.

.

.

SWEET GRIEF

.

.

.

HOTEL SOFITEL BERLIN KURFURSTENDAMM

CHARLOTTENBURG, BERLIN, GERMANY.

.

RABU, 03.45

.

"Bernafas Tuan, tarik nafas perlahan lalu keluarkan"

Jungkook mengikuti intruksi Kang Daniel; menarik nafas panjang—keluarkan, tarik nafas lagi dan keluarkan.

Menekan kuat dadanya, rasanya sesak sekali.

"Tenanglah Tuan, cobalah untuk rileks"

"hah hah hah..."

Meminum pelan gelas bening yang dipegang Daniel untuk menyegarkan kerongkongan keringnya dengan air putih.

"Bernafas perlahan dan rileks Tuan, tenangkan pikiran anda, oke?"

Jungkook hanya mengangguk, mencoba berbaring nyaman diranjang kamar Hotelnya.

Tubuhnya basah oleh peluh, matanya masih berair, dan mimpi buruk yang membuatnya terbangun dengan rasa shock masih meninggalkan rasa takut meski seluruh alur mimpi sudah menjadi blur saat ia bangun di subuh hari dengan teriakan yang memekik.

Kang Daniel bersyukur karena ada dua orang pengawal secara bergiliran dan dirinya yang menjaga Jungkook sekarang ini, bisa dibayangkan jika tidak ada orang sama sekali, bisa saja jungkook mati shock atau kehilangan oksigen karena tidak bisa bernafas dengan benar.

"Apa yang anda mimpikan akhir-akhir ini Tuan? Sepertinya bukan mimpi indah dimana anda hidup didunia fantasi dengan orang-orang yang memuja anda dan anda mendapatkan semua hal yang anda inginkan?"

Terkekeh kecil, suaranya agak parau. "Tidak. Aku tidak tau, aku tidak bisa—aku tidak dapat ingat jelas mimpi itu. Yang pasti itu bukan mimpi indah"

"Cobalah membayangkan hal-hal menyenangkan sebelum tidur Tuan, mungkin itu akan mengusir pembawa mimpi buruk dan mendatangkan mimpi indah"

"Hal menyenangkan seperti apa?"

"Entahlah, umm—bayangkan saja anda hidup bahagia dengan orang-orang yang anda cintai tanpa harus memikirkan beban apapun?"

"Membayangkan hidup bahagia dengan orang yang dicintai, huh? Kalau begitu mimpi buruk akan terus menghantuiku! Kebahagiaan itu sendiripun jauh dari bayanganku Daniel"

Mendengus keras, "Tuan... Anda ini"

"Aku pernah membayangkan jika aku bukan seorang Jeon Jungkook dan menjadi orang lain. Apa menurutmu aku bisa bahagia?"

"Entahlah Tuan. Mungkin iya, mungkin tidak."

"Mungkin tidak bahagia? Setidaknya, aku tidak perlu menjalani nasib sepahit ini jika aku orang lain. Apa yang mungkin bisa lebih buruk lagi dari menjalani hidup yang seperti mimpi buruk itu sendiri? Ini kutukan!"

Kang Daniel tidak menimbali perkataan Jungkook, sejujurnya ia pun bingung harus berkata apa.

Tangannya terulur, memilih untuk memijat lembut kening Tuan Jungkook. Ujung matanya melirik pengawal yang berganti giliran jaga jungkook dan mengawasi Tuan Jungkook yang perlahan menutup kembali kelopak matanya.

"Daniel..." Bisiknya pelan yang hanya mampu didengar Kang Daniel, "Jika aku boleh meminta mimpi yang bisa jadi nyata, aku ingin kau, Seokjin dan aku menjalani hidup yang baru, bersahabat dan menjadi orang yang lebih baik, jauh dari neraka ini semua. Apa menurutmu itu bisa jadi kenyataan?"

"Tentu saja bisa Tuan, tentu..."

"Sejujurnya Daniel, aku masih belum siap untuk menerima kejutan sepupuku siang nanti"

Bunga mimpi kembali membuainya dan Jungkook membiarkan dirinya terlelap untuk memulai mimpi baru seperti khayalannya, tidak memperdulikan lagi suara Daniel yang berbicara dengannya.

.


...

"Akhh"

Jungkook terkejut, seorang anak berlari menabraknya, terjatuh ditanah dan kini tengah meringis.

"Hei nak, kau baik-baik saja?"

Gadis kecil itu tidak menjawab pertanyaannya, hanya menundukkan kepalanya sembari meremas-remas kain bajunya sendiri. Samar-samar Jungkook mendengar rintihan anak itu menjadi isakan kecil.

Kebingungan, dengan sedikit usaha mengingat perutnya yang berisi saat ini, Jungkook memposisikan dirinya berlutut agar sejajar dengan anak kecil yang jatuh menabraknya itu. "Hei, kau tak apa?"

Dengan lembut ia mengusap pundak gadis itu, berharap memberitahu anak itu lewat sentuhannya jika Jungkook bukan orang jahat atau orang yang akan membentaknya marah karena berlari sembarangan hingga menabraknya.

Sejujurnya, Jungkook tak memiliki pengalaman untuk menenangkan seorang anak. Lagipula ini aneh sekali, anak itu yang salah tapi mengapa justru anak itu yang menangis seperti Jungkook yang salah dan dengan sengaja menabraknya jatuh?

"ssshhh, eehh— Jangan menangis"

Jungkook tidak tau jika kata-kata yang dia ucapkan untuk menenangkan anak itu adalah salah, melihat anak itu justru malah menangis dengan kencang. "hei hei, kenapa malah jadi menangis?"

Melihat pada sekeliling orang yang memperhatikannya.

Bagus, batinnya berkata, sekarang ia dan anak kecil yang menangis itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang tengah berjalan-jalan ditaman.

Menutup matanya dengan telapak tangan kanannya, saat ia kembali ke MANOR nanti Jungkook bersumpah dalam hatinya akan mencincang habis Seokjin karena memaksanya agar keluar jalan-jalan untuk menyegarkan pikirannya.

Lihatlah akibat dari sarannya, Jungkook harus berurusan dengan seorang anak kecil yang aneh.

Jungkook hendak berdiri, pergi dari sana dan bersikap masabodoh dengan anak itu, saat anak itu mengangkat kepalanya, menatapnya berkaca-kaca dengan sebagian air mata yang keluar. "Aku tidak bisa menemukan Mama" Suaranya bergetar takut.

Sejenak Jungkook terpaku, menatap lekat pada wajah anak itu.

Gadis kecil yang cantik, tanpa sadar tangannya bergerak memeta wajah anak itu dan menghapus sisa cairan asin yang menodai pipi anak itu. Rupa dari gadis kecil itu tampak tak asing, mengingatkannya akan seseorang dari masa kecilnya, terlebih matanya.

Gadis kecil itu menghentikan tangisnya, membalas Jungkook dengan tatapan heran.

Untuk sesaat waktu berhenti dengan sekeliling yang memblur membentuk kenangan yang berputar disekitar Jungkook.

Ada kenangan yang dulu pernah terlupa dan kini mencoba menampakkan kembali.

"Bibi..."

Jungkook tersentak dengan guncangan pelan ditangannya.

Anak itu menatapanya penasaran, telah sepenuhnya melupakan ketakutannya diawal karena kehilangan Mama-nya, melupakan juga sakit dikakinya saat tadi ia terjatuh menabrak bibi hamil didepannya.

"Bi-Bi?" Jungkook mengulang kata panggilan anak itu untuknya, anak itu mengangguk menampilkan senyum manis diwajahnya, kontras dengan ekspresi cengeng yang Jungkook lihat beberapa menit lalu.

"Bibi tak apa? Apa perut bibi sakit karena aku tabrak tadi? Apa Baby didalam sana baik-baik saja?"

Mengernyitkan kedua alisnya, Jungkook memiringkan kepalanya kesamping menanggapi pertanyaan beruntun gadis kecil yang aneh itu.

Gadis itu tertawa kecil melihat reaksi dari Bibi cantik didepannya yang kebingungan. "Maaf Bi, aku tak sengaja berlari menabrakmu. Aku tersesat saat bermain petak umpet dengan anak yang lain, tadi aku bersembunyi kebagian dalam hutan taman disana", Jari kecilnya menunjuk pada bagian taman blok B Central Park, "Kemudian aku tak bisa menemukan anak yang lainnya bersembunyi dimana, dan aku tak bisa menemukan dimana Mama, jadi aku berlari sampai aku menabrak Bibi"

Jungkook berani bertaruh jika gadis kecil ini anak yang pintar dan bukan anak cengeng seperti penilaiannya diawal.

"Aku takut mama akan marah jika tau aku pergi jauh dari pengawasannya. Dia pasti akan khawatir dan kecewa karena aku tidak mendengarkannya"

Gadis itu bangkit berdiri, menepuk-nepuk kain baju belakangnya yang kotor.

Sesuatu ada yang menggelitik hatinya, Jungkook membiarkan tawa kecilnya keluar dan ikut bangkit berdiri dari posisi berlututnya.

"Kau memiliki warna mata yang indah, abu-abu kebiruan yang sangat cantik"

Gadis itu tersipu malu mendengar pujian yang dilontarkan Bibi itu untuknya. "Bibi juga sangat cantik, hanya saja bibi tidak tampak anggun. Harusnya Bibi membiarkan rambut Bibi panjang agar semakin terlihat cantik"

Jungkook terkekeh mendengarnya, "Ahhh terima kasih. kau gadis kecil pintar yang sangat anggun dan rambut pirang panjangmu begitu cantik"

Gadis itu kembali tersipu, cerry merahnya melebar sumringah.

Jungkook memperhatikan sekeliling sebelum kembali menatap anak gadis itu, "Jadi, siapa namamu nak?"

"Namaku Alice, salam kenal. Bibi namanya siapa?"

