Disclaimer : All Characters Belong to Masashi Kishimoto

A/N : Hey Readers, Saya kembali dengan fic baru masih dengan pairing favorite saya Sai dan Ino. Materi gak jauh-jauh dari yang kemarin. Romance pastinya

Happy Reading.

Warning : Mature content, bad language, OOC, Typoo.


The Glass Half Empty.

.

.

Chapter 1

My Dream

.

.

Yamanaka Ino datang ke Tokyo dengan harapan menjadi seorang bintang dan dia pikir dengan apa yang dia miliki akan cukup menjadi modal membuka jalan untuk meraih impiannya. Alih-alih menjadi seorang aktris. Kini dia terdampar di dunia yang tak pernah dia bayangkan untuk dicicipi.

Bukannya dia tak punya pilihan, tapi dia sendiri dengan sengaja memilih pekerjaan ini sebagai penghidupannya. Sebagai seorang wanita muda yang berambisi dia tidak ingin menghabiskan waktunya hanya untuk sekedar bertahan hidup. Dia tidak meninggalkan kampung halamannya untuk berakhir menjadi pelayan restoran cepat saji di Tokyo. Dan tentu saja materi dan kemewahan yang di tawarkan cukup menjanjikan tapi bagi Ino yang lebih penting adalah prospek untuk menemukan koneksi. Seseorang yang bisa membuka jalannya menuju ketenaran.

Ino rajin mengikuti audisi tapi selalu berakhir dengan kegagalan. Dia tidak pernah mengerti mengapa. Pekerjaan yang dia dapatkan hannyalah tawaran menjadi gravure model yang tentu saja dia tolak karena Ino ingin berakting.

Sempat berkali-kali dia meragukan bakatnya tapi dia tidak ingin menyerah begitu saja karena itu dia butuh koneksi. Dia hanya seorang gadis dengan impian besar yang masih ingin bermimpi suatu hari dia akan menjadi bintang.

Jalannya masih sangat panjang dan dia memilih untuk memulainya dari lembah nista. Ino mencoba memisahkan pribadi dan persona yang dia gunakan saat bekerja tapi tetap saja semua ini meninggalkan jejak kerusakan permanen dalam hidupnya. Dia tak lagi bisa memandang dunia dari sisi seorang wanita normal. Tapi Ino tak ingin berhenti karena dia merasa cukup nyaman. Dia sanggup hidup dengan mengkompensasikan diri dan integritasnya demi sebuah jalan menuju ambisinya. Bukankah pengorbanan adalah syarat mutlak untuk meraih keinginan?

Ino membedaki wajahnya tipis-tipis. Bibir dipoles lip gloss berwara nude. Dia mengepang dua rambut pirang panjangnya. Dia tidak suka wajahnya polos tanpa make up tetapi kali ini klien nya begitu spesifik.

Ino mengenakan sweater longgar dan rok panjang. Kemudian mengambil kaca mata. Dia tertawa kecil melihat pantulan dirinya di cermin. Seorang gadis culun dan naif yang dia tidak akan pernah menjadi. Ini hanya sebuah akting untuk memenuhi mimpi dan fantasi orang yang membayarnya. Tak ada naskah, tak ada kamera. Sang klien adalah sutradara dan dia hannyalah boneka.

Ino turun ke lobby apartemennya. Sebuah mobil sedan hitam menunggu dan sopirnya yang berambut pirang membukakan pintu.

"Naruto, Kau tahu siapa klien ku malam ini?"

Pria itu menggeleng,"Seperti biasa Madam merahasiakan Identitas klien. Dia hanya memberitahuku harus mengantarmu ke mana"

Tentu saja Ino paham. Pelanggan Nyonya Tsunade bukan orang-orang biasa. Politisi, Selebritas, Pengusaha yang menuntut kerahasiaan perbuatan nakal mereka. Ino sendiri menandatangani perjanjian untuk tutup mulut dan tidak membicarakan klien-kliennya.

Naruto mengantarnya ke sebuah mansion mewah di luar kota. Wanita itu tidak terkejut menemukan kliennya seorang yang cukup umur untuk menjadi kakeknya.

"Kau yang dikirim Tsunade? Siapa namamu?"

"Mizuna" Ino tak pernah menggunakan nama aslinya. Kehidupannya adalah rahasia. Ino merasa tidak nyaman dan seketika dia tidak menyukai lelaki tua di depannya. Meskipun dia berjalan memakai tongkat dia tampak intimidatif apa lagi dengan bekas luka di dagu.

"Kau terlihat sangat muda dan manis" puji pria itu. "Bisa kita duduk dan makan malam sebentar?"

