The Wed

A Sequel of A Blessing In Disguise

Cast : Kim Namjoon, Kim Seokjin, and others

Length : Oneshoot

Rate : T

A ROMANCE!

Mereka akhirnya menikah! Setelah berlama-lama meyakinkan diri mereka masing-masing, setelah dua tahun menunggu kuliah Seokjin selesai, mereka menikah!

The Wed

A Sequel of A Blessing In Disguise

Mereka akhirnya menikah.

Seokjin juga tidak menyangka bagaimana Namjoon benar-benar menunggu dirinya, menuruti kemauannya untuk menyelesaikan kuliah dan menunda karena ingin bekerja selama setahun. Namjoon mengabulkan semua yang Seokjin inginkan, dengan janji jika Seokjin akan selamanya bersama dirinya, Namjoon dengan mudah mengabulkan permintaan Seokjin sekaligus bersabar dua tahun.

Dan sekarang, mereka berdiri di altar saling menatap, dengan pendeta berada di depan mereka.

Jantung Seokjin berdegup dengan cepat, seiring tangannya yang meremas tangan Namjoon dan lelaki itu terkekeh kecil. Berbeda jauh dengan Seokjin yang tegang sejak tiga hari yang lalu dan susah tidur, Namjoon masih sempat mengurus bisnis hingga dua hari yang lalu, bermain golf bersama Papanya kemarin, dan menggoda Seokjin di depan pendeta.

Lelaki gila.

Seokjin tak pernah segugup ini sebelumnya, tidak saat Namjoon pertama kali menciumnya, tidak ketika Namjoon memperkenalkan Seokjin kepada kedua orang tuanya, tidak ketika Namjoon memperkenalkan Seokjin kepada kolega bisnisnya. Semuanya tak sebanding dengan perasaan gugup luar biasa yang Seokjin rasakan sejak tiga hari yang lalu, hingga matanya tak bisa menutup untuk tidur begitu juga otaknya yang menolak istirahat.

.

.

.

Sudah tiga hari penuh Seokjin tidak bisa tidur. Ia menolak cuti dari pekerjaannya hingga sehari sebelum hari pernikahannya sekalipun Namjoon sempat kesal bukan main atas pilihan Seokjin. Alasannya? Karena jika Seokjin menikmati waktu cutinya, otaknya tidak digunakan dan energinya akan tersisa banyak, membuat tubuhnya tanpa sadar melimpahkan energi sisa itu untuk membuatnya gugup.

Namun tetap saja, sekeras apapun Seokjin bekerja menghabiskan energi, berolahraga, membersihkan apartemennya dengan Hoseok, Ia tetap tidak bisa tidur. Ngomong-ngomong, mereka sudah pindah ke apartemen yang lebih layak sejak keduanya bekerja dengan gaji besar sebagai analis kimia dan Seokjin yang diserahi salah satu cabang perusahaan Namjoon untuk diurusnya sebagai direktur operasional.

"Hoseok menelponku,"

"Kenapa? Ada yang kau perlukan?"

Namjoon memutar bola matanya, melangkah maju menghampiri Seokjin.

Mereka sudah berada di hotel tempat mereka besok melaksanakan pernikahan. Perlu kalian tahu, Namjoon dan keluarganya menyewa hampir setengah kamar di hotel ini, yang jelas biaya menginapnya semalam bisa membuat kita makan dengan kenyang.

"Kau belum tidur, kau perlu tidur." Namjoon berada di hadapan Seokjin, memeriksa wajah Seokjin dengan kantung mata tipis.

Senyum Seokjin timbul. "Aku harus memeriksa ballroom sekali lagi bersama Jongkook."

Namjoon mendesis lalu mengatupkan bibirnya, kebiasaan Namjoon yang dihafal mati oleh Seokjin jika lelaki itu menyuruh Seokjin untuk diam. "Semuanya baik-baik saja. Sudah ada yang mengurus,"

Seokjin terdiam.

"Kau harus tidur, Jinseok. Kau membutuhkannya." Ucap Namjoon lalu berjalan dengan tangan menaut dengan tangan Seokjin.

"Kita mau kemana?"

Itu pertanyaan bodoh yang Seokjin lontarkan saat mereka di dalam lift dengan tombol penunjuk lantai kamar mereka yang menyala. Tidak, mereka memang menyewa kamar di lantai yang sama namun terpisah!

