menghampiri Kris, dia menjabat tangan Kris dan menempatkan tangan yang lainnya di belakang lengan Kris. Aku belajar di mata kuliah psikologi bahwa itu adalah sikap yang menunjukkan kekuasaan dan dominasi. Aku tak terkejut, itu sudah biasa di Hollywood.

Chanyeol menatapku, "Ms. Byun, senang bertemu dengan anda."

"Terima kasih Mr. Park."

Aku menerima uluran jabat tangannya, "Panggil aku Chanyeol."

Tangannya besar dan kuat, dan jabat tangannya hangat, jika aku ingin sedikit melondramatis, ada aliran listrik kecil yang berlompatan dari tangan kami. Tapi itu tidak terjadi, kehangatan jabat tangannya sudah cukup mendebarkan.

"Baik Chanyeol, panggil aku Baekhyun."

Dia tersenyum, "Baekhyun" dan kita semua pun berbalik menuju pintu.

Kris pergi duluan menuju ke ruang tunggu, dimana dia sedang cepat langsung bercakap-cakap dengan dengan sekretaris Chanyeol, "Sepertinya kita hampir setiap hari berbicara di telepon..."

Percakapan mereka meredup ketika aku merasa tangan Chanyeol di punggungku. Dia membungkuk di bahuku, mulutnya dekat di telingaku, "Cara mengelak yang bagus, tadi."

Aku menoleh, "Apa maksudmu?"

"Ketika aku bertanya, apa yang kau pikirkan Baekhyun, kau menanganinya dengan sangat bagus Baekhyun."

"Aku tidak-" aku akan mulai berbohong tapi dia langsung menyelaku.

"Tidak apa-apa." Dia tertawa. "Aku sedang menggodamu. Lain waktu kita akan bicara, segera, aku yakin itu."

Aku merasakan aliran darah mengalir deras ke mukaku. Bagus, merona dalam suasana profesional.

Kris menemui kami lagi, dan sekali lagi berterima kasih kepada Chanyeol, aku tidak pernah sesenang itu ketika akhirnya kami dalam perjalanan pulang.

Perjalanan kembali dari studio ke kantor sangat singkat, dan ketika menyetir, Kris selalu mengatakan bahwa rapat berjalan dengan lancar, dan artis kami Jessica Jung, sudah hampir bisa dipastikan akan mendapat peran, dan itu adalah hal yang besar bagi agensi kami.

Ketika lampu merah, Kris menatapku "Ngomong-ngomong, kau melakukan hal yang sangat bagus disana. Aku sangat menghargainya."

"Apa itu?"

"Cara kau memperlakukanku, maksudku, kau sudah cukup paham dalam masalah ini dan bisa berkomentar, kalau tidak, aku tidak akan mengajakmu sama sekali, tapi... baiklah terima kasih."

"Sama-sama."

Aku sedikit khawatir Kris mengetahui alasanku yang sebenarnya, Chanyeol yakin untuk memilihnya, tapi Kris berpikir aku hanya asisten yang baik, yang membiarkan bosnya untuk menangani semuanya.

Sisa hari berjalan dengan baik, meskipun banyak dihabiskan dengan memikirkan tentang Park Chanyeol. Aku yakin, aku tidak pernah melihat contoh yang sempurna, ketika orang-orang berkata tentang pria bisa menjadi cantik.

Aku selalu berpikir itu kata sifat feminim, dan kukira ada beberapa orang terkenal yang layak menyandangnya, tapi aku belum pernah melihatnya sebelum aku melihat Chanyeol. Aku tak habis pikir, dia harusnya menjadi bintang film daripada menjadi orang di belakang layar, kenapa? Apakah dia pernah berakting dan tidak menyukainya? Atau gagal?

Menjelang sore, aku akhirnya meng-google namanya menggunakan telepon genggam. Aku merasa sedikit paranoid akan tertangkap basah ketika melakukan penelitian tentang dirinya setelah rapat, yang seharusnya aku lakukan sebelumnya.

Yang pertama muncul adalah daftar dari situs IMDb-nya. Ada satu foto dirinya, yang diambil ketika acara red carpet, itu bukan foto close-up, jadi tidak mewakili dia sama sekali. Aku men-scroll ke bawah, dibagian daftar kreditnya: tiga judul film sebagai penulis, sembilan judul film sebagai produser. Tak ada akting atau sutradara.