Ino mengangguk patuh dan mengikuti pria tua itu ke ruang makan. Ino bekerja sebagai escort lady. Seperti halnya Geisha di masa lalu. Ino menemani kliennya menghabiskan waktu dan memastikan mereka terhibur. It's more then just selling sex dan terkadang amat sulit untuk dilakukan karena tidak semua klien bersikap sopan dan menyenangkan sedangkan dia harus terlihat menikmatinya. Syukur dia punya bakat akting dan pintar berpura-pura.

Rumah itu begitu sunyi, Ino duduk di ujung meja makan. Hanya terdengar langkah-langkah para pelayan membawakan makanan.

"Sudah bertahun-tahun tidak ada yang menemaniku makan di rumah ini" Suara kliennya terdengar letih.

"Mengapa?" , Ino bertanya memulai sebuah percakapan. Entah bagaimana dari pekerjaannya Ino tahu sisi lain dari klien-kliennya. Terkadang mereka tidak tampak seperti apa yang mereka tampilkan. Seperti halnya pria tua di hadapannya.

"Mungkin karena aku terlalu keras kepala"

Ino meneguk minumannya dan meresapi rasanya. Ini anggur merah terbaik yang pernah dia minum.

"Kau menyukainya? Itu merlot dari koleksi vintage ku"

Ino tersenyum "Sepertinya anda punya selera yang bagus"

Klien Ino rata-rata para pria sukses yang terkadang kesepian atau para pria gila petualang seks yang ingin mencoba hal-hal tabu di dunia.

Ino bisa merasa simpati dan kasihan pada kliennya. Seharusnya sebagai profesional Ino tak boleh mencampur adukkan emosi dan penilaian pribadi dalam pekerjaannya. Tapi sayangnya Ino hanya manusia yang memiliki empati.

Pria tua yang tadinya terlihat intimidatif kini tampak ringkih. Dibalik sosok yang tegas, licik dan otoriter ternyata terdapat bayangan seorang pria tua yang merindukan keluarga. Mungkin inilah potret sebuah kekuasaan tidak menjamin kebahagiaan. Ino merasa kasihan karena orang ini memilih untuk membayar seseorang yang tidak dia kenal hanya untuk menemaninya berbicara. Barangkali dia tidak ingin tampak lemah di depan orang-orang yang di kenalnya.

Mereka bercakap-cakap tentang banyak hal, politik, budaya, perkembangan dunia dan penyesalan pria itu tentang kematian putra satu-satunya dan betapa bodohnya dia bersikap egois dan menuntut terlalu banyak dari orang lain.

Ino sudah menghabiskan dua jam di sana. Makanan dan minuman telah habis dan tidak ada indikasi kliennya memulai kontak fisik. Dengan enggan Ino bertanya,"Apa kau ingin aku melayanimu sekarang tuan?"

Pria tua itu terkekeh "Tidak perlu Nona, Aku terlalu tua untuk itu. Aku hanya ingin ditemani makan malam"

Ino merasa lega. Ini tugas yang mudah untuknya. Ketika malam semakin larut akhirnya kliennya meminta Ino pulang dan memberinya tips luar biasa.

"Senang menghabiskan waktu dengan gadis yang cerdas sepertimu Mizune. Kau terlalu cerdas untuk menjadi seorang pelacur. Sampaikan salamku pada Tsunade"

"Bukankah itu nilai lebih saya, Saya tak ingin sekedar menjadi pelacur biasa" Ino membungkuk "Terima kasih tuan. Saya permisi"

Ino kembali ke mobil membawa amplop tebal penuh uang. Pak tua itu sangat murah hati. Jarang-jarang hal seperti ini terjadi. Tak hanya Ino menikmati percakapan mereka. Dia juga tidak perlu melayani kliennya dan dibayar ekstra. Mungkin dia sedang beruntung. Ino melangkah sambil bersenandung dan hal itu tak luput dari pandangan Naruto.

"Sepertinya kau senang. Tadi aku sempat khawatir karena Madam bilang klien satu ini merepotkan"

Ino merunduk dan masuk ke mobil "Sama sekali tidak. Ini malam termudah dalam karier ku dan kau pun akan ketiban rezeki juga kawan" jawab Ino sambil menyelipkan lembaran uang di saku Naruto.

Pria berambut pirang itu menyengir lebar dan mengucapkan terima kasih sebelum menutup pintu dan mengantar Ino kembali ke apartemennya

Tiga tahun sudah dia tinggal sendirian. Berpindah dari ruang studio seluas 36 meter persegi. Ke sebuah apartemen mewah di kawasan elite. Orang tua dan teman-teman Ino tak ada yang tahu pekerjaannya. Mereka masih berpikir Ino menjadi artis di kota. Ayahnya pasti akan sangat sedih mengetahui Ino menjadi pelacur. Tapi Ino tidak berniat membeberkan rahasianya pada siapa pun.

Wanita itu menghapus make up nya dan megosok gigi. Dari dalam lemari dia meraih gaun tidur sutra berwarna lavender. Kemudian meringkuk di ranjangnya dan memilih membaca naskah drama yang di audisikan minggu depan.