"Salam kenal juga Alice, aku Jungkook"

"Jungkook? Nama yang aneh sekali!"

Jungkook terkekeh mendengarnya, "Alice— Aku ini laki-laki bukan perempuan. Jadi kau bisa memanggilku Paman atau Kakak kalau mau, asalkan tidak dengan sebutan Bibi"

"Apa?!"

Alice terlihat terkejut, mulutnya menganga tak percaya. Ada hal yang tak dapat dipahami oleh pemikiran anak seusianya; seperti mengapa laki-laki didepannya terlihat cantik dan perutnya buncit seperti orang hamil?

Jungkook hanya tersenyum tipis, mengulurkan satu tangannya untuk digenggam Alice. "Ayo kita cari Mama mu, dia pasti tengah mengkhawatirkan keberadaanmu"

...

Claire duduk gelisah dikursi pos keamanan Central Park. Ia hendak akan menghubungi ponsel suaminya setelah ia menghubungi Jung Hoseok beberapa saat yang lalu, namun terhenti kala teringat saat ini suaminya tak bisa diganggu dari Meeting kantornya.

Jam sudah berlalu selama sejam pencarian oleh para petugas taman dan sukarelawan, tetapi Puteri kecilnya masih belum dapat ditemukan.

Pikirannya semakin kalut, rasa bersalah sebab tak mengawasi puterinya bermain memenuhi pikirannya.

Sungguh ia tidak bermaksud terfokus pada ponselnya saat duduk dibangku taman tak jauh dari puteri dan anak yang lainnya bermain. Ia pun sudah berpesan agar Alice tersayangnya tidak bermain jauh-jauh darinya.

Isak tangis kembali pecah, Central Park taman yang sangat besar dengan adanya jantung hutan didalamnya, dibagi dalam beberapa sisi pula tentunya tak mudah untuk menemukan anaknya yang hilang.

Menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya, Claire mulai mengutuki kecerobohannya sendiri.

"Claire-"

Terengah-engah, Jung Hoseok mendekati mantan terkasihnya yang terisak dikursi.

Kepala Claire terangkat, matanya memenuhi tatapan Hoseok yang khawatir dengan penyesalan.

"Oh, Hoseok... Maafkan aku, aku tak bisa menjaga Alice dengan benar"

"Claire, ssshhh"

Mendekap wanita yang pernah mengubah kehidupannya dulu, menenangkannya dengan tepukan halus dipunggungnya.

Saat bertanya pada salah satu penjaga yang ada, Jung Hoseok segera tau apa yang terjadi mengingat Claire yang sebelumnya menelponnya dan berbicara dengan kata-kata yang tidak dapat dipahaminya untuk memintanya dengan segera menemuinya dipos keamanan taman.

Alice, puteri kecilnya tersayang menghilang ditaman.

Hoseok tidak tau bagaimana itu bisa terjadi, namun ia tidak bisa menyalahkan Claire. Hoseok tau itu bukan salahnya sepenuhnya terlebih ia juga tau seperti apa puteri kecilnya itu.

"Tenang Claire... Mereka pasti akan menemuka puteri kita"

Claire membalas dekapan Hoseok dengan erat, menekan wajahnya pada dada bidang Hoseok.

Hoseok dapat merasakan bajunya yang basah dengan air mata claire. Tangannya dengan refleks mengelus halus rambut claire.

"Bagaimana jika para petugas tidak bisa menemukan Alice? Bagaimana jika seseorang ada yang menculiknya?"

"Husshh... Alice anak yang pintar Claire. Dia tidak akan ikut sembarang orang! Alice akan baik-baik saja. Kita akan menemukan Alice. Percaya padaku, oke?"

Jung Hoseok dapat merasakan kepala Claire yang mengangguk ragu. Tubunya masih bergetar dengan isakan yang tak dapat berhenti. Mengecup pucuk kepala wanita yang masih sangat ia sayangi berulang kali tanpa sadar,

Sampai suara dehaman keras menginterupsi keduanya.

"Papa... Mama"

Didepan pintu masuk pos penjaga berdiri puterinya Alice dengan seseorang dibelakangnya yang membuat jantung Hoseok berhenti berdetak sesaat.

"Alice—sayang"

Alice berlari kecil menyerbu kedalam pelukan yang diberi Mama-nya. "Mama, maaf Alice membuat mama khawatir. Alice janji tidak akan mengulanginya lagi, Alice akan jadi anak baik yang mendengarkan perintah mama"

"Oh- Alice, puteriku sayang"

Claire menghujami seluruh wajah puterinya dengan ciuman kupu-kupu, "Mama senang kamu baik-baik saja sayang"

Alice menghapus air mata mama-nya dengan ibu jarinya dan balik membalas mama-nya dengan ciuman manis dipipi basah mama-nya.

Sungguh drama yang mengharukan, pikir Jungkook.

Netra hitamnya digulirkan dari pertunjukan kasih sayang ibu dan anak pada Jung Hoseok yang berada disebelah Claire—masih membeku melihat dirinya.

Kecurigaan yang mustahil benar seketika terbentuk dipikirannya.

"Hoseok?"

"Hah?" Hoseok menoleh cepat pada Claire dan puterinya yang menatapnya bertanya.

"Papa? Papa kenapa?"

Hoseok tersenyum kecil, "Tidak sayang, Papa hanya senang kau kembali dengan baik-baik saja" Tangannya dengan gemas mengacak rambut kebanggaan puterinya, membuat cemberut kecil terbentuk dibibir mungilnya.

Hoseok terkekeh melihatnya begitupun Claire yang masih terheran dengan Hoseok, ikut tertawa kecil melihatnya.

"Aku baik-baik saja Pa, Ma, ada Paman Jungkook yang menolongku"

Claire yang saking bahagianya melihat puterinya kembali, sesaat terlupa jika ada orang lain yang bersama puterinya.

Matanya teralih pada sosok Jungkook yang terlihat berbeda dari terakhir kali ia melihatnya dulu dikantor untuk menemui Tn. Min, Boss-nya. Sepertinya gosip panas yang beredar dikantor itu benar; Tn. Jungkook tengah hamil dan kini statusnya yang juga telah berganti menjadi istri kedua Tn. Min.

Kakinya melangkah mendekati mantan selingkuhan bossnya dengan Alice yang berada digendongannya.

"Tn. Jungkook terima kasih, aku sangat bersyukur sekali kau mau menolong Alice kembali pada kami"

"Tentu, umm—"

"Claire, saya sekretaris Tn. Min Yoongi"

"Oh ya, benar, sekarang aku mengingatmu. Kau terlihat berbeda dengan pakaian cassual, pantas saja aku merasa seperti pernah melihatmu. Maaf..."

Claire mengangguk halus, "Tak apa. Sekali lagi terima kasih Tuan"

"Tidak. Jangan berterima kasih, aku senang berkenalan dengan puterimu."

"Mama... Paman Jungkook ini orangnya baik lho, Alice suka berada didekatnya" Selanya sembari menampilkan deretan gigi putihnya yang berjejer rapi.

"Benarkah? Apa Alice tidak merepotkan Paman Jungkook?"

Alice menggeleng cepat saat Claire memberinya tatapan pura-pura tak percaya.

Jungkook tak bisa menahan senyumnya. "Puterimu sangat cantik dan pintar, mengingatkanku akan seseorang"

Tangannya ikut mengelus halus surai lembut Alice.

Para petugas yang masih mencari diluaran sana kembali ke pos penjaga saat mendengar berita yang disampaikan salah seorang rekan lewat walkie talkie bahwa anak yang hilang sudah ditemukan.

Claire dan Alice puterinya sibuk saling berbincang, Claire mendengarkan cerita puterinya dengan rasa bahagia yang tak luntur terlukis diwajahnya.

Hoseok berbincang, mengucapkan rasa terima kasihnya dan bersyukur pada para petugas juga beberapa orang relawan yang mau membantu mencari puterinya.

Sedang Jungkook hanya memperhatikan intens pada punggung Hoseok yang ia tau jikalaiu Hoseok juga sadar tengah diperhatikannya.

Kemudian punggung kokoh itu berbalik dan mendekati Jungkook yang masih menjaga pandangannya didepan.

"Claire mungkin sudah mengatakannya berulang kali. Tapi aku ingin mengucapkannya sebagai rasa syukurku, terima kasih Jungkook untuk membawa puteriku kembali"

"Tentu, memang kemana lagi aku harus membawa puterimu selain ke pos keamanan? Aku tidak mungkin membawanya kerumahku kan?!"

Hoseok menahan dengusannya, satu alisnya terangkat kala senyum miring tercipta dibibir merah delima Jungkook.

"Alice puterimu... Aku suka matanya, itu terlihat seperti abu-abu tapi juga seperti biru langit. OH- dan wajah kecilnya yang cantik sedikit familiar"

Hoseok tidak memberi reaksi berarti saat netra hitamnya menilai, hanya mengalihkan padangan pada sosok sang anak yang tak jauh darinya.

"Maaf... Sepertinya aku harus pergi, Claire pasti kelelahan dengan hari ini. Aku akan mengantarnya pulang bersama Alice. Kau mau menumpang?"

Jungkook menggelengkan kepalanya, dan sebelum Hoseok pergi menjauh, Jungkook menahan pergelangan tangannya. Mendekatkan bibirnya pada telinga kiri Hoseok. "Aku tau siapa dirimu sebenarnya, Jung Hoseok"

Seolah kakinya tertancap ditanah, ia tidak bergeming. Menyaksikan senyum miring yang terlukis diwajah Jungkook untuknya dan kemudian melihatnya berlalu pergi.

...


.

SEOUL, KOREA SELATAN

MANOR UTAMA MIN

.

RABU, 13.55

.

"Eomma tidak menyangka kau seceroboh itu Yoongi, berbagai pemberitaan Internasional heboh membahas bisnis keluarga kita. Sekarang perusahaan kita sorotan para jurnalis lapar!"

