immaculate deception.
(1: perfect stranger)
disclaimer: mobile legends: bang bang (c) moonton.
warning(s): ooc. typo/misstypo luput dari deteksi. alternative reality. omegaverse. hint roger/alu, alu/miya (for now).
sinopsis: untuk bertahan hidup di dunia ini, seseorang harus: 1). tak bergantung pada siapapun, 2). menjadi lebih kuat, 3). tidak jatuh cinta—ah, sial…
note: ini omegaverse. mungkin lanjutan dari bagian 13 hatimu, dalam tangan ini. tapi itu ga perlu dibaca untuk paham ini. saya berharap ending ini ga bakal nyebelin, gantung, aneh bin ajaib
note2: saya ga begitu sreg sama cerita yang memuat oc; tapi disini saya bener-bener buntu ide siapa yang kudu saya masukin jadi tokoh sampingan—dan makanya tidak ada nama untuk mereka. seandainya saya kasih nama, mungkin ivan dan elizabeth, ibunya alucard mungkin delilah? idk.
note3: this is a bitch to edit and write but i enjoy it (if u cringy about omegaverse, saran saya jangan baca:)) shoutout to Mooncolaberry dan kalian semua yang lowkey haus akan uke alu;) (do y'all even exist or just me)
.
.
Alucard masih ingat saat ibunya mendekapnya erat—ia baru kembali dari dokter setelah mengalami gejala demam yang disertai dengan mulut kering dan dunia yang seolah-olah berputar di bawah kakinya ketika ia berada di khalayak ramai.
Ibunya membawanya ke tukang sihir sebelum itu—sesuatu tentang kelainan dalam darahnya yang mungkin menjadi penyebab ini. Tetapi tukang sihir itu tak memiliki jawaban pasti—dan ibunya memiliki raut muka yang jauh lebih ketakutan dari sebelumnya. Ada sesuatu yang membuat ibunya memandangnya dengan air muka pucat saat ia menarik-narik lengan bajunya, mengeluh pusing dan ingin muntah.
Sebelum ke dokter ibunya melingkarkan syal di lehernya—ia tak suka, rasanya tak nyaman. Pakaian musim dingin ibunya kenakan untuknya, padahal matahari bersinar terik di langit. Ia terlalu merasa mual hingga tidak peduli pada tubuhnya yang memanas. Ruangan dokter memberikannya perasaan nyaman, mungkin karena aroma steril menusuk hidungnya dan menumpulkan penciumannya.
Ibunya mengecup keningnya, dan membawanya naik ke atas tempat tidurnya. Tak lupa ia menyelimuti Alucard—padahal tubuhnya sudah terasa sangat panas. Ibunya memeluknya semalaman penuh dan Alucard mendengarkan ibunya berusaha menenangkan detakan jantungnya dan menghapus peluh di wajahnya. Hal-hal itu tak membuatnya tenang dan malah membuatnya makin menjadi. Perasaan ingin terus disentuh dan ingin dilimpahi kasih sayang terus menerus meminta lebih.
Alucard mengendus feromon ibunya yang terasa seperti kekhawatiran. Ia menyempatkan diri untuk bertanya padanya di antara tarikan kasar napasnya: "Mengapa mama ketakutan?" dibalas dengan ibunya yang membelai kepalanya dan menyisir rambutnya dengan jemari jenjangnya, tatapannya sayu: "Cepatlah sembuh, anakku sayang."
Malam hari ibunya akan menciumi tengkuknya dan mengusap bahunya, melumurinya dengan saliva saat ia rasa Alucard sudah terlelap.
Tak lama sesudah itu ia terbangun di pagi hari dengan perasaan yang luar biasa rileks. Ibunya memandangnya dengan bangga seolah-olah ia baru saja menaklukkan sesuatu yang luar biasa, lalu membawanya ke kamar mandi dan mencuci tubuhnya yang lengket dan bau.
.
.
Ibunya secara rutin mengingatkannya untuk memakan pil yang berwarna putih itu—rasanya pahit, seperti rumput dan air bekas cuci piring—ia tahu, ia pernah tak sengaja membiarkan pil itu meleleh di mulutnya karena ia tak bisa menelannya meskipun sudah meminum air sebanyak-banyaknya.
Minimal satu kali sehari, untuk meredam instingnya dan tak membuatnya merasa terkejut dengan stimulan yang berlebihan karena inderanya yang menajam setelah hari itu. Ia baru menyadarinya; dirinya yang dulu akan berlari dan bermain bersama dengan teman-temannya, kini ia konstan tak ingin berada di tengah-tengah keramaian. Dirinya yang dulu lebih senang membuat masalah, kini masalah selalu datang mengampirinya.
Alucard memandang dua orang temannya yang duduk didampingi oleh orang tua mereka masing-masing. Ia kenal betul dengan mereka—mereka adalah teman seperjuangannya, sama-sama pembuat onar. Namun kali ini mereka ditemukan bertarung sengit di taman bermain pada waktu istirahat, memukul dan menendang satu sama lain untuk memperebutkan dominasinya.
Ada darah yang mengalir dari hidung temannya yang satu—wajahnya berbinar saat Alucard melangkah masuk ke ruang kepala sekolah. Kepala sekolahnya mengizinkannya untuk duduk di sudut ruangan, dan ia diminta untuk mendengar masalahnya.
"Perlukah saya menghubungi orang tuamu?"
Ia tak paham apa yang sebenarnya terjadi; ia tak ingat melakukan sesuatu yang buruk. "…tentu."
Kemudian mereka mulai berbicara—temannya sesekali melirik Alucard di belakangnya, yang mulai memilin ujung bajunya, tak mendengarkan. Saat orang tua anak itu membuka mulut, temannya yang satu lagi membuang pandangannya, tapi ia tak mengatakan apapun, hanya mendecih dan bergumam sebal, yang didengar oleh ayahnya.
Tak lama ibunya datang mendobrak pintu ruangan. Ia segera melihat situasi, lalu mendatangi anaknya. Tangannya menyentuh pipinya, memastikan kalau ia tidak apa-apa. Ia masih menggunakan pakaian kerjanya sebagai apoteker. Dilihat tak ada apa-apa, ia meluncur ke kepala sekolahnya dan meminta penjelasan. Kepala sekolahnya menghela napas.
"Mereka berdua bertengkar karena anak laki-lakimu, ibu."
Temannya yang lain, tak memiliki nyali yang besar namun niat baiknya terpancar jelas di wajahnya, mulai membuka mulutnya setelah sekian lama diam. "Ia ingin menyakiti Alucard! Aku tidak bisa diam saja dan membiarkannya melakukan itu sesuka yang hatinya inginkan!"
Alucard tetap diam di belakang ruangan. Ibunya menengoknya, namun Alucard pura-pura tak melihat. "A-ah, maaf. Tapi… Alucard belakangan ini sedang melalui beberapa fase yang natural untuk kedewasaannya—"
Ibunya menjelaskan, panjang lebar—orang di ruangan mengerti, namun Alucard tetap tidak mengerti mengapa mereka memandangnya seperti ia adalah manusia paling malang di ruangan. Semua kecuali temannya, yang kini memandangnya seolah ia adalah seonggok daging yang bisa diterkam kapan saja.
Orang tua anak itu segera menamparnya.
Ia mengaduh kesakitan, terjatuh ke ubin dengan keras hingga seluruh ruangan terasa bergetar. Wanita itu menahan tangan suaminya sebelum ia sempat memukulnya lagi. Alucard agak terkejut, tak menduga itu. Ibunya sendiri mengampiri Alucard dan memeluknya, berusaha menenangkan dirinya. Temannya yang satu lagi menutup matanya dan menunduk ketakutan, namun ayahnya mengusap kepalanya dengan bangga; ia melakukan hal yang benar.
Ia tak ingat nama anak itu, tapi yang pasti, setelah hari itu, anak itu selalu bersama-sama dengannya. Ibunya menyaksikan dengan senang, tahu anak laki-lakinya dijaga oleh orang yang tidak bengkok, dan motifnya terlihat jelas dari pancaran matanya.
Suatu hari, saat mereka bermain, anak itu bertanya padanya, tak meliriknya barang sekalipun dari lokomotif kereta yang mengitari rel plastik hadapannya.: "Alu, apakah kau menyayangiku?"
Mungkin Alucard pikir itu hanyalah pertanyaan main-main. "Ya."
"Berapa besar?"
"…cukup."
Mereka diam, kereta mainan itu berdengung.
"Alu… kalau kita sudah besar, kau mau menikah denganku?"
Ia memukul anak itu—pelan, menyembunyikan semburat merah di pipinya.
"Aku akan menjagamu dan membuatmu bahagia." Katanya—janji kosong. Alucard tahu. Ayahnya pernah mengucapkan hal serupa pada ibunya. Kini ibunya selalu nampak kesepian, kadang-kadang menaiki ranjang Alucard dan mengusap tengkuk anak semata wayangnya pelan. Berusaha mengusir kesepian itu, dan membuat anak laki-lakinya senyaman mungkin.