Baru menyelesaikan satu halaman ponselnya berbunyi.

"Ino kau tak apa-apa?" Suara peneleponnya terdengar khawatir

"Aku tak apa-apa Madam. Mengapa kau begitu cemas?"

"Sebenarnya aku tak ingin mengirimmu ke pria itu. Aku punya pengalaman buruk melayaninya di masa lalu. Dia punya kecenderungan sadis. Tapi aku tak bisa menolak permintaannya karena berhutang banyak padanya. Apa dia tidak melukaimu Ino?"

"Aku baik-baik saja. Orang itu hanya minta ditemani makan malam"

"Aku lega kalau begitu. Tak menyangka bedebah itu bisa berubah"

"Madam, Seiring waktu semua hal bisa berubah" termasuk juga dirinya. Ino membatin.

"Kau beristirahatlah Ino. Besok dua klien menantimu"

"Ok, Selamat malam" Ino pun menutup teleponnya.

Ino melanjutkan membaca naskah dan mempelajari karakter utama. Setelah bosan dia melemparkan naskah itu ke lantai. Drama romantis di mana tokoh utama wanitanya bertemu tokoh pria dan jatuh cinta pada pandangan pertama ternyata masih digemari.

Ino tak percaya ada cinta pada pandangan pertama. It's just a mere infatuation or perhaps lust. Bukan cinta.

Satu-satunya pengalaman Ino jatuh cinta hanya pada saat dia masih remaja dan itu berakhir mengerikan. Dia ingat bagaimana detak jantungnya berdebar kencang tiap kali seniornya datang ke kelas hanya untuk menyapanya. Atau bagaimana pipinya bersemu merah ketika sang senior menembaknya tapi semua rasa manis berakhir tatkala pemuda yang sama merenggut keperawanannya dengan paksa atas nama cinta. Sungguh tidak masuk akal dia harus memberikan tubuhnya untuk membuktikan rasa cintanya. Itu hanya alasan bodoh pria untuk mendapatkan seks dengan gratis.

Kenangan buruk. Mimpi buruk menjadi pelacur juga begitu kau harus melayani pria yang tidak kau sukai dengan setengah hati Tapi kali ini Ino membuat mereka membayar untuk dirinya.

Apartemen mewah, mobil, liburan, pakaian desainer. Para pria rela menghabiskan banyak uang hanya untuk menghabiskan waktu dengannya. Sekarang siapa yang bodoh? Ino atau lelaki?

Wanita itu memejamkan mata. Mencoba untuk tidur dan melupakan mimpi buruknya. It Doesn't matter now. Dia masih punya mimpi indah untuk diraih.

Ino terpaksa membolos dari kelas aktingnya karena klien hari ini memintanya berkencan saat jam makan siang. Ino masuk ke sebuah restoran ternama dan menemukan kliennya duduk di meja sudut ruangan. Seorang pria menarik berusia empat puluhan bermata sayu dan berambut perak. Bukan pertama kalinya Ino disewa pria ini. Dia pria yang menyenangkan terkadang tampak begitu santai dan suka melontarkan lelucon mesum yang membuat Ino tersipu atau tertawa tetapi saat Ino menghabiskan waktu di tempat tidur bersamanya. Dia selalu memanggil Ino dengan nama Rin dan terkadang pria itu menangis. Ino tak bertanya karena bukan urusannya. Tapi Ino bisa menduga pria ini menanggung emosi negatif sebuah kepedihan yang belum terselesaikan dan terlupakan. Wanita normal mana yang mau berkencan dengan seseorang yang memanggilnya dengan nama wanita lain.

Hari ini Ino mengenakan dress longgar berpotongan simple tanpa lengan berbahan Chiffon. Pakaian itu tidak memamerkan sedikit pun lekuk tubuhnya yang indah tapi tetap membuat dia terlihat sexy.

Satu-satunya aksesoris yang dia kenakan hanya anting-anting berhiaskan batu aquamarine yang menjuntai panjang dari telinga hingga pangkal lehernya. Dia melangkah anggun dengan dagu terangkat seolah dia adalah putri orang kaya yang terbiasa mendatangi restoran mewah.

Mata kelabu pria itu menatap Ino kemudian dia tersenyum.

Hatake Kakashi berdiri menyambut kencannya memberi pelukan dan ciuman di pipi pada Ino. Wanita berambut pirang itu tersenyum. Kakashi adalah klien favoritnya.

"Kau tampak cantik Mizune"

Pria itu dengan sopan menarikan kursi untuk Ino. Sebelum duduk kembali di kursinya.

"Simpan pujianmu Kakashi-San. Wanita sepertiku tak perlu pujian" Balas Ino.

