Midsummer's Eve
Sehun x Luhan
.
"I thought love was supposed to hurt"
.
Usia lima tahun tidak seharusnya dilewati dengan pukulan kayu dan gantungan baju yang menimbulkan bekas merah perih, juga tidak seharusnya dilewati dengan kosa kata amoral yang secara konstan terdengar oleh dua kuping cilik yang masih murni. Itu anomali, tetapi betul terjadi. Dan lima tahun Luhan adalah bagian dari sang anomali.
Luhan tidak terlalu ingat dengan bagaimana ia menjalani hidup sebelum usia lima tahun, apakah dia juga sering menerima pukulan dan umpatan kasar dari sang ayah atau tidak, Luhan tidak tahu. Dia hanya tahu saat ini dia hidup berdua dengan ayahnya, di sebuah rumah kecil yang melindungi mereka dari terik matahari dan dinginnya salju. Luhan tidak memiliki ibu, ayahnya mengatakan jika ibunya meninggal saat melahirkan Luhan. Lima tahun Luhan lantas berpikir bahwa dia adalah pembunuh, karena dia adalah penyebab ibunya tidur di bawah tanah. Kesimpulan yang Luhan kecil tarik sendiri karena ayahnya juga penyebab banyak orang tidur di bawah tanah.
Karena ayah Luhan adalah seorang pembunuh bayaran.
Luhan kecil cukup cerdas untuk tahu jika membunuh bukan pekerjaan umum di masyarakat. Pekerjaan ayahnya tidak seperti pekerjaan Kakek Long yang memiliki toko kelontong, juga tidak seperti Bibi Zhou yang bekerja di kantor dan banyak lagi orang-orang yang Luhan tahu tidak membunuh untuk mendapatkan uang. Hingga suatu hari, Luhan kecil yang penuh rasa ingin tahu bertanya kepada sang ayah, kenapa dia bekerja untuk membunuh? Ayahnya hanya dengan singkat menjawab jika membunuh menghasilkan banyak uang, lalu kembali mengisap rokok yang asapnya tidak Luhan sukai.
Luhan masih berumur lima tahun, tetapi dia sudah tahu jika nyawa manusia bisa ditukar dengan tumpukan uang.
.
.
Enam tahun Luhan masih berada di dalam pusaran sang anomali, jika anak lain diusianya saling bertegur sapa dan berangkat bersama untuk menuntut ilmu, maka Luhan akan ke toko kelontong Kakek Long yang mau berbagi pengetahuan dengannya. Luhan tidak sekolah, ayahnya melarang. Katanya sekolah hanya membuang uang, toh masa depan Luhan sudah ditentukan; Luhan tidak perlu sekolah, karena membunuh tidak perlu rumus integral. Luhan hanya perlu lihai menggunakan benda tajam dan senjata api, itu sudah cukup untuk bertahan hidup. Hal yang menjelaskan mengapa ayah Luhan selalu mengajaknya memanjat gunung hampir di setiap akhir pekan; untuk melatih si kecil agar siap mengantarkan nyawa kepada sang malaikat maut.
Rotan kasar mencium kulit Luhan saat bidikannya salah sasaran. Ciumannya membekas, merah seperti tercium api panas. Luhan sudah terbiasa, namun tidak kebal. Sering kali ia meringis, namun ayahnya akan memberikan tambahan pukulan cuma-cuma jika ia mengeluh. Usia Luhan masih enam tahun, tetapi bekas lukanya lebih banyak dari pada pria-pria yang melakukan wajib militer selama empat belas bulan di Taiwan.
Pernah, di suatu hari saat Luhan dan ayahnya tengah beristirahat setelah mendaki gunung hampir dua jam, ia bertanya. "Ayah, apakah ayah tidak menyayangi Luhan?"
Ayah Luhan tertegun untuk sejenak, menatap putranya yang menanti jawaban dengan mata penuh harap. "Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Karena ayah selalu memukul Luhan dengan rotan." Jawabnya polos, karena bagaimanapun, Luhan masihlah bocah enam tahun. Ada sisa jiwa yang murni di hati sekalipun terkikis.
