Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.

Warning: au, miss typo(s), and other stuffs.


con amore

( ukp; dengan cinta; digunakan sebagai aba-aba dalam musik agar dimainkan dengan lembut )

.


empat

dan di antara senyap gulita
bintang bersembunyi di matamu

"Aku mabuk permen."

Suara pintu mobil ditutup terdengar di belakang Levi. Ia melangkah, menunggu Hanji yang kini berjalan lambat menuju pintu rumahnya—terlampau lambat dengan dalih mabuk permennya itu. Levi mendengkus, mengatensinya yang sempoyongan dan tidak sabar merebut sebelah tangan perempuan itu dan menariknya mendekat untuk berjalan bersama.

"Bodoh."

Levi tahu, Hanji hanya mengantuk. Tidak ada mabuk atau hangover permen seperti yang perempuan itu katakan. Kadar gula hanya memperparah kantuknya, dan desau angin. Sebab Hanji sangat menyukai berkendara dengan jendela mobil dibuka rendah pada malam hari. Hanji yang meminta. "Levi, turunkan kaca," katanya. Dan angin itu datang bagai pukulan telak karena memberatkan kelopak-kelopaknya tanpa ampun.

"Di mana kau taruh kuncimu, mata empat?"

Hanji memejamkan mata di rengkuhan Levi. Menjawab asal. "Di kantung celanaku."

Kening Levi mengerut, langkahnya terhenti. Tepat di depan pintu kayu cokelat itu. Hanji masih di sebelahnya, berdiri tak nyaman dan mata terpejam. Kepalanya bersandar pada Levi, hangat di bahunya. Kemudian tangan Levi terangkat, meninggalkan pinggang Hanji untuk merogoh kantung celana gadis itu. Sesaat, seperti refleks yang tak terencana, tangan itu berhenti.

Hanji memakai celana berbahan denim. Terlalu melekat di permukaannya kulitnya. Kantung itu ada di paha depan celananya. Entah mengapa, Levi merasa tak nyaman.

What the hell is going on.

Ketika pada akhirnya Levi memutuskan merogohnya, ia membiarkan Hanji sedikit menggeliat. Saku celana denim selalu dibuat sesesak itu, dan sedalam itu. Ia meru1tuki mengapa para perempuan sangat menyukai memakai celana terlalu ketat. Termasuk Hanji. Dan hal-hal lain seperti, mereka tetap memasukkan benda ke dalamnya meski itu menambah sesak kantung di celananya.

Tak sampai tiga puluh detik, Levi mendapatkannya. Ia biarkan perasaan aneh di dadanya. Juga rasa hangat yang tertinggal di jemarinya. Besok-besok, ia akan meminta Hanji menduplikasi kunci rumahnya itu.

Pintu terbuka, Levi melangkah bersama Hanji di sebelahnya.

Debum terdengar kencang dan pintu kembali ditutup.

.


Ketika Levi hampir menarik selimut di atas tubuh Hanji, perempuan itu menarik sebelah tangannya.

"Di sini saja," bisik Hanji.

Levi tahu, Hanji tak suka senyap di waktu-waktu setengah terjaganya. Ia akan mematikan lampu, tapi mengeraskan suara televisi, atau, suara radio di ponselnya. Kalau punya lebih banyak waktu, ia akan menelepon Levi, membiarkan mereka tak berkonversasi, dan hanya mendengar suara napas hingga akhirnya Hanji pulas dan sambungan Levi putus. Ia butuh suara, meski hanya hela napas. Dan itu yang membuat Levi akhirnya menurut, mendekat lagi, dan duduk di tepi tempat tidurnya.

Wajah itu tetap mengesalkan, meski sudah hampir terlelap. Garis-garisnya terlalu Levi hafal. Entah karena terlalu sering ia tatap, atau memang memori itu selalu tertanam di pusat otaknya, meski sudah lama ia tak menatap selekat ini. Hanji tak suka berdiam pada satu pusat, maka saat biacara pun, pandangnya akan ke mana-mana, tak terarah, dan membuat Levi sulit menjangkau. Berbeda dengan sekarang ini, yang mana Levi bebas memandangi. Ia tahu Hanji tidak cantik—tidak secantik itu. Tidak seperti perempuan-perempuan yang mendempul bedak di belah-belah pipinya. Tapi, ia tidak perlu itu. Hanji telanjur menarik perhatian siapa pun, hanya dengan matanya.

Refleks, Levi tersadar, dan tangannya bergerak lebih cepat saat menyadari kacamata masih membingkai wajah perempuan itu. Ia lepaskan, ia taruh rapi di meja kecil sebelah tempat tidurnya. Hanji menggeliat, menggumamkan sesuatu yang tak dapat Levi dengar jelas.

Di saat-saat seperti ini, Levi tak mengerti, apa yang harus ia rasakan. Tapi Levi rasa, ini sudah cukup. Hanji sudah pulas. Dan tak ada lagi suara dalam kegelapan yang perlu perempuan itu dengar.

Maka, Levi memutuskan untuk pergi.

Ia bangkit, dan melangkah menuju pintu kamar. Sudah terlalu malam, mungkin Isabel dan Farlan sudah sampai rumah sejak tadi, dan angin-angin malam mulai menusuk-nusuk permukaan kulit, tak ada lagi jendela terbuka. Tak ada lagi angin-angin yang Hanji suka.

Tangannya meraih kenop pintu, membuka pintu kamar itu.

Tapi kemudian, Levi berhenti.

Mungkin, mungkin. Mungkin ini karena Levi juga mengantuk. Atau, karena ia terlalu pusing menghirup aroma manis permen di festival tadi. Mungkin memang benar adanya, mabuk permen itu bisa terjadi. Mungkin kembang gula itu mampu merasuki pemikirannya yang tetiba tak terbaca, tak terarah, bahkan walau ia tidak memakannya.

Atau mungkin, ia hanya denial.

Levi masih merasakan sisa hangat di ujung jemarinya. Garis wajah Hanji yang terlelap. Mata hazelnya yang bersembunyi. Levi melangkah kembali ke tempat tidur, menatap lagi pada wajah itu yang terlelap.

Hanji tidak cantik—memang.

Tapi ia tidak butuh itu untuk membuat tubuhnya kehilangan kontrol akan segala logika yang selama ini dipegangnya.

Yang Levi ingat hanya, ia menunduk, mencari-cari napas Hanji. Merekam figurnya. Mendekatkan lagi wajahnya. Lagi. Dan lagi. Sampai Levi dapat merasakan manis di bibirnya, di atas bibir Hanji.

Ia lumat sekali, dua kali. Kemudian, pergi.

Dalam perjalanan pulang, Levi bertanya-tanya dalam hati, meyakinkan diri.

Bahwa kecupan tadi murni karena kesalahannya mengantuk di jam dua pagi.

.

.

.

tbc


it always feels good to come back here :)