.
.
Ibunya mendorongnya masuk ke dalam lemari pakaian—Alucard melihat darah dan ibunya kini berjalan pincang. Lengan pakaiannya buntung, tangannya tak ada; hanya darah dan robekan yang diakibatkan paksaan dengan—atau apakah itu gigitan? Alucard gemetar, mulai menyadari seberapa buruk situasinya saat melihat ibunya menitikkan air mata.
Ibunya tak pernah menangis.
Di luar rumahnya, orang banyak berteriak, bangunan kayu runtuh, dan ada suara debuman keras yang menghantam jalanan di depan rumahnya. Tawa dan kepakan mengudara, ibunya mendorongnya lebih dalam. "Alu sayang, malaikat kecilku," katanya, nada suaranya tak suka kala lidahnya menggunakan kata malaikat. "jaga dirimu baik-baik untuk—"
"Mama…?"
Ibunya meremas bahunya, kuat. Ia menggigit bibirnya; feromonnya lembut, namun sesuatu menjeritkan kekhawatiran yang luar biasa—tak pernah Alucard cium sebelumnya pada ibunya yang selalu tenang. "Jangan keluar dari sini sampai semuanya berakhir, ya?"
Alucard berusaha sebisa mungkin untuk tak melirik tetes-tetes darah yang berasal dari perut ibunya dan merembes ke pakaiannya. Baunya amis, masih hangat. "Ingat pesan mama bila mama tidak ada untuk menema—"
Tidak… ibunya tidak akan—
Ia menggeleng. Kuat-kuat. "Jangan…."
Wanita itu menyempatkan dirinya untuk tersenyum, berusaha untuk menenangkan anak laki-lakinya padahal ia tahu betul seharusnya ia lebih butuh seseorang untuk menenangkannya dari panik akan kematiannya yang merangkak semakin dekat tapi kini Alucard menangis dan ia juga menangis merasakan Alucard bersedih atas kata-katanya tapi ia tak memiliki jalan alternatif untuk—
Suara laiknya burung melengking dari atas langit. Tarikan napasnya semakin kasar saat ia bilang: "Alu… ketahuilah bahwa papa benar-benar menyayangimu…." Ujarnya, jari-jarinya semakin dingin, membelai pipinya yang basah oleh jejak air mata. "Kau sangat kuat, kebanggaanku… kau adalah kejutan terbaik dan hadiah terindah dalam hidup ini,"
Jangan dulu—Alucard meraih pergelangan tangan ibunya dan menahannya. "Ma… masuk kemari—ayo, masih bisa—apapun di luar sana… kita bisa—mama…?"
Matanya terpejam. Alucard menampar pipi ibunya, kasar—ibunya dengan cepat mengerjapkan matanya dan menutup pintu lemari, lalu menguncinya. Alucard menjerit. "Bila mereka… kolega mama datang dan mencarimu, berteriaklah, ya…? Mereka akan… membantu…."
Ibunya tak bersuara, dan Alucard menjerit, mengundang iblis di luar sana untuk mendekat, menginginkan pertumpahan darah lagi.
Tapi saat mereka melihat seorang wanita duduk di atas genangan darahnya, mengalangi pintu sebuah lemari pakaian, mereka bersorak riuh, katanya: jalang murahan itu telah mati.
Mereka membawa Alucard pergi hidup-hidup saat mencium darahnya yang lezat seperti manusia, dengan sentuhan eksotis seperti sesuatu yang tercium layaknya salah satu bagian dari mereka, menambah nilai pikatnya.
.
.
Ia merasa pusing—kadang-kadang, bila mereka baik hati, mereka memberikannya makanan bersih dan membiarkannya tidur dengan tenang. Bila tidak, mereka akan mengisap darahnya hingga ia tertunduk lesu di sisi sel, menunggu makanan yang bisa ia makan. Bila ia tak mau makan, mereka akan memaksanya.
Kepalanya selalu terasa berputar-putar dalam hari baik, bila keadaan lebih buruk, ia merasa kepalanya ingin meledak. Banyak monster yang datang, menyayat kulitnya dan menyesap darahnya. Ada juga yang langsung menggigit kulitnya dan meminum langsung—ia tak ingin mengingat itu.
Hari ini ia merasa kurang baik—mungkin karena ia tak meminum pil putih itu yang selalu ibunya berikan secara rutin di pagi hari. Tubuhnya terasa gerah. Ia mengingat apa yang ibunya katakan—dan sebisa mungkin tak berteriak meminta apapun dari mereka, karena ia tahu mereka akan memaksanya melakukan apa yang tak ia inginkan.
"Oh, apa yang terjadi padamu, makhluk kecil yang malang?"
Alucard mengertakkan giginya.
"Hmm, kau… ah, apakah ini musim kawin-mu?"
Ia menggeleng, tapi gelagatnya mengkhianati apa yang ia sampaikan. Monster itu terkekeh, ia mendekat. Alucard segera mundur melihat kilatan mata monster itu. Cakarnya meraih lutut Alucard, yang berusaha sebisa mungkin untuk menendang wajahnya. "Jangan melawan; kau akan menyukainya, cepat atau lambat."
Setelah itu ia menjerit sejadi-jadinya, tak ingin disentuh—merasa sangat kotor—monster itu menahannya di tempat, ia terus meronta. Suara ibunya berpesan di kepalanya: jangan biarkan siapapun memanfaatkanmu saat dirimu berada dalam situasi paling sulit sekalipun.
Namun monster itu berhenti bergerak, lalu tubuhnya ditendang begitu saja ke samping. Alucard bersyukur, hingga ia menyadari, mungkin monster itu disingkirkan karena sesuatu juga mencium feromonnya—
"Hei, kau baik-baik saja?"
Saliva di bibirnya ia telan, napasnya tercekat. Sosok manusia berdiri di hadapannya, ada sebilah pedang di pinggangnya, tapi yang ia gunakan adalah pistol, bau mesiu tercium, ada asap yang mengepul dari moncongnya. Pria itu menunggu responnya, ia menghela napas. Saat itulah ia mendengus dan menutupi penciumannya. "Maafkan pertanyaanku. Aku tidak tahu kau… maksudnya, ibumu bilang, tapi aku tidak—ahh, lupakan. Maafkan aku; aku terlambat dua, tiga bulan? Tapi sekarang semuanya akan baik-baik saja. Kami akan melindungimu. Alucard, kan?"
Ia mengangguk perlahan.
"Kau sama persis seperti ibumu—ah, mungkin ayahmu juga. Tua Bangka itu malah mewariskan rambut ubanannya padamu, heh. Tidak ada manis-manisnya."
Pria tersebut menggendongnya keluar dari sel, Alucard mengendus tengkuk pria itu, menenangkan dirinya dengan mengirup feromon tajam miliknya.
"…terima kasih…" Bisiknya sebelum ia menutup mata.
"…sama-sama, nak."
.
.
Ia terbangun di ranjang besar dengan aroma jeruk, dan aroma familiar lain menempel di sana, milik pria yang mengangkutnya keluar dari neraka tempatnya ditahan. Seorang gadis berdiri di samping ranjangnya, ia tersenyum sumringah saat Alucard memosisikan dirinya untuk duduk. "Sudah baikan?"
Sebenarnya ia masih merasa sangat pusing dan sakit kepala, tapi ia mengangguk. Gadis itu tersenyum lebar, lalu memberikannya segelas susu. "Ada suatu hal yang kau ingin makan? Aku bisa membuatkan apapun untukmu."
Pikirannya memikirkan masakan ibunya. Ia terakhir memakan sup jamur yang sudah dingin karena ia pulang terlalu larut dari rumah temannya. Ia bangun kesiangan hari itu, dikejutkan dengan ibunya yang mendorongnya masuk ke dalam lemari. Semuanya berubah menjadi neraka.
Ia menggeleng.
Gadis itu bersenandung. "Kau yakin?"
Ia mengangguk. "Benar kok."
"Mhm. Baiklah kalau begitu. Aku pergi—jangan terlalu memaksakan diri, ya! Dokter memberikanmu obat dan kau harus rutin meminumnya," gadis itu mendekatkan wajahnya pada Alucard, berbisik: "Dan tenang saja, kau tidak sendirian—kita akan baik-baik saja disi—aaugh!"
Gadis itu diangkat dengan satu tangan oleh pria yang menyelamatkannya, ia mengaduh kesakitan, dan terjerembab ke lantai dengan tawa keras. "Ih, jangan ganggu dong! Aku kan sedang membicarakan hal sensitif dengan Alucard—rahasia kami sesama ome—"
"Tolong, jangan ganggu dia dulu."
"Tenang! Aku sudah bilang padanya kau tidak akan menggigit, walaupun wajahmu seperti anjing galak."