Aku sudah kagum padanya pada saat rapat berlangsung, dan semakin kagum, ketika mengetahui bahwa ia menulis salah satu film favoritku, dan pernah dimoninasikan untuk mendapatkan Oscar.

Whoa. Pria ini adalah orang besar dari yang kukira, dan aku tiba-tiba merasa bodoh karena tidak mengetahuinya. Meskipun Kris tidak menjelaskan, tapi dia sudah mengatakan bahwa ini adalah pertemuan terpentingnya yang dia dapatkan sepanjang tahun ini. Pikirku karena kami akan menjual Jessica Jung, sekarang aku tahu, itu karena kami akan bertemu salah satu orang besar di Hollywood.

Aku scroll ke atas, dan melihat tanggal lahirnya. Dia baru 29 tahun. Dan sangat tidak biasa, meraih kesuksesan di level di umurnya yang masih muda. Dia terlihat santai, ramah, tidak sombong dan tidak menutup diri. Terutama dengan komentarnya yang melegakan hati, ketika aku meninggalkan kantornya.

Pada akhirnya aku benar-benar terpesona dengan Park Chanyeol, dan tak tahu berapa banyak kenikmatan dan rasa sakit yang akan kurasakan di beberapa bulan kedepan.

Aku meninggalkan kantor dengan gugup, bukan hanya gara-gara Chanyeol, tapi juga karena aku masih baru dengan pekerjaanku, baru untuk seluruh bisnis di Hollywood, dan aku adalah bagian utama dari apa yang bisa menjadi masalah besar dengan bintang pendatang baru dan sebuah film blockbuster (film yang sangat sukses dan populer). Permainan telah dimulai- Kris bilang kita mungkin akan tahu sesuatu minggu depan.

Untuk mengurangi kecemasanku, aku membuka tutup Volkswagen Beetle baruku, dan membiarkan udara California menerpa rambutku ketika aku menyetir pulang. Mobil adalah belanja termahalku seumur hidupku. Aku sudah menabung semenjak lulus kuliah untuk uang muka. Itu adalah perjalanan yang menyenangkan dari Ohio ke California.

Ketika sapai di rumah, aku membuka pintu dan menemukan Luhan sedang mengangkangi seorang pria di sofa.

Xi Luhan dua tahun lebih tua dariku, dan sudah tinggal di California selama tiga tahun. Dia adalah teman kakakku Kyungsoo, dan benar-benar sudah seperti saudara, ketika dia tahu aku menuju ke selatan California ia menawarkan agar aku tinggal disana selama yang aku butuhkan.

Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu seluruh kebenaran tentang mengapa aku ingin melarikan diri dari Ohio. Kebanyakan orang berpikir itu hanya tentang keinginan sebuah awal baru setelah kuliah. Dan kebanyakan orang juga berpikir itu karena aku putus denagn Jung Daehyun setelah tiga tahun berpacaran dengan serius.

Apa yang orang-orang tidak ketahui adalah pada saat tingkat terakhirku di Ohio State, Daehyun sudah berselingkuh dengan lebih dari tiga wanita. Itu saja alasanku untuk mencampakkan dia, tapi ada satu hal penting yang tidak aku ceritakan, sekalipun kepada orang tuaku. Satu-satunya orang yang tahu hanyalah kakakku Kyungsoo dan Luhan.

Luhan datang ke Hollywood untuk mengejar mimpinya sebagai artis, tapi seperti kebanyakan yang lain, dia akhirnya menjadi seorang waitress sambil menunggu dia ditemukan oleh seorang pencari bakat. Yang membuatku kagum, dia tidak pernah memintaku untuk melakukan sesuatu dan meminta Kris untuk menawari pekerjaan. Dia bertekad untuk melakukan usahanya sendiri.

Ketika dia mendengar pintu terbuka, dia menoleh "Oh, hey."

Dia tidak beringsut dari pria itu. Mereka berdua berpakaian, dan aku merasa tidak enak, karena aku masuk pada saat mereka baru saja memulai. Tentu saja dia bisa melakukannya di kamar, tapi ini adalah apartemen miliknya, jadi aku tidak bisa mengeluh.