"Tentu saja, Mungkin kau sudah bosan mendengar para pria memuji betapa cantiknya dirimu"

"Kalau aku tidak cantik aku tak akan bisa bertahan di bisnis seperti ini. Bukankah begitu Kakashi-San"

"Mungkin Ino, tapi pria memerlukan sesuatu lebih dari sekedar seks"

Ino tertawa ringan. Suaranya bagaikan lonceng angin di musim panas "Katakan itu pada para pria yang datang padaku karena istri mereka tidak lagi menarik dan mau diajak berhubungan seks"

"Ah, Aku tak bisa bicara mewakili pria lainnya kalau begitu. Aku juga menikmati bercakap-cakap denganmu"

"Aku akan menemuimu dan menghiburmu selama kau masih mampu membayarku" ujar Ino dengan bercanda

"You're sound like a real bitch"

"Because I am" Ino mengiyakan dengan wajah serius.

Kakashi tertawa "Sepertinya kau akan membuatku bangkrut Mizune"

"Hanya jika kau memilih untuk terlena dalam pesonaku Kakashi-san"

Kedatangan waitress membawa menu menginterupsi percakapan mereka. Kakashi Hatake tahu bagaimana cara memesona wanita. Pria itu begitu charming, playful dan easy going. Tentu saja pria itu sebenarnya tak perlu menyewa jasanya bila saja dia bisa menyelesaikan masalah hatinya. Wanita mana pun yang dia tiduri hanya akan menjadi pengganti Rin.

Tidak masalah untuk Ino, dia tak punya ikatan apa pun dengan kliennya. Tubuhnya sudah dibayar. Entah Kakashi membayangkannya sebagai Rin atau wanita lainnya dia tidak peduli. Asal pria itu terhibur.

Setelah makan mereka pergi ke rumah pria itu. Ino penasaran apa pekerjaan Kakashi. Rumah itu luas tapi masih tampak kosong. Tak ada tanda-tanda wanita pernah tinggal di sana.

"Kakashi-San, Boleh aku tahu apa pekerjaanmu?"

"Mengapa kau bertanya Mizune. Apa kau tertarik padaku" Ujarnya sambil melepas T-shirtnya memamerkan tubuh yang atletis.

Ino tentu saja memandangi pria itu. It's a pleasant sight tak semua kliennya keren. Kadang dia harus menahan diri untuk tidak merasa mual ketika melayani klien bapak-bapak berperut buncit yang kerap bersikap macho dan bila kliennya seorang selebriti yang tampan mereka begitu sombong dan arogan memperlakukan dirinya seperti sampah. Tentu suatu hari Ino akan menjadi selebriti juga seluruh dunia akan tunduk di kakinya bila dia menemukan jalan yang tepat.

"Aku hanya ingin tahu, Madam tidak menerima sembarang orang. Kau tahu itu. Agensi kami punya reputasi. Kau pastinya orang penting"

"Ya, Mizune saking pentingnya aku membiarkan sahabat dan tunanganku mati"

Ino bisa mendengar penyesalan mendalam dalam suaranya. Ino merentangkan tangannya. Memeluk pria setengah telanjang di hadapannya "Kakashi-San, Biarkan Mizune menghiburmu"

Kakashi merebahkan tubuh mereka di ranjang. Tungkai saling terbelit dan bibir saling memagut. Ino menyambut pria itu dengan menggeliat di atas seprai sutra hitam yang terasa dingin di kulitnya. Ino tak pernah menikmatinya. Ini hannyalah pekerjaan dan dia harus membuat kliennya puas. Kakashi-San menginginkan tunangannya dan Ino bercinta dengannya seolah dia adalah wanita yang mencintai pria itu.

"Rin...Rin" Ucap pria itu berulang-ulang di sela-sela percintaan mereka. Ino membayangkan betapa beruntungnya wanita yang bernama Rin itu. Ino mengasumsikan wanita bernama Rin adalah tunangan kliennya dan pastinya Kakashi-San sangat mencintainya bila sampai saat ini dia masih terluka dan berduka. Selalu mengingat wanita itu meskipun telah pergi dan berusaha mencari-cari sosoknya dalam wanita lain.

Ino menggigit bibirnya saat merasakan pria itu menyatukan tubuh mereka. Mungkin cinta itu ada meskipun tak semua berakhir bahagia seperti yang di alami Kakashi-San. Ino mungkin hanya belum menemukan cinta. Tapi tak mungkin rasanya menemukan cinta di tempat sesuram ini.

Ino pura-pura mendesah dan mengerang. Tubuhnya tak pernah merespons sentuhan lelaki dia hanya pintar mengelabui orang. Klien tidak datang padanya untuk memuaskan dirinya. Dia hanya lah outlet pelampiasan mereka. Sedikit mengerang disini. Beberapa desahan seksi dan pura-pura klimaks tak ada yang peduli kalau yang dia perlihatkan hannyalah akting selama pelanggannya puas. Ino berpikir bila dia adalah Rin apa yang akan dia akan ucapkan pada Kakashi.

