Namaku adalah Na Jaemin. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Tidak ada yang spesial dari diriku. Aku menganggap semua yang ada pada diriku sangat biasa. Aku bukan anak genius yang selalu menduduki peringkat pertama. Aku juga bukan seseorang yang menghabiskan waktu dengan membaca dan belajar meski aku mengoleksi banyak buku.
Saat teman seusiaku belajar menjelang ujian, aku akan menghabiskan waktuku untuk menulis. Apapun itu. Asalkan apa yang aku pikirkan tertuangkan. Saat aku turun peringkat dari juara satu menjadi peringkat ke tiga, aku hanya mengedikkan bahu tidak acuh.
Dan saat aku kembali menduduki peringkat satu, aku hanya bergumam, "Mungkin keberuntungan."
Aku tidak suka berada di keramaian. Aku tidak suka saat berkumpul dengan banyak teman untuk membahas hal-hal yang menurutku tidak penting. Aku lebih suka duduk di sudut ruangan dan mendengarkan musik. Mencari inspirasi untuk tulisan-tulisan yang hanya pelampiasan hobiku.
Tahun ini adalah tahun pertama memasuki senior high school. Lagi-lagi tidak ada yang istimewa. Aku menjalani semuanya sebagaimana mestinya. Masuk sekolah tepat waktu, dan pulang sekolah tepat saat jemputan menungguku.
Membosankan? Aku tahu itu. Karena aku tidak semangat menjalani kehidupan sekolahku.
Di minggu pertama memasuki sekolah, banyak hal-hal menyenangkan menurut orang tapi membosankan bagiku.
Aku memilih duduk paling belakang. Memperhatikan guru yang menjelaskan panjang lebar di depan sana. Untuk menarik perhatian kami, guru berjenis kelamin laki-laki itu mengajukan satu pertanyaan.
"Yang bisa menjawab, silakan maju ke depan!"
Aku tahu jawaban dari pertanyaan itu. Tapi tidak ada niat untuk berjalan ke depan kelas dan menjawab pertanyaan itu. Hanya duduk dan memandang buku dengan malas, sampai seorang siswa maju dengan penuh percaya diri.
Tepuk tangan terdengar tak lama setelah itu. Sepertinya siswa itu menjawab dengan benar. Dan aku? Aku hanya mendecih malas. Terlalu ke kanakan menurutku.
Aku iri? Tidak sama sekali. Karena aku tidak suka menjadi pusat perhatian. Aku suka seperti ini tanpa dikenali siapapun.
Tapi harapanku tidak bertahan lama. Semuanya buyar saat seseorang melempar sepotong kayu kecil ke arahku. Aku mengangkat sebelah alisku ke arahnya. Dan ia menunjuk bawah meja dengan pergerakan bibir tanpa suara.
'You are my destiny.'
"Huwek." Aku merasa mual detik itu juga. Kalimat memuakkan itu ia tulis di potongan kayu menggunakan pena. Dengan tidak berperasaan, aku meletakkan potongan kayu itu di dekat kakiku. Dan aku tahu anak itu memperhatikannya.
"Ya Tuhan, jangan lagi-lagi. Aku ingin sekolah dengan nyaman." Batinku.
Namun lagi-lagi Tuhan tidak mengabulkan keinginanku. Karena hari berikutnya, seseorang yang juga tidak aku kenal melempar sebuah gulungan kertas padaku.
"Aku menyukaimu."
Seketika, kertas itu aku remat. Andai ada yang memperhatikanku, mereka akan tahu rahangku mengeras saat ini. Bahkan aku tidak berniat melihat ke arahnya. Hanya fokus ke papan tulis yang sama sekali tidak tertulis apapun.
"Jaemin-ah, Yuta memanggilmu." Teman yang duduk di sebelahku membuatku menoleh.
"Yuta? Siapa?" tanyaku tanpa dosa. Karena aku memang tidak mengenal mereka semua. Hanya teman yang duduk di samping kanan dan kiriku yang aku tahu.
"Arah jam tiga." Jawabnya yang membuatku langsung menoleh.
"Mana jawabanmu?" Itu kalimat yang aku tangkap dari pergerakan bibirnya.
"Bodoh." Dan balasanku justru satu kata tidak sopan. Aku tidak peduli penilaian mereka tentangku. Karena aku hanya ingin sekolah dengan nyaman tanpa dikenali banyak orang.
Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk tidak menarik perhatian. Aku tidak ingin dikenali banyak orang. Entah itu teman sekelas, kakak kelas bahkan guru sekalipun.
Aku pernah mendengar orang yang paling dikenali ada dua jenis. Siswa dan terpintar dan terbodoh. Jadi aku mengambil jalan tengah untuk kenyamananku.
Namun entah dosa apa yang aku perbuat, keberuntungan tidak berpihak padaku. Aku yakin tidak pernah belajar. Aku yakin hanya sesekali mengerjakan tugas dari guru. Bahkan aku tidak jarang dihukum karena tugas-tugasku yang buruk. Tapi kali ini, aku ingin merobek hasil ujian semester ini. Aku ingin mengumpat sekuat-kuatnya.
"Selamat Jaemin-ah. Aku tidak menyangka kau bisa mendapat juara dua umum." Aku memaksakan senyumku mendengar kalimat itu. Hasil ujianku justru aku pandangi dengan tatapan kosong.
Aku bukan bermaksud sombong, aku juga tidak bermaksud tidak ingin mensyukuri peringkatku. Tapi aku benar-benar tidak ingin orang lain mengenalku. Bagaimana aku harus mengatakannya? Bahkan aku hampir menangis karena keadaan ini.
Dan benar saja, kesialanku semakin menjadi hari demi hari.
"Kau Na Jaemin yang mendapat peringkat ke dua itu?"
Aku mengangkat kepalaku. Menghentikan kunyahan makanan yang ada di mulutku. Di depanku, berdiri seorang laki-laki yang tersenyum ramah.
"Dia siswa di kelasku? Atau kelas-kelas lainnya?" Aku bertanya dalam hati masih dengan memandangi orang itu. Aku benar-benar tidak mengenali banyak siswa di kelasku.
"Iya, dia Na Jaemin. Bukankah sahabat kami pintar? Tidak banyak siswa luar yang bisa mendapat juara di tahun pertama seperti ini."
Lagi-lagi aku tersenyum dengan terpaksa. Pura-pura fokus pada makanan yang tiba-tiba terasa hambar. Suara mereka yang tidak bisa disebut kecil mengundang perhatian banyak orang. Dan aku benar-benar benci suasana seperti ini.
"Hanya juara dua, tapi kenapa sampai seperti ini? Bisakah aku meminta pada saem untuk menambah digit peringkatku?"
Kalimat itu tersangkut di tenggorokan. Aku tahu mereka akan menilaiku buruk saat tahu apa yang aku simpan. Tapi aku benar-benar muak dengan keadaan seperti ini.
Minggu-minggu berikutnya, aku menjalani sekolahku dengan tidak nyaman. Tidak jarang mereka mengungkapkan rasa tertarik dengan terangan-terangan. Meski ada juga dengan cara kuno yang membuatku merinding.
Bolehkah aku memukul mereka? Bolehkah aku menyadarkan mereka? Dan bolehkah aku membuka mata mereka lebar-lebar? Apa mereka tidak bisa melihat dengan baik siapa aku?
Sekali lagi aku tegaskan, tidak ada yang menarik dari diriku. Semuanya terlalu biasa dan membosankan. Jadi ada apa dengan mereka semua? Apa yang salah dengan mata mereka?
...
"Jaemin-ah lihat sunbae itu! Dia tampan kan? Dia juga sangat pintar. Dan ternyata, dia anak tunggal dari keluarga terpandang. Aku semakin menyukainya. Bagaimana ini?"
Aku mengikuti arah pandang teman sebangkuku. Aku menautkan alis untuk mengenali siapa orang itu. Dan sepertinya aku ingat, dia adalah salah satu siswa yang memberi kata sambutan di hari pertama kami masuk sekolah.
Namanya? Aku benar-benar tidak tahu. Yang aku tahu, dia salah satu senior yang cukup populer. Tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Karena aku memang tidak peduli meski siswa terpopuler sekalipun. Perjalananku di sekolah ini masih panjang. Dan aku harus menjaga semua tindakanku untuk kenyamananku sendiri.
"Jaemin-ah, bisa bicara sebentar?"
Di suatu sore, suara asing menghentikan langkahku. Saat aku memutar tubuhku. Berdiri seorang siswa lebih tinggi dariku dan memandangku dengan senyuman.