"Hey, maaf." Aku berbalik dan menutup pintu.

"Jangan khawatir."

Aku berbalik dan berjalan melalui ruang tamu dan kamar tidurku, tetapi Luhan menghentikanku.

"Ini Luke." Katanya menatapku kemudian menatap Luke.

Aku tersenyum, "Hai."

Dia menatapku melalui kelopak matanya yang berat, "Apa kabar?"

Aku kembali menatap Luhan, yang menyandarkan kepalanya di bahu Luke, sambil tetap mengangkanginya. "Aku akan ke kamarku."

Dia bangkit meninggalkan Luke, "Tidak apa-apa, kami sedang memikirkan apa yang akan kami lakukan untuk makan malam."

Ada dimana saat aku ragu-ragu tentang tempat makan, tapi tidak pernah terpikir untuk mencoba menjawab pertanyaan sambil mengangkangi seorang pria ganteng. Mungkin aku yang ketinggalan jaman.

"Ada ide?" katanya.

"Kau libur malam ini?"

"Oh ya. Mereka memiliki terlalu banyak acara untuk dijadwalkan dan bertanya apakah aku ingin pergi."

Hal itu terjadi setidaknya lima kali dalam tiga minggu sejak aku tiba di LA. Aku bertanya-tanya kenapa Luhan mampu membiayai hidupnya meski sering libur, tapi itu bukan urusanku.

Luke sedikitpun tidak memperhatikan percakapan kami, matanya tertuju ke arah Luhan, terutama ke payudaranya, yang kelihatan berusaha keluar dari baju Luhan yang ketat, aku merasa bahwa Luke benar-benar tidak peduli dengan rencana makan malam pada saat itu.

Akhirnya kami memutuskan untuk makan malam di Little Sushi.

Sayangnya Luke ikut bergabung bersama kami. Aku ingin bercerita semua tentang Chanyeol kepada Luhan, tapi aku tak ingin Luke ikut mendengarnya. Aku tidak mengenalnya. Faktanya adalah aku tidak pernah mendengar Luhan bercerita tentang Luke.

Sesudah makan malam, dia berkata akan pergi ke tempat Luke, dan mungkin akan pulang larut malam.

Dalam perjalanan pulang, aku berpikir apa yang akan kulakukan malam ini. Aku bisa saja menelepon Kyungsoo, tapi terlalu cepat untuk bercerita tentang Chanyeol pada kakakku itu. Dia pasti hanya punya hal negatif tentang itu. Dan berkata untuk berhati-hati terhadap orang-orang "type Hollywood", seperti juga orang tuaku sering bilang.

Aku menghabiskan malam dengan menonton beberapa film karya Chanyeol di Netflix, dan bertanya-tanya kapan aku berjumpa dengannya lagi.

Minggu depannya, aku tidak melihat Chanyeol, aku bicara sekali dengannya. Ketika Kris memintaku untuk menghubungkannya dengan Chanyeol di telepon.

Jessica menelepon setiap hari untuk bertanya apakah aku mendengar sesuatu tentang dia yang akan mendapatkan peran di film itu. Kris menyakinkannya bahwa menunggu adalah wajar, dan hari kamis dia sudah memerintahkanku untuk memberitahu Jessica bahwa Kris berada di sebuah rapat, yang berarti aku harus mengambil alih tugas menghibur dan menyakinkannya.

Satu malam, setelah makan dan minum lebih dari segelas anggur, aku bercerita kepada Luhan tentang pertemuanku dengan Chanyeol.

"Park Chanyeol?"

"Ya."

"Siapa dia?"

Aku tertawa, "Aku tak tahu siapa dia sebelumnya, sampai aku mencari tahu. Dan ini terjadi setelah aku bertemu dengannya," aku menceritakan semuanya tentang rapat itu.

"Oh, ya aku tahu filmnya, ya ampun, aku hanya tidak tahu namanya."

Mayoritas kita seperti itu. Menurut Kris, dan dikonfirmasi oleh pengalamanku sendiri, orang jarang tahu penulis dan produser, kecuali untuk beberapa nama besar.

"Dan," aku berkata "bagian terburuknya adalah, dia sangat tampan dan seksi."

"Kenapa itu menjadi bagian terburuknya?"

