"Haechan-ah, Mark itu siapa?"

Aku bertanya pada sepupuku saat kami akan pergi ke sekolah. Aku dan dia berbeda sekolah, hanya saja kami sering berangkat bersama. Sekolahku dan sekolahnya sangat dekat dari rumah. Kami hanya perlu berjalan beberapa menit.

"Mark itu teman dekat Jeno. Ah... itu dia!" Tunjuk Haechan.

Aku langsung mengikuti arah pandang Haechan. Kata pertama saat melihatnya adalah tampan. Tapi aku hanya menganggapnya angin lalu. Setelahnya aku tidak bertanya apapun.

"Dia satu sekolah dengan Jeno." Lanjut Haechan lagi. Aku mengangguk mengerti. Karena hanya melihat seragamnya saja, aku sudah tahu. Dan yang aku tahu, sekolahnya cukup jauh dari sini.

"Mark itu anak orang kaya. Dan yang terpenting dia sangat polos. Kalau bisa mengambil hatinya, apapun akan dia lakukan. Dan yang aku tahu, dia sering membayarkan banyak hal untuk teman-temannya."

Aku tersenyum mendengar berita itu. Dan aku sama sekali tidak tertarik. Ayah dan ibu selalu menyukupi kebutuhanku. Lagi pula aku tidak suka pertemanan yang seperti itu.

Obrolan kami terhenti saat kami harus terpisah. Sekolahku dan Haechan tidak searah. Aku harus berjalan beberapa meter lagi untuk sampai ke sekolahku.

...

Sepulang sekolah, aku berhenti di salah satu mini market. Seperti kebiasaanku, aku akan mengambil sebotol minuman dingin dan roti. Aku yakin ibu akan menegurku saat melihatku membeli makanan seperti ini. Karena aku tidak menyentuh nasi setelah aku memakan semua ini.

Aku terkejut saat seseorang berdiri tiba-tiba di depanku. Beruntung aku bukan seseorang yang mudah berteriak. Hanya menghembuskan nafas pelan dan kembali melanjutkan langkah.

"Kau mau pulang?"

"Basa-basi." Batinku sembari menghentikan langkahku. Menatap ke arahnya dengan tatapan tidak ramah. Namun aku justru mendapat senyuman.

"Pulang sekolah memang seharusnya pulang kan?" Dan lagi-lagi kalimat yang jauh dari kata ramah keluar dari bibirku. Laki-laki berseragam di depanku tersenyum kikuk. Ia menggaruk kepalanya dengan terus tersenyum. Membuatku jengah dan memilih pergi.

"Kau masih mengingatku kan? Kita bertemu kemarin di tempat ini juga." Ucapnya masih dengan menunjukkan senyumannya. Meski harus akui senyuman itu begitu menawan, tapi aku tidak akan tertarik. Dan aku pastikan itu.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Terus berjalan menuju rumahku yang ternyata dia ikuti. Tapi aku mencoba bersikap santai.

"Aku tahu." Balasku. Mencoba berbicara seramah mungkin meski sulit untuk merangkai kalimat yang panjang.

"Kau siswa baru kan?" Tanyanya lagi. Dan seketika, aku langsung membalikkan tubuhku. Menghadap ke arahnya dengan wajah kesal.

"Kau pasti tahu aku baru saja satu bulan berpindah ke kota ini. Aku pikir aku tidak perlu menjelaskan apakah aku siswa baru atau tidak." Aku tidak bisa tidak menunjukkan wajah kesalku. Apalagi dia justru tersenyum dan tetap melihat ke arahku.

"Kau sangat yakin aku tahu segalanya tentangmu? Padahal aku baru melihatmu kemarin." Ucapnya dengan tampang yang menurutku sangat menyebalkan.

Tidak ingin membuat mood ku kacau, aku langsung melebarkan langkahku. Tapi tampaknya Lucas sama sekali tidak bisa melihat situasi. Justru ikut mempercepat langkah dan berjalan sejajar denganku.

Bagaimanapun, kakinya jauh lebih panjang dariku. Dan aku yakin dia akan dengan mudah menyamai langkahku. Membuatku menyerah dan kembali berjalan normal.

"Kalau kau mau, aku siap menemanimu untuk melihat-lihat kota ini." Tiba-tiba saja Lucas menawarkan diri. Meski aku merasa sedikit tertarik dengan tawaran itu, tapi aku mencoba untuk mengabaikannya.

Aku peringatkan sekali lagi, aku hanya ingin hidup dengan tenang. Aku tidak ingin manusia seperti Lucas hadir dan mengganggu ketenanganku.

"Bagaimana?" Ia seolah belum menyerah dengan tawarannya.