Uh, kalian perlu tahu bagaimana sabarnya Namjoon dan menghormati segala hal tentang Seokjin hingga detik ini.

"Kau perlu tidur, sayang. Sungguh, aku tidak mau menikahi zombie." Gurau Namjoon lalu lelaki itu terkekeh.

"Itu tidak lucu."

Namjoon menghentikan kekehannya, menatap sosok Seokjin dari pantulan cermin yang ada di dinding lift. Lelaki dengan tubuh tinggi yang terasa pas bersanding dengan tinggi tubuhnya itu terlihat begitu mempesona, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Namjoon belum pernah merasa puas memperhatikan wajah Seokjin, sama sekali belum puas menatap wajah tampannya.

"Jangan kau tatap aku seperti itu, aku bisa meleleh." Gumam Seokjin sambil menurunkan wajahnya menatap kaki.

Kekehan geli Namjoon keluar, Ia menarik tangan Seokjin yang ada di genggamannya ke depan wajahnya dan mengecupnya dua kali. Denting lembut terdengar dan pintu lift terbuka. Mereka berjalan keluar.

Seokjin melirik Namjoon dengan bingung ketika calon suaminya itu masih menggenggam tangannya ketika Ia telah selesai memasukkan passcard ke kamarnya. Mereka bertatapan sekilas. "Kau tak mau melepas tangan kita?"

Namjoon melebarkan mata, lalu menggeleng. "Tidak, aku harus memastikan kau tidur."

Maka Seokjin menurut. Membiarkan Namjoon menutup pintu kamar hotelnya lalu menyusul dirinya. Seokjin tahu, pukul sembilan begini, ketika Namjoon pertama kali menemuinya di lobi hotel, lelaki itu baru saja pulang dari kantornya. Seokjin tahu karena kebiasaan Namjoon buruk itu masih beberapa kali dilakukannya–bekerja dengan terlalu keras. Ditambah lelaki itu masih memakai kemeja berwarna biru muda dan celana kain dengan rapi. Namjoon terlihat sangat tampan, ngomong-ngomong.

Seokjin duduk di pinggir tempat tidurnya saat Namjoon dengan santai naik ke tempat tidurnya lalu berbaring menyamping. "Tunggu apa, Jinseok? Kau mau tidur sambil duduk seperti itu?"

Seokjin cemberut, berbalik menatap Namjoon yang sedang berbaring. "Kau mau tidur jam segini?"

"Untukmu yang kurang istirahat tiga hari ini, akan kujawab ya."

"Tidak mau jalan-jalan dulu?"

"Tidak."

"Hoseok dan Jongkook juga Taehyung akan sampai sebentar lagi. Tidak mau menyambut mereka?"

Namjoon memutar bola matanya. "Biarkan bell boy yang menyambut mereka, kau hanya perlu tidur."

Bibir Seokjin makin cemberut. Namjoon menepuk-nepuk spasi kosong di sampingnya sambil menatap Seokjin dengan yakin. "Sini, tidur sambil kupeluk."

Dada Seokjin berdesir. Ia ingin menolak namun Ia menurunkan egonya, berharap jika Namjoon bisa membuatnya mengantuk dan tertidur.

Ia menurut, membaringkan tubuhnya dengan jarak dua jengkal dari tubuh Namjoon. Tapi dengan kekehan kecil, Namjoon menarik tubuh Seokjin dengan cepat dan yakin dalam satu sentakan, membuat tubuh mereka menempel. "Sudah, cepat tidur. Aku harus berbicara pada Hayoung setelah ini."

"Hayoung? Dimana anak gadis cantik itu?"

Sekali lagi Namjoon mendesis lalu mengatupkan bibirnya. "Kau akan tidur dengan cepat jika berhenti bicara dan bertanya, Jinseokku."

Seokjin cemberut, namun menyempatkan mendongak menatap wajah Namjoon yang sedikit berada di atas kepalanya. Mata lelaki itu terpejam, membiarkan Seokjin menatap wajah damai Namjoon, yang mulai besok selalu Ia lihat dan temui setiap harinya.

"Kau bisa tidur dengan memejamkan matamu dan berhenti menatapku, sayang."

Seokjin memejamkan mata dengan cepat.

Ia menggerakkan tubuhnya dalam pelukan Namjoon, mencari posisi nyaman agar Ia bisa tidur. Posisi nyamannya, sebenarnya berada di dalam pelukan Namjoon saja sudah nyaman baginya, namun lebih nyaman ketika wajahnya berada di dada bidang lelaki itu. Karena Ia bisa mendengarkan bagaimana suara konstan degup jantung Namjoon dan merasakan dada lelaki itu bergerak pelan saat Ia bernafas.

