"Pagi, Jihoon-ie."

Itulah kalimat pertama yang diucapkan Soonyoung setelah malam ciuman itu. Ia menyapa Jihoon dengan senyuman yang membuat pipinya naik dan kedua matanya menyipit sempurna.

Namun Jihoon sebagai pihak yang disapa masih fokus membuat omelet sehingga tak menyahut bahkan hanya sekedar dengungan seperti biasanya. Entah memang sedang fokus atau ia sengaja mengabaikan Soonyoung. Hampir saja Soonyoung kehilangan senyumannya, namun tak sampai kehilangan akal.

Ia mendekati Jihoon yang masih berkutat dengan penggorengan dan omelet yang mendesis. Kemudian dengan satu gerakan cepat, kedua tangannya sudah memeluk perut ramping Jihoon dan bersembunyi di balik apron hitam yang digunakan oleh Jihoon. Ia bisa merasakan tubuh Jihoon berjengit ketika Soonyoung benar-benar menempelkan tubuhnya bahkan sedikit mengangkat tubuh mungil tersebut.

"Apa yang sedang kau lakukan?"tanya Jihoon dengan nada malas.

"Kau mengabaikan ucapan selamat pagiku. Biasanya kau membalasnya walau hanya dengan dengungan lebah," ucap Soonyoung dengan nada merajuk.

"Lepaskan," perintah Jihoon. Soonyoung menatap pasangannya tersebut yang bahkan tak mau menoleh padanya.

"Kau marah?" tanya Soonyoung tanpa melepas pelukannya pada perut Jihoon. Jihoon tak menjawab. Hanya tangannya yang sibuk membalik omelet di atas penggorengan.

Soonyoung yang merasa diabaikan langsung memegang pundak Jihoon untuk memutar paksa tubuh lelaki pendek itu menghadap padanya. Walau Jihoon memalingkan wajah ketika Soonyoung berhasil memutar tubuhnya, Soonyoung bisa melihat semburat kemerahan pada pipi putih Jihoon. Soonyoung berusaha menahan bibirnya yang ingin melengkung ke atas melihat tingkah Jihoon saat ini.

"Apa kau demam?" tanya Soonyoung yang masih berusaha menggoda Jihoon walau ia sudah tahu semburat kemerahan itu bukan karena demam.

Jihoon mendecakkan lidahnya kemudian menoleh pada Soonyoung.

"Apa kau bodoh?"

Soonyoung tercekat. Bukan karena perkataan Jihoon yang menyebut dirinya bodoh. Tapi karena bercak merah yang tampak seperti darah yang mengering di bagian tengah bibir Jihoon.

"Bibirmu—" ucap Soonyoung sembari menangkup kedua pipi Jihoon perlahan. Ia menatap nanar bibir tipis itu.

"—maaf," lanjutnya sembari menatap kedua mata Jihoon dengan tatapan penuh perasaan bersalah.

Jihoon menghela nafas kemudian menyingkirkan kedua tangan Soonyoung dari pipinya. "Bukan salahmu, aku yang menggigit bibirku sendiri," ucap Jihoon. Tangannya terangkat untuk menepuk pundak Soonyoung walau tampak sedikit ragu dan kaku.

"Tapi karena ciuman itu kan? Apa kau... merasa jijik karena ciuman itu?" tanya Soonyoung memastikan.

Tidak, bahkan tanpa dipastikan pun Soonyoung tahu bahwa jawabannya adalah 'ya'.

"Tidak, aku tidak jijik," jawab Jihoon. "Hanya merasa tidak nyaman," lanjutnya lagi.

Soonyoung menghela nafas. Ia merasa kata 'tidak nyaman' dalam kamus Jihoon hanyalah bentuk halus dari 'jijik' dalam kamus Soonyoung. Padahal ia sudah sempat senang karena semalam Jihoon menantangnya untuk berbuat lebih dan ia berhasil melakukannya. Tapi kenapa rasa senang dan puas itu kini lenyap?