Kakashi merasakan sebentar lagi dirinya mencapai pelepasan. Mizuna sangat cantik dan begitu manis tapi sosok yang dia lihat hanya Rin. Dia tak bisa lari dari bayangan wanita itu dan penyesalan yang dia tanggung. Bertahun-tahun telah berlalu tapi dia masih merasa kosong dan hampa. Dia masih bernafas dan bernyawa tapi Obito dan Rin membawa jiwanya ke alam baka. Sesaat saja dia ingin lepas dari dosa ini dan merasakan bagaimana rasanya hidup lagi. Tangan mungil Mizune merangkul dirinya mencoba memberikan kenyamanan yang dengan putus asa dia cari-cari. Dalam pelepasannya dia menutup mata seolah dia bisa mendengar Rin berkata "Aku mencintaimu Kakashi"

Tanpa sadar dia mengucapkan nama wanita yang telah mati. Ketika dia membuka mata kembali yang dia lihat bukanlah mata kekasihnya tapi sepasang mata aquamarine yang terlihat sendu. Mizuna wanita yang dia bayar untuk menemaninya tengah memeluk dirinya dengan erat

"You'll be fine Kakashi"

Sesaat dia merasa damai dan dimaafkan. Kakashi roboh di atas wanita itu

"Terima kasih" Bisiknya lirih.

Ino mengelus surai perak yang menghiasi kepala kliennya dan menarik nafas lega. Pekerjaannya sudah selesai dan dia bisa segera pulang. Ino tak pernah suka bila ia menjadi terlalu emosional apalagi dengan kliennya.

.

.

Ketika kebanyakan penghuni gedung apartemen tiba di rumah dari jam kerja yang panjang. Sai Shimura malah mulai bekerja. Baru saja dia mendapatkan ilham untuk novel barunya. Dengan tekun dia mengetik setiap kata yang muncul dikepalanya. Merajut setiap kalimat dan karakter menjadi plot yang solid.

Sai suka pekerjaan ini. Dia bisa tetap diam di rumah sendirian dan tak perlu berhadapan dengan siapa pun. Dia tidak suka berurusan dengan manusia lainnya. Katakan saja dia aneh tapi Sai tak pernah merasa butuh bersosialisasi. Satu-satunya kontak yang dia punya hanya editornya. Itu pun dia berusaha menghindari menghabiskan terlalu banyak waktu dengannya. Sebisa mungkin Sai melakukan pekerjaannya via internet atau telepon. Dia kerap kali merasa terganggu dengan keberadaan orang lain.

Dia tak mengenal tetangganya meskipun dia sudah tinggal di sini lebih dari lima tahun. Orang mendeskripsikannya sebagai penyendiri tapi Sai tidak peduli. Bahkan untuk sekedar basa-basi saja dia kesulitan. Sehari-hari dia menulis, melukis dan membaca terkurung dalam ruang apartemennya. Dia tak merasa bahagia atau juga merasa sedih. Dia merasa puas dengan hidupnya tanpa merasa punya dorongan memiliki personal attachment dengan orang lain.

Bila orang membaca karyanya dan melihat lukisannya. Mereka pasti mengira dia adalah artis dan penulis yang kaya emosi dan gairah hidup. Tapi sebenarnya karya seni dan novelnya adalah hasil olahan sistematik data yang tersimpan otaknya. Dia membaca ratusan buku dan film jadi mudah saja dia merangkai kata-kata. Dia hanya mengulangi dan menggabungkan semua hal yang dia pernah baca dan membungkusnya dengan hal baru dan dia tak pernah menyangka orang-orang menyukai apa yang dia buat.

Awalnya dia iseng menulis cerita di internet, dia menerima banyak respons positif dan folllwer hingga seorang penerbit mengontaknya. Buku pertamanya langsung menjadi best seller. Dia kemudian memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai penjaga malam di museum dan berkarier sebagai novelist. Kini dia menjadi penulis terkenal filmnya di angkat ke layar lebar dan dia juga menjadi penulis naskah drama.

Singkatnya dia menjadi kaya. Tapi uangnya hanya tertimbun di bank tanpa pernah dia gunakan. Dia sendiri tidak menikmati popularitas atau menghabiskan uang seperti orang-orang lainnya. Sai merasa dia sedikit berbeda tapi hal itu tidak menganggunya. Dia senang bila bisa membeli buku baru. Apartemennya kini mirip perpustakaan. Buku referensi bertebaran dimana-mana. Dia butuh semua itu untuk tetap bisa berkarya dan menghabiskan waktunya.

Puas dengan beberapa halaman yang dia buat Sai memutuskan untuk mengecek e-mailnya.

