IX

Kim Seokjin membungkuk hormat kepada Lee Shiyuk yang berjalan ke dalam lift. Ia melangkah mendekati ruangan Chanyeol yang tertutup rapat. Hoseok telah mengiriminya beberapa informasi yang terkait dengan korban. Ia hendak membuka pintu ketika langkah kakinya membeku di ujung ruangan.

"Hey, Agent Kim?", Byun Baekhyun tersenyum kecil, membawa sekotak kopi yang akan dibagikan kepada anggota unitnya. "Ada apa Agent‒".

Gelas kopi berjatuhan di lantai dengan debam yang keras, Baekhyun berlari ke dalam dengan bola mata yang melebar penuh teror. Bercak darah terciprat diseluruh lantai, menodai berbagai penghargaan yang dipajang di dinding.

"C‒Chanyeol?". "Chanyeol?!".

"Panggilkan ambulans!", Baekhyun berteriak nyaring, berlutut di samping tubuh Park Chanyeol yang mengalirkan banyak darah. Seokjin menghubungi paramedis dengan jemari yang bergetar, menatap ngeri kepada dua agent lain yang terkapar dengan luka tembak melubangi kepala.

"Satu, dua tiga‒", Baekhyun bernapas pendek pendek, melakukan prosedur CPR16 sembari menghentakkan jantung Chanyeol yang tidak bernapas. Seokjin berlutut di sampingnya, menekan luka tembak di pundak dan perut Chanyeol yang membara merah. "Empat, lima, enam, tujuh‒".

16CPR : teknik menyelamatkan nyawa yang berguna dalam banyak keadaan darurat, termasuk serangan jantung atau hampir tenggelam, di mana pernapasan atau detak jantung seseorang telah berhenti.

Seokjin tidak mendengarkan langkah kaki paramedis yang berhamburan ke dalam ruangan, mengecek denyut nadi kedua agent yang tidak memiliki nyawa lagi. Seokjin mendengar Baekhyun mengumpat frustasi, menghentakkan dada rekan kerjanya yang terkapar dengan mata terpejam.

"S‒Sebelas, d‒dua belas, t‒tiga belas‒".

Paramedis mengangkut tubuh Chanyeol ke kasur darurat, memberikan oksigen melewati hidungnya, membawanya keluar dengan roda yang menggelinding sepanjang lantai. Seokjin meremas kedua matanya dengan jantung yang berdebaran liar.

"Yoongi, Namjoon‒", Seokjin menghampiri mereka dengan pikiran yang kacau. "Interogasi tiap staff dan janitor yang berada di lantai bawah markas sekarang!".

"Dimana Hoseok?!"

Namjoon berdeham pelan, "Ia sedang mengunjungi Jungkook di penjara, Seokjin‒nim".

Seokjin mengumpat kasar, menghubungi Hoseok yang langsung menjawab teleponnya. "Boss, Ada apa?". "Ada keadaan darurat disini! Cepat kembali, kau mempunyai tugas yang lebih penting".

"Aku mau kau memeriksa rekap keamanan pusat headquarters, mengerti?".

Terdengar langkah kaki Hoseok yang berlari panik menyebrangi lorong penjara di seberang telepon, "Apa yang terjadi, Boss?!".

Seokjin menghembuskan napas kacau, "Tiga orang agent telah diserang. Dan kedua dari mereka kehilangan nyawa".

"Kamera tujuh telah dirusak", Hoseok menunjuk layar komputer yang menampilkan tautan statis di pusat markas. "Sedangkan kamera yang berada di garasi, semuanya sudah dimanipulasi oleh Unsub". Seokjin mengernyit di samping Hoseok, memperhatikan wanita yang berbicara dengan petugas markas di layar.

"Mengapa begitu?".

"Wanita yang berdiri disana adalah Sa Eun. Dia sedang hamil dan baru saja melahirkan dua hari yang lalu. Tentu saja, ia masih dirawat dirumah sakit", Hoseok mendecak tidak percaya sembari mengamati layar. "Unsub kita telah merencakan semuanya, Boss. Dia mengganti rekam keamanan hari ini dengan rekaman dua minggu lalu".