"Sepertinya aku terlalu terbawa perkataan Mingyu kemarin siang," ucap Soonyoung.

Telinga Jihoon sangat sensitif dengan kata Mingyu. Jadi ketika mendengar nama Mingyu disebut, Jihoon segera menyipitkan mata dan menatap Soonyoung penuh curiga.

"Sudah kuduga ada yang tidak beres ketika kalian tertinggal jauh di belakang dan Mingyu terlihat tegang seperti itu," ucap Jihoon. Kemudian ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Jadi apa yang kalian bicarakan kemarin?" tanya Jihoon sambil memiringkan kepalanya. Kedua mata Jihoon menatap lurus ke dalam kedua mata Soonyoung, membuat lelaki hamster itu berfikir jika ia salah menjawab sedikit saja, akan ada laser yang memancar dari sana.

"Banyak hal," jawab Soonyoung. Ia mengalihkan tatapannya pada Jihoon karena tatapa itu membuatnya gugup. "Tapi yang paling penting adalah pertanyaan tentang apakah aku sudah pernah menyentuhmu."

Soonyoung bisa melihat Jihoon tampak mengangkat kedua alisnya. Entah apa arti dari ekspresi tersebut, yang jelas ekspresi itu seolah memberikan perasaan gurun pasir yang kering mampir pada kerongkongannya. Soonyoung meneguk ludah demi membasahi kerongkongan sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Tentu aku terkejut saat itu. Aku hampir saja membongkar sandiwara ini kalau tidak terbesit untuk menanyakan pertanyaan yang sama padanya."

Jihoon menautkan kedua alisnya. "Maksudmu?"

"Ya kutanyakan saja padanya apakah dia juga sudah menyentuh Wonwoo. Tapi ternyata dia juga belum menyentuhnya. Mungkin itu yang membuat emosinya naik," jawab Soonyoung sambil menaikkan kedua pundak dan mengalihkan pandangannya di akhir kalimat.

"Mungkin karena mereka pengantin baru?" tebak Jihoon.

Soonyoung segera menoleh dan menatap tidak percaya pada Jihoon. Ternyata selain sama-sama sinting, mereka memiliki pola pikir yang sama juga rupanya. Jika mengikuti perkataan orang dulu, sepertinya memang Jihoon dan Mingyu itu berjodoh. Mereka memiliki kemiripan di beberapa hal.

Cepat-cepat Soonyoung menyanggah pertanyaan Jihoon. "Kalau memang begitu, kenapa dia harus marah? Memangnya dia punya gangguan seksual yang terlalu sensitif untuk dibahas atau bagaimana?"

Jihoon menghela nafas. Ia mulai memikirkan perspektif lain, perspektif dari pemikiran Soonyoung yang mungkin ada benarnya.

"Kau tidak mungkin menebak kalau dia dan Wonwoo sama seperti kita kan? Maksudku status pernikahannya," ucap Jihoon memastikan. Soonyoung meringis.

"Sayangnya aku sudah menebak seperti itu. Dan kurasa memang seperti itu," jawab Soonyoung menyuarakan pemikirannya.

Jihoon terdiam sembari menatap kemeja Soonyoung dengan otak yang berputar cepat. Padahal kemarin ia sudah bahagia bukan main mengetahui bahwa akhirnya sahabatnya itu mendapatkan cinta dari orang yang dikaguminya selama bertahun-tahun. Tapi jika memang benar pernikahan mereka hanyalah sandiwara, maka sepertinya ia harus menghajar manusia bernama Kim Mingyu itu habis-habisan dengan kedua tangannya sendiri.

"Tunggu," ucap Jihoon sembari mengangkat sebelah tangannya di udara.

"Lalu apa hubungannya ceritamu itu dengan ciuman semalam?" tanya Jihoon sembari mengangkat kepalanya kembali menatap Soonyoung. Ia berusaha sekuat tenaga mengenyahkan perasaan geli ketika kata 'ciuman' mengalir dari bibirnya. Soonyoung meringis sambil menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk.