Luhan terkejut saat ayahnya mengangkat tubuhnya tiba-tiba, menggendong, lalu mendudukkannya ke batu besar terdekat sebelum berjongkok di depan sang putra sambil menggenggam tangan mungilnya. "Luhan, anakku, dengar… ketika ayah memukulmu dengan rotan, sebenarnya hati ayah lebih sakit dari pada kulitmu yang memerah," pipi Luhan ditangkup dengan kedua tangan, memaksa kedua mata bening Luhan untuk menatap miliknya yang keruh. "Itu cara ayah menunjukkan rasa sayang kepadamu, mengerti?"
Luhan mengangguk, meski ia tidak yakin dengan maksud sang ayah. Apakah itu artinya jika kalian menyayangi seseorang maka kalian harus menyakitinya? Luhan masih berumur enam tahun, dan dia berpikir jika ayahnya tidak hanya membunuh karena uang, tetapi juga karena sayang.
Karena Luhan pernah mendengar, jika kematian itu menyakitkan.
.
.
Ketika Luhan menginjak usia delapan tahun, Kakek Long menyampaikan jika Luhan sudah lulus belajar kepadanya. Lulusnya Luhan, menurut Kakek Long didasari oleh berhasilnya Luhan menguasai ilmu perhitungan dasar dan idiom Bahasa Tiongkok. Cukup mengesankan jika mengingat rata-rata anak Tiongkok baru menguasai hal tersebut ketika usia mereka dua belas tahun. Tetapi Luhan memang anomali, dia berbeda.
Tidak mengherankan juga jika pada usia tersebut Luhan mampu menembak kepala babi yang tengah berlari tepat di antara kedua matanya. Peluh kerja kerasnya selama dua tahun membawa hasil yang mengesankan. Ayahnya bangga, dan sebagai hadiah, Luhan berhak memiliki kepala babi untuk dirinya sendiri.
Mendengar itu, untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, mata jernih Luhan berbinar. Dengan bangga ia membawa kepala babi yang darahnya hampir kering ke tempat Kakek Long, ingin menunjukkan kalau dia berhasil membunuh si makhluk gunung. Sekaligus menonjolkan diri yang ternyata pintar dalam banyak bidang.
"Kakek! Kakek!"
"Di dapur, Xiao Lu!"
Tanpa banyak bicara, Luhan melepas alas sepatunya dan masuk menuju tempat Kakek Long. Sampai di sana, Luhan mendapati Kakek Long tengah memanjat tangga guna memperbaiki atap dapur, membelakanginya. Kakek Long belum menyadari kehadirannya, mungkin karena langkah kaki Luhan yang ringan sehingga Kakek Long tidak mendengar jika mereka saat ini sudah berada di tempat yang sama. Akhirnya, Luhan memanggil lelaki tua itu untuk mendapatkan perhatian. "Kakek!"
Benar saja, Kakek Long menoleh dan memberikan senyumnya kepada si bocah delapan tahun. Namun kening pria tua itu mengernyit saat melihat apa yang ditenteng Luhan di tangan kirinya. "Kepala babi? Dari mana kau mendapatkan itu, Xiao Lu?"
"Aku membunuhnya dengan pistol, Kek!" Bangganya, kedua tangannya terjulur dengan kepala babi yang terapit, secara sengaja menunjukkan lubang di antara kedua mata babi –bekas peluru yang menembus.
Kakek Long terkejut, pria tua itu terlihat akan mengatakan sesuatu namun dia malah memegangi dadanya dan terlihat kesakitan sebelum jatuh dengan kepala yang membentur lantai. Kening Luhan mengerut saat Kakek Long tidak bergerak, pun tidak mengeluarkan suara. Diletakkannya kepala babi di lantai, lantas ia coba untuk menggoyangkan tubuh Kakek Long yang masih enggan bergerak sendiri, mata tertutup rapat. Sadar jika ada yang tidak benar, Luhan memanggil anak Kakek Long yang sedang menggantikan ayahnya menjaga toko.
Luhan berusia delapan tahun ketika menyaksikan anak Kakek Long meraung menangisi ayahnya yang telah tiada. Dan Luhan juga masih delapan tahun ketika dia menyadari bahwa ini adalah kedua kalinya Luhan membunuh seseorang meskipun tanpa sengaja. Luhan merasa aneh, dia kehilangan namun juga bahagia. Kakek Long adalah salah satu orang yang ia sayangi dan ia membunuhnya.
Membunuh adalah rasa sayang paling mutlak, benar 'kan? Luhan bahagia karena ia berhasil menyampaikan rasa sayangnya.
.
.