"Karena, aku harus bekerja dengannya dan aku tidak bisa fokus ketika dia ada didekatku atau ketika dia ada di telepon."

Luhan meneguk minumannya dan menggelengkan kepalanya. "Kau di Hollywood, sayang. Bersiaplah untuk terpesona oleh banyak orang."

Luhan menelepon ke kantor pada hari jum'at sore. "Ayo ke Vegas!"

"Apa? Kapan?"

"Akhir pekan ini."

Aku tidak siap untuk bepergian kemanapun, apalagi ke Vegas, "Untuk apa?"

"Untuk apa? Ini Vegas sayang! Kita tidak butuh alasan apapun. Tapi jika kau membutuhkan alasan, ini bagus untuk merayakan sebulan pertamamu bekerja pada the biz (bisnis hiburan)."

Luhan adalah satu-satunya orang yang aku kenal yang menyebut dunia hiburan dengan "the Biz". Itu membuatku bertanya-tanya apakah dia berusaha terlalu keras. Mungkin itu sebabnya ia tidak bisa mendapatkan representasi.

Aku melihat jam di komputerku-4.16 "Kedengarannya bagus, pertama-tama kupikir aku tak punya pakaian khusus ke Vegas, dan-"

"Oke, kau mencari-cari alasan untuk tidak pergi, tapi kau akan pergi."

"Kata siapa?"

Suaranya menggema, seperti pada saat dia berjalan ke kamar mandi. "Kataku. Ini adalah bagian inisiasi. Ayolah ini hanya dua hari. Percayalah, kau tak akan menyesalinya."

Hening, akhirnya aku memikirkan sesuatu. "Siapa saja yang pergi?"

"Hanya kau dan aku."

Aku senang, ketika mendengar Luke tidak ikut. Ada sesuatu pada laki-laki itu yang tidak aku sukai, seperti cara dia menatap Luhan, cara dia menatapku, ketika Luhan meninggalkan kamar. Dia tak banyak bicara. Tapi dia suka menatap dalam-dalam, itu sangat mengganggu, aku tak tahu, apa yang Luhan lihat pada dari Luke, dan aku tak akan bertanya, itu bukan urusanku.

Di semakin membujukku. "Aku akan membayar biaya bensin dan semua hal lainnya, serahkan padaku."

"Kau tak perlu melakukan itu."

"Aku tahu aku tak perlu. Tapi aku mau."

"Baiklah," kataku. "Kapan kau ingin pergi?"

Pada pukul sembilan malam itu, kami sudah menyetir dua jam dari sekitar empat jam perjalanan menuju Vegas. Cuacanya bagus, dan sedikit macet, meskipun kami terjebak di belakang sebuah RV di suatu tempat di Nevada yang memperlambat kami.

"Bagaimana kabar Kyungsoo?" Luhan bertanya.

Ini membuatku sadar, aku sudah tidak berbicara dengannya sekitar seminggu, suatu rekor bagi kami. Aku sangat sibuk dan tidak sempat meneleponnya. Dan tentu saja, dia juga tidak meneleponku, jadi aku tidak merasa bersalah. Dua jalan yang berbeda hanya itu.

"Kukira dia baik-baik saja." Jawabku.

"Kau kira?"

Aku menjelaskan bagaimana aku tidak menelepon Kyungsoo akhir-akhir ini.

Luhan mengecilkan suara stereo. "Kupikir dia akan suka disini."

"Ha, aku meragukan itu."

"Aku tahu, maksudku, jika dia diberikan kesempatan, jika dia diberikan sedikit kesempatan."

Yang kami bicarakan adalah kakak perempuanku, dan nada bicara Luhan sedikit negatif sarkartis jadi aku hanya mengangkat bahu dan berkata, "Ya."

Apa yang coba dia katakan adalah, kakakku telah mengambil rute yang sama dengan ibuku, menikah muda, punya anak dua, dan menjadi ibu rumah tangga, tak ada ambisi lain di luar hal-hal itu. Jujur, aku menghormati itu. Aku hanya berharap Kyungsoo bisa melihat dunia sebelum dia menetap. Dia hanya dua tahun lebih tua dariku, tapi dia bertindak seperti berumur tiga puluh tahun. Dia bertindak seperti ibuku. Dan melihat bagaimana aku sudah punya dua orang tua yang ingin membuat setiap keputusan untuk hidupku, hal terakhir yang aku butuhkan adalah yang orang tua yang ketiga.

