Sakura menatap kakak laki-lakinya yang sedang menikmati daging sapinya di meja makan. Dia sama sekali belum menyentuh makanannya. Ada beberapa pertanyaan yang mengganjal pikirannya akhir-akhir ini. Kasus kakaknya membuat laki-laki itu menjadi semakin kurus akhir-akhir ini.

"Nii-san, ada yang mengganggu pikiranku. Apa ada motif yang pasti sehingga Danzo melakukan kejahatan-kejahatan ini? Kenapa dia benci sekali dengan polisi?" tanyanya kemudian.

Kakashi meletakkan sumpitnya dan menghela napas panjang.

"Adiknya, terbunuh saat ada baku hantam antara polisi dengan para teroris lima tahun lalu. Seorang polisi tidak sengaja menembak adiknya saat sedang melintas di jalan itu, sehingga adiknya tertewas saat itu juga. Dinyatakan kalau adiknya adalah korban tidak bersalah yang tewas karena kecelakaan itu. Tapi Danzo sepertinya berpikiran lain. Pacar adiknya adalah salah satu polisi yang terlibat dalam insiden itu. Pacarnya itu mencampakkan adiknya begitu saja. Danzo berpikir, kalau itu semua pasti karena kesengajaan," jelasnya panjang lebar.

"Karena itu? Tapi, apa sudah dipastikan kalau memang Danzo adalah dalang di balik semua kejahatan ini?" tanya Sakura lagi.

"Iya. Sepertinya memang begitu. Yang aku takutkan adalah, orang-orang tidak bersalah yang jadi kaki tangannya. Mereka tidak tahu apa-apa, tapi dimanfaatkan Danzo," sahut Kakashi dengan raut muka serius. Raut wajah polisi kalau Sakura bilang.

"Haa, sudah aku bilang... jangan membicarakan pekerjaan saat makan malam. Apa tidak bisa rileks sebentar saja?" Kakashi menatap adiknya sambil melanjutkan makannya.

"Ah, maafkan aku," kata Sakura seraya ikut melahap nasi yang sudah sejak tadi dia anggurkan di depannya.

.

.

.

.

.

.

[Kakashi POV]

Pagi ini, saat memasuki kantor kepolisian pusat, aku melihat beberapa orang berlalu lalang dengan raut wajah yang tidak biasanya. Bukan raut wajah tertekuk karena kesibukan yang mereka hadapi setiap hari, tapi karena tegang seolah baru saja terjadi sesuatu yang buruk.

"Ada apa ini?" tanyaku pada salah seorang petugas yang sedang berjaga di salah satu pintu masuk.

"Polisi menerima surat ancaman lain pagi ini," jawab petugas itu.

"Apa? Benarkah?" aku segera pergi dari sana dan bergegas menuju ke kantor Obito. Aku hampir menabrak seorang petugas polisi yang membawa troli berisi berkas-berkas karena saking terburu-buru.

"Obito, apa yang terjadi?" aku aku segera menerobos pintu kantor Obito tanpa mengetuk pintunya terlebih dulu. Di ruang itu sudah ada beberapa orang yang berdiri di depan meja Obito. Mereka menoleh ke arahku saat aku memasuki ruangan itu.

"Ah, tepat sekali kedatanganmu!" kata laki-laki itu.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Ada surat ancaman lagi," jawab Obito.

"Surat ancaman seperti apa?"

"Kau baca sendiri saja," Obito menyerahkan selembar surat kepadaku. Aku menerimanya dengan pandangan penuh tanya. Lalu segera membacanya.

"Malam ini... Aku akan mengawasi kalian bermandikan cahaya keabadian dari sana.."

"Hanya begini saja suratnya?" tanyaku bingung.

Obito mengangguk.

"Polisi tidak mau tertipu lagi seperti beberapa malam sebelumnya. Kami sudah menyiapkan beberapa orang untuk berjaga-jaga di daerah itu. Tapi belum ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu di sana," jelas Obito.

"Kita harus menyiapkan strategi baru," kataku.