Tujuh tahun berlalu,
Ayah Luhan menyampaikan dia siap di usianya yang kelima belas, siap untuk betul-betul membunuh manusia dengan pistol, siap untuk menyiksa mereka dengan belati. Ayahnya lantas mengenalkan dirinya dengan Yifan, lelaki berusia dua puluh lima tahun yang merupakan pemimpin cabang organisasi pembunuh bayaran di usia muda. Luhan akan bekerja padanya, sekaligus melatih diri sebelum dipindahkan ke organisasi utama.
"Luhan, isn't it?" Yifan menyapa, tangannya terjulur meraih mungil jemari Luhan, menyalami.
Bibir Luhan terkatup dan terbuka, layaknya ikan yang baru pertama menghirup udara. Ragu-ragu ia balik menyalami, tanpa berani menatap balik mata nyalang sang atasan yang seolah dapat menguliti. "M-maaf, s-saya tidak bisa berbahasa asing."
Tawa halus mengalir, mengundang Luhan untuk mengalihkan tatapan mata ke sumber suara. Tatapan tajam Yifan menghilang, tergantikan oleh dua garis hampir lurus dengan senyuman yang turut melekat di wajah bak aristokrat sang pemilik. "Cute," bisiknya pelan. Telapaknya bergerak ke kepala Luhan, mengusak rambut si pemilik dan kembali berbicara. "Tidak masalah, aku akan mengajarimu." Yifan kembali terseyum, lantas mendaratkan satu kecupan manis di kening Luhan sebelum masuk ke ruangannya.
Luhan berusia lima belas dan agaknya dia jatuh cinta untuk pertama kali.
.
.
Luhan tidak ingin terlalu percaya diri, tetapi dia merasa jika Yifan balik menyukai dirinya. Bukan tanpa alasan ia menyimpulkan; ia tahu betul Yifan menyukainya dari bagaimana keras dan tegasnya Yifan saat melatihnya, dari bagaimana Yifan mencekiknya hingga napasnya tinggal separuh jika dia melakukan kesalahan dan dari bagaimana Yifan mencium bahunya hingga berdarah jika Luhan tidak berhasil menghabisi nyawa target sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Satu tahun adalah waktu yang cukup bagi Luhan untuk memendam rasa, dia ingin mengungkapkan cinta. Dipilihnya waktu malam untuk mengetuk pintu kamar si pencuri hati, bermaksud menunjukkan diri dengan hati yang tanpa dipaksa ingin ia beri. Namun, apa yang belum Luhan perhitungkan adalah kehadiran Suho yang tengah berbagi tubuh dengan Yifan. Luhan bukan lagi bocah lugu, dia tahu apa yang tengah mereka dan dia cukup tahu diri untuk tidak mengganggu.
Langkah kakinya berat, meninggalkan kamar yang pintunya ia tutup kembali dengan perlahan. Menelusuri lorong rubanah yang minim penerangan, selaras dengan hatinya yang terlanda bingung, tidak tahu bagaimana harus membawa diri jika dia bertemu Yifan esok pagi. Tetapi Luhan pernah mendengar, hubungan badan tidak melulu dilakukan atas dasar cinta, namun juga karena butuh. Apakah itu artinya, Luhan masih memiliki kesempatan?
Senyum kecil terangkat, harapan kecil menyala layaknya lilin temaram di ujung lorong.
.
.
'Tidak biasanya,' gumamnya lirih. Matanya menyisir sekitar, melihat rekan-rekannya yang mulai berdatangan satu persatu, mengisi aula, menunggu pengumuman yang Yifan ingin sampaikan.
Yifan ada di tangga ketiga, terlihat begitu gagah dengan setelan hitam yang membuatnya berkali lipat tampak berkelas. Senyumnya sumringah, menggelitik rasa penasaran Luhan akan dalang sebab wajah bahagia Yifan. Tidak perlu menunggu lama, Yifan berkata 'everyone!' dengan cukup lantang, menarik atensi seluruh anak buahnya yang juga sama penasarannya dengan Luhan.
Luhan memberikan seluruh atensinya tanpa keraguan, terlebih karena penampilan Yifan yang malam ini terlihat lebih memesona dari pada hari-hari biasa.
