YOU


Kupikir Chanyeol sudah pergi. Ternyata setelah sengaja berlama-lama di kamar mandi dengan harapan lelaki itu bosan menungguku dan akhirnya pulang duluan, dia masih juga kutemui di studioku—duduk di ranjang sambil memeluk gulingku erat-erat.

"Sudah selesai? Kau sudah siap untuk memberitahuku bagaimana kriteria pria idamanmu sekarang?"

Sulit untuk menjelaskan suasananya. Aku tidak tahu apakah Chanyeol masih marah atau tidak, tapi pertanyaannya tadi juga seakan menimbulkan aura ketegangan di antara kami berdua.

"Baekhyuna—" Chanyeol melambai memintaku untuk menghampirinya. Aku masih terpaku di depan pintu kamar mandi, ragu-ragu antara ingin tetap menjaga jarak atau menyambanginya saja. "—kemarilah, aku ingin membicarakan sesuatu padamu, bisakah?"

Butuh setengah menit untuk berpikir sebelum akhirnya aku melangkah pelan-pelan ke arahnya. Chanyeol saat itu sedang duduk di tepian ranjangku. Ketika aku tiba di dekatnya, dia menarik tanganku dan mendudukkanku di ranjang sementara dia sendiri berganti posisi menjadi berdiri di hadapanku. Dia juga mengambil alih handuk kecil yang kesampirkan di pundakku dan mulai menggunakannya untuk mengeringkan rambutku yang masih basah.

"Aku bisa sendiri—"

"Biar aku saja,"

Chanyeol mengeringkan rambutku dengan teliti seakan ingin memastikan tak ada satu helai pun yang masih ada sisa airnya. Gerakan tangannya saat mengusap-usap rambutku pakai handuk benar-benar lembut, dan kuberitahu, Chanyeol adalah orang pertama yang melakukan ini padaku. Ibuku? Ah, aku tidak ingat.

Karena dia berdiri menjulang di depanku, mau tak mau aku sesekali mendongak untuk menatap wajahnya diam-diam. Lelaki yang tak bisa diandalkan sepertiku—pantaskah aku diperlakukan penuh kasih sayang seperti ini oleh pria sesempurna Park Chanyeol? Benarkah ini nyata atau hanya khayalanku saja?

"Mau bicara apa?" Tenggorokanku rasanya kering sekali, untuk memulai pembicaraan saja rasanya sungguh menakutkan karena aku sudah bisa menduga bahwa sesuatu yang akan kami bicarakan sifatnya serius.

"Apa kau sebenarnya menyukai wanita?"

Aku mengedikkan bahu sebagai tanda aku tidak yakin dengan jawabannya. Memang, aku pernah berpikir suatu hari nanti akan menikah dengan perempuan dan punya bayi-bayi lucu—setidaknya itulah yang kulihat selalu terjadi di kehidupan sosial. Tapi setelah mengetahui keadaanku yang berbeda, perempuan mana yang mau menikah dengan laki-laki yang juga punya rahim dan bisa hamil seperti mereka?

Lagipula, seingatku aku belum pernah tertarik pada wanita mana pun seumur hidupku. Di tempat kerja, di jalanan, di mana saja—aku hanya menganggap wanita-wanita itu semuanya cantik namun tidak ada yang pernah membuatku berdebar-debar.

Seperti Chan—oke, seperti ketika Chanyeol membuat jantungku berdebar-debar dengan gilanya.

"Entahlah. Kau sendiri?"

"Aku hanya menyukaimu."

Sial. Chanyeol sialan.

"Kalau begitu, kau adalah—gay?" Chanyeol melanjutkan pertanyaannya lagi. Gay, aku tahu istilah itu. Tapi masalahnya, aku masih belum tahu aku masuk kategori gay atau bukan. Aku juga belum pernah dekat dengan lelaki manapun dan tak punya pengalaman soal itu.

Entahlah. Rasanya Park Chanyeol adalah pengecualian untuk semua hal dalam hidupku.

"Kau sendiri?"

"Aku gay hanya untukmu."

"Yak! Apa-apaan itu?"