Namjoon mengusap punggung Seokjin dengan gerakan abstrak, lalu menepuk-nepuknya pelan dan konstan.

Berhasil mengantar Seokjin tertidur setelah sekian hari tidak bisa tidur dengan tenang karena memikirkan hari esok–pernikahan mereka. Berhasil menenangkan kegugupan Seokjin, berhasil meyakinkan Seokjin jika semuanya akan baik-baik saja selama mereka bersama.

.

.

.

Seokjin masih gugup saat Namjoon mulai membuka kertas yang tadi diambilnya dari kantung jasnya. Itu janji pernikahan, yang kata Namjoon sudah dibuatnya sejak awal mereka bertemu, bahkan sebelum Seokjin yakin dengan Namjoon kala itu.

"Hai, Kim Seokjin, Jinseokku, Kekasihku, Suamiku." Namjoon menyapanya dengan suara lembut dan dalam, dengan suara beratnya, lalu melirik Seokjin jenaka.

"Seperti yang kukatakan padamu malam itu, janji ini sudah kubuat sejak awal sejak aku yakin tentang dirimu, sejak aku yakin jika kau adalah orang yang tepat untukku

Terimakasih, Kim Seokjin. Karenamu hidupku berubah seperti naik wahana roller coaster, merasa bahagia setiap saatnya karena adrenalin yang kau ciptakan. Terimakasih, karena kau mau menerimaku dengan segala kebodohan dan kekuranganku. Terimakasih karena memiliki visi yang sama denganku.

Terimakasih pula telah menerimaku, terlepas dari jarak umur kita yang memang tak perlu dipermasalahkan sejak awal. Terimakasih telah menyayangi Hayoungku seperti aku menyayanginya. Terimakasih telah membuat hidup kami penuh dan lengkap karena kehadiranmu.

Aku percara, semua akan terjadi karena takdir yang mengarahkannya. Mungkin takdir yang mempertemukan kita hingga kita bisa berdiri di sini mengucapkan janji. Tapi kau adalah takdir itu, yang mengubah hidupku menjadi lebih baik, dan melengkapi segala kekuranganku.

Aku yakin dalam hal ini, jika kau memang yang ditakdirkan untukku. Aku yakin kau adalah suami terbaikku, dan kita akan menjadi suami yang sama-sama terbaik untuk diri masing-masing. Aku yakin kau adalah Papa terbaik bagi Hayoung bersamaku. Aku yakin pula jika kita akan menjadi tim yang baik, menjadi pasangan yang baik dan saling melengkapi, menjadi partner, teman, kekasih, sahabat, dan segalanya hingga kematian memisahkan kita.

Hari ini, di depan seluruh tamu yang datang dan pendeta, aku Kim Namjoon, memilihmu Kim Seokjin, menjadi suamiku dalam keadaan apapun, untuk saling mencintai, berbagi, bersama-sama membangun keluarga yang kita inginkan berdua. Hari ini dan seterusnya, aku akan menerimamu dalam baik dan burukmu, akan mendengar keluhanmu, siap mendengar cerita tentang harimu yang menyenangkan atau menyebalkan, siap tersenyum menghiburmu ketika kau menangis atau merajuk, siap berada di sampingmu.

Hari ini, Kim Seokjin, aku berjanji akan selalu berada di belakangmu sebagai orang yang ada di sana untuk menahan beban tubuhmu dan menangkap punggungmu. Aku berjanji untuk selalu berada di sampingmu, berjalan bersama menapaki sisa kehidupan kita bersama selamanya, menggandeng tanganmu dan mengasihimu. Aku berjanji akan selalu berada di depanmu untuk menunjukkan jalan yang terbaik, rela mencoba mencari jalan mana yang buruk dan baik, agar kau hanya merasakan jalan yang baik dan biarkan aku yang merasakan jalan buruk itu.

Kim Seokjin, aku mencintaimu, dan bersyukur dengan segenap hatiku karena aku memilikimu dalam hidupku"

Tangisan Seokjin jatuh tak tertahan. Semuanya, jika dikumpulkan menjadi satu, terasa begitu nyata hingga ke ulu hatinya. Bagaimana suara lembut Namjoon menggetarkan hatinya, bagaimana suara penuh keyakinan itu membaca janji yang memabukkan. Seokjin bersyukur.