Mereka bersilat lidah setelah itu dan hingga gadis itu pergi—ia melambaikan tangannya pada Alucard.
Pria itu memijit keningnya. "Mengapa aku menjadikan anak itu tangan kananku, aku tak tahu. Mungkin aku mabuk hari itu." Gumamnya. Ia memejamkan matanya dan kini memandang Alucard dengan tatapan halus. "Bagaimana perasaanmu?"
Sejujurnya ia merasa seperti sampah.
Ia merindukan mama, dan rumahnya.
"Baik." Katanya. Bohong. Pria itu melekatkan pandangannya pada Alucard. "Terima kasih."
Tangannya meraih Alucard dan mengusap puncak kepalanya. "Jangan terlalu dipikirkan—aku sangat senang dapat membantumu."
.
.
Setelah itu ia beradaptasi.
Ibunya dahulu adalah seorang pemburu iblis legendaris—fotonya terpajang di ruang pertemuan, bersanding dengan ayahnya, surai putih panjang yang lebih nampak berwarna perak. Matanya berkilat merah; mungkin karena ayahnya bukan manusia—pria itu bilang, ayahnya bukan manusia. Ia jatuh cinta pada ibunya saat ibunya dikirim untuk membunuhnya.
Setelah itu adalah perjalanan panjang; ibunya berhasil dikalahkan dengan mudah olehnya—namun ia tetap bersikukuh untuk melawannya seorang diri. Menjadi lebih kuat, sampai suatu saat iblis itu menyukai tekad membara di mata wanita muda itu. Mereka bertarung dengan sengit—saat didatangi oleh rekan pemburunya, keduanya sudah terkapar babak belur. Mereka memutuskan untuk menanggalkan seluruh alat pembantu mereka dan bertarung dengan tangan kosong.
Mereka berdua tertawa, katanya. Tertawa sejadi-jadinya layaknya maniak. Banyak yang mengira ibunya menjadi gila karena pengaruh iblis itu, tapi kemudian mereka sadar wanita itu baik-baik saja; ia hanya terlahir sinting saat menggandeng tangannya dengan iblis itu, dan mengecup luka-luka hasil jotosannya.
Konyol, katanya saat ia menceritakan ini semua, matanya terpaku pada potret ibunya yang masih sangat belia, cantik—iris birunya memandang lautan di dalam jiwanya. Iblis macam apa ayahmu itu? Bodoh. Pria itu nampak kecewa, marah, sedih—mungkin ia merasakan penolakan, kegagalan untuk meminang pujaan hatinya sejak pertama bersua.
Alucard bilang padanya, ia ingin menjadi lebih kuat. Menjadi sama seperti ibunya.
Pria itu tersenyum—kau sudah cukup kuat.
Pria itu tak bisa menahan patah hatinya saat menyaksikan mayat kaku wanita yang ia cinta sejak zaman dahulu kala. Alucard sudah berdiri dengan kedua kakinya, terlahir kembali dengan determinasi dan semangat hidup yang baru.
Sudah cukup kuat.
.
.
Bila malam terlalu dingin, ia menanggalkan pakaiannya—bila terlalu panas, ia mengenakan jaketnya.
Dalam misi pun demikian. Ia beradaptasi—belajar untuk memahami tubuhnya. Tak ingin menjadi sosok lemah yang selalu butuh untuk diawasi dan disuapi terus menerus. Bila terlalu dingin, ia akan sengaja membuat tubuhnya menggigil sampai ke tulang-tulang. Bila terlalu panas, ia akan meyakinkan tubuhnya ini bukan waktu yang tepat untuk menyerahkan diri pada insting naluriahnya.
Ia makan jauh di bawah porsi normal, bila dirasa masa birahinya sudah dekat. Ia akan dengan sengaja berlari hingga kakinya terasa gemetaran, hingga napasnya tersengal seolah baru saja lari marathon mengelilingi Nost Gal tanpa berhenti—dalihnya untuk meningkatkan staminanya; ada benarnya, namun bukan itu alasan utamanya.
Sejak melakukan kebiasaan itu, ia jarang merasakan perasaan yang sama seperti biasa tiap tiga bulan sekali. Ia menyembunyikan jati dirinya dengan cerdik—hampir seluruh orang yang menemuinya tak mengetahui dinamikanya, kecuali segelintir orang yang tak begitu peduli—asalkan ia nyaman dan pekerjaannya selesai dengan cepat tanpa mengundang masalah, tak masalah.
Ia sudah kenal betul iklim di Nost Gal, tapi di tempat lain—mungkin itu adalah sebuah tantangan pertama bila ia ingin menapaki dunia lain di luar tebing es dan perairan kristal ini.
"Alu ingin pergi?" gadis itu—kini sudah bertumbuh menjadi dewasa—bertanya, air mukanya kesal, bibirnya merengut. "Meninggalkanku dengan om-om ini—"
Pria itu menekan kepalanya untuk menunduk, kedutan nampak jelas di dahinya, ia tersenyum dengan aura gelap mengitarinya, siap membunuh gadis itu. "Kau tak berhak memanggilku om-om sedangkan dandananmu sama menornya seperti wanita-wanita brothel, tante girang."
"Hue. Tapi bukankah kau suka pergi ke brothel—ah, tunggu dulu, apakah itu artinya kau menyukaiku?"
"Tiiiidak. Aaaargh! Bisa gila aku berbicara dengannya—Alucard, jangan pergi, temani aku, nak—kita bisa menjadi keluarga bahagia disini, aku, anak laki-lakiku tersayang, dan chihuahua berisik yang hobi berdandan seperti—AAAAAH SAKIIIIT—"
Alucard tersenyum, hal ini tak berubah, meskipun sudah beberapa tahun berlalu. Ia menggeleng. "Maaf, pak tua, meskipun aku sangat, sangat mencintaimu, aku harus pergi." Katanya—keduanya mengerang kecewa. Gadis itu tersenyum tak rela.
"Oh, sebelum itu, aku mau kau membawa ini."
Pria itu menyerahkan padanya pedang yang sudah ada sejak mereka bertemu. Alucard meraih gagangnya dan merasakannya di pegangan tangannya. "Aku tak pernah menggunakannya. Aku lebih menyukai senjata api—gunakan itu selalu dan ingatlah kami disini, ya?" untuk melindungi dirimu.
"Sentimental." Alucard menerimanya dengan senang hati.
"Dariku, hmm… ini, bagaimana? Kau menyukainya?" gadis itu menyerahkan emblem yang… familiar….
(Alucard pernah diminta untuk membantu di ruang sita untuk mengelompokkan barang-barang yang telah berada di sana lebih dari 10 tahun, untuk kemudian dibuang atau dikembalikan. Gadis itu menunjukkan emblem petarung lama yang dahulu dimiliki oleh mereka yang memiliki gelar dalam komunitas pemburu—mungkin gadis itu tahu Alucard diam-diam menyukainya.)
"…Kau mencuri ini, ya?"
"Buu, enak saja. Aku membuatnya tahu."
Mereka berdua memicingkan mata dan menatap gadis itu dengan kosong, menunggu kelanjutannya—pengakuan. Gadis itu tak pernah tahan terhadap tekanan. "Eurgh baiklah aku meminjamnya. Puas. Aku akan mengembalikannya kembali ke ruang sita saat Alucard kembali—jadi… jangan lupakan tempat ini, oke? Kembalilah bila apapun itu urusanmu selesai."
Ia mengangguk, dan mengundang mereka bersatu dalam pelukan besar.
"Aku akan sangat merindukanmu—carilah alpha yang lebih tampan dan berani dibanding orang tua pembangkang ini."
Gadis itu disikut. "Aula, sehabis ini. Aku akan menghajarmu habis-habisan di depan para rekrut baru."
"Aih, papi marah—"
Sebelum ia pergi, ia berbalik sebentar dan melihat gadis itu; iris birunya dan surai panjangnya mengingatkan Alucard pada ibunya. Ia akan merindukan mereka.
.
.
Alucard pikir akan mudah.
Ternyata tidak semudah yang ia pikirkan. Di perjalanan ia bertemu dengan seorang gadis dengan sabit raksasa yang berkelana untuk membalaskan kematian kakek dan neneknya. Gadis itu terasa seperti sudah kehilangan kewarasannya—matanya kadang-kadang membulat tanpa sebab yang jelas, ia kadang menjerit, tertawa, atau menangis—tapi itu hanyalah episode; anak perempuan itu aslinya jauh lebih pemalu, suaranya halus dan ia selalu gugup saat diajak berbicara.
Mereka berkenala bersama-sama; Alucard tidak tahu gender kedua gadis itu, jadi tiap malam ia berusaha untuk tidak benar-benar tertidur, takut-takut kalau diserang oleh gadis manis yang ternyata seorang alpha. Tapi gadis itu tak memiliki keagresifan yang seharusnya menonjol dari mereka.