"Sialan", Seokjin mengumpat keras, "Kita tidak bisa mempercayai rekap keamanan lagi".

"Dan semua karyawan bersih", ujar Yoongi setelah menginterogasi staff. "Aku dan Namjoon sudah menginterogasi mereka. Tidak ada yang mencurigakan".

"Kita benar benar tidak punya petunjuk kalau begitu". Seokjin menghela napas lemah.

"Dimana Agent Byun?", Jungkook melangkah ke dalam kantor dengan tangan dimasukkan ke dalam saku, membuat keempat anggota unitnya berpaling kaget. "Jungkook?!", Seokjin berpaling mengamati Jungkook dari atas sampai bawah. "Mengapa kau bisa ada disini?!".

"Jangan bilang kau kabur dari penjara", ujar Yoongi tajam.

"Tentu saja tidak", Jungkook tertawa geli, mendekat kepada Hoseok yang masih memeriksa rekap keamanan dengan seringai kecil. "Chief mengangkat tuduhanku, Boss. Sepertinya keadaan kalian sangat mendesak, kau membutuhkanku suka tidak suka".

Seokjin terdiam lama sebelum menjawab dengan suara yang serak, "Unit Agent Park telah diserang habis habisan. Chanyeol sedang koma di rumah sakit, Baekhyun menemaninya. Ia berkata kondisi Chanyeol bertambah buruk, ya tuhan".

Namjoon meremas pundak Seokjin yang memejamkan mata lirih.

Jungkook bahkan tidak menghabiskan sedetik pun untuk bersimpati, "Baiklah. Kita harus kesana sekarang. Aku ingin kalian menginterogasi Agent Byun".

"Apa? Kau mencurigainya?", Seokjin terengah kepada Jungkook yang mengangguk pelan.

"Mengapa tidak? Kita tidak boleh mengesampingkan kemungkinan sekecil apa pun, Boss", Jungkook pun melangkah keluar dan mengambil kunci SUV mereka.

"Aku akan menunggu di mobil".

Seokjin tengah berhadapan dengan Baekhyun yang menunduk muram, menyembunyikan rasa frustasinya dibalik jawaban mendasar sebuah interogasi. "Apa ada hal yang mencurigakan sebelum penyerangan itu terjadi, Baekhyun‒ssi?".

"A‒Aku tidak tahu", Baekhyun terbata bata ketika Seokjin dan Namjoon melontarkan pertanyaan kedua. "T‒Tidak. Tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada aktivitas yang tidak wajar terjadi selama kami menjalani kasus".

Seokjin meremas jemari Baekhyun yang bergetar menahan tangis.

Jungkook mengamati kedua rekan kerjanya dan Baekhyun yang tengah berbicara di luar ruang rawat. Ia tidak menyia nyiakan kesempatan lagi, tujuan sebenarnya. Jungkook pun melangkah masuk ke dalam ruang rawat Park Chanyeol, mengamati pria yang terbaring dengan bibir pucat.

"Apa kau sudah memberinya cukup Morphin?", tanya Jungkook kepada suster yang memeriksa alat penunjang hidup Chanyeol, monitor detak jantung yang berbunyi lemah. "Ya", Suster itu menampilkan Jungkook kadar Morphin yang diberikan. "Tapi, kondisinya masih sangat kritis".

"Ah, begitu? Aku hanya mengkhawatirkan temanku", ujar Jungkook sembari mendekati Chanyeol.

"Panggil aku kalau ada yang Anda butuhkan", ujar suster itu dengan senyum formal.

"Terimakasih", Jungkook mengawasi ketika wanita itu melangkah keluar ruangan, meninggalkannya sendiri dengan Park Chanyeol yang terbaring kritis. Jungkook mengamati selang yang disambungkan ke tubuh Chanyeol, matanya terhenti kepada bagian dengan label 'Morphin' di atasnya.

Ia pun mencabutnya dalam satu sentakan.

SRAT!