"Lalu kriteria pacar idamanmu seperti apa?" Belum selesai aku protes, dia sudah kembali menanyaiku lagi.

"Kau sendiri?"

"Byun Baekhyun. Kriteria pacar idamanku adalah yang seperti Byun Baekhyun."

"Yak~" Aku merebut handuk yang ia pegang sambil cemberut—sebenarnya berpura-pura cemberut padahal aku sedang menahan agar pasukan kupu-kupu dalam perutku tidak berhamburan keluar—"Apa-apaan dengan jawaban seperti itu?"

"Kau yang apa-apaan—" Chanyeol tiba-tiba saja merunduk dan meletakkan kedua tangannya memenjarakanku di tengah-tengah. "—aku mengajukan pertanyaan tapi kau malah balik menanyaiku tanpa menjawabnya dengan jelas. Itu tidak adil, kau tahu?"

Chanyeol menatapku dalam sekali—di saat yang bersama, aku bertanya-tanya kemana perginya lidah berbisa dan tingkah brutalku yang biasanya di saat-saat menegangkan seperti ini pasti akan melancarkan aksinya.

"Habisnya pertanyaanmu susah-susah semua, aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya," ujarku jujur setelah berhasil menguasai diri dari pemandangan bibir penuh Chanyeol yang tadi malam menciumku habis-habisan.

"Bagian mananya yang susah?"

"Semuanya."

"Oh, astaga." Chanyeol menepuk keningnya kemudian beralih duduk di sebelahku. Aku langsung menghela nafas lega karena jujur saja, posisi Chanyeol yang merunduk begitu dekat di depanku tadi telah membuat jantungku seperti mau lepas dari badan.

"Kau ingin aku mengganti pertanyaannya dengan yang lebih mudah kalau begitu?"

Aku mengangguk tapi seketika penyesalan datang. "Seorang wanita cantik dan seksi versus aku, siapa yang kau pilih?"

"Pe-pertanyaan macam apa itu?"

"Tolonglah, jawab saja. Atau begini saja—kau lebih memilih berhubungan intim dengan seorang wanita atau denganku?"

"Yak! Aku tidak mau menjawab!"

Chanyeol terlihat semakin gusar. Aku tidak mengerti kenapa jawaban-jawabanku bahkan penting untuknya. Aku menolak untuk menjawab, tapi Chanyeol melonjak-lonjakkan pantatnya di kasur sambil menarik-narik tanganku gemas, "Jawab~ pwweaaseee!"

"A-aku tidak tahu! Aku belum pernah—"

"Serius? Maksudmu, kau belum pernah melakukan seks?" Mata Chanyeol yang memang sudah bulat itu semakin membesar.

"Memangnya kau sudah pernah?" Aku merasakan pundakku melemas karena membayangkan Chanyeol—ah, dia pasti sudah pernah, kan? Mustahil lelaki seperti dia yang hidupnya dikelilingi banyak orang tidak pernah melakukan hal-hal semacam itu.

Namun Chanyeol malah menggeleng-geleng dengan senyum lebar dan mata berbinar-binar seperti anak anjing lucu, "Aku adalah lelaki kuno yang hidup di jaman modern, kau tahu? Prinsip hidupku adalah aku hanya akan melakukan itu dengan cinta sejatiku setelah menikah dengannya suatu hari nanti."

"Se-serius?"

"Tentu saja! Semua orang menertawai prinsip hidupku tapi aku tak peduli. Mereka bilang aku hanya menyia-nyiakan masa muda untuk mencari satu cinta sejati yang tak pernah ada, padahal seharusnya aku bisa terlibat petualangan cinta satu malam dengan jutaan orang. Namun sekarang aku bisa membuktikan pada mereka kalau cinta sejati itu memang nyata dan mereka salah besar selama ini."

"Memangnya buktinya apa?" tanyaku penasaran.