Ia menghela napas, kembali ke momennya.
"A-anu… Alucard… mungkin kita akan berpisah di sini …?"
Gadis itu memulai percakapan di sebuah pelabuhan. Orang-orang yang berlalu-lalang melihat pakaian mereka dengan heran—terlebih sabit mengerikan itu. "Aku ingin kembali ke rumah dan mengabari pamanku."
"Kau tidak keberatan aku ikut?"
"Tent—eh?"
Wajahnya bersemu merah. "Ta-tapi kau kan harus mencari—!" Alucard tahu gadis itu masih sungkan, tapi Alucard menganggap hubungan mereka sudah cukup dekat. Ia tak ingin terjadi sesuatu pada Ruby. Ah, mungkin ia mulai protektif pada orang yang ia suka. Ia mulai meracau, tapi Alucard membungkamnya, menghapus kesungkanannya.
"Ayo."
.
.
Gawat.
Ia salah perhitungan.
Ruby tertidur di kamarnya, kini Roger mengendusnya sembunyi-sembunyi—terlalu banyak alkohol dalam sistem, Alucard bahkan tak menyadari kalau sudah waktunya ia masuk siklus terkutuk itu. Ia menurunkan gelasnya, lalu berusaha untuk berdiri tegak—sesuatu yang dihentikan oleh Roger.
Ia menoleh dan bertemu pandang dengan Roger yang menatapnya intensif. "Roger… kau—"
"Dengar dulu sebelum kau bicara, aku akan menjelaskan." Katanya. "Aku tahu apa terjadi padamu." Tangannya meraih bahu Alucard dan menahannya saat wajahnya ia dekatkan ke lehernya, mencium samar-samar aroma manis yang mulai diproduksi tubuh omega di dekatnya. "Kalau kau keluar dari sini, mereka bisa menculikmu dan menja—"
"Aku tak akan keluar… berikan aku ruangan, beberapa hari."
"Aku bisa membantumu—"
Alucard menghajarnya, keras. Pria itu terjatuh ke lantai dan Alucard berjalan menjauh darinya, pakaiannya ia eratkan pada tubuhnya. Ia tak membutuhkan ini. Ia bersumpah akan membunuh Roger kalau pria itu berani menyentuhnya. Ruby mungkin bisa menyadarkan pamannya—
Roger mengangkat tangannya, yang lainnya mengusap bekas pukulan Alucard yang meninggalkan bekas merah di pipinya. "Bukan seperti itu—maksudku, aku akan menemanimu, tanpa melakukan seks. Hanya… membiarkanmu mendekat. Aku tak akan memerkosamu saat kau lengah atau apapun itu."
Ia bingung—tapi kemudian Roger meyakinkannya: "Kau bisa memenggal kepalaku bila aku melakukan sesuatu yang tak kau inginkan; aku bukan orang yang seperti itu."
Akhirnya, setelah berdebat sekian lama dalam pikirannya, ia naik ke ranjang Roger, ragu-ragu, pedangnya ia baringkan tepat di sisi tubuhnya. Ia membiarkan Roger mengecupnya bibirnya, menyentuhnya dan mengusap kepalanya, membisikkan kata-kata manis yang memuaskan instingnya—apapun itu untuk menenangkan nafsunya yang memuncah ini.
Ini adalah pertama kalinya Alucard melalui ini dengan orang asing; sebelumnya pria itu selalu membantunya dengan kasih sayang yang serupa dengan ibunya, atau gadis itu—yang tahu persis seberapa menyusahkan siklus ini.
.
.
Beberapa hari kemudian ia terbangun dengan wajah Ruby yang berada dekat dengan wajahnya.
"A-ah, pagi, Alucard. Aku… tidak mengganggumu, kan?"
Ia mengangguk pada Ruby. Wajah gadis itu bersemu merah—entah apa yang ada di pikirannya. Alucard meregangkan tubuhnya—pikirannya masih berkutat pada Roger dan apa yang mereka lakukan tadi malam—ia menyentuh tengkuknya dan merasakan lengket, serta pegal. Ada jejak kemerahan di bahunya yang turun sampai ke tangannya—namun tak cukup untuk mengoyak kulitnya.
Ah, keparat kau Roger. Sudah dibilang jangan sampai berbekas.
Ruby menuntunnya ke ruang makan, ia masih linglung, tak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi beberapa hari belakangan. Ia benar-benar bodoh, mengiyakan ajakan orang yang bahkan belum satu hari ia kenal. Di sisi yang berlawanan dengannya, pria itu tersenyum pada Alucard. "Ingin kopi atau teh?"
Masih agak canggung, ia membalas: "Yang mana saja, kurasa." ia menyendok masuk makanannya; roti bakar dengan selai kacang dan taburan gula di atasnya—Ruby memakannya dengan lahap sedangkan Roger nampak tak menyukainya, namun ia hanya bisa pasrah.
"Hei, kau… memiliki pemasukan untuk menunjuang dirimu?"
"Pekerjaan, maksudmu?"
Pemburu itu mengangguk. Gadis di sampingnya meliriknya sesekali, menanti jawaban seraya mengunyah potongan roti terakhirnya. "Aku… sempat bekerja sebagai pemburu iblis. Mereka tak membayarku untuk sementara sampai aku kembali."
Mata gadis itu berbinar, ide mengampirinya. Ia membisikkan sesuatu pada Roger.
"Kau mau membantuku? Berburu serigala, atau melakukan pekerjaan fisik seperti apapun. Aku akan membayarmu."
.
.
Mereka bertemu dengan pemanah rembulan itu suatu hari, saat Roger mengendus udara dan merasakan bau serigala di sekitar perimeter hutan. Matanya berkilat mengancam di atas remangnya bulan, sesaat mata mereka bertemu dan Alucard pikir betapa indah surai peraknya itu, membingkai wajahnya yang sempurna dengan bola mata indigo cerah menghiasinya. Ia teringat ayahnya dalam surai perak itu.
"Elf." Roger mendesis, sesuatu terasa genting. Wanita itu turun dari atas pohon dan busurnya terangkat, panahannya siap melesat, tanpa meleset.
"Penyusup," nada bicaranya tegas, tapi terasa tidak biasa. Ia mendesis. "manusia, pula."
Alucard melangkah mundur, berusaha meraih Ruby untuk melindungi gadis itu yang napasnya mulai tak beraturan, panik—namun seseorang telah berdiri di belakangnya tanpa ia sadari, mengunci kedua tangannya dan mata pisau yang ditempel di lehernya membuatnya tak mampu berkutik. Ia menoleh sedikit untuk melihat, siapa—
"Diam, jangan banyak tingkah. Gerakan mencurigakan maka ia akan memanah kepalamu."
Ia telah diperingati oleh orang yang kini menarik napas dalam untuk menghirup sebanyak mungkin feromon yang diproduksi tubuhnya—Alucard merasakannya, adalah masalahnya. Seharusnya orang itu tahu untuk tidak melakukan hal seperti itu—tidak sopan. Jantungnya berdebar dengan keinginan untuk mengayunkan pedangnya dan menghabisi orang ini.
Kakinya ia angkat untuk menginjak lawannya, berharap menemukan celah untuk memutarbalikkan keadaan. Ia tak sempat melakukan apa yang ia pikirkan sebelum panah wanita tersebut melesat melewati kepalanya. Wajahnya pelan-pelan ia angkat, bertemu pandang dengan wanita elf itu yang rahangnya mengeras.
"Berhenti melakukan itu; lepaskan dia."
Orang di belakangnya menggeram, tapi ia pelan-pelan melepas—Alucard segera mendekati Ruby dan memeluknya. Gadis itu mulai terkekeh pelan dengan bola mata menyempit, terselip kembali ke dalam salah satu episode-nya. Tangannya mengusap surai pirang milik gadis tersebut, berusaha menenangkannya dengan membiarkan gadis itu menghirup dirinya.
Roger melirik anak gadis dan rekan kerjanya. "Kami tidak memiliki maksud jahat."
"Mereka semua juga mengatakan demikian—mereka semua juga membunuh saudara-saudaraku." Balasnya. Orang yang semula menahannya ia lihat dengan jelas kali ini—rambut cokelat yang diikat tinggi seperti ekor kuda, kulit pucat dengan tatapan tegas. Alucard diam-diam mengedus udara dan mencium samar aroma buah sitrun yang teralangi kecutnya aroma darah dan karat.
Ia mendengus tak senang.
Pria itu meliriknya tajam, seolah menyadari apa yang ia ketahui. Alucard menenangkan Ruby yang kini terisak sambil terus-terusan menggumamkan hentikanhentikanhentikan—
Mereka digiring masuk jauh ke dalam hutan untuk menghadap sang Raja.
.
.
Wanita itu sebenarnya adalah wanita yang lemah lembut.