Min Yoongi memijit keningnya, lelah. "Eomma, aku datang kemari untuk mengunjungi eomma dan melihat bagaimana kabar eomma"

Meski tidak diperlihatkan jelas di rautnya, Min Yoongi sejujurnya sangat kesal. Ia tidak dapat tidur nyenyak didalam pesawat yang ia naiki bersama Jimin. Ia juga tidak dapat menyalahkan malaikatnya jika dia menginginkan menaiki pesawat umum, karena dengan begitu ia bisa meminta Jungkook menggunakan pesawat pribadinya dengan para orang suruhannya.

Namun, meski sudah mengambil Vip Class tetap saja rasanya tidak senyaman pesawat miliknya sendiri.

Kelelahan yang tak dapat ditunjukan dihadapan terkasihnya bertambah selepas turun dari pesawat dan berjalan diantara kerumunan orang di Airport, ia benci keramaian, terlebih ia melihat ada beberapa wartawan yang diam-diam mengambil gambarnya.

Belum lagi perjalanan didalam mobil untuk sampai ke kediaman orang tuanya tercinta.

"Lalu kau ingin eomma bagaimana? Menyambut kedatanganmu dengan sumringah disaat kau mengacau? Nah, kau dapat melihat sendiri dengan kedua matamu bagaimana keadaan eomma"

Yah, jika tidak ada sambutan seperti pelukan hangat atau bagaimana orangtua nya bahagia melihat kehadirannya, setidaknya Min Yoongi mengharapkan pengertian dari eomma-nya melihat dirinya yang sungguh sangat kelelahan.

Ia baru saja sampai, dan tanpa menunggu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya, eomma-nya sudah memanggilnya.

Mungkin lain kali jika pasangan hidupnya ingin mengunjungi lagi Korea Selatan, Min Yoongi akan menghapus daftar MANOR orangtuanya sebagai tempat bersinggah. Rasa-rasanya akan lebih nyaman untuknya jika menginap di hotel.

"Eomma tenanglah, aku akan menyelesaikan semuanya dan memperbaikinya!"

"Menyelesaikannya? Benarkah?"

Min Yoongi menahan emosinya, ia tidak terlalu suka nada Skeptis yang dikeluarkan eomma nya.

"Aku yang memimpin perusahaan saat ini eomma, jika aku mampu membuat bisnis kita terus maju, aku juga akan mampu menyelesaikan semua masalah yang terjadi!"

"Masalah ini tidak akan besar jika kau benar-benar bisa menanganinya dari awal. Sekarang semua orang berspekulasi, mereka mengait-ngaitkan dengan beberapa bukti yang ada di masa lampau soal Bisnis di Perusahaan kita"

"Biarkan saja eomma"

"Apa?! Membiarkannya? Jangan bodoh Min Yoongi, saingan perusahaan kita pasti mengambil celah untuk keuntungannya dari berita yang menimpa kita!"

Menjatuhkan dirinya pada sofa dibelakangnya, ia sudah kehabisan tenaga untuk berdebat bersama eomma-nya.

"Kondisi Appa mu semakin memburuk dengan berita ini. Dan sejujurnya, jika bukan karena kesehatan Appa mu yang kurang baik, Eomma tidak akan pernah menyetujui keputusan Appa mu untuk menunjukmu sebagai pemimpin Perusahaan"

Min Yoongi mendengus kasar, "Ya karena aku bukan boneka yang baik untuk Eomma seperti Appa"

"Min Yoongi!"

"Aku bukan anak kecil lagi eomma, aku juga bukan boneka yang harus mengikuti terus perkataan Masternya! Aku melakukan apapun yang aku mau sesuai keinginanku dan menyelesaikan masalahku dengan caraku, karena itu eomma tidak perlu lagi ikut campur!"

"Ini bukan masalahmu seorang Yoongi! Ini masalah Bisnis kita dan masa depan keluarga kita!"

"Sungguh, Eomma terlalu berlebihan."

"Begitu? Yah maaf saja jika eomma yang melahirkanmu ini sangat berlebihan" Carroline menatap tajam putera semata wayangnya yang telah menjadi kepala keluarga saat ini, yang dulu kala masih kanak-kanak selalu bermanja dipelukannya dan menuruti semua perkataannya tanpa membantah.

"Kau benar-benar berubah Yoongi, anakku. Semenjak kau memilih untuk bersama anak kumuh itu, kau tidak lagi mendengarkan eomma-mu"

"Eomma—"

"Kau tau apapun yang eomma lakukan adalah untuk kebaikanmu, semua keinginan eomma hanya untuk kebahagiaanmu. Tapi kau membalas eomma mu ini dengan membangkang? Tidak hanya dengan tidak mendengar perkataan eomma, saran eomma pun tidak lagi kau pertimbangkan"

"Eomma—"

"Apa Park Jimin meracuni pikiranmu? Pemuda kotor itu, sungguh?! Dia benar-benar membuatmu jauh dengan eomma, dia—"

"EOMMA, CUKUP!"

"Baik! Semenjak kau bersamanya, kau memang tidak lagi bersikap hormat pada eomma. Min Yoongi— Kau menjauhkan eomma dari perusahaan, eomma dapat masih dapat menerimanya tapi eomma tidak bisa berdiam diri dengan pemberitaan yang ada saat ini. Lebih baik kau benar-benar memiliki cara untuk meredamnya!"

Min Yoongi memilih memeloti kedua kakinya dilantai yang diselimuti permadani merah, tidak ingin beradu tatapan dengan eomma-nya yang masih menatapnya tajam.

Ia tidak bermaksud membentak, apalagi ingin menyakiti hati eomma-nya. Yoongi sangat menyayanginya. Namun eomma-nya tidak pernah bisa mengerti keinginan hatinya begitupun appa-nya, ia akan menjadi sensitif jika ada orang yang berbicara buruk mengenai malaikatnya.

Carroline mendesah kasar, memutar kakinya untuk keluar dari ruangan kerja suaminya yang terasa penat. Tepat diambang pintu ia melirik sekali lagi pada anak pembantahnya yang tetap sangat disayanginya itu membatu seperti patung disofa, sebelum Carroline melenggang pergi menjauh.

Disisi lain, Yoongi tengah sibuk dengan pemikirannya, ia sadar betul keberadaannya saat ini karena perjuangan eomma-nya. Ia tidak akan pernah melupakan bagaimana eomma-nya memberinya kasih, jadi tidak mungkin ia berniat menjadi anak pembangkang.

Min Yoongi hanya tidak ingin hidupnya berada dibawah kendali eomma-ny. Seperti Appa-Nya.

Appa, kepala keluarganya yang terkesan tegas dan tak mengenal ampun diluar nyatanya hanyalah lelaki lemah yang mengikuti semua perkataan istrinya. Wataknya yang dingin hanya facesade untuk menutupi kelemahannya pada dunia.

Min Yoongi telah belajar banyak dari masa lalunya, seberapa kejam seorang perempuan bisa bertindak jauh. Karenanya, ia tidak akan mau hidup bersanding dengan lawan jenisnya.

Ia juga tidak ingin hidupnya diatur bagai boneka, seperti dulu. Ia yang akan mengatur hidupnya sendiri serta orang-orang yang ada disampingnya, bukan sebaliknya! Sebab itu ia memilih menjauhkan eomma-nya dari kehidupan pribadi dan masa depannya.

"Hah... Sungguh hari yang melelahkan"

...

...

...

Jimin memperhatikan bagaimana si kecilnya tengah tertawa riang bermain dengan kepercayaannya, Marylin, di kamarnya.

Sesekali matanya melirik pada jam yang terpaku didinding, hari sudah menunjukkan sore yang akan berlalu bahkan cahaya senja diluar yang menyapa masuk lewat pintu kaca balkon yang sengaja dibiarkan terbuka lebar—menampilkan warna jingga yang menyilaukan.

Marylin yang sigap dengan segera menutup pintu kaca seraya menutup akses masuk sang jingga dengan gorden sembari menggendong sikecil Yoonji.

Senyum kecil kemudian terbentuk dibibir merah muda Jimin, ia membanyangkan jikalau suatu hari nanti Marylin dikaruniai anak kembali dan menikah, perempuan itu pasti akan menjadi Ibu dan istri yang baik.

Lalu lagi, Jimin melirik sang waktu, hatinya tengah memendam kekhawatiran. Ketika sampai di Manor disiang hari, pelayan sudah membawa suaminya, Min Yoongi, untuk menemui Eomma-nya diruangan kerja Appa-nya dan menyuruh dirinya untuk beristirahat duluan dikamar mereka berdua yang masih terlihat seperti dulu mereka tinggal terakhir kalinya; bahkan hiasan dan warna cat kamarnya masih seperti saat ia dan Yoongi tempati dulu.

Suaminya melewatkan makan siang, dan pada akhirnya Jimin tidak bisa makan terlebih tidak ada siapapun dari keluarga suaminya yang menemaninya makan. Seketika nafsu makannya hilang.

Jimin tau, meski keluarga Yoongi menerima anaknya bukan berarti mereka dapat menerimanya juga.

Jimin ingin menghampiri suaminya, namun ia tau diri untuk tidak mencari masalah di awal kedatangannya di Manor mertuanya.

Seluruh rencana yang ia persiapkan untuk jalan-jalan bernostalgia terpaksa tertunda karena Yoongi yang dikhawatirkannya masih belum muncul.

"Marylin, kau pasti lelah seharian menjaga Yoonji. Kau diperbolehkan untuk beristirahat"

"Tidak Tuan, saya akan ada disini menemani anda dan menjaga Yoonji sampai Tuan Yoongi datang"

Marylin tersenyum tulus, sedikit risau dibenaknya berkurang melihat betapa baiknya ia memiliki seseorang pelayan yang setia padanya.

Jiminpun tak bisa menahan bibirnya yang terangkat membentuk senyum yang indah.