"Oh...Shit" Teriaknya mengumpat. Pria itu mengaruk-garuk rambut hitamnya. Bagaimana ini bisa terjadi. dia sudah meminta penerbit dari awal tidak mengekspos dirinya. Sai membuat image Sai-Lant penulis misterius dan eksentrik yang tak pernah tampil di publik.

Sai membaca email itu berkali-kali. Editornya meminta dengan sangat pada Sai untuk hadir di acara penghargaan sekalian untuk mempromosikan novel terbarunya. Strategi marketing yang lama tidak lagi efisien. Mereka memberitahu Sai penjualan novel terakhirnya mengalami stagnasi dan sekarang Sai harus lebih aktif merangkul penggemarnya

Dia tidak pernah datang pada acara-acara seperti itu selama tujuh tahun karier nya meskipun dia beberapa kali memenangkan penghargaan. Berinteraksi dengan orang lain membuatnya nervous. Bagaimana dia bisa datang ke sana tanpa mendapat serangan panik. Dulu dia memilih bekerja sebagai penjaga malam karena praktis dia bekerja sendiri menjaga gedung yang kosong dari aktivitas dan dia tak perlu terlibat dengan pekerja lainnya.

Sai menyalakan dan menghisap rokoknya. Pria itu kembali memusatkan perhatian pada layar laptopnya. Memeriksa satu demi satu emailnya sambil memikirkan solusi. Tak hanya harus pergi ke acara penghargaan. Sai juga harus membawa pendamping. Siapa yang bisa dia ajak? Dia tak punya teman apalagi teman wanita.

Bagaikan petunjuk dari surga. Sebuah email promosi muncul di layarnya. Dia membuka linknya dan masuk ke website

Madame papillon escort agency

We are an offering you a totally different personal experience by spending time with our beautiful classy and smart escort lady that suits your personal taste.

Dia membaca dengan seksama. 'Ini menarik, dia bisa menyewa jasa profesional untuk menemaninya ke acara itu' Pikir Sai sambil terus membaca website berbahasa inggris itu.

Kedua alisnya bertaut ketika mengetahui mereka menyeleksi para pelanggannya. Ah well dia cukup kaya dan terkenal sepertinya itu bukan masalah dan dia selalu bisa mencari agen yang less reputable. Sai mencoba mengontak mereka dengan mengirimkan email. Dia bersandar di kursinya dengan puas. Senang mendapatkan solusi dengan cepat.

.

.

Pagi-pagi wajah cantik Ino sudah merengut. Hal itu tak luput dari pandangan menyidik Sakura

"Pig, Apa kau kekurangan dosis kafein pagi ini? Kau terlihat jutek"

Hari ini mereka mengikuti kelas akting dari aktris terkenal Kurenai yuhi. Ino membayar mahal untuk masuk sekolah akting milik keluarga Uchiha. Sebuah dinasti bisnis keluarga di dunia Entertainment. Mereka memiliki stasiun televisi. Putra sulung seorang sutradara dan putra bungsu mereka aktor ternama.

"Jangan memanggilku Pig, Aku sedang sensi gara-gara kurang tidur. Sebaiknya kau tidak mencari masalah denganku Sakura"

Setelah kencannya dengan Kakashi. Ino harus menghabiskan waktu dengan anggota band Akatsuki. Wajah baby face pria itu benar-benar menipu. that boy is really an ass dan dia membuat Ino merasa sangat malu dan marah. Hari itu juga Ino langsung meminta Madam untuk menempatkan pria itu di daftar black list setelah Ino menunjukkan lebam-lebam yang dia perolah di sekujur tubuhnya. Dia masih bergidik mengingat pria itu dan boneka-bonekanya. Apa jadinya band populer Akatsuki bila publik tahu anggotanya punya fettish yang mengerikan. Sayang sekali Ino tak bisa menjual beritanya ke media. Semua kliennya rahasia.

Ino menoleh ke arah pintu dia melihat pria tampan berambut gelap memasuki ruangan. Kemudian dia mencolek Sakura "Pangeran muncul" bisiknya di telinga sang kawan.

"Kya...Sasuke" teriak Sakura norak.

Ino harus menepuk jidatnya melihat reaksi Sakura tiap kali melihat Sasuke. Mereka bukan anak SMA yang ngefans dengan boy-band lagi "Haduh, Gak usah norak begitu Sakura" hardik Ino mengingatkan kawannya mereka tengah di kelas bersama siswa-siswa lainnya.

"Aku tak menyangka aktor kawakan macam Sasuke masih ikut kelas juga. Jarang sekali melihat dia disini. Eh..Ino aku mau menyapa Sasuke sebentar" Gadis berambut pink itu dengan riang berjalan melintasi ruangan untuk menyapa pria favoritnya.

Ino hanya bisa mendengus melihat pemandangan itu. Sasuke sama sekali tak memedulikan Sakura meskipun gadis itu selalu mengejar-ngejarnya.