"Buktinya adalah aku sudah berhasil menemukan Byun Baekhyun kesayanganku yang sedang mendengarkan ceritaku sambil menatap mataku dalam-dalam tanpa berkedip saat ini. Duniaku seperti terfokus padanya. Seluruh hidupku seolah tertuju hanya untuknya. Aku seakan selalu mendamba dirinya di setiap hembus nafasku. Semua inderaku rasanya hanya ingin merespon dirinya di setiap detik yang kupunya. Byun Baekhyun adalah cinta sejati yang membuatku akhirnya mengerti kenapa aku harus lahir ke dunia ini dua puluh tiga tahun yang lalu."

"Yak~apa-apaan itu?" Secara refleks, kupukul pahanya tapi efeknya malah membuat wajahku makin panas.

Entah bagian mana dari kalimatnya yang membuatku terharu, tapi tiba-tiba saja kehangatan membungkus perasaanku hingga tanpa sadar aku tersenyum kecil meski harus kutahan-tahan. Chanyeol juga tampak sedikit salah tingkah, namun dia berhasil menguasai dirinya kembali secepat kedipan mata.

"Ah, sampai dimana aku tadi? Oke, jadi jawabannya, aku masih virgin seratus persen."

Sebenarnya ada berapa ratus ribu hal tentang Chanyeol yang masih tidak kuketahui? Di balik badan tinggi besar dan sifat-sifatnya yang masih kucoba untuk mendalami, ada sosok anak lelaki yang murni dan polos yang membuatku seakan terjatuh ke dalam pesonanya sekaligus ingin mengelus kepalanya dengan sayang, entahlah. Yang pasti, aku senang luar biasa ketika tahu fakta bahwa ia belum pernah melakukan itu dengan siapa pun.

Tapi kenapa aku bahkan harus senang? Memangnya kami akan melakukan—tidak, itu tidak akan mungkin terjadi!

"Jadi, kembali lagi ke pertanyaanku tadi—dengan seorang wanita atau denganku?"

"Bagaimana bisa aku tahu jawabannya? Aku belum pernah sama sekali jadi aku tidak tahu beda keduanya apa," jawabku dengan wajah merah seperti kepiting.

Chanyeol mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik dengan suara berat khasnya itu, "Kalau dengan wanita, kau yang memasuki. Tapi kalau denganku, kau yang dimasuki dan—"

"Cu-cukup!" Aku mendorong dadanya dan melempar handuk basahku ke mukanya. "Kuanggap kita sudah selesai bicara dan ayo segera pergi ke rumah eomma."

Dimasuki dan memasuki apanya? Yang benar saja! Aku bergidik membayangkan kata-kata itu dan belum apa-apa aku sudah merasa ketakutan.

"Baekhyuna~ aku masih belum selesai~"

"Tapi aku sudah. Ayolah, kasihan eomma pasti sudah menunggu kita terlalu lama,"

"Baekhyuna, belum~" Chanyeol merengek sambil memeluk pinggangku manja. "Belum mau selesai~"

"Berhenti menanyaiku atau aku tak akan mau bertemu denganmu lagi besok, besoknya hingga besoknya lagi!"

Dan ternyata, hingga di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Park, Chanyeol benar-benar berhenti menanyaiku—lebih tepatnya merajuk dan tiba-tiba saja mendiamiku seolah aku yang duduk di jok sebelahnya hanyalah angin lalu.

"Chanyeol—" panggilku saat mobilnya berhenti di lampu merah."—kemarin kau bilang kita tidak boleh bertengkar lagi—" protesku karena dia tak kunjung mengatakan apapun hingga sepuluh menit kemudian.

"Kita tidak sedang bertengkar."

"Kalau tidak, lalu yang sekarang ini apa?"

"Aku hanya kesal karena kau tak mau menjawab pertanyaanku."

"Tapi—memangnya jawabanku penting buatmu? Memangnya apa yang kau dapat dari mendengar jawabanku?"

Bruum. Bukannya membalas, Chanyeol malah melajukan mobilnya kencang-kencang begitu lampu berganti dan aku cuma bisa menghela nafas kesal karenanya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana untuk mencairkan suasana. Kalau aku sedang kesal atau marah, maka aku lebih sering mengungkapkan dengan kata-kata—berbeda dengan Chanyeol. Ia tetap diam, hingga aku tak tahan dan memintanya untuk menurunkanku di dekat taman sebelum memasuki jalan yang menuju rumah Chaeyoung.