"Jungkook?!", Seokjin mendekati Jungkook dengan bola mata melebar. "Apa yang kau lakukan?!", ia mencengkeram tangan Jungkook yang terengah kecil. Seokjin memelototinya tajam, namun Jungkook hanya menghela napas.

"Agent Park melihat siapa pun yang menyerangnya, Boss. Aku harus mencari tahu".

"Dia sedang dalam kondisi kritis, Jeon Jungkook!".

"Dan apa Morphin akan membantunya? Tidak. Morphin hanya penghilang rasa sakit dan rasa sakit menandakan bahwa seseorang masih hidup. Kalau Agent Park merasakan sakit luar biasa, dia akan sadar dan aku bisa menginterogasinya".

Seokjin melebarkan mata tidak percaya, "Apa kau gila?!".

Jungkook menatap Seokjin datar, "Agent Park mengerti identitas penyerangnya, Boss. Penyerangnya berhubungan dengan 'Red John'. Dan Agent Park tidak akan berguna kalau dia sudah mati".

Seokjin menampar wajah Jungkook sangat keras, membuat pria itu mematung dengan pandangan keheranan. Seokjin menggeleng kuat, "You're a cold bastard, Jungkook", ia mendesis tajam. "Kau benar benar bajingan yang tak berhati".

Seokjin meninggalkan ruangan ketika suster itu kembali dengan marah, cepat cepat menancapkan aliran Morphin yang mengarungi darah Park Chanyeol yang sedang meregang nyawa.

Jungkook terdiam di tempat sebelum ia menghela napas kasar dan berjalan kembali ke markas.

"Hey, apa kalian sudah mendapat kemajuan tentang Kang Minjae?", Jungkook mengetuk pintu ruangan ketika Seokjin berpaling kepadanya dengan pandangan geram, tidak bisa melupakan tindakan keterlaluan Jungkook di ruang rawat.

"Itu bukan prioritas kita sekarang, Dokter Jeon. Kuharap kau mengerti itu".

Namjoon mengusap pundak Seokjin untuk menenangkannya, Jungkook kembali menyuara tanpa menunjukkan rasa peduli sedikit pun. "Apa kau akan mencarinya sekarang kalau begitu?", tanya Jungkook yang mendapat pendelikan tajam dari Seokjin.

Seokjin menghampiri pria yang berdiri tanpa rasa bersalah, menatapnya lekat lekat. "Apa masalahmu, Jeon? Bisakah kau melihat ada yang lebih penting disini? Tiga Agent tertembak mati, dan ketua mereka sedang koma!".

"Ya, Agent Park mungkin akan mati sebentar lagi, terserahlah‒", Jungkook terengah kaget ketika Seokjin meremas kerahnya dengan kasar. "Apa kau benar benar seorang Dokter? Karena kau terdengar lebih seperti psikopat bagiku!".

Seokjin makin menarik kerah kemeja Jungkook yang menatap tenang, "Kuharap kau tidak lagi memandang kejadian ini sebagai lelucon, Dokter. Kalau kau memang menghargai nyawa orang lain".

Jungkook mendengus dengan geli, menepis tangan Seokjin dari lehernya. "Kang Minjae adalah ahli bedah yang akan menunjukkan penyerang yang membunuh para agent profesional kita, Boss", Jungkook tersenyum kecil kepada Seokjin.

"Tidak ada yang bertanya tanya dimana anggota kelima unit mereka?".

Nada nada piano melantun pada telinga Jungkook yang tengah berdiri di ruangan Dokter Kang Minjae yang beroperasi di rumah sakit Distrik Dong. Lagu yang sama dengan lagu piano yang dimainkan ibunya ketika ia masih kecil. 'Prelude in C Major by Sebastian Bach' merasuki telinga Jungkook yang menatap kosong, melihat sebuah lingkaran tersenyum yang dilukiskan dengan darah korban di dinding.

Mayat seorang agent terbaring di meja kerja dengan leher digorok.