Dan, sungguh, ia seharusnya tahu itu. Tekanan untuk menjadi Mrs. Jung Daehyun adalah seperti sesak napas yang terjadi secara lambat dan konstan. Beberapa kali setelah aku putus dengan dia, ibuku telah mendesakku untuk menumpahkan seluruh kebenaran tentang apa yang telah dilakukan Daehyun. Apa yang menghentikanku dari melakukan hal itu adalah perasaan bahwa itu hanya akan membuat mereka lebih protektif terhadapku. Dan dengan kota yang sekecil itu, ada setiap kesempatan dimana dunia akan mendengar ceritaku, dan orang-orang tidak akan percaya padaku. Sebaliknya, merekan akan bersatu di belakang Jung Daehyun, seorang jemaat gereja Amerika, dan mantan gelandang dari tim yang dua kali juara football di SMA. Satu-satunya pilihanku adalah untuk tetap menunduk dan pergi saja.

"Oh, well," Luhan berkata. "Dia yang rugi."

"Ya."

Percakapan itu tidak akan semakin jauh bahkan jika aku berusaha menghentikannya, karena tak lama kemudian kita melihat lampu-lampu Vegas dan orang-orang seperti memberi isyarat untuk datang ke sana. Aku sangat gembira.

Kami tiba di hotel, menyerahkan kunci mobil ke valet, dan masuk ke dalam, yang hanya bisa aku gambarkan sebagai sensory overload.

Cahaya, musik, denting musik permainan, berdengung, bersenandung dan berdering. Orang dimana-mana. Orang-orang yang terlihat sedih. Orang-orang yang mencari kegembiraan. Orang-orang tampak seperti kesurupan. Aku pasti bagian dari kelompok terakhir.

Kami langsung ke kamar, menyegarkan diri, dan berpakaian untuk malam pertama kami di Vegas. Aku punya gaun hitam favoritku, heels hitam, anting bulat dari perak dengan liontin anggrek Gehry-hadiah dari ibuku.

"Aku tidak terlihat seperti pelacur, kan?" kata Luhan.

Aku menjulurkan kepalaku keluar dari kamar mandi, sambil memakai anting-anting. "Tentu saja tidak, kau terlihat seksi."

Aku melihat diriku lagi di cermin. Aku benar-benar merasa agak seksi.

Kami turun ke kasino pada tengah malam. Ini sudah menjadi lebih sibuk dalam waktu yang relatif singkat ketika kami berada di lantai atas.

"Ini adalah ketika Vegas benar-benar akan dimulai," kata Luhan padaku saat kami keluar lift.

Sementara dia bersikeras membayar semuanya, aku tidak akan membiarkan dia memberiku uang untuk berjudi. Aku menghargai dia membayar tagihan untuk tempat kami menginap tapi tidak untuk berjudi. Aku merasa lebih nyamana kehilangan uangku sendiri.

Dan dalam waktu singkat. Roda rolet telah mengisapku dan mengambil anggaran perjudianku untuk malam ini. Setelah itu, aku hanya minum tiga gelas anggur dan melihat orang-orang, dan pada akhinya memang sangat menarik hiburan di tempat seperti Las Vegas.

Orang terakhir yang aku ingin lihat adalah Chanyeol, tapi dia disana, berdiri di dekat meja permainan craps, terlihat menakjubkan, tentu saja. Dia memiliki janggut yang sepertinya tidak bercukur selama dua hari tapi selain itu wajah halus, dan ia mengenakan celana panjang hitam, blazer hitam, dan kemeja biru, tanpa dasi. Dia tampak lebih tinggi dari kupikir saat ini. Mungkin itu hanya kontras frame yang kuat di samping setengah lusin atau lebih orang lain. Dan wanita. Siapa yang bisa melupakan wanita? Mereka semua pirang, dan mereka semua tergantung pada dirinya diantara guliran dadu.

Aku memikirkan kembali pernyataan Luhan apakah dia tampak seperti pelacur dan menyadari, aku tidak perlu khawatir. Wanita-wanita ini tampak lebih dari pelacur. Mungkin itulah mereka.