"Turunkan aku di sini!"

"Kenapa kau mau turun?"

"Karena aku kesal kau mendiamiku, jadi aku ingin turun dan mau menangis saja disana seharian sampai kau tidak marah lagi padaku."

Dan sialnya, Chanyeol mengabulkan keinginan konyolku itu. Rahangku nyaris jatuh ketika ia benar-benar menghentikan mobil di dekat taman, mempersilahkanku turun dan kemudian pergi begitu saja.

Awalnya hanya ancaman, tapi lima menit kemudian aku benar-benar duduk di salah satu kursi taman sambil sibuk mengusap airmata.


Aku sedang memaki-maki Chanyeol dengan seluruh sumpah serapah yang kupunya dalam kepala saat se-cup besar es krim tiba-tiba saja melayang di depan mataku. Maksudku, seseorang menjulurkannya dari belakang dan saat aku menoleh, Chanyeol ada di sana.

"Es krim tiga rasa dengan ukuran paling besar—sengaja kubelikan supaya kau ada tenaga untuk menangis seharian ini."

"..."

Karena aku hanya diam dengan bibir cemberut semaju-majunya, Chanyeol akhirnya berinisiatif untuk berlutut dengan satu kaki di depan kursi taman yang kududuki, membuka tutup cup eskrim dan mengambil yang rasa vanilla satu sendok penuh.

"Makanlah."

"..."

"Baekhyuna—"

"..."

"Ayolah, sebelum esnya mencair—"

"Hiks, kenapa kau kembali? Ku-kupikir kau sudah pergi—" Akhirnya emosiku kembali pecah kembali. Sebelum mengenal Chanyeol, menangis adalah hal yang jarang kulakukan kecuali aku sudah benar-benar tidak tahan lagi. Lagipula, aku tak punya waktu untuk menangis karena aku harus berjuang mempertahankan hidupku yang susahnya sampai mencekik leher.

Tapi setelah mengenal pria ini, rasanya aku ingin terus meneteskan airmata yang selama ini terpendam. Entah kenapa.

Atau mungkin karena kutahu, sekarang aku punya seseorang yang akan memeluk, menenangkan dan menghapuskan airmataku saat aku menangis.

"—kupikir kau betulan mau meninggalkanku di sini—hiks—kupikir kau akan membiarkanku sendirian—ku-kupikir aku akan ditinggalkan lagi seperti dulu Ibu dan Ayah pergi meninggalkanku,"

Chanyeol meraih tanganku yang kupakai untuk mengusap airmata setelah meletakkan es krim yang tadi ia pegang ke tempat kosong di sebelahku. Ia mengecup tanganku penuh perasaan kemudian meletakkannya di pipinya sendiri. "Maafkan aku, ya? Aku hanya ingin memberimu ruang untuk menenangkan diri karena mungkin pertanyaan-pertanyaanku tadi membuatmu kesal."

"Tapi kenapa kemudian kau mendiamiku?"

"Karena kau menyuruhku untuk berhenti menanyaimu dan kau mengancam tak mau bertemu denganku lagi kalau aku masih melakukannya,"

"Aku hanya bilang berhenti menanyaiku, bukan menyuruhmu untuk mendiamiku,"

"Aku hanya tak mau kau merasa semakin kesal. Kau tahulah, aku tak tahan untuk tidak menanyaimu berbagai macam hal. Aku masih ingin mengetahui lebih banyak lagi tentangmu hingga ke bagian-bagian kecil yang mungkin kau sendiri sudah melupakannya. Kau tanya kenapa jawabanmu penting?—itu karena aku tak mau ketinggalan cerita-cerita tentang hidup yang kau lalui sebelum kita bertemu. Apa untuk mengenalmu lebih dalam saja aku masih tidak boleh?"

Aku terdiam dan membiarkan sisa isakanku mendominasi suasana.

"Apa aku tidak boleh?" ulang Chanyeol dengan mata sendu dengan sedikit luka tersirat disana. "Hm?"

"Tentu saja boleh, dasar bodoh!"