"Kami akan berjaga-jaga. Entah kenapa, firasatku tidak enak. Aku rasa, akan terjadi peristiwa besar dalam minggu ini," kata Obito. Wajahnya mengeras. Ada ketegangan di sana.

Semua yang ada di ruangan itu juga ikut terdiam.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

[Sasuke POV]

Kata-kata Naruto tadi malam masih sangat jelas terdengar di telingaku malam ini.

"Kata Tuan Besar, besok kita mungkin akan berhadapan langsung dengan polisi. Ada pekerjaan besar yang harus kita lakukan. Apa kau sudah siap?" tanyanya.

"Entahlah. Kita lihat saja nanti," jawabku saat itu.

Tapi setelah dipikir-pikir lagi, aku memang seharusnya tidak terlibat masalah ini terlalu jauh. Aku seharusnya tidak masuk organisasi ini dulu. Kalau Sakura sadar apa yang sudah aku lakukan sejauh ini, oh... bahkan memikirkan apa yang akan terjadi saja sudah membuatku takut. Aku harus mengatakan pada Sakura sebelum dia tahu hal ini dari orang lain. Atau tahu dengan sendirinya. Ohh, aku bisa gila.

"Hei, ada masalah?" suara seseorang mengagetkanku. Aku menoleh dan mendapati Sakura sedang melihatku dengan pandangan penuh tanya.

"Oh, tidak," jawabku. Aku lupa kalau saat ini sedang mengajaknya jalan-jalan.

"Bohong. Wajahmu pucat sekali. Ada apa?" desak Sakura.

"Benarkah? Apa aku kelihatan sepucat itu?" tanyaku seraya menyentuh wajahku.

"Iya. Kau sakit?" Sakura menatapku cemas.

"Ah, kau mencemaskanku, ya?" tanyaku dengan senyum menggoda.

"Ch," Sakura melengos tanpa bilang apa-apa lagi.

"Hei, kenapa memangnya kalau kau mencemaskanku?" tanyaku.

"Sudahlah. Omong-omong, kenapa membawaku ke tempat ini?" Sakura melihatku.

"Karena aku ingin melihat bintang denganmu," jawabku seraya menatapnya lekat-lekat. Sakura kembali melengos dengan raut wajah bosan. Tapi aku bisa melihat semburat kemerahan di wajahnya.

"Sejak kapan kau jadi sok romantis seperti ini? Kau sepertinya benar-benar sakit," katanya datar.

"Memang kenapa kalau aku romantis? Tidak boleh? Tapi kau suka 'kan? Kau pernah bilang padaku, kau suka sekali melihat bintang saat malam. Saat langit malam cerah. Benar 'kan?" aku kembali menatapnya.

"Benar," sahut Sakura pendek. Dia menatap ke atas. Aku ikut mendongak ke atas dan menatap langit luas di atas kami.

"Makanya aku membawamu kemari," lanjutku. Sakura terdiam.

"Cerah sekali. Sepertinya akan tenang sekali kalau bisa jadi salah satu bintang di sana," kataku. Sakura menoleh cepat ke arahku.

"Apa maksudmu?" tanyanya kaget.

Aku terdiam sejenak.

"Sakura, kalau aku jadi salah satu bintang di atas sana, apa kau juga akan terus menerus melihat dan merindukanku?" tanyaku kemudian.

"Apa maksudmu?" Sakura kembali bertanya padaku dengan pandangan kaget.

Aku tersenyum samar.

"Apa kau... benar-benar mempercayaiku?" entah kenapa, kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Apa?"

"Jawab saja pertanyaanku."

Aku lihat Sakura terdiam sejenak dan memandangku dengan pandangan yang sulit aku artikan. Dan tanpa suara, dia menganggukkan kepalanya.

"Terimakasih," kataku seraya memeluknya erat. Sakura diam saja. Malam itu aku memeluknya lama sekali, seolah tidak ingin berpisah darinya. Perasaanku mengatakan kalau memang aku harus memeluknya seperti itu saat ini.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kantor polisi benar-benar kacau malam ini. Tentu saja. Tiba-tiba ada laporan dari polisi yang sedang mengadakan patroli di pusat kota kalau telah terjadi kebakaran hebat beberapa menit yang lalu. Beberapa toko dijarah oleh orang-orang bertopeng yang juga menembaki berbagai tempat sembarangan.