Sedikit rasa iri berkelebat di benak Ino saat memandang mereka. Dari semua orang yang ada di sini semua pernah membintangi drama dan film kecuali dirinya. Sakura bergelut di bidang Entertainment sejak kecil. Dia menjadi host acara anak-anak dan sekarang mendapatkan peran pembantu di acara serial drama televisi. Sasuke lahir di keluarga yang merajai industri perfilman. Ibunya seorang aktris wajar bila Sasuke dibesarkan menjadi aktor terkenal. Ino sendiri datang ke tokyo hanya bermodal mimpi. Begitu dia menyelesaikan kuliah seninya dia datang kemari dengan penuh harapan. Pengalaman aktingnya hanya sebatas drama kampus dan klub teater di kotanya. Di sana semua memuji kemampuan Ino. Tapi di tokyo dia hanya seekor ikan kecil yang terlalu tua untuk memulai debut. Tahun ini dia berusia dua puluh lima tahun dan kebanyakan agensi hanya merekrut gadis remaja berbakat untuk dibesarkan menjadi bintang.

Dia ingin sebuah kesempatan dan Ino harus berusaha membuat kesempatannya sendiri. Wanita itu melirik Sasuke yang masih berbicara dengan Sakura. Ekspresi pria itu menunjukkan dengan jelas rasa tidak tertarik tapi gadis berambut pink itu terus bicara.

Mungkin dia bisa melakukannya dengan mendekati Uchiha. Tapi bagaimana caranya?. Ino punya kecantikan tapi pria itu selalu di kelilingi wanita cantik. Dia tidak akan bisa merayu Sasuke hanya dengan modal tampang. Dia akan mencari cara nanti. Sejauh Ini Ino mengencani para produser dan sutradara yang mereka berikan pada Ino hanya janji-janji untuk mengaudisnya. Tapi tak pernah jadi kenyataan. Memang tak seorang pun dari mereka benar-benar peduli padanya tapi dia tak akan menyerah untuk mencoba.

Setelah kelas selesai. Ino berjalan menuju tempat parkir. Hari ini dia tak ingin melakukan apa-apa selain tinggal di rumah dan mendalami naskah audisinya. Ketika dia hendak membuka pintu mobilnya Ino melihat seseorang mendekat, menghampirinya.

"Hei, Kau wanita pirang. Beritahu temanmu aku tidak tertarik padanya"

Ino mengangkat dagu tirusnya menatap tajam pria di depannya "Ah, tuan muda Uchiha di mana sopan santun anda. Saya punya nama"

"Ah, Maaf aku tak mengingat mu. Bila kau artis terkenal seharusnya aku tahu" Sasuke tersenyum sombong. Sebenarnya dia tahu Ino. Wanita itu menarik perhatiannya karena dia satu-satunya orang yang tak bergabung dengan agensi mana pun. Walau dia cantik dan aktingnya tidak buruk.

"Kau sombong sekali. Tunggu saja Sasuke aku juga bisa jadi artis terkenal tanpa memanfaatkan koneksi keluarga" Ino menyerang balik dan masuk ke dalam mobil kemudian membanting pintu tepat di hidung Sasuke. Dengan kekanak-kanakan wanita berambut pirang itu menurunkan jendela mobilnya dan mengacungkan jari tengah sebelum menyalakan mesin dan pergi.

Sasuke melihat kepergian wanita itu dengan rasa heran Dia tertawa kecil, Yamanaka Ino ternyata bisa lucu juga. Sepertinya mengintimidasi wanita itu bisa jadi hal yang menyenangkan sekaligus membuat si pinky menjauh darinya.

Ino menelepon Nyonya Tsunade untuk memberitahu dia akan libur selama seminggu. Ino ingin fokus pada audisinya. Dia benar-benar harus mendapatkan peran ini untuk memulai karir aktingnya meskipun yang diaudisikan hanya peran pendukung. Ino membaca naskahnya berulang kali dan mempraktikkannya ratusan kali di depan kaca. Mencoba mencari ekspresi yang tepat untuk menggambarkan emosi karakter yang dia bawakan. Ino juga meminta bantuan Sakura untuk menyempurnakan aktingnya.

Ino merasa percaya diri. Di hari audisi dia tampak tenang. Ino membawakan setiap dialog sebagai sahabat yang cemburu dengan sempurna. Seorang penilai bahkan meminta Ino membaca naskah romeo dan juliet dan dia melakukannya dengan baik. Ino begitu yakin akan mendapatkan peran ini. Dia berharap usahanya akan terbayar.

Ino menanti dan menanti keputusan dibuat. Dia duduk menunggu dengan cemas seperti halnya peserta audisi lainnya. Dia menyatukan tangannya dan berdoa.