Chanyeol tersenyum dan menciumi tanganku yang satunya lagi. "Terima kasih, Baekhyuna. Terima kasih. Dan sekarang, bisakah kau berhenti menangis? Karena kalau kau masih berlinang airmata seperti ini, yang sakit adalah hatiku. Memangnya kau suka melihatku bersedih, hm?" Chanyeol bilang begitu sambil menjulurkan tangan mengusap airmataku meski posisinya masih berlutut seperti tadi.

"Aku tidak bisa berhenti menangis, bagaimana ini?" cicitku. "Aku ma-sih ketakutan karena—ka-rena kupikir aku bakal ditinggalkan lagi—"

"Bagaimana mungkin aku berniat meninggalkanmu sendirian? Aku hanya pergi membeli es krim agar perasaanmu bisa sedikit membaik setelah selesai menangis nanti. Bahkan tokonya hanya berjarak lima menit dari sini."

"Ja-jadi kau tidak benar-benar ingin meninggalkanku?"

"Bahkan dalam mimpi pun tidak. Sst, sudahlah—sayangku ini tidak boleh menangis terus. Berhentilah, oke?"

"Chan-Chanyeol, hiks!" Kelegaan yang kurasakan malah membuat kecengenganku meningkat tajam. Aku merentangkan kedua tangan dan menatapnya penuh harap. Kupikir Chanyeol tidak akan mengerti maksudku, namun nyatanya dia bangkit dari posisi berlutut kemudian merengkuhku dalam pelukan.

"Ugh, kesayangannya Chanyeol ini," gumamnya pelan. "Jangan pernah berpikiran kalau aku akan meninggalkanmu lagi, oke?"


"Mh, tentang pertanyaanmu yang tadi—"

Kami menghabiskan waktu di taman hingga sore hari dan untungnya Chaeyoung malah senang luar biasa ketika Chanyeol bilang kami tidak jadi ke rumah dan mau quality time berdua saja.

"Yang mana?"

"Yang itu—jadi jawabanku adalah, kupikir aku tidak suka perempuan. Dan jika tidak menyukai perempuan bisa dikelompokkan ke dalam gay, maka kemungkinan besar aku juga gay," kataku malu. Aku tak berani melihat Chanyeol jadi kupandangi saja tanganku yang berkeringat.

"Dan untuk pertanyaan yang terakhir, uhm, kupikir aku tak punya kriteria idaman. Maksudku, aku tidak tahu kriteria idamanku yang seperti apa,"

Chanyeol tampak sedikit kecewa meski dua jawaban yang lain membuatnya berbinar-binar.

"Aku tidak tahu kriteria idaman semacam itu karena aku belum pernah berpacaran—kupikir, yang mana saja tidak masalah asal—"

"Asal? Yang seperti Sehun?"

"Bukan~" Aku lagi-lagi secara refleks memukul pahanya.

"Kalau begitu, asal yang seperti apa?"

Sesungguhnya aku berharap bisa mengatakan, "Dah, Chanyeol, selamat tinggal!"—lalu aku kabur terbirit-birit kalau bisa sampai ke ujung dunia sana. Tapi aku akhirnya sadar kalau kebahagiaan tidak bisa diperjuangkan oleh satu pihak saja. Masih mending ada orang yang mau menawarkan hatinya untukku—apa aku punya alasan untuk tidak berbahagia atas itu? Namun kalau aku ingin bahagia, maka aku juga harus ikut berjuang.

Setidaknya berusaha untuk tidak jadi pecundang lagi di saat-saat penting seperti ini.

Mulutku bungkam seribu bahasa tapi telunjukku kuarahkan pada lelaki itu. Selama tiga detik Chanyeol memandangku bingung, kemudian wajahnya kembali pada ekspresi semula—menyebalkan.

"Hei, apa-apaan ini? Apa maksud dari jarimu ini, hm?"

"Ti-tidak ada maksud apa-apa! Lupakan saja!"