"Apa ini menjadi prioritasmu sekarang?", Jungkook menatap Seokjin yang terengah engah kalut, menghubungi headquarters tentang mayat agent yang lagi lagi ditemukan. Sebuah pembataian dingin. Hanya menyisakan Baekhyun yang terguncang dengan trauma dan Chanyeol yang sedang kritis di rumah sakit.

"Mengapa anggotamu mengunjungi Dokter Kang, Agent Byun?", Jungkook bertanya kepada Baekhyun yang menggeleng kuat di luar ruangan, ikut serta dalam investigasi mereka. "Mengapa dia kemari? Tolong jawab dengan benar". Baekhyun memejamkan mata dengan tubuh gemetaran, menggeleng makin liar. "Ambil saja petunjuk kasus 'Red John' di mejaku".

"Benarkah?", Jungkook tersenyum lebar, tidak mengindahkan trauma Baekhyun yang membuat wajahnya pucat pasi. "Aku boleh mengambilnya? Agent Park sangat sensitif jika aku ikut campur dalam kasus kalian, kau tahu?". Baekhyun menatap Jungkook sangat tajam sebelum pria itu berjalan pergi ke markas dan mengambil berkas kasus 'Red John' di meja Chanyeol.

"Agent Park menemukan mayat korban 'Red John' di Distrik Jung dua hari silam. Hak Yongsu, 25 tahun. Kakinya dipotong bersih, belasan luka tusuk menjadi C.O.D korban. Metode pembunuhan sangat tidak sama dengan korban 'Red John' yang lain", Jungkook memaparkan kepada Seokjin yang berusaha terfokus kepada kasusnya.

Shiyuk tengah memberi pernyataan kepada media yang berbondong bondong mendatangi headquarters, mencari informasi akan kematian mengejutkan empat orang agent profesional.

"Metode pembunuhan sangat beresiko dan tidak terorganisir", Jungkook mengetukkan jemarinya di meja kerja. "Bagaimana kalau korban 'Red John' bukan target sebenarnya? Bagaimana kalau ia menjadi korban karena sebuah kesalahan yang seharusnya tidak terjadi?".

"Apa yang kau bicarakan, Jungkook?".

"Bagaimana‒", Jungkook tersenyum dingin kepada Seokjin. "Kalau Hak Yongsu telah melihat 'Red John' dan ia terpaksa harus disingkirkan? Dengan kata lain, 'Red John' meninggalkan bukti di mayat korban".

Seokjin berpaling kepada Hoseok dengan cepat, "Dimana mayat Yongsu disimpan?". "Aku akan segera mencari tahu, Boss", Hoseok bekerja gesit di belakang layar komputernya. Seokjin meraih kunci SUV, mengangguk kepada Jungkook.

"Dokter Jeon, ikut denganku".

Jungkook menyeringai lebar, "Senangnya bisa kembali".

"Aku Agent Kim, ini Dokter Jeon, kami dari FBI. Kami ingin memeriksa mayat Hak Yongsu". "Ikuti saya, please", Coroner17 yang berjaga di rumah sakit Distrik Jung membawa mereka ke tempat penyimpanan mayat. Ia memeriksa mayat yang terdaftar di berkasnya. "Hak Yongsu? Ah, ini dia".

17Coroner : Orang yang berperan untuk mengkonfirmasi dan mengesahkan kematian seorang individu dalam suatu yurisdiksi. Coroner itu menarik freezer logam yang menyimpan tubuh mayat, ia mengernyit bingung ketika tidak ada korban yang ditemukan di dalamnya, kosong. "Jadi?", Seokjin mengernyit bingung ketika wanita gempal itu kembali memeriksa daftar di berkasnya. "Oh, maafkan saya. Orang Anda sudah mengambilnya kemarin pukul 2.50 dini hari".
"Apa?", Seokjin berpaling kepada Jungkook yang mengangkat bahu. "Agent Han dari FBI?", Coroner itu memaparkan kepada kedua pria yang saling pandang tidak mengerti. "Bagaimana dengan barang bukti yang ditemukan?", tanya Jungkook sedikit mendesak. "Evidence sudah dibawa bersama dengan tubuh korban oleh orang yang sama". Seokjin menghela napas keras, "Agent Han bukan orang kami. Bagaimana deskripsinya?".