"Karena perkataan Mingyu entah kenapa terngiang terus di kepalaku. Membuatku ingin membuktikan bahwa aku sudah menyentuhmu, setidaknya walau hanya sekedar ciuman," ucap Soonyoung.

Jihoon berdecak mendengar jawaban lugu keluar dari mulut Soonyoung. "Padahal kau tinggal bohong saja padanya dan bilang kalau kau sudah menyentuhku."

"Hei, tidak mudah bagiku untuk berbohong," balas Soonyoung tidak terima.

Jihoon terkekeh. "Tapi kau melakukannya dengan baik di hadapan orang tuaku," ucapnya dengan nada mengejek.

"Kau yang mengajariku waktu itu. Jika tidak latihan sebelumnya, mungkin ucapanku tidak akan semeyakinkan itu," balas Soonyoung lagi.

Untuk sejenak mereka berdua terdiam hingga indera penciuman Soonyoung menangkap bau terbakar yang membuatnya membelalakkan mata.

"JIHOON OMELETE-NYA!"


"Aku berangkat dulu ya," ucap Soonyoung setelah keluar dari dalam kamar dengan tasnya yang sudah tersampir di bahu.

"Eung, bekerjalah dengan giat," ucap Jihoon yang sudah duduk di sofa dan bersiap menyalakan televisi.

"Mana ciuman selamat jalannya?" goda Soonyoung sambil duduk di sebelah Jihoon. Ia memasang wajah semanis mungkin versi Soonyoung walau ia tahu Jihoon takkan terpengaruh dengan itu—sejujurnya tidak pernah ada yang terpengaruh dengan itu.

"Cium saja sana anjing tetangga. Jangan minta macam-macam, biasanya juga kau langsung berangkat" ucap Jihoon sinis. Tangannya menekan tombol power pada remote TV dengan cukup keras. Kemudian remote itu dicampakkan begitu saja olehnya di atas meja.

"Kan kemarin-kemarin aku terlalu takut untuk minta ciuman," balas Soonyoung dengan nada merajuk.

"Lalu sekarang kenapa kau berani hah?" tanya Jihoon, masih dengan tatapannya yang berfokus pada televisi.

Soonyoung semakin merapat dan berbisik pada telinga Jihoon. "Karena sepertinya kau menikmati yang semalam?"

Jihoon segera menoleh pada Soonyoung yang sudah tersenyum manis padanya. Ia tercekat. Dengan jarak yang sedekat ini, Jihoon bisa merasakan jantungnya kembali terpicu untuk berdetak lebih kencang. Secara refleks ia memejamkan mata erat-erat dengan alis bertaut sembari berharap pipinya tak lagi memerah. Soonyoung memperhatikan perilaku Jihoon yang mengubah senyuman manisnya menjadi senyuman kecil.

"Arasseo, aku takkan memaksamu jika kau memang tak ingin," ucap Soonyoung. "Aku tidak mau kau melukai bibirmu lagi," lanjutnya sambil menatap darah yang mengering itu lagi.

Karena memang dari awal pernikahan ini hanya pura-pura, jadi wajar jika kau tidak memiliki perasaan apapun padaku dan takkan siap untuk keintiman apapun itu.

Jihoon membuka kedua matanya perlahan dan melihat perubahan senyum pada lelaki hamsternya itu. Ada sebersit perasaan tidak nyaman melihat wajah Soonyoung yang seperti itu.

"Aku berangkat," ucap Soonyoung final yang kemudian beranjak dari sofa dan pergi keluar apartemen. Kedua mata Jihoon mengekori pergerakan Soonyoung dalam diam hingga lelaki itu menghilang di balik pintu. Kemudian ia kembali menatap televisi, namun ia sadar pikirannya tidak tertuju pada acara yang tengah tayang. Ada perasaan yang mengganjal setelah sosok Soonyoung menghilang di balik pintu.

Satu hari dalam musim panas itu, untuk pertama kalinya Jihoon merasa sepi ketika Soonyoung pergi bekerja.