"Kau berisik." Ucapku ketus. Dan setelahnya aku bernafas lega karena Lucas tidak lagi mengikutiku. Aku sudah tiba di halaman rumah yang membuatnya berbelok.

Kalau aku tidak salah mengingat, rumahnya beberapa meter dari rumah Jeno. Meski aku tidak tahu letak persisnya. Karena ibu pernah mengatakan, ibu dan ayahnya Lucas adalah teman masa kecil. Aah... aku ingat. Ibuku, ayah Lucas, ke dua orang tua Jeno dan juga Mark adalah teman sejak kecil. Meski aku sama sekali tidak tertarik mendengar kisah mereka.

...

"Ibu."

Aku mendekati ibuku yang tengah berkutat dengan peralatan dapur. Kalian pasti sudah tahu aku ke dapur bukan untuk memasak. Seperti yang aku katakan, aku sangat buruk dalam pekerjaan rumah.

"Sepertinya kau belum makan sejak pulang sekolah Jaemin-ah."

Aku sengaja membisu. Tidak ingin berbohong tapi enggan untuk menjawab. Aku sedang tidak ingin mendengar omelan ibuku yang bisa dipastikan lama untuk berhenti.

"Apa Lucas dan Jeno seumuran, Bu?" Tanyaku. Tanganku mengambil salah satu tomat dan memutar-mutarnya di meja. Tapi ibu langsung mengambilnya dan mengatakan akan membuat masakan tidak enak kalau aku memainkannya.

"Kau ingin bermain bersama mereka?" Ibuku justru balik bertanya.

"Akan kupikirkan." Tentu saja ini hanya alasan. Aku sama sekali tidak memiliki keinginan bermain bersama mereka. Karena itu artinya aku menggali lubang kesengsaraanku sendiri.

"Lucas lebih tua dari Jeno. Tahun depan Lucas sudah mulai masuk perguruan tinggi." Aku membulatkan mulutku sebagai reaksi. Cukup terkejut saat tahu Lucas lebih tua dariku. Meski tubuhnya memang sudah sangat mendukung.

"Ayah dan ibu Lucas berniat memasukkan Lucas di universitas kedokteran. Ibu bisa membayangkan bagaimana tidak sabarnya mereka menantikan Lucas menjadi seorang dokter."

"Ibu, aku mau belajar."

Aku langsung bergerak dari tempat duduknya. Melangkahkan kaki secepat mungkin agar tidak mendengar kalimat lanjutan dari ibu. Karena aku tahu setelah itu akan mengarah ke mana percakapan kami. Sebelum suasana hatiku berubah menjadi buruk, aku memilih kembali ke kamar.

Dan agar aku tidak berbuat dosa karena berbohong, aku membuka bukuku untuk mengulang sedikit pelajaran di sekolah. Setidaknya aku benar-benar belajar meski sedikit.

...

Aku duduk di beranda rumah karena merasa penat di kamarku. Bertemankan sebotol minuman dingin yang sudah hampir habis. Malam ini langit sangat gelap karena tidak ada bintang apalagi bulan. Cahaya yang bisa tertangkap di retinaku hanya rumah-rumah warga. Terutama rumah Jeno yang tepat berada di depan rumahku.

Berbicara mengenai Jeno, aku kembali teringat pesan yang ia kirimkan padaku. Dan isinya masih sama. Terus menanyakan apa kegiatanku dan menawarkan pertemanan. Aku tidak menolak tapi juga tidak menerima. Hanya membaca pesan yang Jeno kirimkan layaknya membaca koran pagi milik ayah.

Aku membuka botol minuman di tanganku. Langsung menenggaknya habis dan mulai melihat ke kanan dan ke kiri. Aku tidak ingin memegangnya terus menerus. Tapi aku juga tidak menemukan tempat sampah.

Tiba-tiba aku teringat nasehat ibu untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tapi aku benar-benar tidak ingin memegangnya lebih lama. Lagi pula besok pagi bukan ibu yang menyapu halaman. Jadi ibu tidak akan tahu apa yang aku lakukan.

Setelah meyakinkan diri, aku langsung melempar botol di tanganku ke samping rumah. Melemparnya asal tanpa peduli akan melayang ke bagian mana botol minuman itu.

Aku mendengar suara benda berbarengan dengan suara manusia. Dan aku sangat yakin suara itu adalah suara manusia. Membuatku langsung bergegas untuk melihat ke samping rumah.

Seketika aku langsung meringis. Menutup mulutku dengan jari saat tiba-tiba saja kehilangan kata-kata. Seharusnya aku mendengar nasehat ibuku. Dan kali ini aku menyesalinya. Karena botol itu sepertinya mengenai kepala Jeno. Bukan sepertinya lagi, karena benda itu benar-benar melayang ke kepalanya.