"Kakashi," seseorang memanggilnya.

Kakahis menoleh dan mendapati Obito berjalan ke arahnya dengan tergesa-gesa. Wajahnya mengeras dan kelihatan tegang sekali. Wajah polisinya sudah mulai keluar.

"Apa ini? Apa yang terjadi?" tanya Kakashi dengan nada mendesak.

"Polisi kalah cepat, Danzo sudah bertindak lebih dulu dari perkiraan kita sebelumnya. Sekarang dia mulai menyerang kota. Kita harus segera bertindak kalau seperti ini," jelas Obito.

"Baiklah, aku mengerti. Kita segera atur strategi," kata Kakashi tegas.

"Sebaiknya polisi jangan bertindak terlalu gegabah dulu. Seorang petugas yang ada di sana bilang kalau ada beberapa warga kota yang dijadikan sandera oleh komplotan penjahat itu," lanjut Obito.

"Aku tahu. Makanya.. Itulah yang aku khawatirkan," sahut Kakashi dengan muka serius. Dia merogoh sakunya dan mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Siapa yang kau hubungi?" tanya Obito. Tapi Kakashi mengabaikan dan mulai bicara seseorang yang ada di seberang telepon.

"Sakura, jangan keluar rumah malam ini. Kau jaga rumah baik-baik, dan apapun yang terjadi, jangan pergi ke pusat kota. Mengerti?" katanya dengan nada lembut tapi penuh ketegasan.

"Kita ke pusat kota sekarang," Kakashi menoleh ke arah Obito serayamenutup ponselnya.

.

.

.

.

.

.

[Sakura POV]

Seharusnya aku memang mendengarkan kata kakakku untuk tetap tinggal di rumah malam ini, dan tidak menyusulnya ke pusat kota seperti ini. Tapi aku tidak bisa diam saja. Terjadi kekacauan di kota malam ini. Kebakaran di salah sebuah pusat perbelanjaan dan baku hantam antara para perampok serta polisi. Beritanya diliput di televisi malam ini. Aku bisa melihat kakakku, salah satu stasiun televisi memfokuskan kameranya ke arahnya. Itu sudah biasa.

Tapi aku tercengang saat salah satu kamera menampilkan gambar salah seorang komplotan penjahat yang sedang baku hantam dengan polisi saat itu. Gambar seorang pemuda yang sangat aku kenal. Sasuke.

Pikiranku saat itu seketika kacau dan entah kenapa, tahu-tahu aku sudah ada di sini. Dengan perasaan yang sama kacaunya dengan keadaan di sini.

Saat aku tiba di sini, beberapa warga sudah berhasil di evakuasi dari tempat kejadian. Tapi ada salah seorang pengunjung di restoran di jalan itu yang jadi sandera. Aku tidak tahu siapa. Itu saat aku tiba di sini beberapa saat yang lalu.

Dan beberapa saat kemudian, keadaan sudah jauh berbeda.

Saat aku mendekati ke tempat kejadian, tiba-tiba saja ada seseorang yang menarikku kasar dan menyeretku. Lengan kirinya yang besar itu menyeret leherku serta menempelkan sesuatu yang dingin dan tumpul ke dahiku. Aku tidak tahu apa yang terjadi.

"Hei! Apa.. Kenapa?" aku protes. Aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman orang itu. Tapi tangan orang itu terlalu kuat. Seberapa besar usahaku untuk melepaskan diri darinya sepertinya sia-sia saja.

Orang itu menyeretku ke tengah kota, di tengah baku hantam yang terjadi antara polisi dan komplotan penjahat saat itu. Di antara desingan tembakan peluru dari masing-masing kubu. Orang yang ternyata laki-laki berumur sekitar 40 tahunan itu menyeretku dengan paksa meski aku sudah berusaha untuk tidak mau bergerak dari tempat itu.