"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Seungchol pada Soonyoung ketika ia menghampiri meja temannya itu. Seungchol baru saja akan menyerahkan sesuatu pada Soonyoung, namun atensinya teralihkan dengan redupnya semangat manusia yang terkenal tidak pernah lelah itu.

"Memang ada apa dengan wajahku?" tanya Soonyoung sembari menatap Seungchol dengan tatapan kosong.

Seungchol menghela nafas. Normalnya jika ditanya begitu, Soonyoung akan mengeluarkan jawaban narsistik seperti "Di dahiku ada tulisan gantengnya, ya?" atau "Tidak kenapa-napa. Masih tampan sejak lahir". Tapi kali ini Seungchol tidak mendengar satu pun jawaban seperti itu. Ia segera tahu ada yang sedang tidak beres pada Soonyoung.

"Wajahmu saat ini bahkan lebih serius daripada ketika kau mengerjakan ujian masuk universitas," ucap Seungchol sembari meletakkan tumpukan kertas di meja Soonyoung. Kemudian ia menumpuk kedua tangannya di atas bilik pembatas meja kerja Soonyoung.

"Ada apa? Apa kau baru saja mendengar kalau Wonwoo menikah atau semacamnya?" tanya Seungchol yang disusul dengan kekehan.

Seungchol segera menambahkan, "Tapi harusnya kau tidak akan terganggu karena kau sendiri sudah menikah."

Kali ini giliran Soonyoung yang menghela nafas.

"Wonwoo memang sudah menikah," ucap Soonyoung sembari menunduk dan memainkan bolpoin di tangannya. Ia tidak menyadari Seungchol yang kembali menegakkan tubuhnya dan segera mencari kursi yang kosong untuk ia tarik mendekat pada kursi Soonyoung.

"Kau bercanda? Kapan? Dengan siapa? Apa dengan Kimchi itu?" tanya Seungchol tak sabar. Soonyoung menjauhkan tubuhnya karena ia merasa risih dengan Seungchol yang mendekatinya dengan agresif.

"Untuk apa aku bercanda?" tanya Soonyoung dengan wajah kesal. Kesal karena perilaku Seungchol barusan lebih tepatnya. Setelah Soonyoung sedikit menjauhkan kursinya dari kursi Seungchol, ia melanjutkan kalimatnya.

"Entah, aku lupa kemarin ia bilang kapan. Tentu saja dengan Kimchi si tiang listrik sinting itu," ucap Soonyoung semakin kesal. Kali ini karena wajah Mingyu yang menyebalkan itu kembali terbayang. Soonyoung memijit pelipisnya, sepertinya wajah menyebalkan itu membuatnya sakit kepala.

"Apa teman-teman kita ada yang tahu kalau dia menikah?" tanya Seungchol. Soonyoung melirik sekilas pada rekan kerja sekaligus sahabatnya sejak beberapa tahun yang lalu itu—Soonyoung tak pernah menghitung berapa lama ia sudah bersahabat dengan manusia berisik satu ini. Kemudian ia hanya menggeleng sambil masih memijit pelipis.

Seungchol berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya setelah melihat reaksi Soonyoung. "Wah benar-benar Jeon Wonwoo. Menikah tapi lupa mengundang sahabat-sahabatnya ini. Ah, tapi kau benar-benar lesu karena itu? Eiy, ingat pasanganmu di rumah. Dia teman Wonwoo juga kan?"

Soonyoung mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Seungchol. Ia tidak paham dari mana Seungchol mendapat kesimpulan bahwa ia lesu karena pernikahan Wonwoo.

"Jelas aku tidak bilang bahwa aku lesu pagi ini karena Wonwoo," sanggah Soonyoung. "Ini soal Jihoon."

Seungchol tampak terkejut mendengar jawaban Soonyoung. "Wah, setelah 3 bulan yang damai akhirnya kalian menghadapi konflik?"