Akhirnya sang sutradara muncul dan memanggil gadis berambut hitam bernama Akemi. Wanita itu berteriak senang mendapatkan peran. Ino meraih tasnya dan mengejar sang sutradara

"Maaf boleh aku bertanya mengapa aku tak mendapatkan peran itu? Aku merasa aktingku lebih baik dari Akemi"

"Maaf kan aku nona Yamanaka, Kau benar. Aktingmu luar biasa tapi kau tampak mencolok dan lebih cantik dari pemeran utama. Kami tak ingin perhatian penonton jatuh padamu bukan sang pemeran utama"

Ino membeku di tempatnya dan sang sutradara pergi setelah memberinya tatapan maaf. Air mata mulai jatuh di pipinya. Ino merasa amat sangat kecewa. Dia tidak dapat peran bukan karena kemampuannya kurang. Tapi karena dia tidak cocok dengan karakter yang diaudisikan. Sungguh sesederhana itu. Lalu apa arti kerja kerasnya.

Ino merasa terpuruk dan tak ingin melakukan apa-apa. Mengapa dia masih mempertahankan mimpi untuk menjadi artis. Apa yang ingin dia buktikan. Bukankah lebih mudah bila dia mencari suami orang kaya dan hidup enak. Ino lupa malam ini dia punya klien dan tak menyadari Madam berkali-kali mencoba meneleponnya.

Ino mendengar ketukan di pintu apartemennya. Serta merta gadis itu mengusap air matanya dan berjalan menuju pintu. Tungkai-tungkainya terasa lemah untuk menopang tubuhnya. Ino merasa terpuruk dan tak ingin melakukan hal lain selain berbaring di tempat tidur.

Dengan malas Ino membuka pintu hanya untuk menemukan wajah cemas bercampur marah nyonya Tsunade.

"Ino, pull your self together. Aku tak tahu apa yang terjadi tapi kau punya pekerjaan malam ini"

"Maafkan aku madam aku lupa"

"Kalau begitu cepatlah kau bersiap-siap"

Ino menurut. Dia mandi, berpakaian dan mengaplikasikan make up nya dalam waktu setengah jam. Ini rekor baru buat Ino.

"Apa yang terjadi padamu?" Tanya wanita itu dengan simpatik.

"Aku gagal audisi. Sungguh aku merasa hidup tak adil" Ino amat kecewa usahanya berakhir sia-sia

Mata Nyonya Tsunade penuh pengertian dia menggenggam tangan Ino "Memang hidup tak adil. Kau hanya bisa memilih untuk terus meratapi nasib atau bangkit berdiri dan berjalan lagi. Satu pintu tertutup belum tentu yang lainnya juga tertutup. Kau hanya perlu mengetuk lebih banyak pintu"

"Pandangan yang optimis" ucap Ino seskeptis.

"Apa yang bisa membuat kita terus berjalan bila bukan harapan Ino"

"Aku paham"

"Sekarang tersenyum. Klienmu sudah menunggu. Aku telah mewawancarainya dia sedikit aneh tapi aku rasa dia tak berbahaya sungguh dia tak terlihat seperti pria yang menjual jutaan copy buku"

"Jadi dia seorang penulis"

"Ya, Dia sangat misterius dan terkenal. Naruto akan mengantarmu. Dia sudah menunggu di bawah"

Naruto mengantarkan Ino ke apartemen yang jaraknya hannya beberapa blok dari tempatnya. Ino memeriksa ponselnya untuk mencari detail alamat kliennya.

"Ino, Hati-hati kalau ada sesuatu telepon saja aku. Aku akan menunggumu di sini"

"Terima kasih, Naruto" Ino turun dari mobil. Memasuki kawasan apartemen dan menuju lantai lima belas di mana kliennya tinggal.

Ino mencari-cari apartement no 9. Dia menemukannya dan memencet bel.

Seorang pria kurus dengan rambut hitam yang tampak tak terurus muncul dari pintu. Kulitnya begitu pucat seperti tak pernah kena sinar matahari. Ino menelan ludahnya sedikit takut. He looks creepy.

"Ah, kau perempuan yang aku sewa" Suaranya renyah enak di telinga. Tapi Ino tak menyukai nada bicaranya.

"tidak seperti yang aku kira" lanjut pria itu. Sambil menatap Ino naik turun tanpa menunjukkan ketertarikan.

"Maaf kalau mengecewakan" bibir merah jambunya mencebik. Belum juga lima menit Ino sudah merasa kesal.

Pria itu hanya mengangkat bahu tampak tak peduli. "Ayo masuk. Mizuna"

Wanita itu melangkah masuk menanti nasibnya. Terdengar suara klik dari pintu. Pria itu mengunci pintunya dan perlahan mendekati dirinya.

"Tunggu apa lagi, Ayo kita mulai" Suara pria itu di telinganya membuat Ino gemetar. Apa yang pria ini akan lakukan. Ino tak punya ide.