Jiwa yang altruistik. Ia lebih mencintai bangsanya ketimbang dirinya sendiri. Saat Estes yakin mereka bukanlah orang jahat, wanita itu—yang diketahui bernama Miya—tersenyum lega, dan berlari memeluk gadis yang sedari tadi tak berhenti gemetar di sekujur tubuhnya. "Maaf, kami harus memastikan; kami tak bermaksud menakutimu."
Ruby memeluk balik wanita itu, dan Miya memandang mereka. "Kami membutuhkan pasukan untuk mencapai tujuan kami; mengusir para penjajah yang menodai kesucian tanah kelahiran kami." Ucapnya, ada benih harapan yang dicurahkan di tiap kata yang dilontarkan wanita elf itu. "Aku berkelana mencari, namun hasilnya nihil—dan saudara-saudaraku lebih membutuhkanku di sini."
Roger menghela napas. Alucard menoleh padanya. Mata mereka bertemu, dan Alucard tahu jawaban atas permintaan Miya adalah tidak dari Roger. "Alucard, aku sungguh-sungguh tidak bisa—"
"Tapi aku bisa," sanggahnya. Ia tahu Roger tak bisa diam di satu tempat—ia harus pergi berburu; ada sesuatu yang menyebabkan tubuhnya bergejolak dengan darah manusia-serigala, dan ia menginginkan jawaban. Air muka Miya menjadi gembira saat Alucard mengampirinya, tangannya terulur dan disambut dengan antusias. "Aku akan bantu kalian."
.
.
Miya mengarahkannya pada suatu kemah yang lokasinya berada dekat dengan sungai, di luar daratan Emerald Woodland. Meskipun ia bilang ia akan membantu, beberapa elf belia masih skeptis akan penawarannya. Alucard tak menyalahkan mereka—mereka sudah berperang sangat lama dengan manusia dan orc, wajar bila ragu—apalagi karena Alucard adalah manusia.
Wanita tersebut mengesturkan tempatnya; ada sebuah api unggun yang menyala, asapnya mengepul sampai ke langit. Di atas pohon ada beberapa pakaian yang masih menetes airnya. Ia mendesah. "Aku lupa bilang, Zilong juga disini, jadi… kuharap kalian akur." Wanita itu mengucapkan dengan penyesalan, membuat Alucard bertanya-tanya.
"Ah. Aku jadi ingin menyelinapkanmu kembali ke kuil—tidak maukah kau tidur di kuil saja?" tanyanya. "Lebih nyaman, dan bila kami membutuhkan tenaga ekstra, mungkin kau bisa selalu siap membantu."
"Kalau aku kembali, mereka mungkin tak bisa tidur nanti." Mereka takut Alucard akan menumpahkan darah raja mereka. Ia juga tahu ada elf muda-mudi yang mengikuti dirinya dan Miya sedaritadi, mungkin takut kalau-kalau ia benar-benar akan membunuh titisan suci dari dewa bulan yang ditakdirkan itu.
Ia dipandang dengan ragu. "Kau yakin?"
Anggukan adalah jawabannya. Miya tersenyum miring, setengah hati. "Kalau ada apa-apa… kau bisa menemukanku di kuil, ya? Jangan sungkan."
Setelah itu Miya pergi, dan Alucard tak lagi merasakan elf yang bersembunyi di balik bayangan. Ia mendongakkan kepalanya, langit di sini nampak sangat cerah dan panas, berbeda dengan Nost Gal—meskipun matahari terik di atas kepalanya, suhu udara tetap dingin. Meskipun bulan bersinar terang di langit, malam sangatlah suram. Dingin.
Ada badai salju setiap beberapa minggu sekali.
Alucard merindukan suasana di kafetaria—orang-orang berkumpul, kenal dekat atau tidak kenal sama sekali, duduk bersebelahan dengan sangat dekat untuk menyatukan suhu tubuh mereka. Permainan poker dan adu panco di atas meja, serta bau cerutu dan mesiu yang mendominasi ruangan.
Ia menggelengkan kepalanya. Sekarang bukan waktunya untuk nostalgia. Ia masih memiliki hal yang ingin ia lakukan.
Ia tak memasuki gua yang nampak hangat itu; ia melepaskan mantelnya, bersandar pada pohon besar yang letaknya jauh dari api unggun. Pedangnya ia letakkan di sampingnya, lalu ia memejamkan matanya, berusaha untuk tidur dalam suhu yang mulai membuat seluruh tubuhnya terasa kaku.
Esok paginya, ia terbangun dengan pakaian seseorang menutupi tubuhnya, memberinya kehangatan untuk melalui malam hari lalu—ia tahu maksud orang ini baik, tapi dalam hatinya, ia tak menyukai ini. Pakaian itu tercium asin dengan samar-sama feromon alpha yang tak karuan aromanya—percampuran antara busuk, jeruk, dan karat.
.
.
Miya menyerukan seruan perang dan menggiring saudara-saudaranya memasuki medan pertempuran, berusaha menyudahi invasi oleh mereka yang tak berhak atas tanah suci kaum elf rembulan. Anak panah yang diberkati dewa bergelimang berbahaya, dari cahaya itu timbullah badai es yang membuat tubuh musuh-musuhnya gentar ketakutan melawan berkat dari sang dewa.
Manusia dan orc serupa tak memedulikan kelompok ketiga yang menolak peperangan antara mereka. Alucard menebas beberapa manusia—beberapa gemetar ketakutan saat melihat wajahnya yang tak berekspresi, seperti mesin pembunuh, namun saat mereka mendekat, mereka tertawa merendahkan dan mengejeknya. Alucard menusuk mereka, kesal. Sesekali memenggal kepala untuk memberikan efek jera agar manusia lainnya tak melakukan kesalahan serupa; merendahkannya.
Tapi yang namanya manusia, mereka tak pernah belajar.
Ia melompat mundur saat mendengar Miya menjerit dengan sebuah kode rahasia yang hanya dikumandangkan apabila mereka terdesak. Masalah menyeruak saat ia melihat empat manusia datang mengepungnya dengan perisai di tangan dan pedang di satunya, menghentikan larinya. Ia mendecih. "Mau ke mana kau, omega?"
Matanya melirik ke kiri dan kanannya—tidak ada yang dapat membantunya. Para elf disibukkan dengan melindungi diri mereka sendiri dan saudara mereka. Ah, terkutuklah. Dirinya hanya mampu tertawa arogan, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Maaf, ibuku melarangku untuk meladeni alpha yang tak memiliki harga diri seperti kalian… bisakah kalian minggir dan menjadi berguna, agar oksigen yang kalian hirup tak terbuang sia-sia?"
Salah satu dari mereka terbahak. "Lidah yang tajam dengan bibir ranum itu—"
Ia tak mampu menyelesaikan apa yang ingin dikatakan saat sebilah tombak menemukan tempat yang tepat untuk berdiam selama beberapa waktu di dalam tubuhnya, sampai menembus dadanya. Mata pria itu membulat dan berputar ke atas sebelum jatuh dan meregang nyawanya. Pria dibalik aksi itu tak membuang waktu, ia segera menghabisi ketiga teman lainnya, mendorong mereka ikut serta ke neraka.
Alucard membatu saat pria itu meliriknya, napasnya terengah—bola matanya tak seperti tadi, membulat dengan kilatan memerah seperti darah, penuh keinginan untuk mencabik—seolah ia menyerahkan diri pada insting sepenuhnya. Alucard menelan salivanya, tak mampu bergerak, dipenjara dalam tatapan tajamnya.
Pria itu tak mengatakan apapun, sampai ia bertanya, singkat. "Apa?"
Kemudian tombaknya diayunkan melewati Alucard, dan orang di belakangnya menjerit nelangsa saat serangan kejutannya gagal untuk menyentuh Alucard. Serangan perlindungan dari pria itu jauh lebih dulu terhunus. Alucard tak menyembunyikan keterkejutannya—kalau bukan karena pria ini, ia mungkin sudah mati. Ia menunduk. "Ah, bukan… bukan apa-apa."
Mereka mendengar suara Miya lagi, memanggil lebih keras, dan melesat pergi bersama.
.
.
Ia terbangun saat seseorang mengguncang tubuhnya.
Pandangannya masih kabur. Ia mengusap matanya dengan tangannya, namun berhenti saat merasakan matanya menjadi makin perih. Alucard memicingkan matanya pada telapak tangannya dan melihat darah mulai mengering di sana. Kepalanya ia dongakkan dan bertemu pandang dengan pria itu—Zilong namanya—yang dahinya berkerut.
"Maaf." ucapnya, ia sedikit menunduk. "Tadi, beberapa saat yang lalu… kau tercium seperti… kematian."
Kupikir aku kehilanganmu.