Coroner itu mengingat ingat sembari bergumam kecil, "Pria, tidak terlalu tinggi, wajahnya sedikit pucat dan tembam, tubuhnya memiliki otot yang kencang". "Bagaimana dengan suaranya?", tanya Jungkook yang merasakan detak jantungya bertambah cepat.

"Sedikit serak dan nyaring".

Jungkook mengumpat kasar, "Boss, kita harus ke rumah sakit sekarang". Seokjin mengikuti Jungkook yang berjalan cepat keluar tempat penyimpanan mayat. "Ada apa?!".

"Agent Han adalah Park Jimin".[]

Park Jimin melangkah di lorong rumah sakit dengan senyum dingin menghiasi wajahnya. Ia meremas silence pistol di jemari mungilnya, menunjukkan identitas palsu kepada kedua polisi yang berjaga di ruang rawat Chanyeol.

Jimin menyeringai lebar, memandangi pria yang terbaring dengan bibir pucat, detak jantung yang lemah. "Tidak seharusnya kau mengendus jejakku, Agent", Jimin mengangkat pistolnya, mengarahkan ke kepala pria yang terdiam dengan selang infus tersemat di lengan dan lubang hidungnya.

Jimin menghela napas panjang, melesakkan jemarinya pada pelatuk.

BRAK!

Jungkook menyentak lengan Jimin yang terengah kaget, membantingnya ke dinding ruang rawat. Jungkook memiting kedua lengan Jimin di belakang punggung, Seokjin berlari ke samping Chanyeol dan memeriksanya cepat. "Tidak ada yang terluka!".

Jungkook tidak mendengarkan, mendesak kepala Jimin ke dinding dengan kasar. Park Jimin tertawa keras, melirik wajah pria yang menatapnya sangat tajam, rasa benci dan dendam yang sama. "Hello again, Jungkook".

Jungkook memborgol kedua tangan Jimin, merasakan napasnya yang meliar ketika tawa pria itu kembali bergema di gendang telinganya. "Kau tidak akan bisa kabur kali ini, Park Jimin", Jungkook berbisik sangat tajam. "Or should I call you 'Red John'?".

Jimin menyeringai lebar, membiarkan pria itu mendorong punggungnya dengan kasar, menggeretnya ke SUV hitam yang memindahkannya kembali ke markas utama FBI.

Jungkook mendudukkan Jimin di dalam ruang interogasi ketika mereka telah tiba di markas, hanya dua kursi, dia dan Jimin, saling bertukar pandang, rasa penasaran dibalas dengan rasa benci.

"Jadi‒", Jimin tersenyum kecil, "Apa yang ingin kau tanyakan kepadaku, Jeon Jungkook?".

Jungkook memajukan tubuhnya, memindai perawakan Jimin yang berotot, wajahnya yang manis dan mengerikan, senyum dan suaranya yang nyaris membuat tubuh Jungkook bergetar. "Apa lagu favortimu, Park Jimin?".

Jimin terengah, menjawab dengan suara lembut, "Prelude in C Major by Sebastian Bach. Lagu kesukaan ibumu, Jungkook".

Jungkook menegang, berusaha mengatur napasnya ketika seringai kecil Jimin kembali bermain di bibirnya.

"Mengapa kau memberantas unit Park Chanyeol, huh? Bukti yang ada pada tubuh Yongsu telah dihanguskan. Mengapa membunuh mereka?", Jungkook menatap tajam ketika Jimin tertawa, menggelengkan kepalanya seperti kalimat Jungkook terdengar sangat bodoh.

"Bagaimana kalau untuk mengembalikanmu ke dalam kasus, Jeon Jungkook?".

Seokjin membeku di luar ruang interogasi dengan Hoseok yang menatap khawatir, Yoongi dan Namjoon semakin cemas akan obsesi Jungkook yang tersenyum tajam, dendam pribadinya yang kian memperdekat pria itu dengan kematiannya sendiri.