"Sunbae memanggilku? Sunbae membutuhkan sesuatu?" Betapapun muaknya aku dengan keadaan ini, tetap kalimat itu yang terlontar. Kali ini aku membenci diriku yang tidak langsung beranjak meninggalkannya. Bukankah aku tidak peduli tentang pendapat orang?
"Bisa minta waktumu sedikit?" Tanyanya santun dan begitu ramah.
"Shit." Aku mengumpat dalam hati. Orang-orang yang belum meninggalkan kelas memandang ke arah kami. Ini yang membuatku benci berada di dekat siswa terkenal.
Ya, dia terkenal. Seorang siswa yang digilai teman sebangkuku.
"Maaf sunbae, tapi aku harus pulang cepat. Jemputanku sudah menunggu di depan."
Aku tidak berbohong untuk kali ini. Karena aku memang benar-benar sudah dijemput di depan sana.
"Bagaimana kalau nomor ponselmu saja?"
Dan umpatan ke dua terlontar lagi di dalam hatiku.
...
"Jaemin-ah, minggu depan kita akan pindah ke Busan."
Jari tanganku yang menari di atas keyboard terhenti. Aku tidak tahu harus senang atau bersedih karena keputusan orang tuaku. Semangat, kecewa, atau marah tidak bisa aku rasakan. Aku hanya menyetujui tanpa bertanya alasan kepindahan kali ini.
Seminggu kemudian, aku benar-benar sudah berada di Busan. Kota ini adalah tempat aku dilahirkan. Tidak ada ekspresi apapun saat melihat rumah di depanku. Aku hanya berpikir rumah ini lebih besar dari rumah yang kami tinggalkan.
Mengenai kenyamanan, aku tidak memikirkannya lagi. Karena selama ini aku hidup dalam ketidak nyamanan. Di mana pun aku berada, yang aku pikirkan bagaimana membuat diriku nyaman. Meski pada akhirnya, hidupku selalu terusik dengan hal yang menurutku menjengkelkan.
"Jaemin-ah, kamarmu sudah disiapkan. Coba lihat kamar nomor dua dari ruang keluarga."
Ibuku sedikit berteriak dari dapur. Aku tidak menjawab sama sekali. Hanya diam dan menuju kamar seperti yang ibu katakan.
Aku terhenti di kamar pertama. Saat aku membukanya, yang ku dapati hanyalah kamar yang diisi bermacam boneka dan mobil-mobilan.
Ah ... aku ingat. Waktu aku kecil, aku pernah menempati rumah ini beberapa tahun. Dan sepertinya, semua mainanku di simpan di kamar ini.
Setelahnya, aku menuju kamar yang ibu sebutkan. Dan lagi-lagi tidak ada yang menarik dari kamarku. Sesaat terlintas kalau aku ingin mengubah warnanya seperti fandom-ku. Aku lupa menjelaskan satu hal, kalau aku ini salah satu fanboy sejati.
Sejauh ini, ayah tidak pernah tidak menuruti keinginanku. Hanya saja, aku jarang menyerukan keinginanku. Aku lebih suka menyimpannya sendiri meski pada akhirnya, akan menyusahkanku.
Seolah tanpa lelah, aku menuju ruang tamu. Duduk di depan jendela menghadap rumah yang terletak di depan rumahku. Tatapanku terhenti pada seorang anak laki-laki yang turun dari motor. Ia tampak terburu-buru dengan handuk di kepalanya. Tanpa sadar, aku tersenyum melihatnya.
Hari-hariku di Busan tidak jauh berbeda dengan di Gangnam. Aku masih sering menghabiskan waktuku untuk menulis. Pergi keluar untuk mengoleksi buku meski tidak tahu kapan akan membacanya.
Dan sekolahku, aku lebih merasa nyaman di sini. Berada di sekolah siswa-siswa unggulan membuatku bisa bernafas lega. Karena yang aku temui hanya siswa-siswa gila belajar yang tidak akan memedulikan urusan orang. Yang mereka tahu bagaimana meningkatkan nilai, mempertahankan nilai, mendapatkan peringkat tertinggi dan semua yang berhubungan dengan kepintaran.