Yifan berdeham, mengedarkan pandangannya lalu mulai berbicara. "Aku tahu, orang-orang seperti kita yang hidup dari darah tidak pantas untuk berbahagia, tetapi bukan berarti kita tidak bisa, bukan?" Gelak tawa mengalir, mencairkan suasana. "Dan aku rasa, aku sudah menemukan kebahagiaanku," ucapan Yifan tertahan, sorot mata melamun sejenak sebelum kembali tersenyum kecil. "Junmyeon, kemarilah." Yifan berujar dengan senyum terpasang, matanya menyorot ke tengah aula yang diikuti oleh khalayak yang hadir.
'Junmyeon? Siapa Junmyeon?' Luhan menyuarakan dalam hati, tatap matanya mengikuti Yifan ke tengah aula. Menanti seseorang yang menjadi alasan bahagia Yifan.
Rasa penasaaran Luhan terjawab saat melihat Suho yang berjalan melewatinya. Rautnya sama seperti Yifan, terpasang senyum kecil. Ingatannya pun bekerja, mengingat jika Suho bukanlah orang Tiongkok seperti kebanyakan dari mereka. Sepertinya Junmyeon adalah nama aslinya. Matanya yang masih penasaran mengikuti arah gerak Junmyeon, melihat bagaimana dia mengaitkan tangan dengan Yifan yang menyambutnya manis. Keduanya saling memberikan senyum, menatap satu sama lain dan seakan lupa jika tidak hanya mereka berdua yang ada di aula. Entah kenapa, dada Luhan tiba-tiba terasa sesak.
"Aku akan menikah dengan Junmyeon."
.
.
Pesta kecil telah berakhir, meninggalkan badan-badan sempoyongan yang terjatuh pada langkah pertama. Luhan tidak termasuk pada golongan itu karena dia lebih memilih mengucilkan diri dan diam selama pesta berlangsung. Matanya tak lepas dari raut bahagia Yifan dan Junmyeon, mereka tampak serasi, seolah memang diciptakan untuk satu sama lain. Helaan napas mengalir, pantatnya beranjak untuk mencari udara segar, membebaskan diri dari asap rokok dan semerbak alkohol pekat yang menyesakkan dada.
Dihirupnya udara kuat-kuat saat kakinya berhenti di taman belakang, mengisi paru-parunya agar kembali sesak dengan udara segar. Tangannya merambat ke dada, memegangi rasa sakit yang Luhan tidak mengerti dari mana datangnya.
Cinta Luhan pada Yifan memang benar adanya. Cinta yang sakit.
"Hei, boleh aku bergabung?"
Luhan menoleh, sedikit memicingkan mata karena tidak tahu dengan siapa dirinya berhadapan saat ini.
"Kau terlihat kesepian, jadi aku memutuskan untuk menemani." Dia bicara lagi. Kali ini Luhan dapat mendengar berat aksen Mandarin lelaki di depannya. Jelas sekali kalau dia bukan berasal dari Tiongkok. "Jika kau keberatan, maka sebaiknya aku pergi saja." Tambahnya, karena Luhan belum memberikan respons apapun.
"Oh," sadar akan situasi, Luhan sedikit menggeser badannya. Mempersilakan si pria asing untuk berdiri di sampingnya. "Aku tidak keberatan."
"Xiumin," si lelaki mengenalkan diri dan menjulurkan tangan. Senyum merekah saat Luhan menyambut dan balik melakukan hal yang sama. "Apa yang membuatmu berada di sini?"
"Membebaskan diri dari asap rokok, ku rasa." Tukasnya, tidak sepenuhnya bohong. Asap rokok memang telah menjadi musuhnya sejak kecil dan dia tidak suka jika harus berada dalam ruangan penuh asap rokok dengan sedikit ventilasi.
"Kau yakin?" Xiumin tertawa kecil, jelas sekali jika dia meragukan jawaban Luhan. "Aku mengamatimu selama di dalam tadi, Luhan. Dan aku melihat bagaimana kau memandang Yifan dan Junmyeon." Tambahnya, sedikit terlalu tepat sasaran. Tawa kecilnya kembali mengalir tatkala melihat raut terkejut Luhan yang menoleh kepadanya.
"Bagaimana-"
"Oh, I know things," Xiumin memotong bahkan sebelum Luhan dapat menyelesaikan pertanyaannya. "Situasi kita tidak jauh berbeda. Jadi, katakan padaku, kau menyukai Yifan atau Junmyeon?" Tanyanya lagi, begitu enteng. Seolah persoalan hati setara dengan pertanyaan untuk sekolah dasar.