Alucard mengibaskan tangannya, lemas, sulit digerakkan. Luka tusuk yang menganga di area perutnya kini telah terbalut perban, aroma herbal sebagai substitusi alkohol. Sedangkan luka bakar ringan di permukaan kulitnya diringankan oleh Estes yang tadi mampir, "Atas permintaan Zilong," kata Miya.
Kadang ia merasa ia tak pernah keluar dari Nost Gal. Masih menjalani rutinitas yang sama, melibatkan dirinya dalam bahaya demi hidup orang lain yang lebih baik.
"Jangan khawatir. Aku tidak apa-apa." balasnya—tenggorokannya terasa sangat kering. Kerutan di wajahnya tak sirna. Pria itu mengambil bangku lalu duduk di sisi kasur. "Berkatmu."
Wajah pria itu dibuat bersemu merah atas pernyataan itu, Alucard tersenyum kepadanya. "Terima kasih."
Ia butuh minum.
.
.
Estes mengucapkan terima kasih pada mereka. Katanya, bila mereka memerlukan sesuatu, apapun itu, mereka bisa kembali ke Emerald Woodland yang akan menerima mereka dengan tangan terbuka.
Ada tradisi yang rutin dilakukan untuk menyambut datangnya musim semi—dan pesta besar-besaran diadakan disaat yang bersamaan untuk merayakan kemenangan mereka. Alucard tersenyum saat melihat Miya berteriak lantang, mabuk karena manisnya madu yang dicekoki oleh teman-temannya. Ia tidak tahu elf tidak tahan pada hal-hal yang manis.
Ia berpangku tangan, pikirnya ia harus cepat-cepat pergi dari sini. Zilong mengambil posisi duduk di sampingnya. "Mau kemana kau setelah dari sini?"
Matanya tertuju pada Miya yang kini menari-nari dengan gerakan asal di atas rerumputan. Kakinya tak mengenakan sepatu—Alucard meringis memikirkan berapa banyak kerikil tajam yang akan ia injak. "Aah, aku masih bingung. Kau bagaimana?" ia tak menoleh, tak ingin tahu seperti apa wajah pria itu—berusaha seminim mungkin melihatnya.
Ia tak ingin wajahnya terbayang sampai ke mimpinya saat mereka berpisah.
Alucard mulai menaruh sedikit rasa kagum pada pria itu—mungkin karena dirinya diseret keluar dari medan perang olehnya, diselamatkan dari maut. Dan pria itu tak pernah mengungkit itu, menuntut upah atas apa yang telah ia lakukan. Ia benar-benar orang yang baik.
"Aku juga bingung. Tidak ada raja yang cukup bijaksana di negeri ini." Ucapnya. Alucard ingat pria ini bilang padanya, kalau ia berada disini untuk membantu Estes, sang raja yang bijaksana—tujuan hidupnya hanya untuk membantu para pemimpin yang pantas mendapatkan kemenangan. "Boleh aku ikut bersamamu? Ke mana saja, terserah. Aku tidak peduli."
Belum sempat menjawab, Miya berteriak dan mengantam tubuhnya ke Alucard. "'Heeeeei, Alucaaaard, aku tidak ingin berpisah denganmu, aku ingin mengenalmu lebiiiiiih dekaaaat lagiiiii,' itu yang ingin ia katakan… padamu… jangan ragu… aku cukup… pandai… membaca orang… heh, Alu—aku… lupa… mau bilang a—oh!"
Wanita itu membenamkan kepalanya pada bahunya, mengendus-endus feromonnya yang tercium samar karena pakaian yang ia kenakan cukup tebal. Ia mengerang sedih, mulutnya ia dekatkan pada telinga Alucard, lalu berbisik padanya, "Maukah kau… um… menemaniku—selama bebe… rapa hari ke depan…?"
Mukanya bersemu merah. Alucard otomatis tahu. Sepenuhnya mengabaikan Zilong yang memandang interaksinya dengan tajam, ia membalas dengan berbisik, "Berapa lama biasanya?"
"Dua, tiga har—ah, milik kami tak selama milik manusia…."
Ia menghela napas, senyumnya tipis. Miya ia biarkan untuk menghirup lagi feromonnya, sebagai sesama omega. Ia tak berani menoleh ke sampingnya—ia tak ingin melihat emosi pria itu terukir di wajahnya.
.
.
Ia mengenakan mantelnya, berbalik sebentar dan melihat Miya masih terlelap, tubuhnya ia tutupi dengan selimut. Surai peraknya tergerai berantakan, bahunya memiliki bekas kemerahan yang kentara di kulitnya yang seputih susu. Alucard mengampirinya sebelum keluar, ia mengguncang Miya dan bilang padanya, "Miya, aku akan pergi."
Miya membuka matanya sedikit. "Hngh… Alu…?" ia masih grogi, liur yang sebenarnya tak mengalir dari sisi bibirnya ia usap. Tangan satunya meraba sisi ranjangnya yang kosong. "Kemana…?"
"Pergi. Maaf."
Punggung tangannya ia gunakan untuk mengusap matanya. Ia duduk di atas kasur, menguap, dan jemarinya menyisir rambutnya sebentar. Alucard ingin ikut menyentuhnya—rambut perak itu terasa sangat lembut di tangannya tadi malam. "Masih malam, kan…?"
Untuk pertanyaan itu, ia menjawab dengan dengusan. "Iya. Masih. Tidurlah kembali."
"Aku tidak mau tidur… kalau tidak bersamammh…."
Kemudian Miya tak sadarkan diri—tubuhnya lemas dan segera punggungnya kembali mengantam kasur. Alucard tertawa kecil. Ia keluar dan melihat bulan masih menggantung di langit. Sabitnya terlihat berwarna keemasan, bintang-bintang bertaburan menemani kehadirannya.
Ia membawa pedangnya dan segera berjalan menuju perbatasan Emerald Woodland.
Langkahnya berhenti saat melihat nyala api, di sisi kuil. Penasaran, ia datangi.
"—anda adalah orang yang baik, Zilong." Suaranya familiar. Nama pria itu disebut, itu artinya, Zilong selama ini tak pernah meninggalkan—
"Jangan memujiku terlalu tinggi, Yang Mulia." Katanya. Ia mendengar seperti suara tombak yang dihentakkan ke tanah, dan nyala api yang memakan kayu-kayu untuk terus bertahan di angin malam yang dingin. "Aku tak menerima tawaranmu bukan berarti karena aku tak ingin menyusahkan wanita itu."
Alucard diam, sang raja—Estes—melanjutkan. "Miya tidak keberatan untuk ikut membantu anda dan Alucard dalam perjalanan anda. Kami telah menyelesaikan perjuangan, sesuai dengan yang tertulis dalam ramalan; saat ini adalah era damai bagi kaum elf rembulan. Anda bisa menganggap ini sebagai balas budi—mengapa anda tak mau?"
Setelah itu terpicu hening yang panjang. Zilong mendengus. Ia tertawa—nadanya rendah. "Akan sangat meresahkan bila ada orang lain selain diriku."
Estes bungkam, lalu lanjut menghela napas. "Ah." Ia mengerti sekarang—tapi Alucard tidak. "Kalian semua alpha memang sama, ya? Pada akhirnya, hanya akan berserah pada keinginan untuk—"
Ia menjerit kecil saat seseorang memukul punggungnya perlahan. Percakapan pun segera berhenti. Di belakangnya Miya tersenyum lebar—kali ini sudah bangun, sadar sepenuhnya, dan terlihat jauh lebih rapi bila dibandingkan sebelumnya.
Zilong mengampirinya bersama Estes dengan tergesa. Miya, saat melihat Raja-nya, segera membungkuk. Estes mengibaskan tangannya. Raja memang tak menyukai formalitas—padahal ia sendiri dibesarkan dalam lingkungan yang formal. "Kita adalah saudara, Miya, hentikan bersikap seperti itu."
"E-eh—tapi…." Estes meletakkan telunjuknya di depan bibirnya, mengisyaratkan Miya untuk tak membantah kata-katanya. Wanita itu menoleh ke samping, merengut. "Ba-baiklah, kalau begitu—sesuai dengan keinginan anda."
"Maaf mengganggu kalian semua." ucap Alucard, ia mengedarkan pandangannya ke semua orang yang ada di sana. "Tapi kurasa sudah waktunya untukku meninggalkan kalian."
Pria itu memejamkan matanya, lalu menghela napas. "Tidak. Aku ikut bersamamu, ingat?"
Miya menyentuh dadanya dengan tangan yang dikepalkan. "Aku juga."
"Tidak, kau tidak ikut; aku menolak proposalnya." Sambar Zilong. Miya yang tadi memeluk lengan Alucard menatapnya tidak senang. "Kau tidak ikut. Bukankah kau masih harus menjaga saudara-saudaramu di sini?"
Alucard tersenyum. "Ah… aku tidak memaksa kalian untuk ikut… bukankah kalian memiliki hal penting lain yang harus dilakukan?"