...

...

...

19.18

.

.

Min Yoongi pikir ini lucu,

—bagaimana kaki-nya membawanya pergi tanpa tujuan untuk sampai di Manor Jeon yang tak lagi seindah dan semegah dulu.

Setelah peristiwa kebakaran, Manor Jeon sepertinya tidak diperbaharui lagi, dibiarkan begitu saja. Padahal jika mau istri keduanya, Jungkook, bisa menjual tanah Manor ini untuk biaya hidupnya, tetapi mungkin Jungkook tidak mau lagi berurusan atau tidak mau lagi teringat akan kenangan di dalamnya.

Puing-puing bangunan runtuh berserakan disekeliling Manor, Min Yoongi dapat memperhatikan tembok-tembok yang sekarang ternoda arang hitam, dibeberapa tempat ada berbagai lumut dan tanaman liar yang merambat disekitaran bangunan.

Ia membiarkan langkah kakinya kembali memimpin untuk masuk lebih dalam kedalam bangunan Manor tua dan berakhir di taman belakang.

Ada senyum miris yang tercetak dibibirnya, taman kebanggaan keluarga Jeon dulu kini sudah hangus, menghitam dan tidak menumbuhkan lagi berbagai bunga indah dari bibit mahal dan berkualitas dari berbagai dunia untuk dapat dipamerkan.

Sekelebat bayangan dari masa kecilnya melintas, pertama kalinya ia mengunjungi Manor Jeon adalah dimana si kecil Jeon Jungkook, penerus satu-satunya keluarga Jeon mengadakan pesta ulang tahunnya.

Manor ini, tempat pertama dan terakhir kalinya ia menghirup udara bebas yang damai.

Ada beberapa kenangan yang begitu sangat ingin ia lupakan namun tertanam kuat dibagian terdalam pikirannya.

Harapan masa kecilnya yang berubah menjadi dendam.

Kebahagiaannya yang berubah menjadi penyiksaan dan konsekuensi dari apa yang dialaminya menjadikannya seperti sekarang ini.

Dan semuanya bermula dari sini.

Min Yoongi tidak dapat melupakan senyum malaikat Lorraine yang menyembunyikan seringai semengerikan sang iblis.

Ia masih dapat ingat dengan jelas bagaimana ia dianggap memalukan nama baik keluarganya, menghancurkan pesta Jeon Muda yang dari awal sikecil jungkook seperti tidak menikmati pestanya sendiri.

Bagaimana semua orang menatapnya dengan tatapan ejekan yang menuduh, ia masih mengingat rasa dari pipi yang bengkak dan bibir yang sedikit sobek mengeluarkan sedikit darah terlukis diwajahnya yang mulus dan didepannya tersungkur bocah yang usianya berada dibawahnya dengan tubuh biru penuh luka dari tinjunya yang bertubi-tubi.

Tubuh yang bergetar dari ledakan amarahnya dan tangan .yang mengepal kuat, masih terasa panasnya, meski tidak lagi melayangkan pukulan tinju pada sang bocah yang sudah tak berdaya.

Kemudian ada tangisan kesenangan Blue Bells-nya yang disembunyikan dikedua telapak tangannya, disebelahnya ada Jungkook Muda yang menatap iba padanya. Dan jauh dibelakangnya ada malaikatnya, Jimin kecil yang bersembunyi dibalik kain baju pelayan, menatapnya shock.

Ia tidak bersalah, tetapi siapa yang akan percaya jika orang yang dicintainya lah yang membuatnya melakukan kesalahan itu?

Semua orang sudah mengecapnya sebagai pembohong.

Appa dan Eomma-nya tidak lebih menganggap kejadian itu hal yang paling memalukan. Kakek dan Neneknya yang mendengar kabar ini tidak segan-segan pula untuk memberinya hukuman dengan memasukannya ke sekolah privat ST. Michaelis.

Dan ditempat neraka itulah semua penderitaannya dimulai, pikiran dan tubuhnya dilecehkan tiada henti ditempat terkutuk itu. Tempat yang katanya untuk anak-anak nakal kata kakeknya agar menjadi anak yang lebih baik, tidak lebih seperti tempat penyiksaan untuknya.

Menjadi seperti Min Yoongi sekarang tidak lebih karena ulah perempuan iblis itu, Lorraine.

Karena itu bukan salahnya jika Appa dan Eomma nya kehilangan puteranya yang penurut layaknya dulu. Kesalahan mereka juga yang membuatnya menjadi seorang pembangkang, aturan keluarga yang kejam dan ketidakpercayaan mereka pada anakn ya sendiri, membuat luka yang cukup dalam dihatinya.

Min Yoongi menatap pada langit diatas kepalanya yang mulai berwarna biru gelap, cairan asin keluar begitu saja tanpa bisa ditahan.

Tubuhnya tidak bergeming, menikmati semilir angin yang kian membekukan hatinya serta menerbangkan beberapa tetes cairan asin hangat yang hendak jatuh ditanah tandus.

.

.


.

.

CHARLOTTENBURG-WILMERSDORF, BERLIN, GERMANY.

RABU, 12.01

.

.

"Kau suka kejutan dariku?"

Jungkook mengalihkan netranya dari sosok didepannya untuk bertemu kontak mata dengan biru langit Lorraine, "Sejujurnya—Tidak!"

.

(TAEHYUNG POV)

.

Ini seperti mimpi yang menjadi nyata, sampai aku tak mampu untuk berucap satu katapun.

Jeon Jungkook, pemuda kelinci yang memegang seluruh isi hatiku saat ini tengah duduk berhadapan denganku. Rasa rindu yang terpendam bersamaan kemarahan dalam diriku rasanya ingin segera kutumpahkan jika tidak melihat keadaannya saat ini.

Seketika luka gores yang masih membekas akibat pengkhianatannya kembali terbuka.

Perasaan ingin membalasnya dengan rasa sakit dan kenikmatan yang takkan bisa dia lupakan perlahan mengambang ragu, netra hitamnya menghidari tatapanku, aku dapat merasakan kepanikan yang dia sembunyikan lewat gestur santainya.

Aku terus saja menatapnya intens, seolah tak bisa mengalihkan pandangan darinya, meneliti dengan jeli perubahan pada tubuhnya.

Jungkookku masih saja terlihat menawan. Tangannya yang tanpa sadar terus mengelus perut buncitnya, membuatku tak bisa menahan senyum kecil; Diperutnya mengandung benihku, darah dagingku.

Pikiranku bermain dengan kemungkinan yang ada, yang tentu saja hanya akan menjadi khayalan indah; Bagaimana jika aku bisa memutar waktu kembali dan kemudian mengubah semua hal buruk yang pernah terjadi menjadi sesuatu yang indah.

Seandainya jika bisa waktu kembali pada saat dimana Jungkook dan aku bersama setelah tragedi kematian orangtuanya, aku bersumpah pada dunia bahwa aku tidak akan berubah menjadi bajingan dan monster untuknya. Aku hanya ingin menghabiskan seluruh hidup bersamanya dengan cinta dan gairah.

Perasaan bersalah masih saja terus mengganjal, aku yang mengubahnya menjadi seperti sekarang ini, sayangnya ego dalam diriku pun menolak jika semua yang terjadi adalah sepenuhnya salahku.

Karena Jungkook pula lah yang sudah dari awal menciptakanku seperti ini.

Dan tentu saja, semua yang terjadi telah terjadi takkan dapat diubah kembali. Surga cinta yang pernah aku dan Jungkook jalani kini sudah mengabur menjadi neraka kehancuran, tidak ada yang tersisa dari Jungkook untukku selain kebenciannya, aku tau itu.

Sedangkan setelah semua, perasaan cinta dihatiku untuk Jungkook masihlah sebesar dulu.

Aku tidak bisa melepaskannya meski perasaan bersalah memenuhiku. Aku tidak bisa melihatnya mencintai orang lain walau aku sadar bahwa aku tidak pernah memberinya kehidupan yang ia impikan.

Aku hanya ingin satu kesempatan untuk bersamanya, namun sayang ia lebih memilih kenyamanan bersama Min Yoongi.

Terkadang kemarahan, kecemburuan dan pikiran yang ia bisa hidup tanpaku membuatku hilang akal, sebab aku ingin bersamanya dan tak bisa hidup tanpanya.

Itupun yang tanpa sadar membuatku hilang kendali hingga selalu menyakitinya.

Yah, mungkin dari awal ini semua memang salah Jungkook. Dialah yang sejak awal membuatku begitu sangat menginginkan cintanya! Memerangkapku dengan keindahannya.

"Aku merasa sangat terberkati hari ini. Tuhan sepertinya masih sangat menyayangiku. Aku dapat berkumpul kembali bersama Sepupu tersayangku juga pasangan yang sangat mencintai Hase-ku"

Aku tersenyum membalas senyum yang diberi Lorraine setelah ia selesai berucap dan menatapkuku dalam.

Dapat kudengar suara helaan nafas lelah Jungkook, rasanya ingin sekali aku tersenyum lebar dan terkekeh keras untuknya, sayangnya aku tak bisa melakukannya dihadapan sepupu cantik tersayangku itu, akan menimbulkan kecurigaan.

Lorraine mungkin akan bertanya aneh-aneh dan jika ia tau apa yang sebenarnya terjadi, kemungkinan besar ia akan melaporkanku pada pihak berwajib, dan aku sungguh tak ingin melukainya. Apalagi ia salah satu keluarga yang masih dimiliki Jungkook setelah aku merengut hidup kedua orang tuanya dulu.

"Well—" Jeda Lorraine melirik aneh sekilas pada Jungkook. "Aku akan meninggalkan kalian berdua sementara agar kalian memiliki Privasi untuk berbincang dan menyelesaikan masalah kalian berdua, yah— apapun itu"

Aku sepertinya akan berterima kasih pada pengertian perempuan itu.