"Hei, jelaskan dulu—" Chanyeol menangkap tanganku yang sudah kutarik mundur. "Aku benar-benar tidak tahu, serius! Aku bertanya asal yang seperti apa dan tahu-tahu jarimu menunjukku—apa itu artinya...tipemu itu yang seperti Sehun? Ah, aku tahu! Seperti Paman yang itu, kan?" Chanyeol menggodaku dengan cara menunjuk seorang pria paruh baya yang sedang berjalan melintasi taman sekitar tiga puluh meter di depan kami.

"Bukan~" Aku benar-benar menarik tanganku dan mau pergi dari sana saja saking malunya. Tapi ketika aku baru mencoba berdiri, Chanyeol malah menarik pinggangku hingga aku jatuh terduduk di pangkuannya.

Dia menahan pinggangku begitu kuat, tak mengizinkanku untuk lari dari kenyataan.

"Kalau begitu, yang seperti apa, Baekhyuna? Coba katakan yang jelas, aku mau mendengarnya secara langsung,"

"Le-lepaskan dulu—"

"Tidak akan. Bilang dulu secara jelas baru akan kulepaskan,"

Chanyeol tampaknya menikmati sekali ketersiksaan yang kurasakan ini. Aku duduk di pangkuanya, lebih tepatnya—pantatku menempel dengan ketat di atas selangkangannya. Aku tahu otakku sudah tidak di tempatnya lagi, karena itulah aku yakin sekali kenapa aku bisa tahu kalau ukuran Chanyeol lebih besar ketimbang gembungan celana Sehun. Dia begitu padat dan sekeras batu. Bagaimana rasanya kalau yang Chanyeol katakan di studioku tadi—di bagian yang dimasuki—astaga, tidak bisa kubayangkan! Bisa-bisa aku mati karena dia sebesar ini bahkan saat masih tertutup celana. Apa yang kau pikirkan, Baekhyun Tolol?

"Ngh, Chanyeol, lepaskan—"

"Kalau kau tidak mau menjelaskan, maka aku akan memindahkan posisimu menjadi duduk menghadapku dan kujamin itu lebih menyiksa, kau tahu? Aku juga tersiksa jadi cepatlah jawab," ujarnya dengan suara dalam dan sedikit serak.

"A-asal yang seperti Chanyeol!" Mungkin aku memang mudah diprovokasi, jadinya kupikir lebih baik menjawab saja daripada benar-benar duduk di pangkuan Chanyeol dengan posisi dimana selangkangan kami saling bertemu. Membayangkannya saja sudah membuat keringatku bercucuran di pelipis.

"Apanya yang seperti Chanyeol?"

"Lelaki idamanku—jadi maksudku, le-lelaki idamanku adalah yang seperti Chanyeol—"

"Chanyeol yang mana? Kim Chanyeol? Lee Chanyeol? Do Chanyeol? Hwang Chanyeol?"

"Park Chanyeol," jawabku sepelan mungkin. "Aku hanya ingin Park Chanyeol,"

"Park Chanyeol yang mana? Ada banyak yang Park Chanyeol di dunia ini, kau tahu? Ada Park Chanyeol yang orang Seoul, ada yang orang Bucheon—ada yang—"

Aku memutar badan sedikit, menangkup kedua pipinya kemudian kukecup saja bibirnya secepat kilat. "Park Chanyeol yang kucium ini. Aku hanya mau Park Chanyeol yang baru saja kucium hingga terdiam dan tampak bodoh ini sebagai satu-satunya Park Chanyeol dalam hidupku."

Dan selanjutnya, aku berlari kencang mengelilingi taman menghindari kejarannya yang menurutku persis seperti banteng mabuk itu.

Tidak, airmata yang jatuh di pipiku bukanlah airmata kesedihan. Aku sangat bahagia hingga tanpa sadar seluruh tubuhku ikut berbahagia karenanya. Terutama ketika aku tak sanggup berlari dan Chanyeol berhasil menangkapku—kebahagiaan yang selama ini kupertanyakan keberadaannya akhirnya benar-benar datang mengisi seluruh sel dalam badanku.

"Apa itu artinya kau juga mencintaiku, Baekhyuna? Kita benar-benar sepasang kekasih mulai sekarang?"

"Mh."

"Apa itu artinya iya?"