"Sepertinya bukan konflik yang kau pikirkan. Bukan konflik semacam ia marah padaku—ah sepertinya dia memang marah," ucap Soonyoung bermonolog sambil kembali memainkan bolpoin di tangan kanannya. Membuat Seungchol merasa bingung dengan jawaban sahabatnya itu.

"Jadi dia marah atau tidak?" tanya Seungchol memastikan. Soonyoung menghembuskan nafasnya berat dan kasar. Ia jadi bingung juga bagaimana menjelaskannya.

"Intinya aku melakukan sesuatu yang ia tidak suka. Lalu sepertinya ia marah, tapi ia masih seperti Jihoon yang sehari-hari. Kau tahu kan dia memang pedas mulutnya," ucap Soonyoung. Tangannya ikut bergerak ketika ia menjelaskan, ciri khas Soonyoung ketika ia harus menjelaskan sesuatu yang rumit.

"Kenapa kau tidak tanyakan saja padanya apakah dia marah atau tidak? Kalian kan pasangan, kejujuran dan keterbukaan itu penting," ucap Seungchol.

"Dia hanya bilang dia tak apa. Tapi sepertinya itu hanya agar aku tidak merasa bersalah. Tapi tidak tahukah dia itu membuatku semakin merasa bersalah?" tanya Soonyoung dengan nada frustasi.

Kali ini ganti Seungchol yang memijit pelipisnya. Terkadang otak sahabatnya satu ini memang bisa menjadi sangat rumit seperti maze, tapi bisa juga lebih pendek daripada korek api. Jika penggunaannya tepat waktu dan sasaran, itu akan bagus. Namun tak jarang Soonyoung menggunakan otak rumitnya untuk hal sederhana, begitu pula sebaliknya.

"Jika memang dia bilang tak apa, mungkin memang dia tak apa, chinguya," ucap Seungchol sembari mengadahkan tangannya. Ia memberikan penekanan pada setiap jeda dalam kalimatnya.

Seungchol melanjutkan, "Jika kau masih ragu, beri dia sesuatu yang menjadi kesukaannya. Lalu minta maaflah sekali lagi. Kenapa kau harus memendam pemikiranmu sendiri, sih? Kau sudah tidak hidup sendiri, kau punya Jihoon sekarang. Pernikahan itu tentang menyatukan dua kepala dalam satu jalan, ingat?"

Soonyoung terkesima dengan setiap ucapan yang dilontarkan oleh Seungchol. Ia menatap sahabatnya itu dengan tatapan kagum. Sepertinya Seungchol lebih cocok menjadi konsultan pernikahan daripada bekerja di bidang manajemen.

"Dari ucapanmu, sepertinya kau lebih berpengalaman soal urusan pernikahan daripada aku. Jangan-jangan profesimu di masa lalu itu pastur ya? Atau kau pria beristri banyak?"

Pertanyaan Soonyoung itu sukses membuahkan sebuah pukulan keras dari Seungchol di bagian belakang kepala. Seungchol tidak habis pikir dari mana ide itu muncul, tapi ia juga lega. Setidaknya Soonyoung sudah kembali dalam mode normal jika ucapannya sulit diterima logika Seungchol.

"Pikirkan saja bagaimana menyelesaikan pekerjaanmu ini sebelum deadline menjemput," ucap Seungchol sembari bangkit dari kursi dan kembali ke kubiknya.

Sepenginggal Seungchol, Soonyoung menatap tumpukan kertas di sudut mejanya sembari berpikir keras.

"Hadiah ya..."

.

.

.

wah tumben lumayan panjang ini cerita...

TERIMA KASIH UNTUK SEMUA YANG SUDAH REVIEW, FAV, DAN FOLLOW CERITA INI. MAAFKAN AUTHORNYA YANG SUKA LAMA UPDATE HUHU.. Aku selalu baca notif yang masuk ke email dan seneng bgt kalau itu berhubungan sama cerita ini. Thank you sooo much yorobun hehe..

luv luv from blueynana~