"Dan- aku akan membantu asha menyiapkan makan malam untuk kita semua"

"Wirklich, du kannst nicht einmal kochen (sungguh, kau bahkan tidak bisa memasak)"

Aku mengerutkan keningku tidak paham mendengar Jungkook yang setelah beberapa saat dalam kebisuan akhirnya mengeluarkan suaranya untuk berkata.

Lorraine menghentikkan langkahnya yang bergerak menjauh dari tempat kami duduk, beberapa detik dalam diam, bermain-main dengan gagang pintu yang dipegangnya kemudian ia berbalik menghadap kearah Jungkook berada.

Senyum yang khas darinya kembali tercetak. Pandangannya sepenuhnya menatap pada pujaanku, ada sesuatu yang berubah namun aku tak dapat memetakan hal aneh yang ada dipikiranku.

Jungkook menyamankan duduknya disofa, menyederkan punggungnya dikepala sofa, tersenyum tipis saat melirik sekilas pada sepupunya dan meminum isi gelas jus melon ditangannya.

"Es gibt viele Dinge, die sich jetzt von mir geändert haben und die Sie nicht kennen. Wenn wir die Möglichkeit haben, mehr Zeit zu verbringen, können Sie neue Dinge in mir sehen (ada banyak hal yang berubah dariku saat ini yang tidak kau ketahui. Jika kita diberi kesempatan untuk menghabiskan waktu lebih lama, mungkin kau akan menyadari hal-hal baru dari diriku)"

"Oh ist das so? Hast du dich verändert? Ist diese Veränderung auch ein besserer Mensch? (Oh begitukah? Kau berubah? Apa perubahan itu juga menjadikanmu orang yang lebih baik?)"

Lorraine memutar matanya saat Jungkook menatap skeptis dirinya. "Nicht wirklich Aber ich habe mich geändert, um klüger und sehr gut darin zu sein (Tidak juga. Tapi aku berubah menjadi lebih cerdas dan sangat piawai)."

"Hmm ... Nun, lieber Lorrie, du weißt wo ich bin. Ich hoffe du weißt was du tust (Hmm.. Well—Lorrie tersayang, kau tau keadaanku. Aku harap kau tau apa yang kau lakukan ini)"

"Ich verstehe deine Situation. Und ich weiß wirklich, was ich auch mit jedem Risiko mache (Aku paham situasimu. Dan aku sangat tau apa yang tengah kulakukan ini bahkan dengan setiap resiko yang ada)"

"Ja, ja, ja ... Erinnern Sie sich an Lorrie, denken Sie immer daran, dass Sie auf einer sehr dünnen Eisfläche gelaufen sind. Wenn Sie sich falsch berechnen, sterben Sie im kalten Wasser, das Ihre ganze Seele einfrieren kann (Ya, Ya, Ya.. Ingat Lorrie, terus ingat saat ini kau tengah berjalan di permukaan es yang sangat tipis. Salah perhitungan dan kau akan mati membeku tenggelam diair dingin yang dapat membekukan seluruh jiwamu)."

"Du bist sehr süß, mein Cousin, mein lieber Hase. Sie machen sich so viele Sorgen um mich, obwohl Sie sich Sorgen machen müssen, dass die Person vor Ihnen sitzt (Kau sangat manis sepupuku, Hase tersayang. Kau begitu sangat mengkhawatirkanku, padahal seharusnya kau mengkhawatirkan orang yang duduk didepanmu itu)"

"Natürlich Schließlich habe ich nur eine Familie (Tentu, setelah semua, satu-satunya keluarga yang kumiliki hanyalah kau)"

Tatapan Lorrie melembut, "Entschuldigung Hase, bitte warte, was auch immer passiert (Maaf Hase, kumohon bertahanlah apapun yang terjadi)"

Aku menatap interaksi keduanya yang tidak memperdulikan keberadaanku seakan aku tidak ada diantara mereka.

Mencoba memahami makna pembicaraan yang masih saja tidak dapat aku mengerti. Sejujurnya aku tampak seperti orang bodoh diantara mereka berdua.

Yah, itu sangat sulit untuk mempelajari B. Jerman yang lebih rumit dari B. Inggris.

Lorraine kembali berbalik pergi meninggalkan kami berdua setelah sebelumnya menutup pintu dibelakangnya, —benar-benar memberi privasi untuk kami berdua.

Keheningan mengisi seluruh ruangan, banyak pertanyaan dan pernyataan yang ingin aku katakan pada sosok yang ingin menyingkirkanku itu, tapi tak satupun dari itu semua yang mampu terucap. Sebagai gantinya aku kembali menatapnya lamat dan Jungkook masih enggan untuk memenuhi tatapanku.

Netra hitamnya memilih memandang keluar jendela.

"Kau tau sayangku, seberapa besar aku merindukanmu selama beberapa bulan terakhir ini?"

Diam. Jungkook menekan kedua belah bibirnya rapat.

"Ada banyak hal yang ingin kulakukan padamu segera. Sayang untuk itu semua aku harus kembali bersabar, mengingat saat ini kita sedang berada dirumah sepupu tersayangmu"

Masih tak ada tanda-tanda Jungkook akan membalas ucapanku. Ia masih tidak bergeming.

Kediamannya membuat emosiku sedikit tersulut. Mencoba menenangkan amarahku sendiri, aku tentu saja tidak bisa bertindak seenaknya saja disini.

"Bertemu lagi denganmu setelah apa yang ingin kau lakukan padaku. Ini seperti mimpi bukan?"

Akhirnya, Jungkook menoleh, "Ya, mimpi buruk!" Jawabnya lugas.

Hal itu membuatku menyunggingkan smirk puas. Terserah pada apapun jawabannya, yang penting mulutnya terbuka bersuara menanggapi perkataanku.

"Kau tau aku pasti akan membalasmu, kan?"

Jungkook hanya menganggukan kepalanya membalas pertanyaanku.

"Aku masih sangat tidak menyangka kau berniat untuk menghabisiku. Sesuatu hal yang tidak dapat aku percayai darimu sayangku, kau mengkhianatiku!"

"Tidak kau sangka? Tapi melihat bagaimana kau saat ini berada dihadapanku, dirumah sepupuku satu-satunya dengan keadaan yang baik-baik saja adalah sesuatu yang sudah kau perhitungkan sepertinya"

"Aku mungkin bodoh mengingat aku masih tergila-gila padamu, tapi aku tidak seceroboh itu... Love"

Aku selalu menyiapkan rencana cadangan jika saja ada sesuatu hal yang berubah dari apa yang sudah aku perkirakan.

Awalnya, sangat sulit dipercaya setelah aku mengikuti keinginannya balas dendam pada Park Jimin, Mausie-nya, ia juga akan membalasku dengan mempersiapkan kematianku. Berkali-kali mencoba menyangkal rasa sakit akan pengkhianatannya, namun memikirkan bagaimana aku pernah sangat melukai hatinya hingga menghitam, aku sadar Jungkook mampu melakukannya.

Ia bukan lagi Jungkook yang dulu, sebagian dari dirinya sudah berubah. Itu memang karena kesalahanku! Tetapi tetap saja, amarah yang terlanjur membakar diriku tak bisa membiarkan Jungkook begitu saja dengan pengkhianatannya.

Dan setelah menghukumnya, aku takkan membiarkan jungkook lepas dari genggaman tanganku lagi.

"Lalu—Mengapa Lorraine?"

Mengangkat bahuku acuh. "Ia terbukti mampu membawamu jauh-jauh kemari dengan sukarela"

Lorraine, sepupu yang sangat disayangi jungkook, ia gadis menyeramkan yang untung saja tinggal di Jerman, kata-kata dari Jimin dulu yang kemudian terngiang kembali diotakku saat aku bingung memikirkan jalan keluar saat itu.

Uang yang Jungkook beri untukku saat itu bersamaan dengan uang yang kuambil dari orang suruhan kelinci manisku yang kubunuh, takkan cukup untuk hotel dan biaya hidup untuk satu bulan lebih di Jerman.

Akupun haru memberi imbalan untuk teman yang membantuku.

Lalu ide untuk menggunakan Lorraine dari teman yang seorang napi itu kupikir ada benarnya, tidak ada salahnya juga dicoba.

Mengeluarkan beberapa uang untuk mencari sepupu kelinci manisku itu tidak sia-sia juga rupanya; Aku tidak perlu tidur dijalanan dan kelaparan. Uang yang masih tersisa dapat aku gunakan untuk rencana yang lain, dan yang terpenting perempuan itu bisa membawa pujaannya padanya tanpa harus ia yang mencarinya susah payah.

Jungkook sepertinya dapat membaca pikiranku, ia menganggukkan kepalanya paham.

"Aku didepanmu sekarang. Lalu apa yang ingin kau lakukan? Mencoba membalasku dengan membunuhku?"

Aku mendengus kasar. "Aku memang ingin sekali menghancurkanmu. Tapi tidak sayang, aku tidak ingin kehilanganmu untuk selamanya. Kau tau aku sangat mencintaimu, kan?"

Tubuh Jungkook bergetar, aku tidak tau itu karena ketakutan atau amarah.

Wajahnya menahan ekspresinya untuk tetap datar, sayangnya iris malam tanpa bintangnya menatapku dengan berbagai macam emosi yang tidak dapat kujelaskan.

Pandangannya padaku langsung menusuk tepat di ulu hatiku.

"Apa yang kau inginkan Taehyung?" ketenangannya sepertinya menguar tergantikan perasaan tak suka yang jelas diperlihatkannya.

"Kau tau kenapa aku tak bisa menghukummu dengan sakit? Tidak bisa menghancurkanmu hingga remuk dan membuatmu menyesal karena berfikir untuk menyingkirkanku?"

"Taehyung, apa yang kau inginkan dariku?" Desisnya penuh racun.