"Yifan." Akunya, lantas kembali melempar pandangannya ke langit. Ia tidak tahu apakah menceritakan perasaannya pada Xiumin adalah pilihan yang tepat. Karena di organisasi mereka segala hal menjadi mungkin, termasuk kemungkinan bahwa Xiumin akan membunuhnya setelah ia tahu. Tetapi Luhan untuk pertama kalinya memilih acuh. Biarlah.
"Dan aku menyukai Junmyeon." Xiumin kembali bicara, kali ini dengan hal yang sama sekali tidak Luhan duga. Ia melirik Xiumin lagi tanpa memberikan tanggapan apapun, isyarat bahwa ia mempersilakan Xiumin untuk melanjutkan cerita.
"Aku dan Junmyeon bersahabat dekat, tipikal dua orang yang tidak dapat pergi tanpa yang lain. Aku ingat bagaimana ia bertemu Yifan untuk pertama kali… aku menemaninya mencari buku di Myeongdong saat mereka bertemu dan jatuh cinta satu sama lain. Aku juga ingat bagaimana dia memohon kepadaku agar memperbolehkan dia pergi bersama Yifan ke Tiongkok."
Jeda cerita adalah waktu yang digunakan Xiumin untuk menghela napas panjang. Helaannya terdengar cukup keras, hingga Luhan menoleh untuk melihat. Raut Xiumin tampak baik-baik saja, tetapi tidak dengan matanya. Matanya sendu.
"Aku tidak bisa mengatakan tidak pada Junmyeon, akhirnya aku mengizinkan dan ikut menemaninya. Bunuh diri perlahan, aku menyebutnya. Dan sekarang di sinilah aku! Kau mungkin bisa mengatakan jika sekarang aku menjadi pengawal pribadi Junmyeon. Ironis memang, tetapi memang itu yang terjadi."
Sakit, Luhan menyimpulkan. Rasa cinta Xiumin untuk Junmyeon sama seperti rasa cintanya kepada Yifan. Keduanya sakit. "Kau benar-benar mencintai Suho, rupanya." Luhan berkomentar setelah cukup lama diam. Komentar yang menurutnya agak tidak tepat, namun Luhan tidak bisa mencari tanggapan yang lebih pantas lagi dari pada itu.
Miris tawa Xiumin menyapa pendengaran Luhan, dihelanya napas kasar sekali lagi dengan pandangan yang masih bergeming dari langit. "Ah, benar. Namanya sekarang adalah Suho, bukan lagi Junmyeon. Sekarang dia Suho dan dia milik Wu Yifan. Sama sepertiku, saat ini aku adalah Xiumin, pengawal Suho. Bukan lagi Minseok, sahabat Junmyeon." Tutupnya.
Luhan tidak tahu cara menanggapi dan Xiumin tak bicara lagi. Keduanya diam, mata tertuju pada langit yang tidak lagi berbintang.
.
.
Bangun dengan alarm yang berbunyi bukanlah pagi yang biasa dilewati Luhan. Remaja itu bangun dengan keadaan sedikit bingung, terutama saat menyadari Xiumin sudah tidak berada di sampingnya. Kedua matanya membola, menyadari ada sesuatu yang tidak baik terjadi. Segera ia melonjak dari kasur, mempersiapkan diri kurang dari sepuluh menit sebelum mengambil desert eagle[1] yang ia simpan di dalam laci.
Dugaannya benar, aula yang biasanya digunakan berpesta kini penuh dengan mayat yang berserakan. Seolah menjadi dekorasi baru ruang sesak yang penuh akan bau amis ceceran darah. Luhan mengenali beberapa dan mengambil senjata mereka, berjaga-jaga bila pelurunya habis dan dia terjepit disituasi genting. Telinganya lantas menangkap suara baku tembak dari yang berasal taman belakang, ia pun tidak berpikir dua kali untuk menuju ke sana. Luhan tidak langsung meleburkan diri ke dalam perang, ia mengamati, menunggu saat yang tepat sebelum keluar dari tempat ia bersembunyi.
Di sana, Luhan melihat jelas, ayahnya dan Xiumin saling mengacungkan senjata mereka ke kepala masing-masing. Tegang suasana menyelimuti. Luhan tetap menyembunyikan diri dibalik pilar. Menanti sekaligus berpikir pihak mana yang harus ia beri bantuan. Satu tembakan lantas terdengar, kali ini bukan dari Xiumin atau ayahnya, melainkan dari ujung jendela. Luhan mengintip, mencari tahu sang pelaku.