Dan aku? Aku tidak memusingkannya. Meski aku akan berada di urutan terakhir, aku tetap menikmatinya. Aku merasa, inilah hidupku yang sesungguhnya.
Mereka menyebutku anti sosial. Sebenarnya tidak. Dulu aku sangat suka bergaul, bahkan di sekolah, aku adalah siswa paling aktif. Semua perlombaan atau olympiade aku ikuti. Aku tidak peduli menang atau kalah. Yang pasti, aku akan mengikutinya karena aku menyukainya.
Dan teman-teman? Aku memiliki banyak teman. Bahkan tidak terhitung kegilaan apa saja yang kami lakukan bersama. Laki-laki dan wanita berbaur menjadi satu. Kami akan melakukan petualangan yang menurut kami menyenangkan.
Tapi itu dulu. Dan sepertinya sudah sangat lama berlalu.
Aku memiliki kepribadian ganda? Tentu saja tidak. Aku masih sadar dengan apa yang aku lakukan. Hanya saja, aku benar-benar tidak ingin berbaur dengan banyak orang. Aku hanya ingin sendiri.
Asalan tertentu? Entahlah. Aku tidak tahu pasti. Semuanya terjadi begitu saja sejak orang tuaku memandang masa depanku dari satu sisi. Mungkin itu, atau mungkin hal lain? Aku tidak tahu.
Tidak terasa, aku sudah satu bulan berada di Busan. Ibu selalu memintaku keluar dan bermain bersama teman. Tapi aku langsung menolaknya dengan dalih ingin membaca buku.
Aku tidak berbohong, karena setelahnya aku memang membaca bukuku. Hanya membaca satu halaman, juga disebut membaca kan?
Ponselku tiba-tiba saja berdering. Nomor yang tidak dikenal tertera di layar. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangkatnya.
"Siapa?" aku bertanya tanpa basa-basi. Tidak ada manis-manisnya? Biar saja. Aku memang tidak manis. Aku ini tampan.
"A-Aku... itu..."
Aku mengerutkan dahi bingung. Aku merasa tidak pernah mendengar suara laki-laki itu.
"Ya siapa? Kau siapa?" Tanyaku galak.
"Aku... aku... aduh, bagaimana ini? Em ... maksudku."
Tanpa menunggu kalimat lanjutan, aku langsung mematikannya. Benar-benar pengganggu yang menyebalkan. Tapi sepertinya si penelepon tidak jera. Ia kembali menghubungiku meski aku menyambutnya dengan kasar.
"Kalau tidak ada yang kau bicarakan, aku akan mematikannya. Aku hanya bertanya kau siapa dan kau terlalu lama membalasnya." Aku memelankan suaraku di akhir kalimat. Takut ibu mendengar dan menegurku karena suaraku dan kalimatku yang sedikit kasar.
"Mark ... namaku Mark Lee."
"Aku tidak kenal." Ketusku lagi. Dan setelahnya terdengar suara aneh dari seberang sana. Sepertinya orang yang mengaku Mark itu tidak sendiri.
"Kau tidak ingin bekenalan denganku?" Ia bertanya ragu-ragu. Membuatku mendengus dan berdecak sebal.
"Aku mau tidur siang. Jadi jangan ganggu aku." Untuk ke dua kalinya, aku mematikan sambungan itu begitu saja.
"Ya Tuhan, jangan lagi. Aku benar-benar ingin hidup dengan tenang. Biarkan aku tenang di sini." Doaku dalam hati. Dan aku sungguh-sungguh dengan permintaanku ini. Aku berharap seseorang bernama Mark Lee itu tidak pernah hadir dalam hidupku.
...
Malam harinya, aku mendapat pesan dari nomor yang berbeda. Aku tahu itu bukan nomor Mark. Aku menghafalnya? Tentu saja tidak. Tapi aku memang memiliki kebiasaan buruk seperti itu.
08xx : Boleh aku berkenalan denganmu?
08xx : Apa yang sedang kau lakukan?
08xx : Aku Jeno. Rumahku tepat di depan rumahmu.
08xx : Apa aku mengganggumu?
08xx : Aku mendapat nomor ponselmu dari sepupumu.
08xx : Sepertinya aku mengganggu ya? Maafkan aku.
08xx : Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ingin berteman denganmu.