"Tidak, bukan hanya karena aku mencintaimu. Aku bisa saja melakukan semua hal yang tak terbayangkan padamu, sayang. Tapi tidak bisa, tidak-tidak, sebab ada darah dagingku yang bersemayam dirahimmu. Kau akan menjadi ibu untuk anakku saat lahir nanti dan aku tidak ingin menyakitimu hingga dapat melukai sikecil baby didalam perutmu, Jungkook... Aku—"

"KATAKAN TAEHYUNG, SEBENARNYA APA YANG KAU INGINKAN DARIKU?!"

"Bersamamu... Satu kesempatan terakhir untuk kita berdua"

"Itu tidak mungkin. Aku tidak bisa!"

"Kenapa?"

Aku menatapnya marah. setitik air mata jatuh dipelupuk matanya yang menatapku benci. "Jika tidak bisa, maka lebih baik kau, aku dan calon anak kita mati bersama. Kita bisa hidup bersama didunia lain yang lebih baik, saling mencintai kembali dan melupakan semua rasa sakit yang pernah ada, kita akan menjadi orangtua yang baik untuk anak kita!"

"Kau sudah gila Taehyung!"

"Yah—Aku memang sudah gila! dan kau sudah tau itu sejak dulu"

Jungkook menatapku dengan mata yang membelalak tak percaya. Aku memang sudah tidak waras karenanya sejak aku pertama kali jatuh pada pesonanya. Dan semakin tak waras, saat ia mencoba mengambil kehidupanku didunia.

Aku terkekeh miris.

Seandainya Jungkook benar-benar memberiku satu kesempatan saat itu, tentu semua tidak akan seperti ini. Andaikan harapannya tidaklah dusta kemarin-kemarin, kita mungkin benar-benar bisa memulai semuanya dari awal layaknya dulu.

Apakah begitu sulit melepaskan kenangan masa lalu yang pahit untuk memulai hidup baru bersama kembali?

Mengapa Jungkook tidak kembali menumbuhkan rasa percaya padaku dan membuka dirinya seperti dulu saat aku memintanya untuk mencintaiku? Aku hanya menginginkan kesempatan untuk bersamanya!

"Lalu apa yang kau tunggu? Ayo—Bunuh aku!"

Aku mengempalkan kedua tangan disisi tubuhku.

Kesabaran yang coba aku pertahankan hancur. bukan itu jawaban yang sebenarnya ingin ku dengar dari bibir sewarna mawar merah berdurinya.

-PLAK-

—Aku menamparnya, sangat keras.

Suara tamparannya menggema diseisi ruangan. panas akibat telapak tangan yang diadu pada pipi gembulnya seakan membakar tanganku.

Aku hanya mencoba menjadi pria yang lebih lembut untuknya. Aku ingin ia tau, bahwa aku bisa menjadi pria baik yang mampu mengambil simpatiknya. Tetapi sepertinya pujaanku ini lebih senang jika aku menjadi pria yang kejam untuknya.

"Besok pagi kita akan pergi dari sini!" Ucapku penuh otoritas.

Jari-jarinya terangkat menyentuh pipi yang aku tampar tadi, "Kau—Kau mencoba membawaku kabur?"

Aku hanya menatapnya dingin.

"Min Yoongi akan membunuhmu jika ia tau kau membawaku kabur! Dia tidak akan melepaskanku!"

"Jungkookku tercinta, iapun akan membunuhmu jika kuberitahu siapa sebenarnya anak yang kau kandung itu!"

Ekspresi shock dan penuh rasa takut melintas diwajahnya. Menatapku dengan segala kemarahan yang disimpannya untukku.

Sedikit rasa kecewa memenuhiku kala aku tau, dia lebih menakuti sosok Min Yoongi dibandingkan denganku.

"Kau tidak akan berani melakukan hal itu—"

"Coba saja!" Selaku cepat, menantangnya.

Jika secara fisik, aku mungkin bisa mengalahkan Min Yoongi. Sayangnya jika secara kekuasaan aku jelas kalah telak. Ia memiliki orang-orang bayaran dimana-mana, sekalinya tertangkap aku mungkin sudah mati dihabisi anak buahnya.

Membawa pergi Jungkook yang saat ini menjadi kesayangan juga istri kedua Min Yoongi memerlukan keberanian dan resiko yang sangat besar, untungnya semua hal sudah aku persiapkan matang dari jauh-jauh hari dengan sempurna.

Aku yakin Min Yoongi tidak akan bisa menemukan keberadaanku.

"Taehyung—" Jungkook menggigit kuat bawah bibirnya, menundukkan kepalanya, matanya teremas tertutup sebelum kembali menampilkan iris hitamnya dan memandangku dengan sendu.

"Lepaskan aku, lupakan seluruh perasaan bodohmu itu. hiduplah sebagai Taehyung yang baru, atau jika perlu kau dapat menghabisiku untuk membalas pengkhianatanku padamu. Jangan membawaku bersamamu, kau akan menyesal jika melakukannya, Taehyung"

Aku tak bisa memperdulikan omong kosong yang diucapkannya.

Melangkah mendekatinya, aku memegang erat kedua pundaknya dan menariknya berdiri sejajar denganku, suara ringisan kecil dapatku dengar dari belah bibir kenyal yang terbuka—yang begitu sangat ingin kuciumi.

Tangan kiriku bergerak melingkar pada pinggangnya, memberinya sentuhan halus yang menggetarkan tubuh pujaanku pada sensasi geli.

Tangan kananku secara perlahan naik keatas, mengelus leher jenjangnya yang mulus kemudian dengan sentuhan sehalus beludru mencapai permukaan wajah yang cantik.

Kubiarkan ibu jariku memeta setiap detail keindahan diwajahnya. Maniknya kembali tertutup dalam raut ketidakpercayaan.

"Aakhh-"

Jungkook kembali meringis saat ibu jariku menekan pipi yang tadi kutampar, bekas tamparan yang membiru terlukis kontras dengan kulit putihnya.

Nafasnya tercekat saat jari-jari tangan kiriku berlari disepanjang tulang punggungnya.

Tubuhku terbakar gairah hanya dengan melihatnya pasrah seperti ini.

Menekan-nekan bibir bawahnya yang basah dan lecet akibat gigi yang ia sempat gigit tadi, sebelum memasukan ibu jari tangan kananku sepenuhnya pada goa hangat mulut yang dulu selalu memanja kejantananku.

Memutar-mutar ibu jariku didalamnya, menyapa dan mengajak bermain lidah basah nan kenyal itu sudah cukup mengirimkan getaran nikmat pada bagian selatanku yang sudah sepenuhnya bangun berdiri.

Aku menjilat bibirku yang terasa kering, mataku tak bisa berkedip melihat bagaimana Jungkook yang tanpa sadar mulai menikmati sentuhanku, mulutnya dengan lihai mengulum ibu jariku bersemangat.

Rasa lapar langsung memenuhi birahiku.

Mengeluarkan ibu jariku dari mulutnya dengan bunyi "BLOP" dan segera aku melumat bibirnya dengan ciuman kasar.

Aku merindukan semua ini. ciumannya, tubuhnya, panas gairah darinya—terlebih aku merindukan Jungkook yang mencintaiku. Sama memujaku seperti aku memujanya.

Dan aku tau, Jungkook pun pasti merindukan sentuhanku yang mampu membuatnya menyentuh langit.

"Euungg" rengekannya yang teredam mengirimkan sensasi listrik disekujur tubuhku.

Tangannya yang tampak ragu, meklingkar dileherku dan meremas kuat helaian rambutku kuat untuk memperdalam ciuman kami.

Aku menutup mataku dan untuk beberapa menit yang panas, kami saling bertarung dalam ciuman bernafsu. Sebelum kebutuhan akan udara memisahkan ciuman kami.

Jungkook terengah-engah, masih dalam pelukanku. Tersenyum kecil tanpa berniat membuka kedua matanya.

Aku ingin melakukan kegiatan yang lebih intim dan bergairah, tapi sekali lagi, itu tidak mungkin dilakukan saat ini. Aku masih perlu bersabar.

"Jangan katakan hal aneh apapun pada sepupumu, jika kau ingin dia baik-baik saja." Kataku mengancam dengan sedikit terengah, "Dan, saat kau keluar dari sini. Lebih baik perbaiki dulu penampilanmu, bersikaplah seperti dirimu biasanya, sayang. Btw, jika sepupumu bertanya katakan padanya bahwa kita memang sepasang suami istri"

Jungkook hanya tersenyum tipis, mengatur pernafasannya dan masih enggan memperlihatkan mata kelamnya yang indah.

Aku keluar meninggalkan Jungkook tanpa meliriknya kembali didalam ruangan seorang diri dengan pintu yang sengaja tidak kututup, melangkah mencari tempat untuk merokok dan menjernihkan pikiranku dari gairah yang belum terpuaskan.

Saat satu isapan rokok dan asap mematikan yang memenuhi paru-paruku, rasanya sama nikmatnya dengan ciuman Jungkook tadi.

Sesaat aku tersadar akan satu hal. Apa Min Yoongi membiarkan Jungkook mengunjungi sepupunya hanya seorang diri?

...

(END TAEHYUNG POV)

.


.

.

MANOR UTAMA MIN

RABU, 22.10

.

"Min Yoongi sudah pulang?"

Marylin menggelengkan kepalanya, "Belum Tuan, bahkan beberapa kali saya menanyakan pada pelayan tapi masih belum juga melihat Tn. Yoongi kembali"

"Yoongi Hyung, kau sedang dimana sebenarnya?"

Meremas erat ponsel ditangannya. Sudah lewat jam makan malam dan suaminya belum juga datang menemuinya.

Sebelumnya Jimin yang tidak lagi kuat menahan rasa penasaran dengan pembicaraan Yoongi dan Eomma-nya yang begitu lama, meminta Marylin untuk melihat suaminya diruang kerjanya dan saat kembali Marylin menyampaikan jika ruangan itu kosong dan pelayan yang lain mengatakan bahwa Ny. Min sudah meninggalkan ruangan itu lebih dulu yang tak lama kemudian disusul Tn. Muda Min.