Perkiraanku tentang Chanyeol tiba-tiba jatuh sedikit.

Aku berdiri di sana mungkin selama lima menit, menonton, dan kemudian Luhan muncul di sampingku.

"Sialan blackjack. Ini curang!"

Tanpa berhenti menatap Chanyeol, aku berkata, "Kalah besar, ya?"

"Yup. Aku biasanya lebih baik di... apa yang kau lihat?"

"Bukan apa," kataku. "Siapa."

"Oke. Siapa." Dia berbalik untuk berdiri di sampingku dan melihat ke arah yang aku tunjuk. "Dia hot."

"Sudah kubilang. Itulah Park Chanyeol."

Luhan memegang gelas anggur miring di mulutnya. "Oh, wow."

"Ya. Wow saja tidaklah cukup."

"Lihatlah pelacur-pelacur tak tahu malu itu di sekelilingnya."

Sekarang, sudah cukup banyak yang aku lihat. Beberapa dari mereka tampaknya melangkah terlalu jauh hingga sepertinya akan menjatuhkan gaun mereka di sana, di kasino terbuka dan membiarkan dia melakukan apapun pada mereka.

"Mari kita pergi ke tempat lain," kataku.

Luhan mulai mengatakan sesuatu tentang permainan yang disebut Keno ketika aku melihat Chanyeol sekali lagi. Seharusnya tidak kulakukan. Dan aku tidak akan bertatapan dengannya, dan dia tidak akan melambaikan tangannya ke arahku.

"Oh, tidak," kataku pelan.

"Itu tidak harus permainan Keno. Kita bisa menemukan...-"

"Tidak," kataku. "Dia melihatku."

Luhan memandang ke seberang ke arah Chanyeol. "Dia memanggilmu ke sana."

Aku tahu aku seharusnya datang. Kami memiliki bisnis dengannya dan mengabaikan dia bukan keputusan bisnis yang cerdas. Banyak yang bergantung dengan keputusannya mengenai apakah Jessica akan mendapat peran atau tidak.

"Pergilah!" Luhan mendorongku. "Aku ingin melihat tampang cewek-cewek itu ketika kau sampai disana."

Aku menatapnya. "Terima kasih banyak."

Dia tersenyum dan berkata, "Kau selalu dapat mengandalkanku untuk memberi dukungan."

Saat aku mulai berjalan menuju Chanyeol, itu seperti seseorang telah menurunkan volume suara se-isi kasino. Mataku tertuju pada dirinya. Itu adalah pengalaman pertamaku. Aku melalui kerumunan wanita di sekelilingnya. Mereka enggan untuk memberikanku jalan sampai Chanyeol mengulurkan tangannya dan aku mengulurkan tangan untuk meraihnya.

"Halo, Baekhyun."

"Mr. Park, maksudku, hai Chanyeol. Maaf. Kau mengatakan kepadaku untuk tidak memanggil Mr. Park, dan aku..." Ya Tuhan, betapa memalukan. Aku terdengar begitu bodoh, aku bahkan tidak menyelesaikan kalimatnya. Aku memutuskan untuk hanya diam.

"Sebenarnya, aku lebih senang dipanggil Mr. Chanyeol."

Aku menghargai humornya. Ini membuatku nyaman sedikit.

"Apa yang kau minum?"

"Anggur. Chardonnay."

Ia melambai ke pelayan dan menyuruhnya untuk membawa Chardonnay. "Dan satu White Russian untukku."

Pelayan berkata, "Ya, Sir," dan ketika ia berjalan pergi Chanyeol berbalik ke arahku.

"Terima kasih," kataku.

"Baekhyun, kau tahu tentang permainan craps?"

Aku menatap meja yang membingungkan, kemudian naik ke bandar. Aku tak pernah bermain craps dan tidak mungkin akan tahu caranya dalam dua detik, terutama dengan anggur yang menjelajah melalui aliran darahku dan suhu yng naik ketika berada di situasi ini.

"Aku akan menganggap itu sebagai jawaban tidak," kata Chanyeol.

"Kau benar."

"Tidak masalah." Dia ke meja dan mengambil dadu. "Lagipula, kau disini hanya untuk keberuntunganku."