"Tidak. Tapi elf itu pasti punya."
Wanita elf itu melirik Estes dengan memelas, lalu memelototi Zilong. Ia diam agak lama. "Baiklah. Zilong menolak balas budi yang kau ajukan padanya. Oke, tidak masalah." Bahunya diangkat. Zilong tahu wanita ini akan menjadi masalah saat ia kembali membuka mulutnya. "Aku akan mengikuti kalian bukan untuk membalas budi, aku mengikuti kalian karena aku menginginkan petualangan."
Alucard mendengus, geli. Ada apa sih, mereka berdua? Mereka memelototi satu sama lain, Miya menjulurkan lidahnya pada Zilong.
"Estes pasti mengizinkanku."
Seluruh mata tertuju pada sang raja yang sedaritadi diam. Ia tersenyum enigmatis pada Alucard. "Tentu saja, Miya."
Miya bersorak, Zilong mendecih.
Sebelum pergi, Estes berpesan pada Miya, suara lirih karena ia berbisik, tak ingin didengar. "Jaga Alucard baik-baik, ya?"
"Dari siapa?" Miya balas berbisik.
Tapi Alucard dengar dan ia menyempatkan diri untuk berpikir, ada apa?
.
.
Sebelum sempat keluar dari hutan belukar, ada peri-peri yang menumpahkan keluh kesahnya pada Miya, tentang elf kucing yang tak mampu mengendalikan kekuatannya.
Elf kucing itu menangis kuat-kuat saat mereka temui, diikat di pohon. Ia tak bisa bergerak. Alucard segera menaruh perasaan iba padanya dan melangkah mendekat untuk melepaskannya. Tapi elf itu menjerit. "Jangan mendekat!" pekiknya. "Aku… aku akan menyakiti kalian…."
Miya merasa kasihan. "Aww, jangan begitu. Bolehkah aku mendekat?"
Ia menggeleng kuat-kuat. "Siapa namamu?"
"Na… Nana—ah—kubilang jangan mendekat!"
Seketika dari tanah yang bergetar di bawah kakinya, Miya merasakan energi sihir luar biasa yang mengalir—tubuhnya terasa ringan dan pelan-pelan ia menoleh ke belakang.
Alucard dan Zilong menatapnya kaku. "Buh—"
Ia menunduk untuk melihat apa yang terjadi pada dirinya. Ini… bulu…? Jari-jarinya ia gunakan untuk meraba perutnya—jari-jarinya kini sudah menjadi cakar.
"He—HEI APA-APAAN INI!"
Zilong tertawa—benar-benar tertawa sampai ia sesak napas. Alucard tak pernah mendengar ini sebelumnya—kedengarannya sangat… menyenangkan. Saat Miya dikembalikan ke keadaan semula atas bantuan dari sang dewa, pemanah itu memanah Zilong sedangkan Alucard yang menyaksikan tertawa melihat tingkah keduanya.
Demikian pula elf kucing itu, tangisnya berubah menjadi tawa lepas. Miya yang mendengar itu tersenyum. "Begitu lebih baik, kan?"
Nana mengangguk. "Aku merasakan sihir yang luar biasa daripadamu. Aku bisa mengajarkanmu untuk mengendalikannya." Ujar Miya.
Alucard mengangguk, meyakinkan Nana untuk menerima tawaran itu. "Kau tidak keberatan untuk menunggu? Mungkin akan lama."
"Hm? Tentu saja tidak—lakukan pelatihan kalian. Antoinerei tak akan kemana-mana; aku bisa beristirahat sebentar, tak ada salahnya." Balasnya. Ia berbalik, hendak mencari ruang untuknya beristirahat. Tak jauh darinya, Zilong mengikuti. Alucard menoleh pada pria itu. "Kita bisa latihan."
Zilong menorehkan senyum. "Aku tak akan setengah-setengah menghadapimu."
"Baguslah kalau begitu."
Beberapa ronde kemudian, napas mereka sudah tak beraturan, wajah mereka dibanjiri peluh. Nana berlari memeluk Zilong dan Alucard saat ia melihat situasi yang seolah-olah keduanya terlibat dalam perselisihan.
Katanya, merengek dengan suara cempreng, "Nana janji Nana akan berguna untuk kalian, jadi izinkan Nana ikut!"
Pikirnya, kedua orang itu bertikai karena Nana.
.
.
Mereka menapaki kaki di Eruditio, kota ilmu pengetahuan, untuk pertama kalinya. Dalam buku-buku koleksi perpustakaan di markas besar, laporan dan investigasi kebanyakan dilakukan disini, tempat di mana iblis bisa dengan leluasa menyusup dan menawarkan apapun untuk manusia yang gelisah dan lengah.
Bila Antoinerei memberikan Miya dan Nana perasaan kagum yang masih dapat ditahan-tahan, Eruditio membuat mulut kedua elf itu terbuka lebar, takjub. Mata mereka ia edarkan untuk mengamati, ada air mancur di tengah taman—wanita itu berlari ke sana, lalu menyibak airnya di tangannya. Dengan tangannya, ia meminum air dari pancuran itu. Nana bersorak senang. "Jernih sekali!"
Alucard terkekeh melihat tingkah mereka. Miya menoleh ke kanan dan kiri, lalu berlari ke arah stand makanan yang memiliki papan di atasnya dengan huruf-huruf yang berkedip malas. Permen kapas. Mereka memutuskan untuk mengampiri Miya dan Nana, yang matanya berbinar saat diberikan satu batang permen kapas berwarna biru.
"Berapa untuk ini?" ia tanya. Matanya melihat kedua elf itu, kini meraba-raba permennya yang gagangnya dipegang oleh Miya, telaganya berkilau antusias.
"Tidak apa. Anggap saja traktiran dari toko." Wanita penjaga itu tertawa saat Zilong menunjukkan mereka cara untuk memakannya. Miya mengeluarkan 'ooooh' dan menjulurkan lidahnya untuk menjilat. Zilong memukul dahinya. "Aku baru pertama kali bertemu elf."
"Ini pertama kalinya kami ke Eruditio."
Senyumnya menjadi ramah. Wanita itu tersenyum mendukung. Tangannya direntangkan. "Kalau begitu, adalah suatu kewajibanku untuk menyambut kedatangan kalian di sini. Selamat datang di Eruditio; pasti kalian akan menyukai kota ini."
.
.
Miya berdehem, wajahnya memanas. "Maaf."
Zilong mengangguk menerima walau sebenarnya agak risih. Diliriknya wanita yang masih menunduk, malu atas tingkahnya tadi siang. Saat ini mereka pergi mencari penginapan—pinggir kota memiliki banyak lokasi penginapan dengan harga terjangkau. Alucard mengamati peta kota untuk turis, yang mendaftari lokasi penginapan dengan detail harga per kamar untuk satu malam.
Ketiganya berhenti ke sebuah penginapan dengan identifikasi berupa kelap-kelip tulisan yang berwarna neon terang; sebuah bar yang merangkap penginapan.
"Hmm… tidakkah ini terlihat sangat… rawan, atau hanya perasaanku?" ucap Miya. Matanya ia sipitkan untuk melihat situasi di dalam yang nampak dari luar jendela, ada beberapa orang yang melemparkan tinju ke wajah satu sama lain, mereka berguling di atas meja, berdiri lagi, lalu dijatuhkan dengan satu kali pukul.
"Yep. Ini terlalu rawan—Alucard, adakah tempat lain? Aku tidak menyukai tempat ini." wewangiannya tajam dan pekat yang menjeritkan alpha. Ia benar-benar tidak menyukai tempat ini. "Yang sedikit lebih mahal juga tidak apa-apa, aku ada uang, ingat?"
Alucard membuka mulutnya, namun yang keluar adalah jerit kejut kecil saat pintu bar merangkap penginapan terdobrak kuat-kuat dan orang yang semula bertikai di dalam berguling keluar secara komikal. Orang itu mengaduh kesakitan. Mereka semua spontan menoleh ke mulut pintu, dan melihat seorang—
"Roger?"
Pemburu itu menaikkan alisnya. "Alucard?"
"Nan—ummph—!"
Mulut elf kucing itu segera ditutupi oleh Miya. Pria di ambang pintu baru melangkah mendekati Alucard. Ia menyentuh lengan Alucard sambil tertawa girang. "Syukurlah kau baik-baik saja. Aku mulai khawatir; pikirku sehabis ini aku akan menyeretmu keluar dari Emerald Woodland." Alucard hanya mampu tersenyum miring mendengar itu.
Mereka semua diundang masuk, Miya segera berlari ke kounter untuk memesan sesuatu yang ia harap ada di sini—ia pernah memesan satu di Antoinerei, rasanya terasa sangat nikmat. Sementara Zilong tak peduli; ia bersandar pada pilar dekat pintu masuk, mengamati Alucard—ia masih sebal karena harus masuk ke tempat ini.