"Hatake Kakashi! Keluar kau! Adikmu sudah ada di tanganku!" serunya kepada jajaran polisi di depan kami. Aku memandang berkeliling dengan tatapan ngeri.

Aku melihat kakakku di antara jajaran polisi yang sedang membentuk barisan pertahanan di depanku. Aku melihat kengerian di matanya saat melihatku dalam keadaan seperti ini. Aku tahu dia pasti kaget sekali, karena tahu-tahu aku muncul di hadapannya dalam keadaan seperti ini. Aku melempar pandang minta maaf ke arahnya.

"Sakura!" serunya kaget bercampur cemas. Aku berusaha menunjukkan ekspresi wajah sewajar mungkin saat ini. Itu hal yang mudah aku lakukan. Aku biasa melakukannya. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku saat ini. Aku sedang ketakutan.

"Kau cemas? Kau takut adikmu akan celaka?" tanya pria di belakangku dengan suara serak dan berat. Bau alkohol menguar dari mulutnya saat dia berbicara.

"Lepaskan dia! Apa maumu?" Nii-san berseru ke arah pria ini.

"Apa mauku? Sudah jelas 'kan? Polisi harus mengakui kesalahannya. Mengakui kesalahan yang kalian buat dan menyebabkan adikku meninggal," jawab pria ini.

"Kami tidak bersalah. Kematian adikmu itu benar-benar karena murni ketidaksengajaan," sahut Nii-san dengan nada suara yang dibuat sewajar mungkin.

"Tidak! Kalian semua bersalah. Kalian semua bahkan tidak mau tahu dengan kematian adikku. Adikku satu-satunya..." pria ini menempelkan ujung pistol ke pelipisku dengan lebih keras. Aku meringis menahan sakit.

"Adikku tidak ada hubungannya dengan itu. Lepaskan dia!" seru nii-san.

"Tidak ada hubungannya? Aku ingin tahu, bagaimana perasaanmu mengetahui adikmu satu-satunya ini, akan pergi untuk selama-lamanya?" pria ini kembali menempelkan ujung pistol lebih keras ke pelipisku.

Aku bisa merasakan detak jantungku berdegup semakin kencang. Apa?! Apa dia mau membunuhku?

"Danzo.. aku peringatkan sekali lagi. Kita selesaikan urusan kita, dan jangan libatkan orang lain dalam masalah ini. Adikku tidak tahu apa-apa," kata Nii-san seraya berjalan mendekati kami.

"Jangan mendekat! Kalau kau mendekat, pistol ini benar-benar akan meletus di kepalanya!"

Jantungku terasa berhenti saat itu juga. Aku bisa merasakan kedua kakiku bergetar hebat saking takutnya. Tapi aku tetap menunjukkan ekspresi wajah datar. Pistol di kepalaku ini bisa meletus sewaktu-sewaktu kalau pria ini menarik pelatuknya. Pistol ini sungguhan. Benar-benar ada peluru di dalamnya. Aku bisa melihatnya.

Saat aku merasakan kalau kematian sudah semakin mendekat ke arahku, aku mendengar seseorang berteriak dari arah tak jauh dari kami.

"Lepaskan dia!"

Aku menoleh. Begitu juga dengan semua orang yang ada di situ, yang tadi memperhatikan ke arahku dan pria ini. Sekarang pandangan semua orang beralih ke arah teriakan tadi.

"Kau! Kau mau apa?" tanya Danzo pada seorang laki-laki yang sedang berjalan mendekat ke arah kami. Sasuke? Kenapa dia?

"Aku mau kau lepaskan dia," jawabnya.

Danzo tertawa merendahkan.

"Kau bocah ingusan. Bocah ingusan bodoh yang mau saja aku manfaatkan. Sekarang kau mau berkhianat hanya karena gadis ini?" aku merasakan ikatan di leherku semakin kencang. Aku memejamkan mata untuk menahan sakit di leherku.

"Aku tidak tahu apa masalahmu dengan para polisi ini. Tapi memang benar, gadis ini tidak ada hubungannya dalam hal ini. Jadi, aku mohon lepaskan dia," aku lihat Sasuke menatapku dengan tatapan sayu. Aku tercekat untuk sesaat. Apa itu tadi?