Di samping Jeno, Lucas terbahak tanpa merasa iba dengan nasib Jeno.

Sial. Aku jadi harus bertemu mereka berdua. Tapi kali ini aku tidak bisa menghindar. Seburuk apapun sifatku, aku masih memiliki perasaan. Dan tentu aku juga sadar aku telah melakukan kesalahan.

"Apa kepalamu terluka? Aku tidak tahu kalian akan berjalan dari sini." Meski bukan permintaan maaf, setidaknya aku sudah menunjukkan rasa peduliku sebagai manusia.

"Aku tidak apa. Mungkin besok pagi akan meninggalkan bekas atau yang terburuk aku demam."

Seketika aku langsung mengerutkan dahiku. Aku yakin tidak ada hubungannya kepala yang terkena botol dengan demam. Kalau dia menjawab pusing, mungkin aku masih bisa percaya.

"Baguslah kalau kau memang tidak apa-apa."

Aku berniat meninggalkan mereka. Tapi suara Lucas membuatku menghentikan langkah.

"Apa kau tidak pernah dengar nenek Jeno lebih menyeramkan dari ibu tiri? Jeno adalah cucu kesayangan."

Aku tetap diam di tempat. Meskipun aku harus mengakui kalau aku mulai cemas. Berhadapan dengan nenek-nenek yang menyeramkan bukan pilihan yang baik. Tapi aku tidak memiliki ide apapun untuk memulai menyelesaikan masalah ini.

"Jadi?" Aku bertanya dengan nada yang sama sekali tidak ramah.

"Kau hanya perlu membalas pesanku." Balas Jeno sambil tersenyum. Memperlihatkan mata bak bulan sabit yang harus ku akui sangat menawan. Aah... sepertinya aku juga mengatakan hal yang sama tentang Lucas. Apa mungkin kebetulan saja mereka sama-sama memiliki paras rupawan?

"Oke."

Aku langsung menjawab tanpa berpikir. Karena membalas pesan sepertinya lebih baik dari pada berurusan dengan nenek-nenek menyebalkan. Meski aku ingin protes karena tidak ada hubungannya kemarahan neneknya dengan membalas pesan. Tapi kali ini aku akan berbaik hati.

Ya, untuk kali ini saja.

Setelah aku kembali ke kamar, aku benar-benar membalas pesan Jeno. Bukan hanya sekali, bahkan sampai berkali-kali. Beberapa pertanyaannya tentangku benar-benar aku jawab malam ini.

Sepertinya karena rasa bersalahku membuatku merasa baik-baik saja meski berkirim pesan dengan orang asing. Ya, sepertinya.

...

Aku tidak tahu secepat apa waktu berlalu. Karena saat ini langit sudah kembali gelap. Dan sepertinya ibu dan ayah sudah terlelap di kamar mereka. Menyisakan aku yang duduk seorang diri di halaman depan.

Beruntung ada sebuah pohon yang tidak terlalu besar di dekat pagar. Meskipun aku duduk seperti orang bodoh, Jeno tidak akan bisa melihat keberadaanku.

Tunggu! Apa ini artinya aku peduli dengan pandangan Jeno tentangku? Hey, tidak mungkin. Aku bukan orang yang seperti itu. Tentu saja aku tidak akan peduli. Ya, tentu saja seperti itu.

"Ehem."

Terima kasih Tuhan karena kau menciptakanku bukan sebagai orang yang sering berteriak berlebihan. Meski suara tiba-tiba itu benar-benar mengejutkanku, membuatku hanya sekedar menoleh dan menghembuskan nafas.

Mataku sedikit memicing. Sedikit tidak yakin dengan penglihatanku sendiri. Kalau aku tidak salah mengingat, orang yang berdiri di depan pagar rumahku ini bernama Mark Lee. Kalian ingatkan aku pernah mendapat juara kelas? Jadi bisa dipastikan aku bukan orang pelupa apalagi ber-IQ rendah.

"Emm... J-Jaemin-ah... aku ... aku..." Mark tampak begitu gugup. Berulang kali memegangi lehernya dan memandang ke segala arah.

"Kau tahu namaku?" Aku basa-basi.

"Aku Mark Lee yang beberapa hari lalu menelfonmu."

"Ooh." Responku sembari menganggukkan kepala.

"Emm... ini..." Mark mengulurkan tangannya dari balik pagar. Meski aku merasa keheranan, tapi aku tetap berdiri dan berjalan mendekat.