Aku tersenyum membaca beberapa pesan itu. Aku tahu nama anak itu adalah Jeno. Ibu pernah mengatakannya padaku. Tapi aku tidak menyangka anak itu ingin berteman denganku. Karena yang aku tahu, Jeno anak yang ceria dan memiliki banyak teman.
...
Aku menghentikan pergerakan tanganku yang sudah mulai membuka pintu. Karena rumahku dan rumah Jeno memang berhadap-hadapan, membuatku bisa melihat halaman rumahnya dengan leluasa.
Seperti kata ibuku, Jeno adalah anak yang sangat rajin. Meski Jeno adalah anak laki-laki, tapi Jeno tidak malu untuk membantu memasak dan menjemur pakaian. Aku akui dia cukup hebat untuk itu. Karena aku sendiri tidak bisa melakukan pekerjaan rumah dengan baik.
"Lucas hyung, cepat bawa ke sini bolanya."
Ahh... ternyata mereka sedang bermain bola. Anak laki-laki yang dipanggil Lucas berlari mengejar bola yang menggelinding ke jalan. Saat aku mulai keluar dari rumah, aku tahu Lucas melihat ke arahku. Tapi bukan Na Jaemin namanya kalau menyapa dan tersenyum ramah pada orang asing. Bahkan aku ingin tidak tersenyum pada siapapun di dunia ini.
Aku sengaja menutup kepalaku dengan topi hoodie. Berjalan santai seorang diri menuju mini market terdekat. Perutku terasa lapar. Jadi aku harus pergi untuk mencari makanan meski ibu sudah memasak di rumah.
Kalau ibu tahu aku tidak makan siang dengan benar kali ini, ibu pasti akan memarahiku. Tapi aku beruntung karena mereka sedang pergi berkunjung ke rumah sanak saudara. Dan aku? Kalian tidak berpikir aku akan menawarkan diri untuk ikut kan?
Aku langsung menuju rak makanan setibanya di mini market. Mengambil beberapa bungkus roti berisi coklat dan keripik kentang. Untuk menyempurnakan kesendirianku, aku mengambil beberapa minuman dingin rasa buah-buahan. Aku hanya perlu mengambil beberapa dan menghabiskannya hari ini. Tentunya aku harus membuangnya sebelum ibu dan ayah pulang.
Saat tanganku terulur ke lemari pendingin, seseorang yang aku rasa lebih tinggi dariku juga melakukan hal yang sama. Saat aku menoleh, aku mendapati wajah asing yang sebenarnya tidak asing lagi. Karena aku sudah melihatnya beberapa menit yang lalu.
Ya, benar. Orang itu adalah orang yang dipanggil Lucas.
"Ahh... maaf. Kau boleh mengambilnya untukmu."
"Adegan pasaran dalam drama. Bodoh! Dia pikir aku akan mengucapkan terima kasih? Tentu saja benda ini milikku." Dan tentu kalian tahu aku hanya mengucapkannya di dalam hati.
Haah... andai aku lebih kasar dari ini. Pasti tidak akan ada yang berani mempermainkanku.
Tanpa memperdulikan kehadirannya yang memang tidak penting, aku berjalan menuju kasir. Dan aku yakin dia mengikutiku menuju kasir. Bukan karena aku merasa terlalu percaya diri. Karena dia berjalan tepat di belakangku dan aku tentu menyadarinya.
"Kau mau pulangkan? Sepertinya kita satu arah." Ucapnya saat kami sudah berada di luar mini market.
"Shit." Aku mengumpat keras. Ya, sangat keras. Meski hanya dalam hati.
Oh God! Aku mohon jangan lagi. Aku benar-benar tidak ingin siapapun mengganggu hidupku.
Tunggu dulu! Ini artinya sudah ada tiga orang kan yang menjadi pengganggu hidupku? Setelah Mark dan Jeno yang meneror ketenanganku, lalu sekarang Lucas?
Mark, Jeno dan Lucas?
Aku bisa gila setelah ini. Bisakah aku bertemu Tuhan detik ini juga dan mengeluhkan keadaanku? Apa Tuhan tidak mendengar permintaanku selama ini. Sepertinya aku harus berdoa dengan sungguh-sungguh malam ini agar Tuhan menjauhkan mereka dari hidupku. Ya mereka itu adalah Mark, Jeno dan Lucas.
Ya, semoga saja.
-TBC-