"Kau memerintahku?"

"Tidak. Aku memohon padamu. Lepaskan dia. Aku mohon," kata Sasuke dengan nada memohon. Dia berjalan mendekati kami.

Aku bisa merasakan tangan kanan Danzo yang tadinya mengarahkan pistol ke pelipisku sekarang mengarah ke tempat lain.

Tidak... Jangan ke sini! Aku ingin meneriakkan kata itu saat itu juga. Tapi semua terlambat. Suaraku seperti berhenti begitu saja di tenggorokanku dan tidak bisa keluar.

Danzo sudah mengarahkan pistolnya pada Sasuke. Dan dalam hitungan detik, dia sudah menarik pelatuknya sebelum sempat aku cegah.

Sebuah peluru mengenai tubuh Sasuke. Aku tercekat. Aku bisa melihat darah keluar dari tubuhnya saat peluru itu mengenai tubuhnya. Sebuah teriakan panjang terdengar dari arah lain. Teriakan seorang laki-laki lain.

Dan sekali lagi. Sebuah peluru lain kembali mengenai tubuhnya.

"Tidak... Hentikan... Hentikan..." aku berkata lirih. Sangat lirih. Aku tidak bisa berteriak. Suaraku sepertinya tertahan di tenggorokan. Sesuatu yang menyesakkan dan menyakitkan memenuhi dadaku melihat tubuh Sasuke ambruk tak jauh dari tempatku.

"Sekarang kalian lihat? Aku tidak segan-segan membunuh orang-orang yang menghalangi jalanku," teriak Danzo. Aku tidak peduli. Mataku sudah kabur. Air mataku sudah memenuhi mataku sampai penglihatanku menjadi kabur. Aku terus melihat ke arah tubuh Sasuke yang ambruk tak jauh dari tempatku.

Dan sebuah ide nekat dan gila tiba-tiba melintas di benakku.

Aku raih tangan Danzo yang memegang pistol dan dengan sekuat tenaga, aku menggigit lengannya. Aku tidak peduli dia akan melakukan apa. Ini yang ingin aku lakukan. Danzo berteriak kesakitan. Tapi aku tidak peduli.

Dia menarik rambutku dengan keras agar aku melepas gigitanku. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli betapa sakitnya kepalaku. Aku tidak peduli sudah berapa lama aku mengeluarkan air mata. Aku harus bisa melepaskan diri dan melihat keadaan Sasuke.

Cengkeraman di kepalaku mulai merenggang. Aku merasakan seseorang menarik tubuhku dari pria ini.

Aku menarik diriku dan melihat kakakku dan beberapa polisi mencoba untuk membekuk Danzo. Suara tembakan kembali terdengar. Aku menoleh ke arah tempat di mana Sasuke ambruk tadi. Aku melihat seorang pemuda sudah ada di sana, sedang menangis tersedu-sedu di samping tubuh Sasuke.

Aku segera menghampirinya seraya menghapus air mataku. Aku tidak pernah terlihat menangis di depan Sasuke.

Tapi saat melihat keadaannya yang sekarang, keteguhanku pun mulai roboh. Melihatnya bersimbah darah seperti ini. Dengan susah payah aku mencoba untuk menahan tangis. Tapi hasilnya malah dadaku terasa sesak dan sakit sekali.

"Panggil ambulans! Aku mohon... Siapa saja..." seru pemuda berambut blonde di sampingnya dengan muka memelas. Aku terduduk di sampingnya.

"Bodoh! Apa yang kau lakukan?" tanyaku dengan suara bergetar karena menahan tangis.

"Kau... menangis? Iya 'kan?" Sasuke berkata dengan suara lirih.

"Apa yang kau lakukan? Siapa saja! Tolong panggil ambulans!" aku ikut berteriak pada orang-orang di sekitarku.

"Sakura, dengar..." Sasuke meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Bertahanlah, aku mohon," kataku lirih.

"Tidak ada waktu. Aku rasa sudah saatnya," Sasuke menatapku lekat.