"Apa ini?" Tanyaku tanpa menyambut benda dari tangannya.

"Sebagai salam pertemanan aku membawakanmu roti isi coklat dan beberapa bungkus coklat."

Aku tertawa dalam hati. Tentu saja malam ini terasa sangat indah. Bukan karena kehadiran Mark. Tapi benda yang dibawa Mark. Aku bukan orang yang menilai pertemanan dari benda atau uang. Tapi aku tentu tidak akan menolak saat ada yang membawakan makanan syurga itu.

"Terima kasih. Tapi lain kali kau tidak perlu melakukannya." Aku menerima sekantong plastik berisikan makanan kesukaanku itu. Dan lagi-lagi aku melihat Mark berdiri dengan begitu gugup. Bahkan sejak tadi, Mark sama sekali belum menatap mataku.

Aku tidak tahu Mark yang begitu pemalu, atau wajahku yang menyeramkan. Tapi sepertinya opsi yang terakhir tidak mungkin. Aku ingat ibuku sering mengatakan aku adalah anak yang tampan. Dan tentu saja ibuku berkata jujur.

"Kau mau tetap di sini? Kau tidak mau pulang?" Aku tahu pertanyaanku kejam, tapi ya sudahlah.

"O-Ohh... itu... emm... ya, aku mau pulang. Dan selamat malam Jaemin-ah." Ucapnya sebelum mulai melangkahkan kaki. Dan Mark berulang kali menolehkan kepalanya ke belakang sembari tersenyum yang bisa aku artikan dia sedang malu.

Dia benar-benar aneh. Kalau dia semalu itu, kenapa tetap memaksa diri menelfonku bahkan sampai memberikanku makanan?

...

Mataku terpaksa terbuka saat ponselku bergetar. Dengan mata setengah mengangtuk, aku meraih ponselku dan menggeser layarnya. Ke dua mataku memicing saat menyadari menerima beberapa pesan dari Jeno.

08xx : Selamat pagi Jaemin-ah.

08xx : Kau sudah bangun?

08xx : Apa tidurmu nyenyak?

08xx : Cepatlah bangun dari kasurmu dan bersiap untuk ke sekolah.

Aku langsung menegakkan tubuhku membaca pesan itu. Aku sama sekali tidak tahu apa yang Jeno pikirkan sampai mengirim pesan dengan jarak dua menit.

Apa dia anak gadis yang harus membantu ibunya di dapur sampai bangun sepagi ini? Aku menggerutu dan kembali menarik selimutku. Namun baru beberapa detik memejamkan mata, ponselku kali ini berdering.

Aku berdecak melihat nama Mark tertera di layar. Ternyata dia masih berani menelfon di balik sifat pemalunya itu.

"Hem." Ucapku setelah mengangkat panggilannya.

"Kau sudah bangun? Maaf mengganggumu."

"Ya, kau mengganggu. Matikan saja! Aku masih punya waktu lima belas menit lagi sebelum harus bersiap-siap." Dan tanpa menunggu jawabannya, aku mematikan sambungan secara sepihak. Dan aku tidak peduli meski Mark menilaiku buruk.

Tapi tebakanku salah. Mark justru mengirim sebuah pesan setelah menerima sikap ketusku. Mark memintaku untuk tidak melupakan sarapan.

Aah... sial! Ada apa dengan mereka semua? Kenapa mengangguku bersamaan seperti ini? Aish... aku mengacak rambut kesal. Dan pada akhirnya rasa kantukku benar-benar menghilang karena pengganggu yang harus aku akui tampan.

Setelah bersiap dengan seragam dan menyelesaikan sarapan singkat, aku langsung membuka pintu. Meski aku tahu kali ini terlalu cepat untuk ke sekolah, tapi aku sudah bersiap untuk melangkah keluar. Hingga wujud manusia tidak asing menghentikan langkahku.

"A-Aku... aku hanya kebetulan lewat saja. Aku sama sekali tidak menunggumu. Maksudku aku di sini tidak untuk melihatmu apalagi mengucapkan selamat pagi. Aku hanya lewat saja." Mark berbicara cepat dan tampak gelagapan.

Tanpa sadar, aku menarik ke dua sudut bibirku. Aku tidak bisa tidak tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan terkesan polos.

Dan yang berikutnya, aku mulai mempertanyakan diriku sendiri. Kenapa aku memberikan reaksi dengan sikapnya? Dan kenapa aku harus memperhatikan bagaimana sikapnya?

-TBC-

Terima kasih untuk semua yang sudah fav, follow dan komen. Bagi yang mau baca cerita Markmin atau Nomin lainnya, kalian bisa lihat di wattpad dengan nama yang sama. Veena_na