Sementara Alucard diajak untuk duduk bersama Roger di meja yang berada di tengah ruangan. Alucard mengedarkan pandangannya, suasanya bar nampak nyaman dengan alunan musik yang volumenya tak memekakkan telinga. Ada sesuatu yang kurang, ia rasa. "Mana Ruby?"
Pria itu nampak murung. "Ia tahu tentangku."
"Oh… Roger—aku…."
"Ia mengalami itu dan setelah aku kembali sadar ia sudah menghilang." Roger benar-benar merasa kehilangan, dan bingung—Alucard merasakan keinginan untuk meraih tangan pria itu, kemudian memeluknya. "Aku berharap kau bisa membantuku mencarinya."
Untuk itulah Roger ingin menariknya sebentar dari Emerald Woodland.
"Roger… aku pasti akan membantumu mencari Ruby." Balasnya. Tentu saja ia akan bantu. Pernyataan itu melukiskan senyum kecil pada wajah pemburu tersebut. Ia menghela napas lega.
"Aku sudah takut kau akan bilang tidak." Pria itu menyentuh dan mengusap tengkuknya. "Ah, ya, ngomong-ngomong—"
Roger meraih tangan Alucard, lalu ia mendekat, berbisik, "kurasa sebentar lagi kau akan… kau tahu,"
Oh.
Pantas saja dari kemarin tubuhnya terasa sangat gelisah. Ia benar-benar buruk dalam menerka-nerka momen dimana ia akan masuk ke siklus heat. Karena biasanya… ibunya akan memberitahunya, kadang-kadang pria itu atau gadis itu juga akan memberitahunya sesegera mungkin. Feromon seorang omega akan berubah secara subtil kalau sudah mendekati siklusnya—biasanya hanya orang dekat yang dapat mengetahui perbedaannya.
"Kau… selama di sana tidak mendapatkan suppressant?"
"Aku tidak ingin memusingkan mereka dengan hal-hal yang tidak relevan dengan konflik yang mereka miliki, maaf."
Roger mendengus—tahu betul tabiat anak ini. Ia menyukai sikapnya, walau kadang-kadang sikap seperti itu mendatangkan masalah. "Beruntung aku menyimpan beberapa untukmu."
"Waah, sungguh? Terima kasih, paman."
"Jangan memanggilku begitu."
"Om?"
"Aku tidak mau melihat wajahmu lagi."
"Kau akan kesepian loh." Ia tertawa. Roger membuang muka. Matanya ia edarkan ke seluruh ruangan, sekali lagi, mencari Zilong—dan melihat pria itu berbincang dengan Miya, kedua berdiri dengan malas dekat kounter. Mereka nampak sangat dekat—terlalu dekat. Alucard merasakan perasaan ganjil di dalam dirinya.
Pria itu nampak gusar. Alucard melihatnya menggigiti kuku dan sesekali bibirnya—bibirnya semakin merah; ada darah yang mengalir. Untuk beberapa waktu lamanya Alucard merasa sangat bersalah—entah mengapa.
Roger menyentuhnya. "Kau mau kubantu?"
Ia tersentak, menarik tubuhnya menjauh dari sentuhan Roger—yang dahinya berkerut heran. Rasanya sangat salah—menyesatkan, tidak baik, alien, salah, salah, salah—
"Ma-maaf. Kurasa… lain waktu saja."
Pria itu tak mengatakan apapun untuk sesaat. Namun, Alucard melihat kekecewaan di kilatan matanya. Meskipun begitu ia menerima penolakan itu secara baik. Lalu merogoh sakunya dan meletakkan bungkusan obat di atas meja. "Kalau butuh bantuan, kau bisa memanggilku—kapan saja, aku akan datang."
Setelah itu Nana datang mengampiri mereka. Suaranya terdengar sebal. "Nana benci orang tua! Uuuuughhh. Mereka selalu marah kalau Nana perlihatkan trik sulap—ah! Apakah Alu tertarik lihat sulap Nana?!"
Alucard keringat dingin—ia mengingat apa yang terjadi pada Miya. "Eh, uhm. Ma-makasih, tidak usah."
.
.
Miya menawarkan bantuannya saat ia memasuki kamar mereka dan mencium aroma manis yang adalah feromon seorang omega—kentara di udara, mengundang seorang alpha untuk datang padanya.
Ia juga menolak tawaran wanita itu, sesuatu mengganjal dalam dirinya saat ia membayangkan wanita itu di ranjang yang sama dengannya, menyentuhnya untuk membuatnya rileks—ia mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya saat mata wanita itu tak lepas dari dirinya. Sebelum pergi, Miya tersenyum lebar. "Jangan buat kami menunggu terlalu lama, ya?"
Alucard merasa kalau kalimat itu bukan ditujukan untuk siklusnya, melainkan untuk sesuatu yang lain.
Sakit.
Dirinya merasa sakit—ia merasa tidur akan mendatangkan kenyamanan, namun ia tidak bisa tidur. Tiap kali matanya terpejam, ia merasakan sensasi aneh merangkak di bawah kulitnya; mata seseorang terpaku padanya—instingnya memberinya isyarat, sesuatu yang tak pernah ditangkap oleh inderanya.
Alam bawah sadarnya tahu.
Tapi ia tetap tidak mengerti.
.
.
"Ace, sepertinya? Nana masih tidak mengerti tapi ini ace, kan?!"
Pekik suara cempreng yang familiar, disertai erangan dan hentakan kecewa. Nana melompat-lompat di atas kursi saat Alucard turun, sudah membenahi diri agar terlihat segar. Namun langkahnya masih sempoyongan. Ia merasa pusing—merasa insting dan inderanya masih kelewat sensitif.
Zilong segera mengampirinya dan membantunya untuk melangkah ke meja mereka. Mereka menunggu sarapan—seperti biasa. Roger menatapnya dengan kasual, ia memiliki senyum di wajahnya, padahal baru saja tadi dikalahkan dalam permainan kartu, oleh Nana pula. "Ada sesuatu yang kau inginkan?"
"Y-ya. Air." Ia masih grogi, benar-benar sulit mendapatkan pegangan atas kesadarannya setelah melalui heat pertama tanpa orang lain yang menemaninya—rasanya intens. Ia benar-benar tak ingin melalui ini sendirian lagi. Terakhir kali, ia ditemani oleh wanita elf hutan yang menunggangi smilodon—walau hanya sekali-dua kali—saat pertama kali keluar dari Nost Gal.
Ia benar-benar harus berterima kasih pada wanita itu.
Pria dari Timur itu datang dengan satu botol bening berisi air. Alucard meneguknya habis.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya pria itu setelah ia menyerahkan airnya pada Alucard, ekspresinya berkutat pada rasa khawatir.
"Baik." Ia terdiam. Perutnya berbunyi. Ia mengendus feromon alpha yang tak sedap menusuk penciumannya—bukan milik Roger, atau Zilong, karena keduanya tercium nikmat dalam inderanya. Ia terbatuk. Kakinya masih pegal, tenggorokannya kering, dan mata yang berkunang-kunang—oke, ia tidak merasa baik. "Baiklah, aku bohong. Sedikit."
Setelah itu, selagi mereka menunggu sarapan untuk tiba, sesekali Zilong membiarkan kulit mereka bersentuhan. Pria itu mengusap punggung Alucard yang tak menolak perlakuan itu—sampai jarinya naik, berfokus untuk menyentuh dan meraba tengkuknya. Ia mengeluarkan suara dengung senang secara refleks—membuatnya menoleh malu-malu untuk menatap orang yang membuatnya merasa demikian; senang. Semoga ia tidak keberatan. Mata mereka bertemu. Zilong tersenyum kecil padanya. Wajahnya berbinar.
Entah sejak kapan ia tak lagi merasa seperti seluruh dunia berputar di bawah kakinya.
.
.
[to be continued.]
note: udahan dulu. ada uts besok plus lagi terjangkit wb. ah, sebenernya saya mau akhirin disitu; cuma masih banyak yang ingin saya tulis (endingnya kudu mesti harus ga nyebelin oce). mata saya sakit ngebaca kalo dah banyak-banyak. pusing juga, satu chapter sebanyak ini. niatnya ini oneshot, cuma udah bener-bener pusing ngelanjutin saking panjangnya.
saya usaha ga nyampahin ini dengan jokes receh oke. yalord zilong ooc bgt—dia itu tampang security hati hello kitty disini; nanti kalo dia dah ga grumpy grgr miya ikut, terus tambah nana ikut, plus skrg ada saingannya, dia ga bakal kayak gitu kok. sekarang cuma sebel aja dia ga bisa berduaan ama alu /gampar
haruskah ini rate-m? diriku tak merasa ini perlu m. tapi kalo mau, mungkin? saran pair lain? maaf notesnya panjang.
terima kasih sudah membaca!
—1 April 2018, 9:04 PM, Bogor.