"Apa maksudmu?" tanyaku. Kali ini aku tidak bisa membendung air mataku lagi. Aku menangis. Aku benar-benar menangis.

"Maafkan aku... Maafkan aku sudah membohongimu selama ini..."

"Sudah, jangan bicara lagi. Ambulan akan segera datang," kataku.

"Sakura... Kau mau memaafkanku?" tanya Sasuke, semakin erat menggenggam tanganku.

"Bodoh. Tentu saja."

"Berjanjilah padaku. Kau akan selalu tersenyum. Berjanjilah padaku... Kau akan selalu merindukanku."

Aku tidak bisa bicara. Aku mulai menangis tanpa kata-kata. Aku hanya mengangguk saat Sasuke mengatakan hal itu.

"Naruto.. Jaga dia. Temani dia saat melihat bintang-bintang, ya?"

Pemuda di depanku menangis semakin keras.

"Apa yang kau bicarakan? Jangan bicara macam-macam."

Sasuke tersenyum lemah. Sekali lagi dia menatapku lekat.

"Jangan menangis lagi... Katakan.. Katakan kalau kau mencintaiku," katanya lemah. Wajahnya mulai pucat. Aku menggenggam tangannya erat dan tangisku pun semakin kencang.

"Aku ingin dengar."

"Aku mencintaimu," kataku kemudian. "Sangat mencintaimu. Makanya, bertahanlah," aku berkata di sela-sela isak tangisku.

"Aku senang."

Genggaman di tanganku mulai mengendur.

"Sasuke.. bertahanlah. Aku mohon," pintaku.

Tapi sepertinya semua sia-sia. Darahnya keluar semakin banyak dan wajahnya mulai memucat. Aku mengusap air mata yang keluar dari matanya. Aku kira dia hanya terpejam sebentar. Tapi saat aku mendengar tangisan panjang dari pemuda di sebelahku, aku menyadari sesuatu.

Sesuatu yang sangat berharga telah hilang. Seseorang yang sangat aku sayangi sudah pergi dari kehidupanku.

Aku menatap langit di atasku. Langit malam ini sangat cerah. Di atas banyaknya kekacauan yang terjadi di kota ini, bintang-bintang di atas sana berpendar-pendar indah sekali. Terngiang kata-kata Sasuke yang diucapkan beberapa malam sebelumnya.

"Sakura.. kalau aku jadi salah satu bintang di atas sana, apa kau juga akan terus menerus melihat dan merindukanku?"

Air mataku kembali mengalir di pipiku. Aku membenamkan wajahku di tubuh Sasuke yang sudah kaku dan bersimbah darah ini. Menangisi semua yang terjadi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Epilog

{Kakashi POV}

Empat tahun kemudian...

Aku berdiri di depan makam Sakura dengan sebuah buket bunga di tanganku. Aku meletakkan bunga itu di bawahnya. Aku menghela napas panjang seraya melihat foto Sakura yang dipajang di samping kotak abunya, yang sedang tersenyum ke arahku. Meskipun itu sudah 4 tahun berlalu, tapi kesedihanku saat mengingat hari kematiannya benar-benar tidak bisa aku bendung. Aku selalu menangis setiap mengingat adikku satu-satunya sudah pergi untuk selama-lamanya. Aku tidak bisa menepati janjiku pada Ibuku untuk menjaga Sakura dengan baik. Sakura-ku yang selalu menyambutku saat aku pulang dalam keadaan kelelahan. Sakura-ku yang selalu menyemangatiku saat bekerja. Sakura-ku yang selalu mengandalkanku setiap ada masalah.

Air mataku mulai menetes mengingat itu semua. Aku menunduk dan mulai menangis tanpa suara. Sakura, yang selalu menjadi adik kecilku. Aku mengerling menatap makam di sampingnya. Gara-gara pemuda ini juga, Sakura mulai berubah. Gara-gara pemuda ini... dialah yang membuat adikku berubah. Sasuke Uchiha. Aku belum sempat memukul wajahmu karena sudah membuat Sakura berubah, tapi takdir sudah berkehendak lain. Takdir lain yang lebih berkuasa.