"Aku tidak yakin aku tipe keberuntungan yang kau inginkan." Aku berhenti dengan singkat dan mengatakan bahwa aku telah kehilangan anggaran judi di bawah tiga puluh menit.

Chanyeol menatapku dari atas ke bawah, kemudian naik lagi. "Kurasa kau persis seperti apa yang aku inginkan."

Wajahku memerah. Aku merasa panas menjalar mulai dari dadaku dan naik sampai ke leherku. Apa yang aku butuhan setelah mendengar itu adalah segelas air dingin. Tidak untuk diminum, tapi untuk menyiram wajahku dan membangunkanku dari pengalaman yang aneh.

Pelayan kembali dengan minuman kami. Chanyeol menaruh uang seratus dolar pada nampan dan mengucapkan terima kasih. Dia menyodorkan segelas anggur, mengangkat gelas White Russian-nya dan berkata, "Untuk Vegas." Kami mendentingkan gelas kami bersama-sama, dan saat aku menyesap anggur aku membiarkan mataku berkeliaran di kerumunan di sekitar kami. Para wanita pasti tidak menyukai apa yang mereka lihat. Aku membayangkan beberapa dari mereka telah menghabiskan beberapa jam menempel padanya seperti perban, dan disini aku, seorang gadis yang bagi mereka tampaknya datang entah dari mana, dan sekarang adalah obyek rayuan Chanyeol. Merayu dengan intens. Mungkin lebih dari itu...

Dia mengangkat genggaman tangannya di antara wajah kami dan membuka jari-jarinya, menunjukkan dadunya. "Tiuplah ini."

Alis di dahiku terangkat. Tidak perlu pikiran kotor untuk paham dengan segala mcam interpretasi cabul tentang kata-katanya, tapi itu bukan maksud kata-katanya. Itu adalah apa yang dia katakan. Ada nada memerintah, yang disampaikan dengan resonansi mendalam dari suaranya sangat jantan.

"Ayo lakukan," desaknya saat aku ragu-ragu.

Dia mengangkat tangannya dekat ke wajahku. Aku menarik napas tajam, kemudian meniup dadu, dan sepersekian detik kemudian ia meluncurkannya ke atas meja. Ketika dadu itu akhirnya berhenti, aku melihat bahwa masing-masing telah mendarat pada angka dua.

"Hard way four." Bandar berkata, dan meraup dadu.

Orang-orang di sekitar kita bersorak. Chanyeol menatapku. "Kerja yang bagus."

"Itu bagus, kukira?"

Selama lima belas menit berikutnya, ia mencoba menjelaskan permainan itu padaku. Aku hanya paham sangat sedikit. Tapi Chanyeol sangat baik. Pada saat aku berdiri di sampingnya, ia telah

memenangkan lima puluh ribu dolar. Itu hanya salah satu aspek tambahan pada malam itu yang membuat kepalaku berputar.

Luhan telah berada di kerumunan, dan ketika kami berhenti bermain aku memperkenalkannya kepada Chanyeol.

"Luhan, senang bertemu dengan Anda. Park Chanyeol. "

Dia tersenyum ketika mereka berjabat tangan. "Saya adalah penggemar dari karya Anda."

"Terima kasih."

Ini adalah bagian di mana kupikir Luhan akan memberi isyarat halus- atau mungkin tidak begitu halus - petunjuk bahwa ia adalah seorang aktris, tapi itu tidak dia lakukan.

Jadi aku yang melakukannya. Tapi dia menghentikanku sebelum aku terlalu jauh. "Aku akan meninggalkan kalian berdua," katanya tiba-tiba. "Mr. Park, senang rasanya benar-benar bertemu Anda." Ketika dia menatapku, aku melihat bahwa dia benar-benar seperti tidak nyaman. "Aku akan menunggu di kamar. Atau... terserah. Selamat bersenang-senang!"

Dan dengan itu, ia pergi ke tempat lain di kasino, meninggalkanku berdiri bersama Chanyeol, bertanya-tanya apa yang harus aku lakukan sekarang.

TBC

AN: Halooo aku muncul lagi in another remake-an wkwk:v cerita ini juga ga bakal panjang, mungkin hanya sepanjang under the mistletoe with me.

So, lanjut or not?

Kutunggu jejak kaliaaan!:)