"Giliranmu membaca janjimu, Seokjin."

Seokjin menjilat bibirnya, lalu menghapus air mata di pipinya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia menarik kertas yang juga disimpannya di saku jasnya.

"Joon, kau tahu aku tak sepandai dirimu jika urusan romantis." Seokjin terkekeh setelah membaca kalimat pertama yang Ia tulis sebulan yang lalu ini. "Dan ternyata benar, janjimu seperti puisi bagiku," gumam Seokjin menambahkan.

"Aku tak akan banyak berjanji di sini, karena aku hanya perlu membuktikan segalanya tanpa banyak berjanji. Kau bisa memegang ucapanku, jika aku akan selalu berada bersamamu, hingga mau memisahkan kita, Joon. Aku akan senantiasa berada di sisimu kapanpun kau membutuhkanku, senantiasa mengingatkanmu jika kau mulai bekerja dan lupa waktu, senantiasa menemanimu membangun rumah tangga impian kita bersama, senantiasa membantumu mendidik Hayoung dan anak-anak kita kelak.

Aku berjanji, dan kau bisa memegang ucapanku, bahwa aku akan menemanimu hingga maut memisahkan kita, sekalipun kau besok akan bertambah tua lebih cepat dariku, akan mulai berkerut. Tenang saja, aku akan mencegah kerutan itu muncul di wajahmu dengan memberi perawatan kulit terbaik untukmu." Seokjin terkekeh.

Seokjin memasukkan kertas berisi janjinya, menatap Namjoon tepat ke mata. "Kim Namjoon, sekalipun aku tak pernah mengucapkannya, perlu kau tahu jika aku mencintaimu sepenuh hatiku. Aku menerimamu dalam baik maupun buruk, mencintaimu tanpa perlu syarat, menginginkan menghabiskan waktu bersamamu hingga ajal yang memisahkan kita. Kim Namjoon, terimalah aku menjadi suamimu sepanjang hayatmu."

Namjoon tersenyum, lebar, dan tampan sekali. Mereka tersenyum bersamaan, dengan mata yang saling menatap, melupakan seratus orang lebih yang menatap mereka.

Tautan pandangan mereka terputus, Namjoon menoleh ke pendeta di hadapan mereka. "Bisa aku mencium Seokjin sekarang? Aku sudah gemas, tidak tahan melihatnya."

Seluruh tamu undangan tertawa mendengarnya, begitu juga pendeta di hadapan mereka yang terkejut namun tertawa kemudian. Ia mengangguk, disambut senyuman lebar Namjoon di bibirnya.

Tangan Namjoon dengan lembut melingkar di pinggang ramping Seokjin, satu lagi ada di tengkuk Seokjin. Dalam sekali tarikan, tubuh Seokjin ditariknya dan menubruk dada Namjoon. Lelaki itu menempelkan bibirnya ke bibir gemuk Seokjin, menjilatnya sekilas yang menjadi kebiasaan mereka ketika berciuman.

Ciuman Namjoon lembut, sekalipun tangan lelaki itu menekan tengkuk Seokjin dengan yakin.

Ini ciuman yang selalu Seokjin bayangkan, bagaimana jadinya ciuman pertama mereka setelah sah menikah. Ternyata selembut ini, semanis ini, dan sememabukkan ini. Tangan Seokjin berpegangan di bahu Namjoon, memberikan isyarat pada Namjoon jika tubuh Seokjin menurut seutuhnya pada lelaki itu, memberikan kuasa bagi Namjoon atas tubuh Seokjin.

Dan penantian mereka seutuhnya mencapai garis finis, diiringi sorakan ramai dan tepuk tangan tamu undangan yang memenuhi ballroom hotel ini.

Sekilas Seokjin mendengar suara Taehyung yang khas dan berat meneriaki Namjoon. Atau juga suara Hoseok yang bersorak ramai, diikuti Jongkook yang memekikkan nama Seokjin berkali-kali.

Sayangnya ciuman Namjoon di bibirya, bagaimana lelaki itu dengan lembut memakan bibirnya, terasa memabukkan dan membuat Seokjin melupakan segalanya.

-END-

Hai!

Ini buat kalian yang ingin kelanjutan cerita mereka, hehe

Draft ini sudah kubuat bahkan sebelum aku selesai bab 10 blessing in disguise eheheheh.

Gimana? RnR yuk!

ILY!