"He really misses you", Jimin berbisik rendah.

Jungkook terdiam dengan bola mata melebar. Mendengar tawa mengejek Jimin ketika keringat mengucur di dahinya. "K‒Kau…", Jungkook menghela napas frustasi, menyadari sesuatu yang sangat salah. Sesuatu yang seharusnya dimengertinya sejak awal.

Park Chanyeol memang benar selama ini.

Jungkook tertawa miris, "Kau bukan 'Red John'".

"Precisely", Jimin menyeringai lebar, tergelak ketika desis putus asa terkuar dari mulut Jungkook. "Aku terkejut kau baru menyadarinya, Jungkook". Jimin tersenyum prihatin, "Obsesimu sudah membuatmu gegabah dan bodoh, ne?".

"Dimana dia?", Jungkook menggeram, mendekat kepada tersangka yang menatap geli. "Dimana 'Red John'?! Mengapa kau bekerja untuknya, hah?!".

Jimin menghela napas panjang, menyandarkan kepalanya pada kursi interogasi, "'Red John' selalu memandang menembus seseorang, Jungkook. Dia mengerti penderitaanku, mengerti apa itu rasa sakit", Jimin mendekatkan wajahnya dengan Jungkook. "Dia memberi kita harapan".

Jungkook menggeleng benci, "Dia membunuh pria, wanita, dan siapa pun yang menghalangi jalannya. Kau sebut itu sebagai harapan?!". Jimin menelengkan kepalanya, menggerakkan tangannya yang terborgol di atas pangkuan.

"Kau bukan siapa siapa sebelum kematian kedua orangtuamu, ne, Jungkook?". Jimin melanjutkan ketika Jungkook terengah sesak. "Kau hanya orang arogan yang memandang semuanya terlalu sempit, skeptis, tidak berakal".

Park Jimin melepas senyum kecil, "Look what you've become now". Jimin berbisik rendah di telinga Jungkook, "He made you matters, Jeon Jungkook".

"Kau berambisi, cerdas, mempunyai tujuan hidup. Tidakkah ia memberimu sebuah anugerah?", tanya Jimin dengan pandangan mendayu, terkagum kagum dengan 'Red John' yang masih tidak diketahui.

Jungkook menggeleng muram, rasa putus asa kembali melingkupnya. "Kau hanya digunakan sebagai alat, Park Jimin. Dia akan membunuhmu ketika kau sudah tidak berguna lagi".

Jimin menghela napas kecil, "Semua orang akan meninggal pada akhirnya, Jungkook".

Jeon Jungkook bangkit dari kursi, memberikan Jimin senyum miris yang terlihat putus asa, "Kau akan memberitahuku semuanya tentang 'Red John'. Pada akhirnya, kau akan berbicara".

Jimin tersenyum kosong, membiarkan dua orang agent menggiringnya keluar dari ruang interogasi. Park Jimin berjalan menuju lorong markas yang panjang dan tidak berujung, melewati berberapa pria yang hilir mudik di sekelilingnya.

Jimin menunduk ketika ia merasakan sentuhan lembut seseorang yang mengusap telapak tangannya ketika mereka berpapasan sebelum Jimin memejamkan mata dan terjatuh di lantai markas.

BRAK!

"Suspect is down!", Min Yoongi berteriak lantang, berpaling kearah ruang interogasi dengan unitnya yang berlari cepat. "Suspect is down! Suspect is down!", Yoongi menatap ngeri kepada Park Jimin yang kejang kejang di lantai. Jungkook menyimpuh dengan bola mata melebar, berteriak kepada Yoongi yang nyaris menyentuhnya.

"Jangan sentuh dia!", Jungkook terengah engah, melihat busa berbuih yang menguar dari bibir Jimin. Bola mata Jungkook memindai seluruh tubuhnya, menemukan luka kekuningan di tangan Jimin, urat biru menonjol mengerikan seperti akar yang menjalar.

"Dia diracun", Jungkook tersengal sengal. "'Red John' berada di dalam sini".[]