Yifan.
Rahangnya terlihat begitu keras, indikasi bahwa sang pemimpin tengah murka. Kembali ia menembakkan satu pelurunya dan Luhan mengikuti kemana arah peluru itu menembus. Kedua mata Luhan menjadi saksi tubuh ayahnya yang tumbang, jatuh ke tanah dengan kepala berlumur darah. Juga menjadi saksi bagaimana tangan lemah sang ayah menembak Xiumin tepat di dada. Luhan berlari, keluar dari tempat persembunyian dan menangkap tubuh Xiumin sebelum pria terhempas ke tanah.
"Xiumin! Hei, bertahanlah!" Pipi Xiumin ia tepuk beberapa kali, bermaksud mempertahankan kesadaran Xiumin yang kian menipis.
"Luhan, kau harus segera pergi dari sini." Xiumin bertutur lemah.
"Kena-"
"Ayahmu mencoba membunuh Junmyeon dan Yifan murka." Kembali ia berkata dengan terbata, mencoba menjelaskan semampunya akan penyebab terjadinya perang di markas mereka. "Aku tidak yakin setelah ini kau akan aman sekalipun kau loyal padanya."
"Tetapi-"
"Pergi sebelum Yifan menembakmu di sini, pergi!"
Gundah menyapa hati Luhan, antara ingin menyelamatkan diri ataupun membiarkan dirinya dibunuh. Tetapi mata memelas Xiumin membuat dirinya beranjak, ia tahu jika Xiumin masih ingin dia untuk hidup. Segera ia berlari, meninggalkan tempat kejadian dan meliriknya sekali lagi untuk terakhir kali.
.
.
Menjadi buronan dan menyelundupkan diri di kapal barang sama sekali tidak pernah menjadi hal yang terlintas di benak Luhan. Tetapi sekarang di sinilah dia, tidur meringkuk dan menggunakan karung sebagai selimut. Matanya ia paksa untuk terpejam meskipun sulit, sadar bahwa dia harus istirahat sebelum menghadapi hal yang mungkin tidak terduga setelah ini. Tetapi rasanya sulit jika bayangan Xiumin yang tertembak dan ayahnya yang terbujur kaku muncul tiap ia memejamkan mata.
Luhan tahu risiko hidup yang dijalaninya, tetapi ia tidak pernah tahu jika dia harus kehilangan terlalu banyak.
Malam itu satu pikiran hinggap di kepalanya; jika membunuh adalah bentuk cinta yang paling mutlak, lalu kenapa Yifan membunuh orang-orang yang ingin menyakiti Junmyeon, bukan membunuh Junmyeon sendiri? Bukankah orang-orang yang menyakiti Junmyeon tengah menunjukkan rasa sayang mereka terhadap suami Yifan?
Delapan belas tahun Luhan belum mendapatkan jawaban karena kantuk yang merengkuh. Membuat matanya terpejam, membiarkan kapal membawanya ke tempat yang ia belum pernah tahu sebelumnya.
.
.
To be continued
a/n:
[1] Pistol semi otomatis buatan Israel.
Pertama, saya ucapkan selamat menempuh hidup baru untuk kak hotarunyan! Sengaja saya mengunggah fiksinya bertepatan dengan hari bersejarah bagi beliau sebagai hadiah(?) dimulainya lembaran baru! Hihi. Ditunggu kabar bahagianya, ya kak! Dan selamat hari ulang tahun juga pada tanggal 16 besok! ;)
Kedua, selamat bulan hunhan semuanya! Selamat ulang tahun untuk EXO, untuk Sehun dan untuk Luhan! Saya hanya berharap hari-hari kalian akan dipenuhi rasa bahagia! [Tambahan untuk Sehun, semoga film dan drama kamu yang belum ada kabarnya itu cepet rilis :') keburu ubanan saya nunggunya]
Also, big thanks to my beta ohsexilu and dragonqua for the advice, correction etc. You guys are the best T.T
Lastly for my beloved readers, semoga kalian menikmati cerita ini, ya! Seperti yang sebelumnya saya singgung dikumpulan cerita pendek saya, fiksi ini sudah tamat dan akan diunggah lanjutannya setiap dua atau tiga hari sekali. Jadi ditunggu saja, ya! And thank you so much for supporting me through these years! You guys are amazing T.T