Aneh, pembicaraan keduanya yang tampaknya sangat penting itu selesai di jam sore hari dan sampai saat ini Min Yoongi belum menemuinya dikamarnya.

Sesuatu tengah mengganggu pikiran suaminya, itu hal yang terlintas dibenak Jimin saat mendengar Marylin berkata bahwa suaminy pergi keluar Manor dengan gelisah tanpa menghiraukan sapaan para pelayan.

Jimin semakin khawatir karenanya. Ada apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang di bicarakan Eomma-nya? Ia takut terjadi apa-apa pada suaminya.

"Tuan Jimin?"

Tersadar dari lamunannya, Jimin mengalihkan padangannya pada Marylin yang menatapnya khawatir.

"Tuan lebih baik anda beristirahat, mungkin sebentar lagi Tuan Yoongi akan pulang. Saya akan menyiapkan makan untuk anda Tuan"

Jimin hanya menganggukkan kepalanya pelan, ragu.

Jimin tidak bisa tenang sebelum ia tau Yoongi baik-baik saja, ia mungkin takkan bisa tidur nyenyak jika belum tau dimana keberadaan suaminya saat ini.

Sesaat pikirannya kembali tersentak, keadaan seperti ini pernah terjadi, sesuatu yang seharusnya tak aneh lagi baginya. Bukankah dulu, ia sering mengkhawatirkan Min Yoongi, suaminya yang dulu paling ia percayai, menunggunya hingga larut malam pulang dari lemburnya bersama Jungkook?

Lucu sekali, bagaimana lugunya ia yang melupakan fakta bahwa suaminya itu pemilik perusahaan yang tidak perlu bekerja seperti pegawai biasa yang mengharapkan uang lembur dari atasannya.

Atau tatkala ia tengah gelisah takut suaminya tidak merawat dirinya dengan baik saat berbohong pergi keluar kota untuk bisnis dan pada kenyataannya menghabiskan waktu bersenang-senang bersama adik tirinya?

Jimin melukiskan senyum miris dibibirnya untuk mengasihani dirinya sendiri. Luka itu tidak hanya terus menganga dihatinya tapi juga terpatri jelas diingatannya.

"Aku ingin mencoba tidur saja Marylin, kau boleh pergi"

Marylin tidak mengindahkan perkataan Tuannya, ia masih setia ditempatnya berdiri dengan tatapan sedih.

Tuannya menolak makan malam yang disediakan pelayan Manor Min, hanya berjalan mondar mandir gelisah setelah tau Tuan Min Yoongi pergi keluar tanpa mengabarinya. Sedang Marylin tau dari siang semenjak sampai di Manor ini Tuannya belum makan apapun lagi selain satu suap nasi yang terhidang dimeja makan dan segelas air putih.

Berulang kali mencoba mengirim pesan teks dan melakukan panggilan tanpa ada jawaban.

Sejujurnya Marylin tidak mengerti kenapa Tuan Jimin harus sekhawatir ini, toh Tuan Jungkook pun sedang ada di Jerman. Jadi tak ada yang perlu ditakutkan jika Tuan Yoongi hendak akan menemui diam-diam Tuan Jungkook kan?

Marylin hanya takut tuannya akan jatuh sakit, apalagi seminggu terakhir ini pasca musibah menimpa rumah tangganya, Tuan-nya itu kurang makan.

"Tuan Jimin, saya mohon—"

"Apa aku mengganggumu?"

Perkataan Marylin terpotong. Kepalanya tertunduk saat ia memutarbalikannya badannya kebelakang dan melihat orang yang memotong perkataannya,

—Ny. Besar Min berdiri diambang pintu kamar terbuka yang lupa ditutup olehnya saat masuk tadi.

Kedatangannya dipintu kamarnya juga membuat Jimin terperangah kaget.

Ini adalah kali pertamanya sepanjang sejarah Park Jimin sebagai menantu keluarga Min melihat Eomma suaminya datang kekamarnya dan menyapanya lebih dulu.

Ada kehangatan musim semi yang menyebar dihati Jimin saat Ny. Min sama sekali tidak berniat datang untuk marah dan menghinanya, hanya berjalan melewatinya untuk berdiri tepat ditempat malaikat kecilnya tengah tertidur.

"Suruh pelayanmu untuk memindahkan peralatan Baby Yoonji kekamarku, selama kalian disini Baby Yoonji akan tidur bersamaku"

"Tapi—Apa itu tidak akan mengganggu Appa, Eomma?"

"Tidak"

Jimin mengulas senyum haru, Ny. Min memangku puteri kecilnya yang mengeliat memposisikan tidurnya agar nyaman dipelukan neneknya. Perasaannya sangat bahagia karena Ny. Min tidak murka ataupun memakinya saat tadi Jimin memanggil namanya dengan sebutan Eomma.

Seandainya Eomma dari suaminya itu bisa menyayanginya dan menatapnya sayang sama seperti pada puteri kecilnya mungkin sekarang mereka akan membuat keluarga yang sempurna dan bahagia.

Marylin menatap ragu-ragu pada Tuannya yang mengangguk menyuruhnya mengikuti perintah Ny. Min.

Ada sedikit rasa lega dihati Marylin ditengah-tengah ketidaknyamanannya berdekatan dengan Ny. Besar Min yaitu melihat Tuannya tersenyum berseri dan teralihkan dari rasa kegelisahannya hanya dengan melihat mertua yang sangat membenci Tuan Jimin menyalurkan kasih sayang pada cucunya.

Impian dari kebahagiaan Tuan Jimin itu sederhana.

...

.


.

.

VILA FOSTER, BERLIN, GERMANY

RABU, 15.10

.

"Tn. Jungkook benar-benar memberiku masalah besar!"

Kang Daniel menatap 3 tubuh para pengawal Min Yoongi yang tewas tergeletak dilantai dapur, sedang 2 dari kelima pengawal itu tewas ditempat duduk meja makan.

"Apa yang harus kukatakan pada Tn. Min Yoongi?" Tangannya terangkat pada teko kaca berisi jus delima merah dan membuang semua isinya dikeran.

"Dan apa yang harus kulakukan pada mayat-mayat ini?" Tanya lagi pada dirinya sendiri. "Tn. Yoongi pasti akan membunuhku!"

.

...


.

.

NEW YORK, AMERIKA SERIKAT

MIN INTERNATIONAL CORP.

.

SELASA, 14.10

.

"Siapa namamu tadi?"

"Byun Baekhyun, Pak"

Seokjin meneliti perempuan didepannya yang merupakan pegawai baru yang akan menjadi Asissten-nya di kantor.

Cantik, pikirnya.

Melirik sekilas pada pacarnya, Namjoon, yang duduk disofa kantor ruangannya dengan santai sembari menatapnya sayang—Itu menggelikannya—tapi jauh disudut hatinya terdalam ia sangat terharu melihat bagaimana perhatian dan begitu memujanya namjoon padanya.

"Kau tau tugasmu apa?"

"Tau Pak, Pak Kim Namjoon sudah memberitahu semua tugas saya sebagai Assisten anda"

Seokjin mengangguk, "Baguslah jika kau tau. Kau boleh keluar"

Kim Namjoon berdiri dari duduknya mengalihkan tatapannya pada Baekhyun yang membungkuk hormat pada kekasihnya. "Ikuti saya Miss Baekhyun. Saya akan mengantarmu keruanganmu"

Baekhyun mengangguk mengerti pada perintah Namjoon yang sudah membantunya masuk ke Perusahaan Besar Min untuk bekerja didalamnya. Mengikutinya keluar ruangan Seokjin setelah sekali lagi membungkuk hormat pada atasannya itu.

Seokjin hanya menatap bosan pada keduanya yang melangkah pergi. Sejujurnya ia tidak mengerti kenapa ia memerlukan Assisten. Jabatannya diperusahaan inipun hanyalah status semata karena Min Yoongi sudah memberikan setengah dari perusaan ini pada kawan gilanya, Jungkook.

Dan Jungkook pun telah mengatakan jikalau ia tidak akan selamannya bekerja diperusahaan ini setelah kawan gilanya itu mendapat apa yang dia inginkan.

Jungkook tak ada disini dan ia bingung harus mengambil keputusan apa disaat Namjoon mengatakan tidak bisa mengawasi dan membantunya terus menerus diperusahaan, karena itu ia membantunya mencarikannya Assisten dikantor.

Seokjin takut itu akan menjadi masalah.

Dan sejujurnya juga ia lebih takut lagi jika apa yang direncakan Jungkook tidak berjalan lancar, mengingat Hoseok selalu mengawasinya bahkan Hoseok tidak memperbolehkan Seokjin menangani masalah atau Project penting lainnya.

Pekerjaannya hanya menangani hal sepele -yang sebenarnya sulit dikerjakannya- tapi tetap saja mereka berdua kan jabatannya setara, namun Hoseok itu tetap memandangnya sebagai pegawai rendah dibawahnya.

File-file yang diinginkan Jungkookpun belum berhasil Jin dapatkan.

Seokjin memijit keningnya, tiba-tiba saja kepalanya menjadi pening.

"Kau baik-baik saja?"

Sesaat ia merasa akan mati ditempat karena serangan jantung. "Bisakah kau mengetuk pintumu dulu sebelum sembarang masuk ruanganku, eh?!"

Terkekeh lucu, Namjoon menyimpan beberapa tumpuk kertas diatas meja kerja Jin lalu mengangkat kedua tangannya menyerah saat kekasih cantiknya itu memelototinya marah. "Maaf maaf "

Jin membuang mukanya kesal yang justru dimata Namjoon terlihat menggemaskan. "Kau lucu sekali Jin, sedang merajuk?"