"Siapa bilang? Tenggorokanku terasa gatal dan aku hanya berdehem untuk membuatnya lega kembali."

Tapi Chanyeol tak peduli dengan alasan tak masuk akalku. Dia menarikku ke dalam mobil yang terparkir tak jauh dari taman kemudian menciumku habis-habisan disana. Tak ada nafsu, aku tahu itu. Kalau memang ciumanku membuatnya bernafsu seperti tadi malam, maka harusnya airmata hangat itu tak kutemui di wajahnya ketika dia melumat bibirku sambil memejamkan mata.

"Biarkan aku menciummu lagi, Baekhyuna."

"Hm, lakukanlah," balasku sambil kembali menyatukan bibir.

Kalau memang perasaan yang kurasakan ini adalah cinta, maka aku tak punya alasan apapun lagi untuk terus lari dan mengingkarinya. Itu membuatku letih—membohongi hatiku sendiri rasanya begitu menguras tenaga hingga aku rasanya mau menyerah saja.

Ya, mungkin aku memang telah jatuh cinta pada lelaki aneh yang memasuki hidupku sekitar sebulan belakangan ini. Meski begitu cepat dan tak pernah kuduga-duga, namun Park Chanyeol pada akhirnya memang berhasil membuatku luluh tak berdaya.

"Jangan tarik lagi ucapanmu sampai kapan pun, oke? Kau adalah satu-satunya dalam hidupku dan aku juga berharap ingin jadi satu-satunya dalam hidupmu,"

Aku tersenyum lalu mengangguk dengan hati berbunga-bunga. "Tapi ada syaratnya—"

"Sebutkan,"

"Aku tidak mau ditinggal sendirian lagi,"

Chanyeol membiarkanku menyelesaikan kalimat. "Tolong jangan tinggalkan aku karena aku tidak pintar berpacaran. Kalau ciumanku masih buruk, tolong ajari aku supaya lebih baik lagi. Jangan bosan padaku karena sifatku yang pemarah dan aku gampang menangis. Dan tolong terima aku apa adanya,"

"Itu saja?"

"Masih banyak—"

"Teruskanlah, jangan khawatir, aku punya sepanjang sisa hidupku untuk mendengarkanmu tanpa merasa bosan sedetik pun," Chanyeol membuka atap mobilnya dan mengambil sekotak penuh cokelat dari kursi belakang mobilnya. Dia bilang aku boleh menghabiskan semua karena memang cokelat-cokelat itu dibeli khusus untukku.

Tanpa terasa, kami menghabiskan nyaris satu jam di dalam mobil untuk saling mengutarakan apa yang ada dalam hati masing-masing, meski itu juga sulit karena aku belum terbiasa bersikap terbuka pada seseorang. Namun itulah hebatnya Chanyeol, dia tidak menghakimiku ketika kuceritakan betapa sulitnya hidupku selama ini. Malah, dia ikut bersedih ketika kuceritakan tentang keluargaku dan ikut tertawa ketika kuceritakan pengalaman-pengalaman bodohku yang memalukan.

"Mulai sekarang, aku ingin kita selalu saling jujur dan terbuka seperti ini, oke?"

"Oke!"

Sepertinya kami punya cara tersendiri untuk membuat janji—kelingking kami akan saling bertautan kemudian Chanyeol akan mencium jari-jariku setelahnya. Ketika aku merasa tak sanggup lagi menghabiskan batang cokelat ke-empat, kami memutuskan untuk pulang.

"Pelankan sedikit! Kenapa kau terburu-buru sekali?" pekikku ngeri ketika Chanyeol menginjak gas lebih kuat.

"Karena aku tak sabar ingin cepat-cepat bertemu Chaeyoung—"

"—dan memintanya untuk segera mengurus pernikahan kita."


Thanks for the voments and support, love ya!

NB:

Di chap sebelumnya aku udah jabarin mreka ini hubungannya cepet banget gitu kelanjutannya. Ketemu sebulanan, pacaran bentar, trus nikah. Nggak kek aku yang masih jomblo hingga mendekati dekade ke tiga. Oke, sekian dan terima kasih^^

Spain, el 20 de Marzo 2019.