"Paman... Kenapa menangis?" seseorang menarik mantelku.

Aku terhenyak sesaat. Dengan segera aku menghapus air mataku. Aku menoleh dan mendapati seorang gadis kecil berambut hitam, menatapku dengan pandangan penuh cemas. Kedua matanya yang berwarna hitam onyx menatapku dengan polos.

"Sarada? Kenapa di sini?"

"Aku ingin bertemu kaasan. Tapi malah melihat paman menangis. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa ada yang menyakitimu, paman?" gadis kecil bernama Sarada itu masih melihatku dengan tatapan cemas. Lucu memang, aku menamainya dengan nama makanan kesukaan Sakura. Tapi aku menyukainya, dan sangat sesuai dengan karakter anak itu.

"Tidak. Kau ingin bertemu kaasan? Apa kau membawakan bunga untuknya?" tanyaku seraya jongkok di sampingnya.

"Emm. Aku membawakan bunga yang banyaaak sekali... Kata Paman Naruto yang..."

"Hei, sudah aku bilang, jangan memanggilku paman!" seseorang berseru di belakang kami. Aku lihat Naruto berjalan mendekati kami dengan buket bunga di tangannya.

"Oh, Naruto nii-san. Hari ini adalah hari spesial. Jadi aku harus membawa banyak bunga," jawab Sarada. Aku memandang Naruto heran.

"Kau menyuruhnya memanggilmu nii-san? Ingat umurmu. Kau dan dia selisih lebih dari 20 tahun. Masih saja mau dipanggil nii-san," kataku seraya tersenyum kecut.

"Memangnya tidak boleh?" Naruto protes.

"Kau 'kan sudah berumur," kataku.

"Apa?!"

"Sudah, sudah... Paman! Nii-san! Jangan bertengkar lagi."

Aku menoleh kembali ke arah Sarada.

"Sarada... Kau sudah besar sekarang. Kau ingin bicara dengan kaasan? Ibumu pasti senang sekali melihatmu sudah sebesar ini," kataku seraya mengerling pada foto Sakura.

"Apa tousan tidak senang aku sudah sebesar ini juga?" Sarada menunjuk pada foto di samping Sakura. Aku mendesah pelan.

"Tentu saja dia juga senang! Mukamu mirip sekali dengannya," sahut Naruto.

"Benarkah? Waaahh," Sarada menoleh ke makam di depannya, "Kaasan, Tousan.. Aku senang sekali. Aku punya dua orang yang sangat menyayangiku. Oh, paman.. apa kau juga akan menjagaku?" Sarada menoleh ke arahku.

"Sarada, kau, terlahir dari orang yang sangat aku sayangi dan orang yang sangat aku benci. Kau.. sangat berharga untukku. Aku akan menjagamu apapun yang terjadi," jawabku seraya mengusap rambutnya. Sarada memelukku erat.

"Kenapa kau tidak menanyaiku? Aku juga akan menjagamu 'kan?" Naruto berseru protes. Sarada melepas pelukannya dan beralih padanya.

"Tentu saja. Aku juga menyayangimu, Naruto nii-san," Sarada memeluk Naruto dengan erat juga.

Sekali lagi aku menoleh ke makam Sakura.

Sakura.. Aku tidak akan membuat perjuanganmu saat melahirkan Sarada sia-sia. Aku akan menjaganya untukmu dan untuk laki-laki yang sangat kau cintai itu. Kau tenang saja.. Aku dan Naruto akan menjaga malaikat kecil ini.

Aku mengikuti Naruto dan Sarada yang sudah berjalan mendahuluiku. Angin musim gugur berhembus dan memainkan rambutku kami. Sarada tertawa tergelak di gendongan Naruto. Anak ini... Dia pasti akan tumbuh dengan kepribadian yang keras seperti ibunya.

.

.

.

.

.

.

.

THE END

.

.

.

PS: Hahahaha. Akhirnya selesai juga. Kecepeten? Iya. Sengaja. Biar gak PHPin anak orang mulu. Makasih yang udah nunggu, review dan baca doang. Makasih apresiasi kalian...

8