"Sembarangan! Apa yang kau bawa ini?"

"Pekerjaanmu, Honey"

Seokjin merinding, geli akan panggilan aneh-aneh yang selalu diberi Namjoon.

"Haahhh-, Pekerjaanku tidak akan pernah ada habisnya rupanya"

"Jangan lesu begitu, ini memang bagian dari tugasmu. Ayo semangat, Honey"

Kata-kata semangatnya tidak menyemangatinya sama sekali, batin Jin.

"Apa perlu kubantu? Sekalian menemanimu disini?"

"Tidak, tidak perlu. Aku bisa sendiri!"

"Benarkah?"

Seokjin menatapnya sebal, "Iya" Ketusnya.

Kim Namjoon hanya tersenyum maklum. Ia tau apa yang dipikirkan kekasihnya itu, meski bukan maksud Namjoon untuk meremehkan kemampuannya. Hanya saja, Namjoon tau dengan jelas latar belakang pendidikan kekasihnya itu.

kim Namjoon pun tidak dapat menyalahkan Jung Hoseok jika tidak mempercayai Seokjin, kekasihnya. Begitupun dengan Tn. Min Yoongi, itulah sebabnya Namjoon diminta untuk mengawasinya dikantor, Tuan-nya pun bahkan takut jikalau kekasinya mengacau atau melakukan kesalahan yang akan menghancurkan perusahaannya.

Posisi jabatan dan tugas yang diberi Jungkook untuk kekasihnya merupakan sebuah tanggung jawab yang besar yang sangat diragukan mampu diselesaikan kekasihnya.

Kim Namjoon tidak habis pikir dengan apa yang dipikirkan istri kedua Tuan-nya itu.

Tetapi jika untuk tugas yang sebesar ini, Tn. Jungkook memilih kekasihnya, bukankah itu artinya kekasihnya itu dapat diandalkan? Yah, semoga saja.

"Maaf Honey, aku hanya mengkhawatirkanmu"

Seokjin berdecak, "Tidak perlu. Kau bahkan sudah membawa assisten untuk mengatasi kekhawatiranmu" Ujarnya masih dengan nada ketus.

"Aku mempercayainya. Profil kerjanya pun bagus, aku yakin ia kan banyak membantumu"

"HHMM"

Kim Namjoon dapat melihat ketidaksetujuan Seokjin saat ia mengenalkannya dengan Assisten barunya, Byun Baekhyun, perempuan yang tak sengaja ia temui di cafe dekat Perusahaan MIN kemarin saat ia tengah membelikan makan siang untuk Seokjin.

Menurut pemikiran Seokjin, ia dapat bekerja sendiri yang sangat diragukan Namjoon.

Meskipun kebanyakan tugas penting hanya diserahkan pada Hoseok, tetapi tetap saja seperti apapun tugasnya harus bisa diselesaikan dengan baik, pikir Namjoon. Dan karena ia tidak bisa terus membantu kekasihnya dikantor mengingat tugasnya pun harus mengurusi Manor dan memantau pekerjaan dikantor cabang lainnya sesuai perintah Tn. Yoongi, ia kemudian meminta pada bagian Recruitment untuk mencarikannya Assisten yang dapat membantu kekasihnya itu.

Berbagai file calon pelamar yang diberi HRD tidak ada yang sesuai, mengingat Seokjin memiliki karakter yang unik, ia juga harus mencarikannya pegawai yang handal, cerdas, terampil dan dapat menyesuaikan diri dengan tingkah labil kekasihnya.

Dan pada saat itu ia menemukan Byun Baekhyun yang sedang putus asa meancari pekerjaan.

Sebenarnya aneh rasanya saat mendengar perempuan malang itu, Byun Baekhyun, kesulitan mencari pekerjaan untuk menghidupi kebutuhannya dan ibunya yang tengah sakit cancer. Iba mendengar kisah hidupnya yang menderita dan penuh perjuangan, Kim Namjoon berbincang banyak dengannya sedikit menghiburnya dan meminta file lamaran pekerjaannya yang kebetulan sekali akan ia masukan kePerusahaan Min hari itu.

Byun Raekhyun memiliki nilai yang diatas rata-rata, bahkan ia lulusan terbaik di Perguruan Tinggi Negeri Rusia. Selain itu iapun memiliki penampilan yang Good Looking sebagai nilai plus. Mengherankan sekali jika tidak ada perusahaan yang mau menerimanya bekerja.

Melihat semua Profile data dirinya, Kim Namjoon memita HRD untuk segera memasukkannya bekerja di kantor sebagai Assisten Seokjin, tentu setelah ia berdiskusi dengan Tn. Yoongi yang juga sangat disetujui Hoseok. Mengingat sangat tidak percayanya keduanya pada kekasihnya.

"Ya sudah sana, kau boleh keluar dari ruanganku!"

Namjoon tak sadar jika ia melamun, tersentak mendengar suara Jin yang sedikit melengking menyuruhnya keluar.

Kekasihnya dalam suasana hati yang buruk rupanya.

Namjoon menggelengkang kepalanya kecil, tersenyum melihat kekasihnya yang memiliki Mood berubah-ubah.

"hari ini Tn. Yoongi memintaku untuk mengecek beberapa masalah dikantor cabang"

"Apa harus kau melapor setiap kegiatan yang akan kau kerjakan"

"Itu bukan melapor. Tapi memberitahu"

"Dan apa itu perlu?"

"Iya..."

"Mengapa?"

"Karena aku kekasihmu, dan aku tak mau kau mengkhawatirkanku yang tidak berada disekitaranmu"

Seokjin melipat kedua tangannya didada, menaikan satu alisnya menatap Kim Namjoon. "Aku takkan mengkhawatirkanmu, tau!"

"Yah- Siapa yang tau kau akan mencariku untuk meminta bantuan atau menemanimu"

"Yang benar saja! Aku tidak mau mencarimu bahkan jika kau menghilang dari muka bumi ini"

"Kau pasti akan mencariku, karena jika aku menghilang kau akan pasti akan merindukan orang yang memujamu dan satu-satunya pria yang mencintaimu melebihi hidupnya sendiri"

Seokjin memutar kedua bola matanya. Kebiasaan Kim Namjoon, merayunya tanpa kenal tempat dan situasi.

Seokjin bersumpah ia tidak menyukai rayuan Namjoon dan tidak akan terpengaruh oleh kata-katanya, meskipun ada ribuan kupu-kupu berterbangan dihatinya dan rona merah yang menghiasi kedua pipinya.

"Cih—Sana pergi! Aku ingin fokus mengerjakan tugas kantorku"

Namjoon tak bisa menahan tawanya. Ia tertawa senang dan cukup keras, melihat bagaimana manisnya kekasihnya yang malu dengan wajah tersipu.

"Baik baik, aku kan pergi"

Jin memandangnya heran, Namjoon sepertinya tidak berniat untuk pergi dari tempatnya berdiri disamping kursi tempan ia duduk.

Mengerutkan keningnya. "Lalu mengapa kau masih ada disini?"

Namjoon hanya berdehem kecil, menggaruk kepala belakangnya, matanya memandang sekeliling sebelum kembali memandang mata jin yang terheran. "Kau lupa ciuman perpisahannya" Katanya seraya mengetuk pelan bibirnya dengan jari telunjuknya.

Wajah seokjin memerah sepenuhnya.

"Ini kantor! Lagipula apanya yang perpisahan, toh kita kan kembali bertemu dimanor!" Bentaknya tanpa sadar menggebrak keras meja.

Namjon melangkah mundur satu langkah melihat reaksi kekasihnya itu. "Tak perlu marah Honey, aku hanya meminta satu ciuman penyemangat sebelum pergi"

Jin akan kembali membentaknya jika Namjoon tidak dengan cepat menghampirinya, menyentuh wajahnya dan meraup bibirnya kedalam ciuman yang dalam.

Seokjin terkaku. Otaknya tiba-tiba saja lemot. Berkedip beberapa kali untuk memproses tindakan pacarnya yang tidak terduga dan cepat itu sebelum pikirannya yang melayang kembali sadar tepat saat Namjoon melepaskan ciumannya, tersenyum nakal pada Jin "Bye Honey" Bisiknya.

.

Tubuh Seokjin lesu saat dirinya berfikir akan terjebak dengan semua pekerjaan kantor saat ini.

"Mungkin aku tidak cocok bekerja seperti ini" Katanya pada dirinya sendiri. Sesaat ia merindukan hidupnya yang bebas.

Bekerja penuh dosa dengan menghasilkan uang banyak sekali tidur, sepertinya membuat hidupnya keenakan. Dan tanpa harus berkerja keras seperti para pegawai dikantor ini yang dibayar hanya sebulan sekali dengan kebutuhan hidup yang kian melambung tinggi, kecuali untuk para pegawai yang memiliki posisi teratas tentu saja.

Ia jenuh, sangat sangat jenuh. Pikirannya melayang mengenai apa yang sekarang sedang dilakukan Jungkook dan Kang Daniel di Jerman. Bibirnya segera tertekuk kebawah, ketika bayangan kedua sejolinya bersenang-senang liburan di Jerman sedang ia tengah berduka berada dikantor ini.

Perasaannya kesal, ingin melampiaskan pada sesuatu. Tangannya dengan cepat meraih ponsel yang berada dimeja dekat pas foto dirinya dan akan melemparnya kelantai dengan keras saat dering ponselnya berbunyi menandakan satu pesan masuk.

.

From : Kang Daniel

JUNGKOOK DICULIK!

.

"OH SHIT!"

.

.


Ps : (perbedaan waktu korea selatan - new york 13 jam) .. ( perbedaan waktu korea selatan - jerman 7 jam)

.

ini masih lanjut kok, cuma bakal lumayan lama aja updatenya.

terima kasih yang udah mau baca, komen dan suka cerita aneh ini..

sekali lagi trims yaa (^-^)